Kita Percaya bahwa Kita adalah, dan Selalu akan Menjadi Pakar dalam Berbuat Dosa

Editorial: 

Dear e-Reformed netters,

Beberapa waktu yang lalu saya mendapat kesempatan untuk berkunjung ke sebuah toko buku Kristen. Di antara buku-buku menarik yang saya amati ada satu buku yang berjudul:

"12 Langkah Penyembuhan bagi Orang Farisi (seperti saya); Temukan Kasih Karunia agar Hidup Tanpa Topeng". [John Fischer]

Dari membolak-balik buku itu saya mulai melihat beberapa poin yang menarik dan membuat saya melihat diri saya sendiri (sebagai orang Reformed) dengan kacamata yang lain.....

Nah,... lepas dari setuju atau tidak setuju pendapat anda dengan isi keseluruhan dari buku tsb., ada satu Bab dalam buku itu yang ingin sekali saya bagikan dengan anda semua. Mudah-mudahan ini bisa menjadi pemacu untuk kita terpaksa mengintrospeksi diri kita sendiri ....

Selamat membaca!

In Christ,
Yulia

Penulis: 
John Fischer
Edisi: 
030/VI/2002
Isi: 

"Dosa adalah sifatku, satu-satunya hal yang aku tahu bagaimana melakukannya."
(Brother Lawrence)

Dalam sebuah percakapan pribadi antara ibu saya dan istri saya, ibu saya mengatakan bahwa saya tidak pernah berbuat dosa. Istri dan saya sudah 10 tahun hidup bersama jadi tentu saja ia mempunyai pendapat yang berbeda tentang masalah ada atau tidaknya dosa pada saya. Saya sendiri kaget mendengar tanggapan ibu saya bahwa saya sempurna, dan meskipun saya ingin seperti yang dikatakan ibu saya, saya takut bahwa istri saya tahu lebih baik. Sekalipun kami sekarang sering berkelakar mengenai hal itu, saya bertanya-tanya apa yang membuat ibu saya berpendapat yang tidak masuk akal seperti itu. Selain dari mitos "anak-saya-tidak-dapat-berbuat-salah" milik para ibu, adakah hal lain yang lebih diungkapan dalam penilaian ini? Saya percaya mungkin ada.

Banyak penginjil salah mengerti bahwa kerohanian dan kedekatan seseorang dengan Tuhan dapat menunjukkan jumlah dosa yang ada di dalam diri orang itu. Banyak dosa, kurang dekat dengan Tuhan. Dekat Tuhan, sedikit, tujuan terakhir adalah untuk menjadi tidak berdosa -- suatu keadaan yang tak seorang pun di dunia ini telah benar-benar meraihnya, tetapi secara teori ini sepertinya masuk akal. Mungkin ibu saya berpikir karena saya dekat dengan Tuhan maka saya tidak mempunyai dosa.

Kenyataan ini memang didukung oleh kesaksian yang menakjubkan dan reputasi mendekati-sempurna dari mereka yang dekat dengan Tuhan. Pendeta-pendeta dan mereka yang berada dalam "pelayanan Kristen purnawaktu" lebih dekat Tuhan daripada siapa pun dan oleh karenanya paling jauh dari dosa. Inilah sebabnya begitu menghancurkan gereja bila orang-orang mendekati-sempurna ini menjadi mangsa kegagalan moral yang mengerikan. Hasilnya, keterkejutan dan ketidakpercayaan. Mereka begitu rohani; bagaimana ini bisa terjadi?

Kebohonongan Besar Orang Kristen

Dalam novelnya yang menarik untuk zamannya yang berjudul "Portofino", Frank Schaeffer, putra Francis dan Edith Schaeffer, dua orang pemikir Kristen yang penting dalam tiga abad terakhir ini mengikis lapisan pengertian peradaban dari apa yang dianggap banyak orang sebagai keluarga Kristen ideal.

Frank -- dahulunya Franky -- menceritakan tentang keluarga penginjil yang tengah berlibur di Itali selama dua musim panas. Kesamaan antara cerita itu dengan kejadian sebenarnya yang dialami Frank sewaktu kecil ditemukan pada banyak bagian dari novel itu. Di dalam cerita itu kita mendapatkan gambaran seorang ayah yang pendiam, yang di luar terlihat mempertahankan kekolotan yang secara budaya cocok dengan Alkitab, tetapi di rumah cenderung tidak stabil dan berperangai keras. Lalu seorang istri yang bertengkar dengan suaminya mengenai siapa di antara mereka yang lebih rohani, dan anak-anak yang dipaksa untuk menjadi lebih "alkitabiah" sebelum mereka tahu apa pun mengenai artinya. Kendati sejumlah situasi itu lucu dan menarik, sisanya terlalu menyakitkan untuk ditertawakan. Karena bertumbuh dalam keluarga injili yang serupa dan standar ganda, baik di rumah maupun di luar rumah, saya memandang "Portofino" ini setidaknya bisa dianggap sebagai obat pencuci perut.

Dalam mencermati buku ini, saya mempunyai dua reaksi terhadap keluarga Kristen ini. Yang pertama, saya senang melihat kekurangan mereka karena saya merasa lebih baik. Reaksi kedua, saya kecewa karena hati kecil saya berharap bahwa seharusnya Frank tidak menelanjangi potret keluarga yang tidak sempurna ini sehingga saya kemudian bisa tetap percaya bahwa setidaknya orang yang saya hormati, seperti Francis dan Edith Schaeffer, telah menjadi orang benar.

Terlintas dalam pikiran saya bahwa reaksi kedua ini bisa dianggap sebagai kebohongan besar yang dilakukan orang Kristen. Artinya, kepercayaan bahwa seseorang, entah di mana, bisa menjadi benar. Bukankah kita selalu berkumpul dengan pembicara dan penyanyi yang berada di depan dan penting karena mereka sudah menjadi benar, dan bukankah mereka berada di atas mimbar sana karena kita berharap bahwa mereka benar? Bila dengan menyakitkan kita tahu jelas bahwa mereka tidak benar dalam sejumlah segi kehidupan, bukankah mereka langsung disingkirkan dari kedudukan mereka? Bukankah semua orang yang tengah tersenyum di kulit muka buku-buku Kristen memberi tahu kita bagaimana kita, juga, dapat menjadi benar jika mengikuti saran mereka?

Tetapi jangan khawatir, para pengusaha Kristen, pasaran buku Kristen tidak sedang goyah, karena imbauan ini telah tertanam sejak Musa turun dari gunung Sinai dengan Sepuluh Perintah Allah untuk menjadi benar. Dan kita terus membawa kebohongan ini.

Daya Pikat dari "Hampir"

Ternyata bukan menjadi benar yang merupakan persoalannya. Bila kita semua menghadapi dosa dengan lebih realistis, kita tidak akan begitu terkejut ketika muncul dosa dalam kehidupan seorang pemimpin rohani. (Saya takut apa yang akan ditulis anak-anak saya tentang saya nanti.) Bila kita jujur pada diri sendiri tentang siapa kita -- semua di antara kita -- kita akan tahu bahwa pemimpin kita juga manusia biasa, sama seperti kita.

Kadang-kadang saya ingin tahu apakah kita ingin para pemimpin rohani kita menjadi sempurna agar kita tidak perlu sempurna. Selama kita percaya ada orang yang sempurna, kita bisa terus mengabadikan mitos bahwa kesempurnaan itu mungkin dan kita terus membungkus dosa kita sendiri dengan baik di balik dusta dari "hampir". Kita hampir berada di sana. Kita hampir tiba di sana. Kita hampir kudus. Satu buku lagi, satu seminar lagi, satu pelayanan kebangunan rohani lagi, dan kita akan persis seperti orang yang ada di kulit muka buku itu atau brosur itu. Tiba-tiba saja, kehidupan rohani yang kita coba miliki ini makin jauh daripada yang kita inginkan. "Hampir" bahkan belum dekat. Pendeta saja jatuh, bagaimana dengan kesempatan untuk kita jatuh?

Bila kita jujur kepada diri sendiri, kita tahu bahwa pertanyaan riilnya bukanlah bagaimana orang yang begitu tinggi dapat jatuh begitu dalam, tetapi kenapa terjadinya tidak lebih awal di dalam atmosfer yang tidak mustahil? Apa yang dilakukan orang-orang ini di atas sana, dan mengapa kita tempatkan mereka di sana? Persoalan riilnya dalam hal ini bukanlah dengan dosa, tetapi dengan pengertian kita yang salah mengenai siapa diri kita menurut kita. Kita perlu mengerti bahwa bila seseorang jatuh, itu bukan akhir dari segalanya; itu baru kebenaran yang akhirnya terungkap. Sebetulnya baik bila kita semua kembali pada Injil, di mana seharusnya kita sudah sejak dahulu berada di sana (kejatuhan).

Saya sering bertanya-tanya bagaimana Injil yang hanya didasarkan pada jasa-jasa seseorang yang sudah mati untuk menghapus dosa dapat diabadikan pada jasa-jasa mereka yang kelihatannya tidak memerlukannya. Bila seluruh maksud dari Injil adalah pengampunan dosa, mengapa kita selalu memaksa untuk memamerkan kehidupan yang "hampir sempurna" di depan sesama kita? Bagaimana orang yang menyatakan tidak mempunyai dosa untuk diampuni? Bagaimana sebuah gereja yang dahulunya bahagia dan terdiri atas nelayan, pelacur, dan pemungut cukai sekarang berubah menjadi tempat kaum elit rohani? Tak pelak lagi, banyak jawaban rumit atas pertanyaan-pertanyaan ini, tetapi saya percaya pada akar dari semua pertanyaan itu sedang tersembunyi masalah orang Farisi.

PANGGILAN ORANG FARISI ZAMAN DAHULU

Dosa hanya muncul ke permukaan pada bagian awal dari keselamatan. Orang-orang berdosa adalah mereka yang perlu diselamatkan, tetapi begitu mereka diselamatkan, kita jarang mendengar tentang dosa lagi. Benar, dosa masih muncul dalam pengertian pada semua orang berdosa yang ada "di luar sana" yang memerlukan Kristus, tetapi bukankah kita yang "di sini" memerlukan Yesus sebanyak ketika kita telah diselamatkan?

Seakan-akan kita percaya ada suatu standar lain yang terjadi begitu kita menjadi orang Kristen. Orang yang tidak percaya perlu menerima pengampunan dosa, akan tetapi orang percaya hanya perlu berhenti berdosa. Darah Yesus menutup dosa saya ketika saya menjadi orang Kristen, tetapi bahwa sekarang saya sudah diselamatkan, saya harus berbenah diri dan menjadi benar. Keselamatan dimaksudkan bagi mereka yang perlu diselamatkan, bukan bagi mereka yang sudah diselamatkan. Dan apabila "tidak berdosa" harus lebih diutamakan daripada "pengampunan dosa" ,... berhati-hatilah hai orang Farisi.

"Siapa di antara kamu yang tidak berdosa?" itu adalah pertanyaan keras yang Yesus ajukan kepada orang-orang Farisi. Kita seharusnya mengajukan kepada diri kita pertanyaan yang sama. Yohanes mengatakannya demikian, "Jika kita berkata, bahwa kita tidak berdosa, maka kita menipu diri kita sendiri dan kebenaran tidak ada di dalam kita" (1Yohanes 1:8). Walaupun demikian, kita ingin terus ditipu -- untuk mengabadikan mitos tentang diri kita sendiri dan pemimpin-pemimpin kita yang membuat dosa kita tersembunyi karena alternatifnya --menjadi bersih -- begitu menakutkan. Kendati tidak berdosa bukannya tidak mungkin, kita lebih suka untuk mengabadikan keyakinan palsu bahwa ia memang palsu, bukannya menghadapi kenyataan. Kita menciptakan pendeta dan pemimpin terutama untuk membuktikan bahwa tidak berdosa itu dapat dilakukan; tetapi orang-orang itu menjalani kehidupan di luar nilai-nilai rohani. Jika penilaian saya benar, ini sebetulnya karena kasih karunia Tuhan yang diwahyukan sehingga kita semua bisa menghadapi kondisi yang sebenarnya.

Saya bertumbuh dewasa berdasarkan lirik lagu pujian berikut ini: "Siapa yang dapat membasuh dosaku? Tak seorang pun kecuali darah Yesus." Saya perhatikan bahwa penulisnya menggunakan keterangan waktu sekarang, yang berarti bahwa dosa adalah sebuah realitas yang terjadi setiap hari dalam kehidupan orang percaya. Tetapi banyak orang menyanyikannya seakan-akan itu sudah terjadi di masa lalu, "apa yang telah menghapus dosaku?" Seolah-olah dosa kini berada di belakang kita -- sisa dari dosa kita sebelum menjadi orang Kristen.

Orang dapat melihat bagaimana dengan tidak kelihatan kita dapat menjadi calon utama untuk masuk dalam kelompok Farisi. Ketika menjadi sempurna lebih penting daripada diselamatkan -- ketika tidak berdosa lebih diutamakan daripada menangani dosa dengan jujur -- semua kekuatan yang menggoda Saulus dari Tarsus, sekarang siap untuk memberi kita kekuatan yang palsu. Yang dianggap kesempurnaan, susunan standar untuk membuat penghancurannya nyaris tidak mungkin dilakukan, penghakiman atas orang lain, persembunyian, dan tentu saja, kemunafikan, semata-mata terlalu menggoda untuk ditolak.

ORANG GALATIA YANG BODOH

"Hai orang-orang Galatia yang bodoh, siapakah yang telah mempesona kamu?" tulis Paulus. "Adakah kamu sebodoh itu? Kamu telah mulai dengan Roh maukah kamu sekarang mengakhirinya di dalam daging?" (Galatia 3:1,3).

Agaknya, ini bukan persoalan baru. Kita memulai dengan Roh; kita mulai dengan keselamatan; dengan kasih karunia Tuhan yang tidak patut kita terima, tetapi kemudian upaya manusia merayap kembali masuk ke dalam kehidupan kita seperti tanaman liar di kebun. Kita mulai melihat ke dalam diri kita sendiri sambil berpikir bahwa kita harus menemukan apa yang kita perlukan untuk menjadi orang Kristen yang baik, dan pada detik kita mulai melihat diri kita sendiri, kita mulai menutupi dan melindungi dan membandingkan diri kita dengan orang lain, sama seperti orang-orang Farisi. Ini tidak dapat dihindari. Di mana ada perpaduan rohani dengan upaya manusia, di situlah akan ada kejatuhan dari orang-orang Farisi yang menggeliat seperti ular berbisa sedang menunggu ada orang terjerat jatuh.

Jika diperlukan Roh untuk menyelamatkan kita, Paulus berkata, maka dengan Rohlah kita tetap selamat. Mulailah dengan Roh, tetaplah dengan Roh; mulailah dengan keselamatan, tetaplah dengan keselamatan; mulailah dengan kasih karunia, tetaplah dengan kasih karunia. Bagaimana kita dapat menambahkan sesuatu pada apa yang telah Kristus lakukan? Kita diselamatkan setiap kalinya. Kita menyerahkan hidup kita yang penuh dosa kepada-Nya, dengan berbalik dari ketergantungan pada diri sendiri lalu berserah kepada-Nya, dengan berbalik dari ketergantungan pada diri sendiri lalu berserah kepada-Nya, dan menerima hidup-Nya sebagai ganti hidup kita. Kini tidak ada bedanya. Ini adalah transaksi detik-demi-detik.

Orang-orang Galatia mencoba untuk menyempurnakan lewat upaya sendiri apa yang telah dimulai oleh Roh, sementara itu mereka mengingkari Roh yang benar bagi hidup mereka. Masalah mereka sama seperti masalah orang Farisi: ingin menguasai proses itu. Mereka ingin mengembalikan apa yang telah mereka hentikan. Agaknya, mereka merasa terlalu tidak nyaman kalau tidak menguasai. siapa lagi yang mau menolak kasih karunia Tuhan kecuali orang yang tidak ingin mendapat kasih karunia itu? Tragis sekali bahwa sementara ada kasih karunia untuk menutup semua dosa kita, masih ada orang-orang berdosa yang tidak tahu tentang itu dan orang-orang Farisi yang tidak ingin tahu.

KESELAMATAN: DAHULU, SEKARANG, DAN KEMUDIAN

Pengakuan dosa dalam kebanyakan gereja kita berasal dari mereka yang baru saja diselamatkan. Kita mendengar kisah-kisah mereka sebagai gambaran-gambaran "masa lalu" seperti dalam iklan penyedotan lemak dengan semua gelambir lemak yang menjijikkan dan bergantungan ke luar dari baju renang yang tidak pas. Anggapannya adalah, banyak di antara kita telah membuat semua dosa tersedot ke luar dari perut dan bagian belakang tubuh kita, dan sekarang kita sedang menikmati tubuh langsing "sesudah" lemak disedot. Jika dosa dapat mencuat di kemudian hari dalam hidup orang percaya, ini adalah hasil dari kebiasaan kembali ke hidup lama untuk sekian waktu. Kadang kala ini kebetulan menjadi yang terbaik dari kita. Ini dapat "dipecahkan" dengan penyerahan kembali hidup kita kepada Tuhan -- semacam "penyegaran keselamatan". Dosa jarang, seandainya pernah, disebut sebagai bagian yang normal dari pengalaman orang percaya setiap hari.

Apakah keselamatan terjadi satu kali dalam hidup kita atau sesuatu yang kita perlukan setiap hari dalam hidup kita? Jawabannya ya dan ya. Ini sebenarnya dua aspek dari sebuah proses tiga cabang dari keselamatan -- masa yang lalu, sekarang, dan kemudian. Nama teologinya adalah dibenarkan, dikuduskan, dan dimuliakan. Dibenarkan adalah apa yang terjadi terhadap kita dalam kaitannya dengan dosa kita, sekali dan selamanya, di kayu salib. Kematian Yesus sebagai ganti kita telah membenarkan kita selamanya di hadapan Allah sehingga kita dapat bersatu dengan Allah.

Tetapi ini bukan berarti bahwa kita tidak mempunyai dosa. Paulus menyebutnya sebagai "tubuh kematian" yang masih harus kita bawa dalam kehidupan, meskipun kita sudah menerima buah sulung Roh, di dalam hati (Roma 8:23). Kita sering kali terperangkap antara kemuliaan abadi bagi kita ketika kita menerima tubuh yang sudah dibangkitkan seperti Kristus, dan pembenaran kita di masa lalu yang sudah dilakukan oleh Yesus di salib. Segala sesuatu di antara itu adalah pengalaman masa kini dari proses pengudusan.

Orang percaya tidak selalu kembali ke hidup lama yang tercela. Juga tidak selalu tidak taat dengan sengaja. Sering kali, bentuknya hanya dinyatakan atau diperlihatkan karena karya Roh Kudus dalam mengelupasi sifat dosa kita seperti lapisan-lapisan bawang bombay. Kadang kala diungkapkan karena kerja Roh Kudus yang mengupas kita seperti bawang. Makin lama kita mengikut Kristus, makin kita tahu betapa dalam dosa itu berakar, dan betapa dalam dan lebarnya kemurahan dan kasih-Nya. Menyadari dosa, mengaku dosa, dan meminta pengampunan berlangsung sementara kita makin mengenali diri sendiri. Ini menyakitkan, karena kita terus menemukan seberapa jauh kita masih harus pergi, tetapi bermanfaat karena kita terus menemukan, juga, seberapa banyak Kristus telah lakukan untuk kita. Itulah sebabnya mengapa orang percaya yang lebih lama selalu merasa mempunyai pertalian dengan orang percaya baru. Ini adalah proses yang sama. Orang percaya baru mungkin mengalami pengampunan Allah untuk pertama kali, tetapi pengalaman ini langsung, nyata dan perlu bagi keduanya.

Ini juga yang menjadi alasan mengapa orang percaya baru dan orang percaya lama dapat menyanyikan lagu yang sama, menceritakan kisah Injil yang sama, membicarakan pengampunan yang sama yang langsung dari pengalaman masing-masing yang paling mutakhir. Perhatikan lagu ini: [diterjemahkan bebas dari lagu "At the Cross"]

Disalib, disalib, pertama kulihat t'rang, Dan beban hatiku lenyap; Dengan iman kudicelikkan Kini, kusenang selamanya.

Apakah orang yang sudah 20 tahun percaya menyanyikan lagu ini sambil mengingat ke masa 20 tahun yang lalu ketika ia menerima pengampunan? Apakah ia mengingat dan mengalami sendiri pengampunannya itu melalui tangisan seorang petobat baru? Ataukah air matanya tergenang sementara menyanyikan lagu ini untuk kesekian kalinya, karena ia menyadari maknanya jauh lebih dalam dibandingkan ketika ia menyanyikannya karena dosanya baru saja diampuni?

"Tell Me the Old, Old Story" adalah lagu lain yang sering dinyanyikan sewaktu saya kecil. Tetapi lagu lama bisa menjadi lagu baru bila kita mengerti dan mengalami proses pengudusan yang menyakitkan tetapi memuliakan.

MAKIN BANYAK DOSA, MAKIN BANYAK DARI TUHAN

"Tetapi hukum Taurat ditambahkan, supaya pelanggaran menjadi semakin banyak; dan di mana dosa bertambah banyak, di sana kasih karunia menjadi berlimpah-limpah" (Roma 5:20).

Pada permulaan bab ini, saya membicarakan tentang persamaan yang salah: makin banyak dosa, kurang dari Tuhan; makin banyak dari Tuhan, sedikit dosa. Sekarang saya ingin memberi persamaan yang berbeda. Saya ingin memberitahukan bahwa lebih banyak dosa di sini artinya lebih sadar bahwa dosa saya banyak. Jadi, orang yang dekat Tuhan menjadi makin sadar akan dosa daripada yang jauh, dan oleh karenanya, orang itu akan mempunyai lebih banyak pengalaman terkait dengan Tuhan sementara imannya bertumbuh.

Inilah sebabnya mengapa orang-orang Kristen yang dewasa terus menjadi lebih rendah hati sementara mereka semakin tua. Mereka terus menemukan betapa berdosanya mereka dan betapa sabarnya Tuhan terhadap mereka.

Paulus menyatakannya demikian. "Perkataan ini benar dan patut diterima sepenuhnya: 'Kristus Yesus datang ke dunia untuk menyelamatkan orang berdosa,' dan di antara mereka akulah yang paling berdosa. Tetapi justru karena itu aku dikasihani, agar dalam diriku ini, sebagai orang yang paling berdosa, Yesus Kristus menunjukkan seluruh kesabaran-Nya. Dengan demikian, aku menjadi contoh bagi mereka yang kemudian percaya kepada-Nya dan mendapat hidup yang kekal" (1Timotius 1:15-16).

Di sini Paulus membuatnya pernyataan yang benar-benar menantang. Orang akan berpikir bahwa pemimpin besar seperti Paulus dapat menyatakan dirinya sebagai teladan untuk orang benar dan orang kudus, tetapi Paulus tidak melakukannya. Ia menyatakan kebalikannya; ia membanggakan diri sebagai orang yang paling hina di antara orang berdosa. Ia lebih suka menjadikan dirinya contoh dengan cara ini sehingga orang-orang lain bisa mempunyai harapan. Jika Kristus masih bisa bersabar terhadap Paulus -- orang berdosa terbesar -- tidak ada orang berdosa yang tidak bisa dijangkau oleh kasih Tuhan.

Inilah hak membanggakan yang benar-benar tidak biasa. Pada hakikatnya, Paulus berkata ia lebih berdosa dibandingkan orang lain, jadi tidak seorangpun dapat mempunyai alasan yang sah untuk tidak diampuni Tuhan. Bila ada harapan untuk Paulus, pasti ada buat yang lain. "Karena aku adalah yang paling hina dari semua rasul, sebab aku telah menganiaya Jemaat Allah. Tetapi karena kasih karunia Allah aku adalah sebagaimana aku ada sekarang, dan kasih karunia yang dianugerahkan-Nya kepadaku tidak sia-sia. Sebaliknya, aku telah bekerja lebih keras daripada mereka semua; tetapi bukannya aku, melainkan kasih karunia Allah yang menyertai aku" (1Korintus 15:9-10).

Untuk memperhitungkan kemungkinan-kemungkinan dalam pernyataan Paulus, saya menyodorkan alinea berikut:

Apakah engkau pikir dosamu terlalu besar sehingga Tuhan tidak mungkin mengampunimu? Nah, pikirkan sekali lagi. Aku membunuh orang-orang Kristen karena iman mereka. Aku menghakimi orang-orang yang Tuhan panggil untuk melaksanakan pekerjaan-Nya. Jubah yang dipakai ketika membunuh teronggok di kakiku. Hal-hal menjijikkan telah dilaksanakan, atas perintahku, terhadap lebih banyak orang yang, dibandingkan yang dapat kuhitung, dahulu dan sekarang adalah saudaraku; dan tanggung jawab untuk ini semua ada dipundakku.

Lebih banyak dari Tuhan, lebih peka terhadap dosa. Semakin saya mencari Tuhan, semakin saya sadar bahwa yang ada di dalam saya bukan berasal dari Tuhan. Itulah sebabnya mengapa pernyataan Paulus di sini menggunakan keterangan waktu sekarang. "Yesus datang ke dunia untuk menyelamatkan orang berdosa -- di mana akulah yang paling berdosa. Kenyataan bahwa ia berdosa semutakhir dan sesegar kenyataan kasih karunia Tuhan. Ia tahu bahwa ia tidak benar-benar mengenal kasih karunia Tuhan tanpa mengetahui dosanya dan betapa ia kurang layak untuk mendapat apa yang sedang ia terima. Jika layak, maka itu bukan lagi kasih karunia.

Bila kita ingin sembuh dari kepalsuan Farisi ini, kita harus sadar dosa-dosa kita sekarang. Kita perlu menjadi ahli dalam menemukan dan menggali dosa-dosa kita sendiri -- bukan dosa orang lain. Kita punya banyak dosa yang harus dibereskan dengan segenap hati tanpa harus mengurus dosa orang lain untuk dikaji. Saya tahu saya adalah orang berdosa paling besar, semata-mata karena saya lebih mengenal diri saya dibandingkan orang lain. Dosa saya adalah yang terburuk karena itu adalah dosa saya. Saya sangat terlibat dalam dosa itu. Saya tahu semua nuansanya yang tak kelihatan, pandangannya yang menyesatkan, pencarian dalihnya dan bagaimana dosa itu ditutup-tutupi. Tentang dosa saya, sayalah pakarnya. Dosa orang lain bukan urusan saya.

Dan ikutilah ini: Yeremia mengatakan bahwa pengetahuan kita "yang canggih" dalam hal dosa masih terbatas. Lebih dalam dari apa yang kita ketahui tentang dosa kita terletak dari apa yang tidak kita ketahui. "Betapa liciknya hati, lebih licik daripada segala sesuatu, hatinya sudah membatu: siapakah yang dapat mengetahuinya" (17:9). Ini suatu sarana pengingat bahwa, bagaimanapun banyaknya kita ketahui mengenai dosa kita, kita masih tidak tahu sama sekali.

Paulus menggunakan tema ini dalam 1Korintus 4:4, "Sebab memang aku tidak sadar akan sesuatu, tetapi bukan karena itulah aku dibenarkan. Dia, yang menghakimi aku, ialah Tuhan." Dosa yang Paulus sadari telah ia bawa kepada Tuhan dan ia sudah menerima pengampunan; apa yang tidak ia ketahui telah diketahui oleh Tuhan dan akan dinyatakan pada waktunya.

Maka, sebuah hati nurani yang bersih tidak berarti kita tidak berdosa. Sebaliknya, ini berarti bahwa kita ditutup oleh darah Yesus untuk apa yang kita ketahui dan apa yang tidak kita ketahui. Ini harus membuat kita rendah hati sampai Dia datang kembali. "Sebab Allah yang telah berfirman: 'Dari dalam gelap akan terbit terang!', Ia juga yang membuat terang-Nya bercahaya di dalam hati kita, supaya kita beroleh terang dari pengetahuan tentang kemuliaan Allah yang tampak pada wajah Kristus" (2Korintus 4:6).

PERNYATAAN IMAN ORANG FARISI YANG INGIN SEMBUH

Bila saya berbicara tentang dosa, saya tidak lagi membicarakannya sebagai sesuatu yang terjadi dahulu sekali. Bila saya membicarakan pengampunan, maksud saya bukan pengampunan yang saya terima pertama kali ketika saya menjadi orang Kristen. Saya akan membicarakan dosa dan pengampunan yang saya alami setiap hari -- yang saya alami sekarang ini -- yang memungkinkan saya menjadi manusiawi, riil dan jujur tentang siapa saya sekarang dan siapa saya kelak. Dan, bila percakapan berubah membahas tentang orang berdosa, saya sadar bahwa percakapan itu benar-benar tentang saya. Saya akan selalu tahu bahwa saya adalah orang yang paling hina dari semua orang berdosa. Saya menempatkan Yesus di salib; dosa saya memaku-Nya di sana. Dan, jika saya pernah sengaja merenungkan bahwa ada orang berdosa yang lebih buruk daripada saya di dunia ini, apa pun kadar kejahatannya, maka pada saat itu saya telah melangkahi batas kemunafikan dan saya sedang membicarakan sesuatu yang saya sendiri tidak tahu apa-apa. Mengenai dosa, saya hanya bisa berbicara tentang diri sendiri tanpa kepastian yang mutlak, dan dalam kaitan dengan diri saya dan dosa, saya yakin mengenai yang satu ini: bahwa saya ahli dalam dosa dan pengampunan. Dosa mendatangkan kesedihan dan pengampunan mendatangkan kebahagiaan. Yang luar biasa bukanlah bahwa saya berdosa, tetapi bahwa, sekalipun saya berdosa, saya masih bisa bersekutu dengan Tuhan dan dipakai oleh Dia untuk rencana-rencana-Nya di dunia ini.

"Sebab itu siapa yang menyangka bahwa ia teguh berdiri, hati-hatilah supaya ia jangan jatuh!" (1Korintus 10:12).

ORANG FARISI TANPA NAMA

Penyembuhan dari kecanduan, baik alkohol, obat-obatan, seks, atau apa saja, tidak pernah sempurna. Tidak pernah selesai. Itulah sebabnya mengapa selalu ada kelompok penyembuhan. Kelompok ini dibentuk bukan saja untuk membantu melepaskan seseorang dari kecanduannya. Pencandu yang berpengalaman tahu bahwa mereka tidak pernah benar-benar "sembuh", artinya bahwa mereka tidak pernah sepenuhnya tidak berisiko untuk kembali pada kecanduan. Peminum tidak berhenti jadi peminum, ia hanya berhenti minum, dan keputusan ini dibuat setiap hari.

Dosa sama saja. Kita tidak menghentikan perjuangan kita untuk mengalahkan dosa setelah kita selamat, seakan-akan tidak lagi bisa berdosa, tetapi kita berupaya dengan kuasa Roh Kudus yang ada di dalam kita agar berhenti berdosa. Bahkan upaya menutupi dosa juga sama. Peminum yang tidak berani menghadapi kebiasaan minumnya, tetapi berpura-pura menjalani kehidupan normal di dalam masyarakat seakan-akan tidak ada yang tidak beres, bagaimanapun juga akan mencuri-curi untuk minum. Dengan cara-cara yang sama, orang Kristen yang berpura-pura menang atas dosa sedang menyembunyikan sesuatu. Orang Farisi selalu pandai menyamar.

Cara penyembuhan ini sama persis dengan orang berdosa yang sudah diselamatkan. Walaupun menyakitkan untuk masuk ke dalam ruang itu dan mengakui siapa kita sebenarnya, tetapi amat menenteramkan dan melegakan untuk menghadapi kebenaran dan tidak melarikan diri dari diri kita sendiri lagi. "Hai, saya John. Saya orang berdosa," tiba-tiba saja tidak lagi menjadi suatu kutukan, melainkan cara memperkenalkan diri kepada kelompok orang yang tahu dan sedang melihat bersama saya apa artinya. Inilah proses penyucian diri yang dibawa ke dalam masyrakat. Setelah bertahun-tahun mencoba dan gagal melawan dosa dengan cara sendiri, kita bisa mendapatkan bantuan, dukungan, dan pertanggungjawaban dari diri orang lain. Dan, orang-orang ini tidak menolak Anda. Tidak pernah. Tidak ada yang lebih buruk daripada yang lain di dalam kelompok ini. Ceritakan kisah Anda di situ dan itu tidak akan membuat satu orang pun terkejut.

Cobalah dan rasakan hasilnya. "Hai, saya ----, dan saya orang berdosa." Dalam kelompok penyembuhan yang sejati ini seruan itu akan segera dibalas dengan "Hai, -----!" yang tulus dari yang berada di kelompok tersebut. Dengan cara itu, mereka sebetulnya menyatakan bahwa mereka mengerti bagaimna rasanya menjadi orang berdosa. Bukan karena dosa atau mabuk-mabukkan itu dianggap benar tetapi bahwa itu tidak masalah karena kita sama-sama di dalam pertempuran ini dan ada harapan. Ada pengampunan. Orang lain mengatakan mereka berdosa juga; mereka ingin melakukan sesuatu seperti kita, dan itulah sebabnya kita semua ada di situ. Bukankah senang rasanya kalau berada di antara sesama teman? Bukankah enak rasanya kalau tidak perlu berbohong lagi? Tidakkah Anda ingin bahwa gereja bisa menjadi lebih daripada sekadar seperti sekarang?

Seperti gereja, dalam setiap kelompok ini, orang ada di dalam bermacam tingkatan dan tahapan dalam pertumbuhan mereka. Beberapa orang sudah ada di sana selama bertahun-tahun dan sekarang sedang mensponsori orang lain dengan membantunya agar sanggup melewati satu hari lagi, bersedia ditelepon atau siap ditemui di kantor bila ada yang jatuh dan perlu ditolong segera. Ada yang baru tiba dan masuk dengan gelisah dan tidak tahu apa yang harus mereka harapkan. Mereka semua berada di sana untuk mendapatkan kasih dan pengertian, dan yang paling utama -- pertolongan.

Di sinilah sebenarnya gereja bisa lebih berperan daripada kelompok A.A. atau kelompok penyembuhan lain apa pun namanya. "Alcoholiscs Anonymous", yang menjadi pencetus penyembuhan ini, dengan tujuan menjaga dua sikap bertentangan yang agamawi, hanya dapat menuntun para pecandu pada satu "Kuasa yang Lebih Tinggi". Gereja menawarkan kepada semua orang sebuah persekutuan yang akrab dengan Yesus Kristus, yang telah mati untuk membebaskan kita dari dosa. Ini sukar ditandingi.

Jadi, sekarang saya menghadapi dosa-dosa saya dan saya telah diampuni dan disokong oleh orang berdosa lain yang sudah mendapat pengampunan juga. Saya hanya berharap bahwa ada sesuatu yang dapat saya lakukan sehubungan dengan kecenderungan membenarkan diri sendiri setelah saya sudah menjadi orang Kristen. Mungkin ada caranya ....

"Hai, saya John, dan saya orang Farisi."

Sumber: 

Sumber diambil dari:

Judul Buku : 12 Langkah Penyembuhan bagi Orang Farisi
Judul Artikel : -
Penulis : John Fischer
Penerjemah : -
Penerbit : Yayasan Pekabaran Injil IMMANUEL
Halaman : 86 - 98

Komentar