Sistematika

warning: Creating default object from empty value in /home/sabdaorg/public_sabda/reformed/modules/taxonomy/taxonomy.pages.inc on line 33.
Teologia Sistematika adalah teologia yang disusun berdasarkan penataan doktrin-doktrin iman Kristen secara sistematis dan logis.

Alkitab dan Reformasi

Editorial: 
"Alkitab", tulis William Chillingworth, "dan aku katakan, hanya Alkitab, adalah agama dan orang-orang Protestant."
Penulis: 
Alister E. McGrath
Edisi: 
060/III/2005
Isi: 

"Alkitab", tulis William Chillingworth, "dan aku katakan, hanya Alkitab, adalah agama dan orang-orang Protestant." Kata-kata termasyhur dari orang Protestan Inggris dalam abad ke-17 ini meringkaskan sikap Reformasi terhadap Kitab Suci. Calvin menyatakan prinsip yang sama ini dengan agak kurang mengesankan walaupun secara lebih lengkap, demikian, "Biarlah hal ini kemudian menjadi suatu aksioma yang pasti: bahwa tidak ada yang lain yang harus diakui di dalam gereja sebagai Firman Allah kecuali apa yang termuat, PERTAMA dalam Torah dan Kitab Nabi-Nabi, dan KEDUA dalam tulisan-tulisan dari para Rasul; dan bahwa tidak ada metode pengajaran lain di dalam gereja yang berlainan dari apa yang sesuai dengan ketentuan dan aturan dari Firman-Nya." Seperti akan kita lihat, bagi Calvin, lembaga-lembaga dan peraturan-peraturan baik dari gereja maupun masyarakat dituntut berakar di dalam Kitab Suci, "Aku hanya menyetujui lembaga-lembaga manusia yang didirikan di atas kewenangan Allah dan berasal dari Kitab Suci." Zwingli memberikan judul untuk traktat yang ditulisnya pada tahun 1522 mengenai Kitab Suci, yakni Tentang Kejelasan dan Kepastian dari Firman Allah, yang menandaskan bahwa "Landasan agama kita adalah firman yang tertulis, Kitab Suci Allah". Pandangan-pandangan seperti itu menunjukkan penghargaan yang tinggi terhadap Kitab Suci yang secara konsisten dimiliki oleh para reformator. Pandangan ini, seperti telah kita lihat, bukanlah sesuatu yang baru; pandangan itu menggambarkan pokok utama dari kesinambungan dengan teologi Abad Pertengahan - kecuali beberapa kaum Fransiscan yang belakangan - yang menganggap Kitab Suci sebagai sumber terpenting dari ajaran Kristen. Perbedaan antara para reformator dan teologi Abad Pertengahan pada pokok masalah ini menyangkut bagaimana Kitab Suci itu didefinisikan dan ditafsirkan lebih daripada menyangkut status yang diberikan kepadanya. Kita akan membahas pokok-pokok ini lebih jauh dalam bagian yang berikut ini.

Kanon Kitab Suci

Hal pokok bagi program apa pun yang memperlakukan Kitab Suci sebagai normatif adalah menentukan batas-batas Kitab Suci. Dengan kata lain, apakah Kitab Suci itu? Istilah "kanon" (satu kata Yunani yang berarti "aturan" atau "norma") dipergunakan untuk merujuk pada kitab-kitab yang oleh gereja dianggap otentik. Bagi teolog-teolog Abad Pertengahan, "Kitab Suci" berarti "karya-karya yang tercakup dalam Vulgata". Namun, para reformator merasa berwenang untuk mempersoalkan penilaian ini. Sementara semua kitab Perjanjian Baru diterima sebagai kanonis - kekuatiran Luther menyangkut empat kitab hanya memperoleh dukungan sedikit [1] - keragu-raguan muncul menyangkut kanonitas dari sekumpulan karya Perjanjian Lama. Suatu perbandingan isi dari Perjanjian Lama dalam Alkitab Ibrani pada satu pihak dan versi-versi Yunani dan Latin (seperti pada Vulgata) pada pihak lain memperlihatkan bahwa yang belakangan itu memuat sejumlah kitab yang tidak terdapat dalam yang pertama. Para reformator itu berpendapat bahwa tulisan- tulisan Perjanjian Lama yang dapat diakui untuk masuk dalam kanon Kitab Suci hanyalah yang asli terdapat dalam Alkitab Ibrani [2]. Jadi, suatu perbedaan ditarik antara "Perjanjian Lama" dan "Apokrifa"; yang pertama terdiri atas kitab-kitab yang terdapat dalam Alkitab Ibrani, yang belakangan terdiri atas kitab-kitab yang terdapat dalam Alkitab Yunani dan Alkitab Latin (seperti Vulgata), tetapi tidak terdapat dalam Alkitab Ibrani. Sementara beberapa reformator mengakui bahwa karya-karya apokrif itu merupakan bacaan yang dapat membawakan perbaikan, telah ada persetujuan umum bahwa karya-karya ini tidak dapat dipergunakan sebagai dasar untuk ajaran. Namun, teolog-teolog Abad Pertengahan, diikuti oleh Konsili Trente tahun 1546, mendefinisikan "Perjanjian Lama" sebagai "karya-karya Perjanjian Lama yang termuat dalam Alkitab Yunani dan Latin", dan menyingkirkan perbedaan antara "Perjanjian Lama" dan "Apocrypha".

Jadi, suatu perbedaan yang fundamental berkembang antara pengertian- pengertian Katholik Roma dan Protestan tentang apa yang sebenarnya dimaksudkan dengan istilah "Kitab Suci". Perbedaan ini tetap ada sampai hari ini. Satu perbandingan antara versi-versi Alkitab Protestan - dua yang terpenting adalah New Revised Standard Version (NRSV) dan New International Version (NM) - dengan versi-versi Katholik Roma, seperti Jerusalem Bible, akan mengungkapkan perbedaan- perbedaan ini. Bagi para reformator, sola scriptura dengan demikian tidak hanya mengimplikasikan satu perbedaan, tetapi dua, dari pihak Katholik yaitu pihak yang bertentangan dengan mereka; bukan hanya status yang berbeda yang mereka kenakan terhadap Kitab Suci, tetapi mereka juga tidak sependapat tentang apa sebenarnya Kitab Suci itu. Tetapi apakah relevansi dari perdebatan ini? Satu kebiasaan Katholik yang membuat para reformator merasa sangat tersinggung adalah mengenai doa untuk orang mati. Bagi reformator-reformator itu, kebiasaan ini tidak mempunyai dasar Alkitabiah (ajaran tentang penyucian) dan mendorong pada takhyul rakyat dan eksploitasi oleh gereja. Namun, pihak Katholik, yang berseberangan dengan mereka, dapat menanggapi keberatan ini, dengan menunjuk bahwa kebiasaan berdoa bagi orang mati itu secara eksplisit disebutkan dalam Kitab Suci di dalam 2Makabe 12:40-46. Pada pihak lain, para reformator, dengan menyatakan bahwa kitab ini adalah apokrif (dan karenanya bukan merupakan bagian dari Alkitab) dapat menjawab bahwa setidak-tidaknya dalam pandangan mereka, kebiasaan itu tidaklah Alkitabiah. Ini pantas memperoleh balasan dari pihak Katholik bahwa reformator-reformator itu mendasarkan teologi mereka atas Kitab Suci, tetapi hanya setelah mengeluarkan dari kanon Kitab Suci karya-karya yang kebetulan bertentangan dengan teologi mereka.

Satu hasil dari perdebatan ini adalah produksi dan peredaran daftar- daftar yang sah dari buku-buku yang dianggap "Alkitabiah". Sesi keempat dari Konsili Trente (1546) menghasilkan suatu daftar yang rinci yang memasukkan karya-karya Apokrifa sebagai yang otentik Alkitabiah, sedangkan jemaat-jemaat Protestan di negeri Swis, Perancis, dan di mana saja, memproduksi daftar-daftar yang dengan sengaja menghilangkan rujukan pada karya-karya ini atau juga menunjukkan bahwa mereka tidaklah penting dalam masalah ajaran.

Kewibawaan Kitab Suci

Para reformator melandaskan kewibawaan Kitab Suci dalam hubungannya dengan Firman Allah. Bagi beberapa orang, hubungan itu tampaknya sedikit lebih bernuansa; Kitab Suci memuat Firman Allah. Meskipun demikian, terdapat konsensus bahwa Kitab Suci harus diterima seakan- akan Allah sendirilah yang sedang berbicara. Bagi Calvin, kewibawaan Kitab Suci dilandaskan dalam fakta bahwa para penulis Alkitab adalah "sekretaris (`notaires authentiques` dalam Institutio versi bahasa Perancis) Roh Kudus". Seperti yang dinyatakan oleh Heinrich Bullinger, kewibawaan Kitab Suci adalah mutlak dan otonom, "Oleh karena ia merupakan Firman Allah, Kitab Suci yang kudus itu mempunyai kedudukan dan kredibilitas yang mencukupi di dalam dirinya sendiri dan dari dirinya sendiri." Di sini Injil itu sendirilah yang mampu berbicara untuk dirinya sendiri dan menantang dan memperbaiki gambaran-gambaran tentang dirinya yang tidak memadai dan tidak akurat dalam abad ke-16. Kitab Suci mampu memberikan penilaian atas gereja Abad Pertengahan (dan nyatanya "kurang") dan juga memberikan model bagi gereja Reformed baru yang akan muncul segera sesudah ini.

Sejumlah hal menunjukkan makna penting dari prinsip `sola scriptura` ini. PERTAMA, para reformator itu mempunyai pendapat yang teguh bahwa kewenangan paus-paus, dewan-dewan dan teolog-teolog berada di bawah Kitab Suci itu. Ini tidak berarti bahwa mereka tidak mempunyai kewenangan; seperti yang kita akan lihat kemudian, para reformator itu memberikan kepada dewan-dewan dan teolog-teolog tertentu dalam zaman patristik suatu kewenangan yang sejati dalam hal ajaran-ajaran. Namun, yang hendak dikatakan adalah bahwa kewenangan tersebut berasal dari Kitab Suci dan dengan demikian berada di bawah Kitab Suci. Alkitab, sebagai Firman Allah, harus dipandang sebagai yang lebih tinggi daripada Bapa-bapa Gereja dan dewan-dewan. Seperti yang dikatakan oleh Calvin,

"Karena meskipun kita berpegang bahwa Firman Allah, Firman Allah itu sendiri terletak di seberang lingkup penilaian kita dan bahwa Bapa-bapa Gereja dan dewan-dewan hanya berwibawa sejauh mereka sesuai dengan aturan dari Firman itu, kita masih memberikan kepada dewan-dewan dan Bapa-bapa Gereja kehormatan dan kedudukan seperti yang sesuai untuk mereka miliki di bawah Kristus."

Luther cenderung mempertahankan prinsip `sola scriptura` itu dengan menekankan kekacauan dan keruwetan dari teologi Abad Pertengahan, sementara Calvin dan Melanchthon berpendapat bahwa teologi Katholik yang terbaik (seperti dari Augustinus) mendukung pandangan-pandangan mereka atas prioritas dari pada Kitab Suci.

KEDUA, para reformator itu berpendapat bahwa kewibawaan di dalam gereja tidaklah berasal dari status sang pengemban jabatan, tetapi dari Firman Allah yang dilayani oleh pengemban jabatan itu. Teologi tradisional Katholik cenderung melandaskan kewibawaan dari sang pengemban jabatan di dalam jabatan itu sendiri - contohnya, kewibawaan seorang uskup terletak dalam kenyataan bahwa ia adalah seorang uskup - dan menekankan kesinambungan historis dari jabatan uskup itu dengan era Apostolis. Para reformator melandaskan kewibawaan dari uskup-uskup (atau jabatan yang sepadan dalam gereja Protestan) di dalam kesetiaan mereka pada Firman Allah. Seperti yang dikatakan oleh Calvin mengenai hal ini,

"Perbedaan antara kami dan pengikut paus adalah mereka percaya bahwa gereja tidak dapat menjadi pilar kebenaran kecuali jika ia memimpin Firman Allah. Kami, pada pihak lain menyatakan bahwa ia menjadi pilar kebenaran justru karena ia dengan penuh rasa hormat menundukkan dirinya ke bawah Firman Allah sehingga kebenaran itu dipelihara olehnya dan diteruskan kepada orang-orang lain melalui tangan-tangannya."

Kesinambungan historis tidak begitu penting dalam hubungan dengan proklamasi Firman Allah yang benar itu. Gereja-gereja Reformasi yang terang-terangan memisahkan diri dinyatakan tidak mempunyai kesinambungan historis dengan lembaga-lembaga dari Gereja Katholik. Sebagai contoh, tidak akan ada uskup Katholik yang mentahbiskan pendeta mereka. Namun, para reformator berpendapat bahwa kewibawaan dan fungsi seorang uskup pada akhirnya datang dari kesetiaan mereka pada Firman Allah. Demikian pula keputusan-keputusan para uskup (dan juga dari dewan-dewan dan paus-paus) berwibawa dan mengikat sejauh mereka setia pada Kitab Suci. Bila orang-orang Katholik menekankan pentingnya kesinambungan historis, para reformator dengan bobot yang sama menekankan makna penting dari kesinambungan ajaran. Pada satu pihak gereja-gereja Protestan tidak dapat secara umum mengadakan kesinambungan historis kepada keuskupan (kecuali, seperti dalam kasus reformasi-reformasi di Inggris dan Swedia, karena beralihnya uskup- uskup Katholik), namun pada pihak lain mereka dapat memberi kesetiaan yang diperlukan itu pada Kitab Suci - jadi, dalam pandangan mereka, mengesahkan jabatan-jabatan gerejawi Protestan. Tidak mungkin ada garis hubung historis yang tidak terputus-putus antara pemimpin- pemimpin Reformasi dan uskup-uskup gereja mula-mula, tetapi para reformator itu berpendapat bahwa karena mereka percaya dan mengajarkan iman yang sama seperti uskup-uskup gereja mula-mula itu (dibandingkan dengan Injil yang diselewengkan dalam gereja Abad Pertengahan), kesinambungan yang diperlukan itu bagaimanapun juga ada.

Dengan demikian prinsip sola scriptura mencakup klaim bahwa kewibawaan gereja dilandaskan di dalam kesetiaannya pada Kitab Suci. Namun, lawan-lawan Reformasi dapat mengambil satu diktum (ucapan) dari Augustinus, "Aku tidak pantas mempercayai Injil kecuali jika hatiku digerakkan oleh Gereja Katholik". Tidakkah keberadaan yang sebenarnya dari kanon Kitab Suci menunjuk kepada gereja yang mempunyai kewibawaan atas Kitab Suci? Bagaimanapun juga, gerejalah yang menentukan apa "Kitab Suci" itu - dan hal ini memberi kesan bahwa gereja mempunyai kewenangan atas dan tidak bergantung pada, Kitab Suci. Jadi, John Eck, lawan Luther dalam Perdebatan Leipzig yang terkenal tahun 1519 itu, berpendapat bahwa "Kitab Suci tidaklah otentik tanpa kewibawaan gereja". Ini dengan jelas menimbulkan pertanyaan tentang hubungan antara Kitab Suci dan tradisi.

Peran Tradisi

Prinsip `sola scriptura` dari para reformator itu tampaknya akan menyingkirkan rujukan pada tradisi di dalam pembentukan ajaran Kristen. Namun, dalam kenyataannya reformator-reformator besar itu mempunyai pemahaman yang sangat positif terhadap tradisi, seperti yang kita akan lihat.

Dalam bagian yang lebih dahulu, kita mencatat adanya dua pengertian mengenai tradisi yang menjadi karakteristik Abad Pertengahan, "Tradisi 1" dan "Tradisi 2". Prinsip `sola scriptura` tampaknya akan merujuk pada suatu pengertian dari teologi yang tidak memberikan peran apa pun untuk tradisi - suatu pengertian yang kita dapat sebut "Tradisi 0". Tiga pengertian utama tentang hubungan antara Kitab Suci dan tradisi yang ada dalam abad ke-16 dapat diringkaskan sebagai berikut.
    Tradisi 0: Reformasi radikal.
    Tradisi 1: Reformasi yang mengaku negara (Reformasi magisterial).
    Tradisi 2: Konsili Trente.

Pertama-tama, analisis ini tampaknya dapat mengagetkan. Tidakkah para reformator itu menolak tradisi demi ajaran hanya oleh kesaksian Alkitabiah? Namun, dalam kenyataannya reformator-reformator itu mempunyai keprihatinan terhadap pembersihan tambahan-tambahan manusia pada kesaksian Alkitabiah itu atau terhadap penyimpangan-penyimpangan dari padanya. Paham tentang suatu "penafsiran tradisional atas Kitab Suci" - yang termasuk di dalam konsep "Tradisi 1" - benar-benar dapat diterima oleh reformator-reformator magisterial asalkan penafsiran tradisional ini dapat dibenarkan.

Satu-satunya sayap dari Reformasi yang menerapkan secara konsisten prinsip `sola scriptura` adalah Reformasi radikal atau "Anabaptisme". Bagi orang-orang radikal itu (atau "fanatik", julukan yang diberikan Luther untuk mereka), seperti Thomas Muntzer dan Caspar Schwenkfeld, setiap individu mempunyai hak untuk menafsirkan Kitab Suci sesuka hati masing-masing dengan tunduk pada tuntunan Roh Kudus. Bagi Sebastian Franck yang radikal itu, "Alkitab adalah suatu kitab yang dimeteraiksan oleh tujuh meterai yang tidak dapat dibuka oleh seorang pun kecuali ia mempunyai kunci Daud, yang adalah pencerahan Roh". Dengan demikian, jalan terbuka bagi individualisme, dengan penilaian (pendapat) pribadi dari seorang individu yang muncul mengatasi penilaian yang bersifat kelompok dari gereja. Jadi golongan radikal itu menolak praktik kebiasaan baptisan anak (yang tetap dipertahankan oleh Reformasi magisterial) karena dianggap tidak Alkitabiah (tidak ada rujukan yang jelas untuk praktik kebiasaan itu di dalam Perjanjian Baru). Hal yang serupa, ajaran-ajaran seperti Trinitas dan keilahian Kristus ditolak sebagai ajaran atas dasar bahwa pondasi Alkitabiahnya tidak memadai. "Tradisi 0" menempatkan penilaian pribadi dari seseorang berada di atas penilaian gerejawi dari gereja Kristen menyangkut penafsiran akan Kitab Suci. Itu merupakan suatu resep untuk anarki - dan, seperti yang diperlihatkan secara menyedihkan dalam sejarah Reformasi radikal itu, anarki itu segera berkembang.

Seperti yang telah dikemukakan, Reformasi magisterial secara teologis bersifat konservatif. Ia mempertahankan ajaran-ajaran gereja yang paling tradisional - seperti keilahian Kristus dan ajaran tentang Trinitas - oleh karena keyakinan para reformator itu bahwa penafsiran- penafsiran tradisional atas Kitab Suci ini benar. Hal yang sama, banyak praktik kebiasaan tradisional (seperti baptisan anak) dipertahankan oleh karena kepercayaan para reformator bahwa itu semua konsisten dengan Kitab Suci. Reformasi magisterial dengan sedih menyadari akan bahaya individualisme dan berusaha menghindari ancaman ini dengan menekankan penafsiran tradisional gereja atas Kitab Suci yang menempatkan penafsiran tradisional sebagai yang dianggap benar. Kritik mengenai ajaran ditujukan terhadap lingkup teologi atau praktik kebiasaan Katholik yang tampak telah menyeleweng terlalu jauh atau telah bertentangan dengan Kitab Suci. Oleh karena sebagian besar perkembangan ini terjadi dalam Abad Pertengahan, tidaklah mengherankan bila reformator-reformator itu menyebut periode tahun 1200-1500 sebagai "zaman kerusakan" atas "periode penyelewengan" yang membuat mereka merasa mempunyai misi untuk membaruinya. Hal yang sama, hampir tidak mengherankan bila kita menemukan reformator-reformator itu mengacu kepada Bapa-bapa Gereja yang secara umum dianggap sebagai penafsir-penafsir Kitab Suci yang dapat diandalkan [3].

Pokok ini sangatlah penting dan telah tidak mendapatkan perhatian sewajarnya. Salah satu alasan mengapa reformator-reformator itu menghargai tulisan-tulisan Bapa-bapa Gereja, khususnya Augustinus, adalah bahwa mereka melihat Bapa-bapa Gereja itu sebagai eksponen- eksponen dari teologi Alkitabiah. Dengan kata lain, reformator- reformator itu percaya bahwa Bapa-bapa Gereja itu sedang berusaha untuk mengembangkan suatu teologi yang hanya didasarkan atas Kitab Suci - yang tentu saja tepat sama seperti apa yang juga tengah mereka coba lakukan pada abad ke-16. Memang, metode-metode tekstual dan filologis baru yang kini dapat diperoleh para reformator itu mengandaikan bahwa mereka dapat melakukan koreksi atas Bapa-bapa Gereja dalam pokok-pokok yang rinci; tetapi reformator-reformator itu bersedia menerima "kesaksian patristis" itu sebagai kesaksian yang secara umum dapat diandalkan (3). Oleh karena kesaksian itu mencakup ajaran-ajaran seperti Trinitas dan keilahian Kristus dan praktik- praktik kebiasaan seperti baptisan anak, reformator-reformator itu cenderung untuk menerima hal-hal ini sebagai yang secara otentik alkitabiah. Dengan demikian akan menjadi jelas bahwa penghargaan yang tinggi terhadap penafsiran tradisional atas Kitab Suci ini (yakni "Tradisi 1") memberikan Reformasi magisterial arah yang kuat mengenai konservatisme dalam ajaran.

Pemahaman tentang prinsip `sola scripture` ini memberikan kemungkinan kepada para reformator untuk mengkritik kedua lawan mereka - pihak pertama adalah golongan radikal dan pihak kedua adalah golongan Katholik. Orang-orang Katholik berpendapat bahwa reformator-reformator itu mengangkat penilaian (pendapat) pribadi di atas penilaian (pendapat) yang bersifat kelompok dari gereja. Reformator-reformator itu menjawab bahwa mereka tidak melakukan hal semacam itu; mereka hanya memulihkan kembali penilaian gerejawi itu pada keadaannya yang semula dengan melawan kemerosotan ajaran dari Abad Pertengahan dengan suatu acuan pada penilaian gerejawi dari zaman patristis. Namun, orang-orang radikal tidak memberikan tempat apa pun bagi "kesaksian Bapa-bapa Gereja". Seperti yang ditulis oleh Sebastian Franck tahun 1530, "Ambrosius, Augustinus, Hieronimus, Gregorius yang bodoh - orang-orang yang tidak mengenal Tuhan, jadi tolonglah aku, ya Allah, dan mereka pun tidak diutus oleh Allah untuk mengajar. Lagi pula mereka semua adalah murid-murid si Anti-Kristus". Tradisi 0 tidak memberikan tempat bagi penafsiran tradisional atas Kitab Suci. Para reformator magisterial dengan demikian menolak pengertian yang radikal akan peran Kitab Suci ini dengan menganggapnya sebagai individualisme murni, suatu resep untuk kekacauan teologis.

Karena itu, akan menjadi jelas bahwa sama sekali keliru mengatakan bahwa reformator-reformator magisterial itu mengangkat penilaian pribadi di atas penilaian gerejawi dari gereja atau bahwa mereka merosot ke dalam suatu bentuk individualisme. Penilaian ini pastilah benar untuk Reformasi radikal, satu-satunya sayap dari Reformasi yang telah benar-benar konsisten dalam menerapkan prinsip `sola scriptura`. Betapa sering ide-ide yang asli, radikal, dari suatu gerakan seperti Reformasi ditolak karena ide-ide yang lebih konservatif daripada yang dikembangkan oleh gerakan itu. Benar bahwa suatu variasi dalam derajat tertentu dapat ditemukan di dalam aliran utama dari Reformasi mengenai masalah ini: Zwingli lebih dekat dengan posisi radikal itu daripada Calvin, sedangkan Luther lebih dekat dengan posisi Katholik. Tetapi tidak seorang pun, ini harus ditekankan, bersedia membuang konsep tentang penafsiran tradisional atas Kitab Suci demi alternatif radikal itu. Seperti yang diperhatikan dengan muram oleh Luther bahwa akibat yang tidak dapat dihindarkan dari pendekatan seperti itu adalah kekacauan, suatu "Babel baru". Mungkin Luther sudah mempunyai simpati untuk pandangan-pandangan John Dryden dalam abad berikutnya:

Kitab itu dengan demikian diletakkan di dalam tangan setiap orang, Yang menganggap dirinya masing-masing dapat memahami paling baik, Aturan yang umum dibuat sasaran umum, Dan terletak di dalam tangan rakyat jelata.

Konsili Trente, yang bersidang dalam tahun 1546, menanggapi ancaman dari Reformasi dengan menegaskan suatu teori dua sumber. Penegasan oleh Tradisi 2 dari Reformasi Katholik ini menyatakan bahwa iman Kristen menjangkau setiap generasi melalui dua sumber: Kitab Suci dan suatu tradisi yang tidak tertulis. Tradisi yang di luar Alkitab ini harus diperlakukan sebagai yang memiliki kewibawaan yang setara dengan Kitab Suci. Dalam membuat pernyataan ini, Konsili Trente tampaknya telah mengangkat yang belakangan dan yang kurang berpengaruh, dari dua pengertian Abad Pertengahan yang utama tentang "tradisi" dengan meninggalkan yang lebih berpengaruh itu untuk para reformator. Penting dicatat bahwa dalam tahun-tahun terakhir ini sudah ada suatu "revisionisme" dalam derajat tertentu dalam lingkungan-lingkungan Katholik Roma mengenai masalah ini dengan beberapa teolog masa kini yang berpendapat bahwa Konsili Trente meniadakan pandangan bahwa "Injil hanyalah sebagian ada di dalam Kitab Suci dan sebagian ada di dalam tradisi-tradisi" [4].


Catatan Kaki:
  • [1] Roland H. Bainton, "The Bible in the Reformation", dalam Cambridge History of the Bible, jld. 3, hal. 1-37, khususnya hal 6-9.
  • [2] Untuk diskusi lebih lanjut tentang masalah kanon Perjanjian Lama, lihat Roger T. Becjwith, The Old Testament Canon of the New testament Church (London, 1983).
  • [3] Pierre Fraenkel, Testimonia Patrum: The Function of the Patristic Argument in the Theology of Philip Melanchthon (Geneva, 1961); McGrath, Intellectual Originus, hal. 175-190.
  • [4] Misalnya, Tavard, Holy Writ or Holy Church?, hal. 208.

Sumber: 

Bahan di atas dikutip dari sumber:

Judul buku : Sejarah Pemikiran Reformasi
Penulis : Alister E. McGrath
Penerbit : PT BPK Gunung Mulia, Jakarta, 2000
Hal : 181 - 191

Penderitaan Sang Juruselamat


Editorial: 
Penulis: 
Louis Berkhof
Edisi: 
059/III/2005
Isi: 

Sejumlah hal perlu ditekankan berkenaan dengan penderitaan Kristus.

  1. Ia menderita seumur hidup-Nya di dunia.

    Berkenaan dengan kenyataan bahwa Yesus mulai membicarakan penderitaan yang akan dialami-Nya menjelang akhir hidup-Nya, kita sering cenderung untuk berpikir bahwa penderitaan-Nya di atas kayu salib merupakan penggenapan dari seluruh penderitaan-Nya. Tetapi sesungguhnya keseluruhan hidup-Nya adalah penderitaan. Ia harus mengambil rupa seorang hamba, padahal Ia adalah Allah semesta langit. Ia yang tidak berdosa setiap hari harus berhubungan dengan manusia berdosa. Hidup- Nya yang kudus harus menderita di dalam dunia yang terkutuk karena dosa. Jalan ketaatan menjadi milik-Nya bersamaan dengan jalan penderitaan-Nya. Ia menderita karena gangguan iblis yang datang berulang kali, dari kebencian dan ketidakpercayaan umat-Nya, dan dari perlawanan musuh-musuh-Nya. Oleh karena Ia harus masuk ke dalam pemerasan anggur itu sendiri, kesendirian-Nya pastilah merupakan suatu tekanan bagi-Nya, dan rasa tangung jawab-Nya menghancurkan. Penderitaan-Nya adalah penderitaan yang disadari, makin lama makin berat, semakin Ia mendekati akhirnya. Penderitaan yang dimulai sejak inkarnasi akhirnya mencapai titik puncak dalam "pasio magna" (penderitaan terbesar) pada akhir hidup-Nya. Kemudian murka Allah atas dosa segera menghambur ke arah-Nya.

  2. Ia menderita secara tubuh dan jiwa.

    Pernah ada satu masa di mana perhatian terlalu dipusatkan pada pendertiaan jasmani Kristus. Penderitaan ini bukanlah sekedar rasa sakit fisik yang tercakup dalam esensi penderitaan-Nya, tetapi juga rasa sakit yang disertai penderitaan rohani dan kesadaran sebagai seorang pengantara atas dosa umat manusia yang harus ditanggung-Nya. Kemudian menjadi suatu kebiasaan untuk meremehkan arti penting penderitaan secara jasmani, sebab dirasakan bahwa dosa sebagai suatu natur yang sifatnya spiritual. Pandangan-pandangan yang hanya menekankan satu sisi seperti ini harus kita hindari. Baik tubuh maupun jiwa manusia telah dipengaruhi dosa, dan karena itu hukuman atas dosa juga mencakup keduanya. Lebih lanjut Alkitab dengan jelas memberi penjelasan bahwa Kristus menderita dalam keduanya. Ia sangat berdukacita dan menderita di taman Getsemani, di mana jiwa-Nya "sangat takut, seperti mau mati rasanya" dan Ia ditangkap, disiksa, dan disalibkan.

  3. Penderitaan-Nya berasal dari berbagai sebab.

    Dalam pembicaraan sebelumnya kita melihat semua penderitaan Kristus bermula dari kenyataan bahwa Ia harus mengambil tempat orang berdosa sebagai seorang pengganti. Akan tetapi kita dapat membedakan beberapa penyebab secara terinci seperti:

    1. (1) Kenyataan bahwa Ia yang adalah Tuhan atas alam semesta harus menempati kedudukan manusia, bahkan kedudukan sebagai budak atau hamba yang terikat, dan bahwa Ia yang memiliki segala hak untuk memerintah sekarang harus diperintah dan harus taat.

    2. (2) Kenyataan bahwa Ia yang murni dan kudus harus hidup dalam lingkungan dan suasana yang sudah dicemari dosa, tiap hari harus bergaul dengan orang bedosa, dan senantiasa harus diingatkan tentang betapa besarnya dosa yang harus dipikul-Nya oleh karena dosa uamt-Nya.

    3. (3) Kesadaran-Nya yang sempurna dan antisipasi-Nya yang jelas sejak awal kehidupan-Nya tentang penderitaan tertinggi yang akan dialami-Nya pada akhirnya. Ia tahu dengan tepat apa yang akan Ia alami dan pengetahuan ini jelas tidak menimbulkan kegembiraan.

    4. (4) Juga hidup-Nya sendiri, pencobaan iblis, kebencian dan penolakan orang-orang atas diri-Nya, serta perlakuan yang tidak adil serta siksaan yang harus Ia tanggung.

  4. Penderitaan-Nya sangat unik.

    Kadang-kadang kita hanya membicarakan tentang penderitaan Kristus yang "biasa", disaat kita hanya sekedar melihat penderitaan yang disebabkan oleh kesusahan biasa dalam dunia ini. Akan tetapi, kita harus ingat bahwa penyebab-penyebab ini jauh lebih banyak dialami oleh Juruselamat kita daripada yang kita alami sendiri. Lebih dari itu, bahkan penderitaan yang biasa ini pun sebenarnya memiliki sifat yang luar biasa dalam hal diri Kristus, dan dengan demikian pasti unik sifatnya. Kapasitas penderitaan-Nya berada pada sifat yang tepat dengan kemanusiaan-Nya, dengan kesempurnaan etis-Nya, dan dengan rasa kebenaran serta kesucian-Nya. Tak seorang pun yang dapat merasakan betapa beratnya rasa sakit dan dukacita dan kejahatan moral yang harus ditanggung oleh Yesus. Akan tetapi di samping penderitaan yang umum ini, ada lagi penderitaan yang lebih berat, yaitu bahwa segala pelanggaran dan kesalahan kita ditimpakan oleh Tuhan kepada-Nya seperti air bah. Penderitaan Sang Juruselamat tidaklah sepenuhnya terjadi apa adanya, tetapi juga merupakan tindakan positf yang dilakukan Allah (Yesaya 53:6,10). Pencobaan di padang gurun, penderitaan di taman Getsemani dan Golgota juga merupakan penderitaan yang secara khusus dialami oleh Tuhan Yesus.

  5. Penderitaan-nya dalam pencobaan.

    Pencobaan yang dialami Kristus membentuk bagian integral dari penderitaan-Nya. Pencobaan-pencobaan itu dialami-Nya dalam jalan penderitaan-Nya, Matius 4:1-11 (dan ayat paralelnya), Lukas 22:28; Yohanes 12:27, Ibrani 4:15; 5:7,8. Pelayanan-Nya di depan umum dimulai dengan suatu masa dimana Ia harus dicobai, dan bahkan setelah masa itu, pencobaan-pencobaan terus dialami-Nya dan berulang pada masa-masa makin mendekati taman Getsemani. Hanya melalui setiap pencobaan yang manusia alami, Yesus dapat sepenuhnya menjadi Imam Besar yang turut merasakan penderitaan, dan akhirnya Ia dapat menjadi bukti kesempurnaan dan kemenangan (Ibrani 4:15; 5:7-9). Kita tidak dapat melepaskan diri dari kenyataan pencobaan Kristus sebagai Adam yang terakhir, betapa pun sulitnya bagi kita untuk memahami seseorang yang tidak dapat berdosa tetapi harus dicobai. Berbagai upaya pemecahan persoalan ini telah diusahakan, misalnya dengan mengemukakan bahwa dalam natur manusia Kristus, sebagaimana dengan natur dalam diri Adam, ada "nuda possibilitas peccandi", kemampuan abstrak untuk berdosa (Kuyper); bahwa kesucian Yesus adalah kesucian etis yang harus terus mencapai perkembangan dan terus mempertahankan diri dalam pencobaan (Bavinck); dan bahwa pencobaan itu sendiri sebetulnya berdasarkan hukum, dan berkenaan dengan naluri dan nafsu alamiah (Vos). Kendatipun demikian masih ada persoalan yang tinggal, bagaimana mungkin seseorang yang secara kenyataan tidak dapat berdosa, bahkan sama sekali tidak mempunyai kecenderungan terhadap dosa, tetapi harus berada di bawah pencobaan yang sesungguhnya.

KEMATIAN SANG JURUSELAMAT

Penderitaan Juruselamat kita pada akhirnya mencapai titik puncak tertinggi pada waktu kematian-Nya. Berkenaan dengan hal ini, ada beberapa hal yang perlu kita perhatikan:

  1. Derajat kematian-Nya.

    Wajar apabila kita membicarakan kematian Kristus, pertama-tama kita membayangkan kematian jasmani, yaitu terpisahnya tubuh dari jiwa. Pada saat yang sama kita harus juga selalu ingat bahwa hal ini tidak menyingkirkan pengertian tentang kematian sebagaimana dikemukakan oleh Alkitab. Alkitab mempunyai pandangan sintetis (tiruan) tentang kematian, dan memandang kematian jasmani sebagai salah satu manifestasinya. Kematian adalah keterpisahan dengan Allah, akan tetapi keterpisahan ini dapat dipandang dari dua cara yang berbeda. Manusia memisahkan dirinya sendiri dari Allah melalui dosa, dan kematian adalah akibat yang wajar. Tetapi bukan kematian seperti ini yang dialami oleh Yesus, sebab Ia sama sekali tidak mempunyai dosa bagi diri-Nya sendiri. Dalam kaitan ini harus senantiasa diingat bahwa kematian bukanlah satu-satunya konsekuensi dosa yang natural, tetapi di atas semua itu merupakan hukuman atas dosa yang berdasarkan keadilan.

    Kematian adalah bagian manusia dan Tuhan datang menjumpai manusia dalam kemurkaan. Kematian Kristus harus dilihat berdasarkan titik pandang keadilan hukum ini. Allah menjatuhkan hukuman mati atas diri Sang Pengantara secara adil menurut hukum, sebab Sang Pengantara kita dengan sukarela mengambil alih pembayaran atas upah dosa umat manusia. Karena Kristus mengambil natur manusia dalam segala kelemahannya, dan hal ini terjadi setelah kejatuhan manusia, maka Kristus menjadi serupa seperti kita dalam segala sesuatu, kecuali bahwa Ia tidak berdosa, karena itu kematian berkuasa atas diri-Nya sejak awal dan dinyatakan dalam segala bentuk penderitaan yang dialami-Nya.

    Kristus adalah manusia yang penuh penderitaan dan sangat sering mengalami dukacita. Katekismus Heidelberg dengan tepat mengatakan bahwa "sepanjang umur hidup-Nya di dunia, akan tetapi terutama pada akhir masa hidup-Nya, Ia mengalami, dalam tubuh ataupun jiwa, murka Allah atas dosa dari seluruh umat manusia." Penderitaan-penderitaan ini diikuti oleh kematian-Nya di atas kayu salib. Akan tetapi ini bukanlah segalanya; Ia bukan saja harus berada di bawah kematian jasmani; tetapi juga kematian kekal, walaupun Ia menanggungnya secara intensif, bukan secara ekstensif, ketika Ia mengalami penderitaan di taman Getsemani dan ketika Ia di atas salib berteriak: "Allah-Ku, Allah-Ku, mengapa Engkau meninggalkan Aku?" Dalam suatu masa yang amat singkat Ia menanggung murka yang tiada terbatas sampai akhir, dan akhirnya tampil sebagai pemenang. Hal ini hanya mungkin bagi-Nya, karena natur diri-Nya yang sangat mulia. Akan tetapi, sampai saat ini kita harus berhati-hati agar tidak salah mengerti. Kematian kekal dalam kaitan dengan Kristus ini tidak termasuk dalam pemutusan keseluruhan hubungan antara Logos dan natur manusia, dan juga bukan berarti bahwa natur Illahi-Nya ditinggalkan oleh Allah, ataupun pemutusan kasih Allah Bapa atau kebaikan kemurahan pada pribadi Sang Pengantara. Logos tetap terikat dengan natur manusia bahkan juga ketika tubuh-Nya berada dalam kuburan; natur Illahi-Nya sama sekali tidak mungkin ditinggalkan oleh Allah; dan pribadi sang Pengantara tetaplah terus berada dalam objek kasih Allah. Kematian itu menyatakan diri dalam kesadaran manusiawi sang Pengantara sebagai suatu perasaan ditinggalkan oleh Allah. Hal ini mengandung arti bahwa natur manusia untuk suatu waktu kehilangan rasa kesadaran kenyamanan yang dapat diperoleh dari persekutuan dengan Logos Ilahi, dan perasaan kasih Ilahi; dengan penuh rasa sakit menyadari kepenuhan murka Allah yang sedang dicurahkan diatas-Nya. Tetapi bagaimanapun juga kita tidak perlu kecewa, sebab bahkan sampai pada waktu yang paling gelap sekalipun, pada saat Ia berteriak bahwa Ia ditinggalkan, Ia tetap mengarahkan doa-Nya pada Allah.

  2. Sifat yuridis kematian-Nya.

    Sangat perlu bahwa Kristus harus mati, bukan kematian alamiah atau kebetulan; dan Ia tidak harus mati di tangan para pembunuh, melainkan di bawah keputusan pengadilan. Ia harus terhitung di antara para pembuat pelanggaran, harus dituduh sebagai seorang terpidana. Lebih jauh lagi, hal ini secara providensia telah diatur oleh Allah bahwa Ia harus diadili dan dijatuhi hukuman oleh seorang hakim Roma. Orang- orang Roma sangat jenius untuk hukum dan keadilan, dan mewakili keadilan hukum tertinggi di dunia. Dapat diharapkan bahwa pengadilan sebelum pengadilan Roma menyajikan suatu pengadilan terhadap Yesus yang tidak bersalah, sehingga jelaslah bahwa Ia dihukum bukan karena perbuatan jahat yang Ia lakukan. Hal ini merupakan kesaksian yang jelas bahwa sebagaimana yang dikatakan oleh Tuhan, "Ia tercabut dari negeri orang hidup dan oleh sebab pelanggaran umat-Ku Ia menderita." Dan ketika pada akhirnya hakim Romawi itu menghukum orang yang tidak bersalah, maka sesungguhnya ia juga sedang menghukum dirinya sendiri serta juga keadilan manusia yang diterapkannya. Pada saat yang sama, ia sedang menjatuhkan hukuman atas Yesus sebagai wakil dari kuasa pengadilan tertinggi di dalam dunia, berfungsi melalui anugerah Allah dan mengeluarkan keadilan atas nama Tuhan. Putusan hukuman oleh Pilatus adalah putusan hukuman dari Tuhan walaupun dari dasar yang berbeda. Penting juga bahwa Kristus tidak dipenggal atau dirajam batu sampai mati. Penyaliban adalah bentuk hukuman Romawi, bukan hukuman Yahudi. Hukuman salib ini dianggap sedemikian memalukan dan hina sehingga hukuman salib in tidak pernah dijatuhkan atas warga negara Romawi, tetapi hanya dijatuhkan pada orang-orang yang dianggap tak berguna, para pembuat kejahatan yang paling kejam dan para budak. Dengan kematian-Nya di atas kayu salib, Yesus menggenapi tuntutan hukum yang tertinggi. Pada saat yang sama Ia mati dalam cara kematian yang paling hina dan terkutuk, dan dengan demikian Ia membuktikan kenyataan bahwa Ia menjadi terkutuk karena kita (Ulangan 21:23; Galatia 3:13).

PENGUBURAN SANG JURUSELAMAT

Tampaknya, kematian Kristus adalah keadaan terakhir dari kehinaan-Nya, terutama berkaitan dengan kalimat terakhir yang diucapkan-Nya di atas kayu salib, "Sudah genap". Akan tetapi, sesungguhnya kalimat itu berkaitan dengan penderitaan-Nya yang aktif, yaitu penderitaan dimana Ia sendiri mengambil bagian secara aktif. Tentu saja hal ini benar digenapi pada saat kematian-Nya. Akan tetapi, jelas bahwa kematian-Nya juga mengambil bagian kehinaan-Nya. Perhatikanlah hal berikut ini:

  1. Manusia harus kembali kepada debu tanah, dari mana ia diambil, dinyatakan dalam Alkitab sebagai bagian dari hukuman atas dosa, (Kejadian 3:19).

  2. Sejumlah pernyataan Alkitab mengandung arti bahwa Sang Juruselamat yang dikuburkan itu juga mengalami kehinaan (Mazmur 16:10; Kisah Para Rasul 2:27,31; 13:34,35). Ia turun ke dalam kerajaan maut, yang sangat mengerikan dan menakutkan, suatu tempat yang penuh dengan pelanggaran walaupun Ia sendiri bebas dari segala pelanggaran.

  3. Dikuburkan berarti harus turun dan ini berarti kehinaan. Penguburan atas orang mati diperintahkan Tuhan untuk melambangkan kehinaan dari orang berdosa.

  4. Ada beberapa persetujuan tertentu antara karya objektif penebusan dengan susunan penerapan subjektif karya Kristus. Alkitab mengatakan bahwa orang-orang berdosa dikuburkan bersama dengan Kristus. Hal ini berarti adalah melepaskan manusia lama dan bukan mengenakan yang baru, bandingkan Roma 6:1-6. Penguburan Tuhan Yesus juga membentuk bagian dari kehinaan-Nya. Lebih jauh lagi, penguburan ini bukan saja membuktikan bahwa Yesus benar-benar mati, tetapi juga menyingkirkan segala kengerian kematian bagi orang-orang yang telah ditebus dan juga menyucikan kubur bagi mereka.

JURUSELAMAT KITA TURUN KEDALAM KERAJAAN MAUT

  1. Doktrin ini adalah Pengakuan Iman Rasuli.

    Setelah Pengakuan Iman Rasuli menyebutkan tentang penderitaan Kristus, kematian dan penguburan-Nya, maka pengakuan iman ini dilanjutkan dengan kalimat "turun ke dalam kerajaan maut." Kalimat ini memang tidak disebutkan pada masa pertama kali Pengakuan Rasuli ini ditetapkan. Kalimat ini pertama kali dipakai dalam bentuk Aquileian dari Pengakuan Iman Rasuli (kira-kira 390 AD) "descendit in inferna." Di antara orang-orang Yunani kata "inferna" ada yang menerjemahkannya sebagai "kerajaan maut" tetapi ada juga yang menerjemahkan sebagai "bagian yang lebih rendah". Pada sebagian bentuk dari Pengakuakn Iman ini ada yang tidak menyebutkan tentang penguburan Kristus, sedangkan bentuk Romawi dan Timur pada umumnya menyebutkan penguburan tetapi tidak menyebutkan tentang turun ke dalam kerajaan maut ini telah mengimplikasikan maksudnya dalam "dikuburkan". Akan tetapi, beberapa waktu kemudian bentuk Pengakuan Iman Rasuli dari Roma menambahkan perkataan "turun ke dalam kerajaan maut" setelah mereka menyebutkan tentang penguburan Kristus. Calvin dengan tepat mengatakan bahwa mereka yang menambahkan kalimat itu setelah kata "dikuburkan" tentunya mereka memang bermaksud menambahkannya.

  2. Dasar Alkitab tentang pernyataan tersebut.

    Terutama ada 4 ayat dalam Alkitab yang harus kita perhatikan di sini:

    1. Efesus 4:9, "Bukankah `Ia telah naik` berarti bahwa Ia juga telah turun ke bagian bumi yang paling bawah?" Mereka yang mencari dukungan dari ayat ini menganggap perkataan "turun ke bagian bumi paling bawah" sama artinya dengan "kerajaan maut". Akan tetapi tafsiran semacam ini masih diragukan. Rasul Paulus berpendapat bahwa kenaikan Kristus memberikan presuposisi turun. Namun, lawan dari kenaikan Kristus ke surga adalah inkarnasi, bandingkan Yohanes 3:13. Sebagian besar para penafsir Alkitab menganggap bahwa kalimat "bagian bumi yang paling bawah" adalah bumi itu saja. Pernyataan itu dapat diperoleh dari Mazmur 139:15 dan lebih menunjuk pada inkarnasi.

    2. 1Petrus 3:18,19, yang membicarakan tentang Kristus "Sebab juga Kristus telah mati sekali untuk segala dosa kita, Ia yang benar untuk orang-orang yang tidak benar, supaya Ia membawa kita kepada Allah; Ia yang telah dibunuh dalam keadaan-Nya sebagai manusia, tetapi yang telah dibangkitkan menurut Roh, dan di dalam Roh itu juga Ia pergi memberitakan Injil kepada roh-roh di dalam penjara." Ayat ini dianggap menunjuk kepada Kristus yang turun ke dalam kerajaan maut dan menyatakan tujuan tindakan itu. Roh yang disebutkan itu kemudian dianggap sebagai jiwa Kristus dan memberitakan Injil ini dianggap terjadi antara kematian dan kebangkitan-Nya. Tetapi ini pun sama tak mungkinnya dengan yang lain. Roh yang disebutkan bukanlah jiwa Kristus, melainkan Roh yang mengaktifkannya, dan oleh Roh pemberi hidup yang sama itulah Kristus memberitakan Injil. Pandangan Protestan yang umum akan ayat ini adalah bahwa di dalam Roh, Kristus memberitakan Injil melalui Nuh, pada orang-orang yang tidak taat yang hidup sebelum masa air bah. Roh-roh itu ada di dalam penjara ketika Petrus menulis surat ini, oleh karena itu dapat dianggap demikian. Bavinck menganggap hal ini tidak dapat diterima dan menafsirkan ayat ini menunjuk kepada kenaikan Tuhan Yesus, yang dianggapnya sebagai pemberitaan Injil yang kaya, penuh kemenangan, dan kuasa pada roh-roh yang di penjara.

    3. 1Petrus 4:4-6, terutama ayat 6, yang berbunyi: "Itulah sebabnya maka Injil telah diberitakan juga kepada orang-orang mati, supaya mereka sama seperti semua manusia dihakimi secara badani; tetapi oleh Roh dapat hidup menurut kehendak Allah". Dalam kaitan ini Petrus memperingatkan para pembaca bahwa mereka tidak boleh hidup seluruhnya dalam daging dan nafsu manusia, tetapi menurut kehendak Allah, bahkan juga jika mereka harus menentang kawan-kawan mereka yang lama dan dihina oleh mereka, sebab mereka harus mempertanggungjawabkan perbuatan mereka di hadapan Tuhan, yang siap menghakimi orang yang hidup dan yang mati. "Orang mati" yang kepadanya Injil diberitakan sebetulnya belumlah mati ketika Injil itu diberitakan, sebab tujuan dari pemberitaan itu sebagian adalah "agar mereka dapat dihakimi menurut manusia dalam daging." Hal ini hanya dapat terjadi ketika mereka masih hidup dalam dunia. Bagaimanapun juga Petrus membicarakan roh-roh yang sama yang dipenjarakan, yang disebut dalam pasal sebelumnya.

    4. Mazmur 16:8-10 (Bandingkan Kisah Para Rasul 2:25-27,30,31). Terutama ayat 10 yang kita bicarakan di sini "Sebab Engkau tidak menyerahkan Aku ke dunia orang mati, dan tidak membiarkan orang kudus-Mu melihat kebinasaan." Dari ayat ini Pearson menyimpulkan bahwa jiwa Kristus berada dalam neraka (kerajaan maut) sebelum kebangkitan-Nya, sebab kita diberitahu bahwa Ia tidak ditinggalkan di sana. Akan tetapi kita haurs memperhatikan yang berikut:

      1. Kata "nephesh" (jiwa) sering dipakai dalam bahasa Ibrani untuk kata ganti orang, dan "sheol" dipakai untuk menunjukkan keadaan kematian seseorang.
      2. Jika kita memahaminya demikian, maka kita mendapatkan `paralelisme sinonimus` yang jelas. Pengertian yang diungkapkan adalah bahwa Yesus tidak ditinggalkan dalam kauasa maut.
      3. Hal ini selaras benar dengan tafsiran Petrus dalam Kisah Para Rasul 2:30,31 dan tafsiran Paulus dengan Kisah Para Rasul 13:34,35. Dalam kedua hal tersebut Mazmur dikutip untuk membuktikan kebangkitan Yesus.

  3. Tafisran-tafsiran berbeda dari pernyataan Pengakuan Iman tersebut.

    1. Gereja Katholik menganggap bahwa hal itu berarti setelah Kristus mati Ia pergi ke `Limbus Patrum` di mana orang-orang kudus Perjanjian Lama menantikan wahyu dan penerapan penebusan-Nya, memberitakan Injil kepada mereka dan membawa mereka ke surga.

    2. Lutheran menganggap bahwa Kristus yang dimuliakan, Kristus turun ke bumi paling bawah untuk mengungkapkan dan mencapai penggenapan kemenangan-Nya atas iblis dan kuasa kegelapan, dan mengumumkan hukuman bagi mereka. Sebagian kaum Lutheran menempatkan perjalanan kemenangan ini antara kematian Kristus dan kebangkitan-Nya; sekelompok lain mengatakan hal ini terjadi setelah kebangkitan.

    3. Gereja di Inggris percaya bahwa kendatipun tubuh Kristus berada dalam kuburan, jiwa-Nya pergi ke dalam kerajaan maut, khususnya ke Firdaus, tempat tinggal jiwa-jiwa orang benar, dan memberikan kepada mereka ungkapan kebenaran yang lebih penuh.

    4. Calvin menafsirkannya secara metafora, menunjukkan penderitaan akhir Kristus di atas kayu salib, di mana Ia sungguh-sungguh merasakan rasa sakit dari hempasan neraka. Katekismus Heidelberg juga berpendapat demikian. Menurut pendapat Raformed yang biasa, kalimat itu bukan saja menunjuk pada penderitaan di atas salib, tetapi juga penderitaan di taman Getsemani.

    5. Alkitab sama sekali tidak pernah mengajarkan tentang Kristus yang secara harafiah turun ke dalam neraka. Lebih dari itu terdapat keberatan-keberatan yang serius terhadap pandangan ini. Kristus tentunya tidak akan mungkin turun ke neraka menurut tubuh, sebab tubuh-Nya ada dalam kubur. Jika seandainya Ia sungguh-sungguh turun ke neraka, maka yang paling mungkin adalah jiwa-Nya, dan itu berarti bahwa hanya setengah dari natur manusiawinya yang mengalami kehinaan ini (atau kemuliaan). Juga, sejauh Kristus belum bangkit dari antara orang mati, maka belumlah tiba waktunya untuk memasuki perjalanan kemenangan seperti yang dianggap kaum Lutheran. Dan akhirnya, pada saat kematian-Nya Kristus menyerahkan Roh-Nya kepada Bapa. Hal ini tampaknya menunjukkan bahwa Ia akan menjadi pasif bukannya aktif sejak kematian-Nya sampai kebangkitan-Nya dari kubur. Secara keseluruhan tampaknya yang terbaik adalah menggabungkan dua pemikiran:

      1. bahwa Kristus menderita sakitnya neraka sebelum kematian-Nya, di Getsemani dan di atas salib; dan
      2. bahwa Ia memasuki kehinaan kematian yang terdalam.

Sumber: 

Sumber diambil dari:

Judul Buku : Teologia Sistematika
Judul Artikel : -
Penulis : Louis Berkhof
Penerjemah : -
Penerbit : Lembaga Reformed Injili Indonesia, Jakarta, 1996
Halaman : 79 - 93

Bukan Damai, Melainkan Pedang

Editorial: 

Dear e-Reformed Netters,

Karena sebentar lagi akan tiba Hari Natal, maka saya pikir akan sangat baik kalau pada kesempatan pengiriman kali ini, saya mengambil artikel yang sedikit berbau Natal .... :)

Saya yakin, dalam banyak tahun mengikuti perayaan Natal, Anda pasti ingat tema-tema Natal yang menggunakan kata 'damai', seperti, "Damai di Bumi", "Natal yang Membawa Damai", "Kristus Raja Damai", "Pesan Damai dari Kristus", "Damai di Hati", dan masih banyak lagi .... Intinya, kedatangan Kristus diidentikkan dengan datangnya damai di dunia. Pesan Natal ini diambil dari pernyataan malaikat yang tertulis dalam Lukas 2:14.

Artikel di bawah ini, yang berjudul "BUKAN DAMAI, MELAINKAN PEDANG", sepertinya bertentangan dengan pesan-pesan Natal yang selama ini biasa kita dengar. Tapi judul yang diambil dari Injil Matius 10:34 ini adalah kata-kata Kristus sendiri, maka sekarang pertanyaannya, apakah dua kalimat tersebut bertentangan? Sebagai orang Kristen yang mengerti Alkitab, tentu saja kita tidak mau memberikan jawaban yang terlalu apologetik (dalam arti yang sesungguhnya), ... 'wah kata-kata Tuhan Yesus itu sulit untuk kita tafsirkan sendiri, mungkin seharusnya dijawab oleh mereka yang ahli bahasa Yunani dan bla ... bla ... bla ....'

Kalau kita dihadapkan pada pilihan, maka secara akal sehat dan etika, tentu saja kita akan mengganggap kata-kata malaikatlah yang lebih enak kita dengar. Menerima pernyataan Matius 10:34, sepertinya mempercayai bahwa Yesus datang sebagai pembawa onar. Maka kita akan cenderung mencoba menghindari memberikan jawaban atas masalah ini dan berkata bahwa kita tidak mengerti apa yang dikatakan Yesus.

Menanggapi sikap-sikap seperti ini, maka Kata Pengantar dalam buku dari mana artikel ini diambil, yang berjudul "Ucapan Yesus yang Sulit", sangat menarik untuk kita simak:

"Satu alasan dari keluhan bahwa perkataan Yesus itu sulit adalah karena Dia membuat pendengar-Nya berpikir. Bagi sebagian orang, berpikir merupakan suatu pekerjaan yang sulit dan tidak enak, terutama bila menyangkut penilaian kembali yang kritis dari prasangka dan pendirian yang kuat, atau bila menyangkut tantangan terhadap konsensus pemikiran zaman sekarang. Oleh karena itu, setiap perkataan yang mengundang mereka untuk mengikutsertakan pemikiran yang demikian dianggap perkataan yang sulit. Banyak perkataan Yesus dianggap sulit dalam pengertian demikian."

Nah, silakan merenungkan penjelasan F.F. Bruce (seorang pakar biblika Perjanjian Baru) dalam artikel berikut ini. Harapan saya dengan mengerti lebih dalam kata-kata Tuhan Yesus ini, kita bisa lebih menyadari bahwa dengan menerima Kristus sebagai Raja dalam kehidupan kita, bukan berarti bahwa kehidupan Kristen kita akan selalu dilimpahi dengan 'rasa damai' seperti yang kita inginkan atau kita mengerti. Justru kadang kita lihat sebaliknya, ketika kita dengan taat menjalankan prinsip-prinsip iman Kristen, maka kita mendapati hidup kita tidak lagi sejalan dengan prinsip-prinsip yang selama ini kita (lingkungan) pegang. "Rasa damai' tiba-tiba berubah menjadi konflik, meskipun sebenarnya bukan itu yang kita harapkan. Sementara kita mempersiapkan hati untuk menyambut Natal, marilah kita renungkan, bagaimana damai sejahtera yang sejati bisa betul-betul menguasai hati kita pada peringatan Natal tahun 2004?

SELAMAT HARI NATAL 2004!
"Damai sejahtera Yesus Kristus kiranya menyertai kita selamanya."

In Christ,
Yulia Oen

Penulis: 
F.F. Bruce
Edisi: 
056/XI/2004
Isi: 
Bukan Damai, Melainkan Pedang

Bukan Damai, Melainkan Pedang

"Jangan kamu menyangka, bahwa Aku datang untuk membawa damai di atas bumi: Aku datang bukan untuk membawa damai, melainkan pedang." (Matius 10:34)

Natal

Ini perkataan keras bagi semua orang yang mengingat berita para malaikat pada malam kelahiran Tuhan Yesus: ´Kemuliaan bagi Allah di tempat yang mahatinggi dan damai sejahtera di bumi di antara manusia yang berkenan kepada-Nya´. Bagian akhir dari berita ini seolah-olah berarti ´damai sejahtera di bumi di antara manusia adalah sasaran kasih Allah´. Memang, malaikat-malaikat hanya muncul dalam Lukas 2:14, sedang perkataan keras yang kita kutip terambil dari Matius. Akan tetapi, Lukas juga mencatat perkataan keras ini, hanya saja ia mengganti kata metafora ´pedang´ dengan kata bukan metafora, yaitu ´pertentangan´ (Lukas 12:51). Kedua penginjil kemudian melanjutkan tulisannya tentang Tuhan Yesus yang berkata, "Sebab Aku datang untuk memisahkan orang dari ayahnya, anak perempuan dari ibunya, menantu perempuan dari ibu mertuanya" (Matius 10:35; Lukas 12:53). Lalu, Matius menutup perkataan ini dengan kutipan dari Perjanjian Lama yang berbunyi ´musuh orang ialah orang-orang seisi rumahnya´ (Mikha 7:6).

Satu hal yang sudah pasti: Tuhan Yesus tidak menyokong pertentangan. Ia mengajar pengikut-Nya untuk jangan melawan atau membalas kalau mereka diserang atau diperlakukan tidak baik, "Berbahagialah orang yang membawa damai", kata-Nya, "karena mereka akan disebut anak-anak Allah" (Matius 5:9). Artinya, Allah ialah Allah Damai Sejahtera, sehingga orang yang mencari dan meneruskan damai mencerminkan sifat Allah. Ketika Ia melakukan kunjungan terakhir ke Yerusalem, berita yang Ia bawa menyangkut ´apa yang perlu untuk damai sejahtera´, dan Ia menangis karena kota itu menolak berita-Nya dan cenderung kepada jalan yang menuju kebinasaan (Lukas 19:41-44). Berita yang dikumandangkan pengikut-pengikut-Nya dalam nama-Nya setelah kepergian-Nya disebut ´Injil damai sejahtera´ (Efesus 6:15) atau ´berita perdamaian´ (2 Korintus 5:19). Disebut demikian bukan hanya sebagai ajaran doktrin, tetapi sebagai kenyataan yang dialami. Individu-individu dan kelompok-kelompok yang dahulunya saling berjauhan mengalami bagaimana mereka saling akur karena pengabdian yang sama kepada Kristus. Hal semacam ini bahkan dialami lebih awal dalam rangkaian pelayanan di Galilea. Kalau Simon orang Zelot dan Matius si pemungut cukai mampu hidup berdampingan sebagai dua rasul di antara dua belas rasul, tentunya rasul-rasul yang lain memandangnya sebagai mukjizat dari kasih karunia Allah.

Jadi, kalau Tuhan Yesus berkata bahwa Ia datang bukan untuk membawa damai melainkan pedang, yang Ia maksudkan ialah bahwa itu adalah akibat kedatangan-Nya, bukan karena itu menjadi tujuan kedatangan-Nya.

FacebookTwitterWhatsAppTelegram

Akan tetapi, ketika Tuhan Yesus berbicara tentang ketegangan dan konflik dalam keluarga, Ia mungkin berbicara berdasarkan pengalaman pribadi. Ada indikasi dalam kisah Injil bahwa beberapa anggota keluarga-Nya sendiri tidak bersimpati dengan pelayanan-Nya: orang-orang yang dalam suatu kesempatan berusaha untuk mengambil-Nya dengan paksa karena orang yang mengatai-ngatai ´Ia tidak waras lagi´ disebut ´sahabat-Nya´ dalam RSV tetapi lebih tepat ´kaum keluarga-Nya´ dalam NEB dan juga dalam terjemahan bahasa Indonesia (Markus 3:21). Sebab saudara-saudara-Nya sendiri tidak percaya kepada-Nya, demikian dikatakan dalam Yohanes 7:5. (Kalau orang bertanya mengapa saudara-saudara-Nya ini menduduki kursi-kursi kepemimpinan bersama para rasul dalam gereja mula-mula, maka jawabannya dengan pasti terdapat dalam pernyataan 1 Korintus 15:7, yaitu bahwa Tuhan Yesus yang bangkit menyatakan diri kepada Yakobus saudara-Nya.)

Jadi, kalau Tuhan Yesus berkata bahwa Ia datang bukan untuk membawa damai melainkan pedang, yang Ia maksudkan ialah bahwa itu adalah akibat kedatangan-Nya, bukan karena itu menjadi tujuan kedatangan-Nya. Kata-kata-Nya menjadi kenyataan dalam kehidupan gereja yang mula-mula. Dan, kebenaran kata-kata ini telah dibuktikan kemudian dalam sejarah pelayanan misi-misi Kristen. Waktu satu atau dua anggota keluarga atau golongan masyarakat lainnya menerima iman Kristen, maka hal ini selalu menimbulkan pertentangan dari anggota-anggota yang lain. Paulus, yang rupanya juga mengalami pertentangan semacam ini dalam keluarganya sebagai akibat pertobatannya, membuat perlengkapan bagi situasi semacam ini dalam hidup kekeluargaan para petobatnya. Ia tahu bahwa ketegangan bisa timbul bila seorang suami istri menjadi Kristen, sedang pasangannya tetap tidak percaya. Bila pasangan yang tidak percaya merasa berbahagia hidup bersama orang Kristen, itu baik. Seluruh keluarga dalam waktu yang tidak lama bisa menjadi Kristen. Akan tetapi, bila pasangan yang tidak percaya bersikeras untuk meninggalkan dan mengakhiri perkawinan, maka orang Kristen tidak boleh menggunakan kekerasan atau tindakan-tindakan legal, karena ´Allah memanggil kamu untuk hidup dalam damai sejahtera´ (1 Korintus 7:12-16).

Jadi, dalam kata-kata-Nya ini, Tuhan Yesus memperingatkan pengikut- pengikut-Nya bahwa kesetiaan mereka kepada-Nya bisa mengakibatkan konflik di rumah, bahkan pengusiran dari lingkungan keluarga. Adalah baik bahwa mereka diperingatkan sebelumnya, jadi mereka tidak bisa berkata, "Kami tidak pernah membayangkan bahwa kami harus membayar harga ini untuk mengikut Dia!"

Audio: Bukan Damai, Melainkan Pedang

Sumber: 

Sumber diambil dari:

Judul Buku : Ucapan Yesus yang Sulit
Judul Artikel : Bukan Damai, Melainkan Pedang
Penulis : F.F. Bruce
Penerjemah : -
Penerbit : Seminari Alkitab Asia Tenggara, Malang, 2001
Halaman : 141 - 143

Kemuliaan Bagi Allah

Dear e-Reformed Netters,

Artikel yang saya kirimkan kepada para pembaca bulan ini, saya ambil dari Buletin Momentum yang diterbitkan oleh Lembaga Reformed Injili Indonesia. Saya harap, Anda akan mendapat beberapa 'insight' dari pembahasan tentang 'Kemuliaan bagi Allah" yang disampaikan oleh Pdt. Dr. Stephen Tong ini.

Selamat membaca dan merenungkan!

In Christ,
Yulia Oen

Editorial: 

Dear e-Reformed Netters,

Artikel yang saya kirimkan kepada para pembaca bulan ini, saya ambil dari Buletin Momentum yang diterbitkan oleh Lembaga Reformed Injili Indonesia. Saya harap, Anda akan mendapat beberapa 'insight' dari pembahasan tentang 'Kemuliaan bagi Allah" yang disampaikan oleh Pdt. Dr. Stephen Tong ini.

Selamat membaca dan merenungkan!

In Christ,
Yulia Oen

Penulis: 
Pdt. Dr. Stephen Tong
Edisi: 
053/VIII/2004
Isi: 

Catatan: Renungan ini ditranskrip dan diedit kembali dari khotbah Pdt. Dr. Stephen Tong di Mimbar Gereja Reformed Injil Indonesia di Jakarta. Kitab Roma 11:36 ini dikhotbahkan sebanyak 4 kali. Renungan ini merupakan khotbah keempat dari 4 seri itu.

"Sebab segala sesuatu adalah dari Dia, dan oleh Dia, dan kepada Dia: Bagi Dialah kemuliaan sampai selama-lamanya." (Roma 11:36)

´Glory to God´ menjadi satu istilah, satu pemikiran yang begitu unik di dalam kekristenan dan tidak ditemui pada agama-agama lain. Agama lain lebih merasa takut kepada Tuhan, karena ilah mereka memberikan unsur kontrol kepada kepribadian. Tetapi dalam kekristenan tidaklah demikian. Dalam Kitab Yesaya 43:7 dikatakan dengan jelas, "Semua orang yang disebutkan dengan nama-Ku yang Kuciptakan untuk kemuliaan-Ku." We are created in order to glorify God, we are created for His own glory. Sebab itu, di dalam diri manusia, kita melihat peta dan teladan Tuhan, yaitu pancaran kemuliaan Tuhan yang mewakili sang Pencipta.

Apakah arti kemuliaan Tuhan itu? Kemuliaan merupakan satu hal yang abstrak. Jika dilihat dari ´linguistic philosophy´, kemuliaan itu tidak bisa diuji dan diverifikasikan di dalam laboratorium, sehingga tidak perlu banyak dibicarakan. Tetapi justru pada waktu tua, Ludwig Wittgenstein sendiri menarik kembali sedikit pikiran yang ditulis olehnya.

Istilah kemuliaan memang abstrak, tidak konkret, dan tidak berwujud. Tetapi, kemuliaan merupakan satu hal yang mau tidak mau akan mempengaruhi hidup kita. Mengapa kita takut nama kita dicemarkan oleh orang lain? Mengapa kita takut difitnah orang? Mengapa kalau ada orang yang salah ketika memberi informasi tentang kita, kita marah? Mengapa kita selalu membela sesuatu yang seharusnya tidak dirugikan, tetapi sudah dirugikan? Mengapa kita selalu berdebat? Ini semua karena ada unsur abstrak, unsur yang melampaui kekonkretan jasmaniah yang memang berada di dalam kebudayaan. Kita membutuhkan nama baik, membutuhkan kredibilitas, dan membutuhkan kepercayaan dari orang lain. Semua itu karena apa? Unsur kemuliaan. Meskipun sama-sama manusia, tetapi ada yang begitu bercahaya karakternya, ada yang begitu gelap hidupnya, ada yang begitu menyenangkan orang lain, dan ada yang membuat orang lain begitu benci, ini semua karena ada unsur abstrak atau tidak konkret yang ikut berperan di dalam dunia ini. Di dalam dunia bisnis, modal yang paling besar bukan uang yang Anda pinjam dari bank. Tetapi, modal yang paling besar adalah kepercayaan dan perasaan tanggung jawab yang membuat masyarakat mempunyai kesan terhadap diri Anda. Dengan modal seperti ini, meskipun Anda jatuh, mengalami musibah kebakaran, atau bangkrut sekali pun, tidak akan menjadi persoalan. Karena modal Anda adalah kredibilitas. Modal kepercayaan orang lain terhadap diri Anda, lebih kuat daripada modal yang berupa rupiah atau dollar. Jadi, yang konkret tidak lebih penting dari yang abstrak dan yang abstrak jauh lebih berperan daripada yang konkret ini. Itu sebabnya, kemuliaan justru tidak disangkutpautkan dengan materi. Orang biasa beranggapan kalau mempunyai giwang dengan berlian yang beberapa karat besarnya, atau mempunyai mutiara yang begitu cemerlang, tentu akan menarik orang, karena itu adalah kekayaan yang besar. Tetapi tidaklah demikian, kemuliaan tidak terletak pada berlian, pada perhiasan, atau pada pakaian yang bagus, kemuliaan justru terletak di dalam unsur abstrak: karakter atau kepribadian seseorang. Itu sebabnya, kita akan memikirkan tentang kemuliaan.

Kalau kita mengerti tentang kemuliaan, juga secara rohani, barulah kita merenungkan, mengapa segala kemuliaan harus kembali kepada Tuhan Allah? Kemuliaan mempunyai substansi yang menjadi pangkalan bagi penghargaan. Kita menghormati atau menghargai seseorang, justru karena dibalik orang yang kita hormati itu terdapat suatu substansi rohaniah yang melampaui nilai jasmani. Dan substansi rohaniah itu adalah Tuhan sendiri. ´God Himself is the substance and the original reality of the glory´. Apakah arti kemuliaan? Kemulian berasal dari Tuhan dan Tuhan sendiri adalah penghargaan yang tertinggi, nilai yang tertinggi, diri- Nya merupakan sumber segala penghargaan dan kehormatan. Sebab itu, tatkala manusia diciptakan menurut peta dan teladan Allah. Alkitab menulis, "Allah memahkotai manusia dengan kemuliaan dan kehormatan." Manusia adalah manusia, manusia menjadi manusia, dan manusia berharkat manusia karena manusia mempunyai kehormatan dan kemuliaan sebagai mahkota. Mahkota ini berasal dari Tuhan. Itu sebabnya, Tuhan adalah sumber kehormatan, sumber penghargaan, dan sumber kemuliaan. Yesus Kristus berkata, "Kemuliaan yang Kuterima, bukan dari manusia, melainkan dari Allah saja."

Pada waktu Yesus Kristus harus mati di atas kayu salib, pada detik- detik terakhir yang tercatat dalam Injil Yohanes pasal 13 sampai dengan 15, Dia berbicara banyak tentang ajaran-ajaran yang penting kepada murid-murid-Nya. Sedangkan dalam Injil Yohanes pasal 17 merupakan satu-satunya pasal yang mencatat bahwa Anak Allah yang suci itu berbicara kepada Allah Bapa yang suci. Semua isi doa itu diwahyukan kepada manusia. Sebenarnya, apa yang dibicarakan antara Allah Anak, Allah Bapa, dan Allah Roh Kudus selalu tidak kita ketahui. Tetapi, Injil Yohanes pasal 17 merupakan satu-satunya pasal, di mana seluruh pasal, kecuali kalimat pertama, berisi doa sang Anak kepada Bapa dalam bentuk literatur manusia, tetapi isinya adalah komunikasi antara Anak dan Bapa. Dalam pasal itu, kita melihat doa yang luar biasa. Yesus Kristus mengatakan, "Muliakanlah Aku, sebagaimana Aku di dunia sudah memuliakan Engkau. Istilah mulia di sini menjadi satu ´mutual communication´. Tuhan Yesus meminta supaya Bapa memuliakan Dia, apakah sebabnya? Sebab Dia sudah memuliakan Bapa. Maka, di sini kita dapat melihat, kemuliaan bersubstansi realita pada diri Bapa. Bapa menciptakan manusia dan mengutus Yesus ke dalam dunia ciptaan- Nya, justru untuk menyatakan kemuliaan Bapa itu sendiri. Sebab itu, sesuai dengan Kitab Yesaya 43:7, eksistensi hidup kita justru untuk memuliakan Tuhan Allah. Tetapi, hal ini sering tidak kita sadari atau insyafi.

Dalam Injil Yohanes 12:28, Yesus Kristus berkata, "Bapa, muliakanlah nama-Mu". Maka terdengarlah suara dari surga, "Aku telah memuliakan- Nya, dan Aku akan memuliakan-Nya lagi." Suara ini didengar oleh begitu banyak orang pada waktu itu. Tuhan Allah, sumber kemuliaan menginginkan manusia untuk memuliakan Dia. Barangsiapa memuliakan Tuhan, Tuhan rela memuliakan Dia pula.

Kemuliaan bersubstansi Tuhan Allah dan kemuliaan itu diwujudkan atau dinyatakan, sehingga kemuliaan menjadi suatu dasar kebudayaan, kredibilitas kepribadian, dan keagungan dari pada sejarah dan pemancaran moral. Kemuliaan itu diwujudkan melalui beberapa tahap:

  1. Allah menyatakan kemuliaan-Nya melalui inkarnasi.

    Selain penciptaan, di mana Tuhan menciptakan segala sesuatu untuk menyatakan kemuliaan-Nya, pernyataan kemuliaan yang paling konkret di dalam sejarah adalah melalui inkarnasi. Dari Injil Yohanes 1:14,18, kita melihat: pertama, substansi kemuliaan adalah Allah sendiri. Pernyataan kemuliaan, pertama-tama dapat kita lihat di dalam inkarnasi, yaitu Kristus menjadi manusia. Allah datang ke dalam dunia manusia, Roh menjadi daging, yang tidak kelihatan sekarang menjadi kelihatan, dari dunia mutlak masuk ke dalam dunia relatif, ´from the invisible world, He come into visible realm, to become man´. Dia menjadi manusia. Di sini dikatakan, kita sudah melihat kemuliaan Allah di dalam diri Kristus, Anak Allah yang tunggal yang dikaruniakan kepada manusia. Dalam ayat 18 dikatakan, "Tidak ada orang yang pernah melihat Allah, hanya Kristus, Anak tunggal Allah, yang berada di dalam pangkuan Allah itu, menyatakan Tuhan Allah kepada kita." Baca lagi, Kitab Ibrani 1:1-3. Ayat yang paling jelas, menjelaskan siapakah Kristus di dalam alam semesta; ´the cosmic Christ, not only the historical Christ, not only the Christ in the church´. Kita melihat Kristus, jauh lebih besar daripada apa yang kita tahu.

    Di University of Iowa, saya memberi judul khotbah saya, ´How big is Christ?´ Pada waktu mereka mendengar judul itu, mereka kaget, mengapa judul khotbah ini "Berapa Besarnya Kristus?" Saya berkata kepada mereka, berapa besar menurut pengertian Anda, akan mempengaruhi iman dan nilai hidup dalam seumur hidup Anda. Seluruh hidup Anda akan ditetapkan penilaiannya dengan pengertianmu tentang berapa besar Kristus, ´Christ is always bigger than you can imagine´, Kristus selalu lebih besar daripada apa yang bisa kita bayangkan. Kalau kita mengira Kristus sedemikian besar, Dia lebih besar daripada itu. Di sini kita melihat, ´the biggest posibility of understanding Christ´. Siapakah Kristus?

    1. Kristus ditetapkan berhak mewarisi sesuatu.
    2. Kristus ditetapkan menjadi pencipta segala sesuatu.
    3. Kristus ditetapkan menjadi penopang segala sesuatu.

    Segala sesuatu bersandar kepada Kristus, segala sesuatu diciptakan oleh Dia, dan segala sesuatu pada akhirnya akan kembali kepada-Nya. Kitab Ibrani 1:1-3 ini adalah ayat yang supplementary bila dibandingkan dengan Roma 11:36. "Nya" di sini adalah Tuhan Allah, yang di dalam Kristus. Maka, saya memberikan judul pada ayat-ayat ini: ´Christ in the Cosmic Christ´; Kristus adalah Kristus kosmos, Kristus alam semesta, Pencipta alam semesta, Penopang alam semesta, dan Pewaris alam semesta. Segala sesuatu adalah dari Dia, segala sesuatu bersandar kepada Dia, dan segala sesuatu kembali kepada Dia. Puji Tuhan!

    Di sini kita dapat melihat bahwa Dia adalah cahaya dari kemuliaan Allah dan gambar wujud Allah, yaitu ´the visible glory and the visible light of the invisible God´; Allah berada di dalam cahaya yang tidak kelihatan, tetapi Kristus adalah cahaya Allah yang dapat kita lihat. Umpama saya bertanya kepada Saudara, pernahkah Saudara melihat matahari? Saudara akan menjawab, setiap hari saya melihat matahari, bahkan sejak kecil saya sudah melihatnya. Saya bertanya lagi, sanggupkah Saudara menatap matahari? Saudara mulai merasa ragu, apa maksud pertanyaan ini? mengapa Anda menanyakan hal ini? Saya berkata, Saudara belum pernah melihat matahari secara langsung. Dari ketiga pertanyaan tadi, pernahkah melihat matahari? Betulkah Saudara sudah melihatnya? Saudara belum pernah melihat langsung, tapi Saudara pasti tahu, ada suatu rahasia dibalik pertanyaan itu. Sebenarnya, kita tidak pernah melihat matahari, kita hanya melihat cahaya matahari. Yang kita lihat bukan mataharinya, tapi cahayanya. Kita belum pernah melihat matahari, kita hanya melihat satu substansi yang bercahaya begitu jelas, waktu kita melihat, kita tahu itu matahari, padahal yang kita lihat bukan elemen dari matahari sendiri, namun hanyalah cahaya yang mengeluarkan sinar, yang bersumber dan beradiasi dari matahari. Itu sebabnya, ´no one can see God´, tak seorang pun yang bisa melihat Allah, yang kita lihat adalah cahaya Allah itu sendiri. Ayat tadi mengatakan, "Dia adalah cahaya kemuliaan Allah, dan gambar wujud Allah", itu sebabnya kita masuk ke bagian lebih yang dalam.

    Pada waktu inkarnasi itu sudah terjadi, maka keberadaan Yesus, itu adalah wujud yang konkret, wakil yang mewakili kemuliaan Allah. Sebab itu, Yesus Kristus berani mengatakan satu kalimat, yang belum pernah, tidak mungkin, tidak akan pernah mungkin, tidak ada yang berani atau boleh diucapkan oleh siapa pun di dalam sejarah. "Kamu melihat Aku, bukan melihat Aku, melainkan melihat Dia, yang mengutus Aku." Adakah orang lain yang pernah mengatakan, "Kamu melihat aku, bukan melihat aku, melainkan melihat presiden Soeharto?" Tidak ada orang yang berani mengatakan hal itu, karena orang yang mengatakan hal itu bukan presiden Soeharto. Tetapi, Yesus berani mengatakan kalimat itu. Ini merupakan satu lompatan yang luar biasa. Dari fenomena agama umum, orang Yahudi tak mungkin pernah mengerti kalimat itu. Karena mereka tahu, Allah tidak bisa dilihat. Saat manusia melihat Allah dengan mata jasmani, saat itu pula manusia mati. Inilah pengertian orang Yahudi. Itu sebabnya, waktu Yesus mengatakan kalimat itu, mereka mengatakan Dia kurang ajar dan menghujat Allah. Padahal, Yesus Kristus tidak menghujat Allah. Tetapi Dia mengatakan satu fakta, karena Dia adalah satu- satunya cahaya kemuliaan Allah, satu-satunya wujud Dia, Dia adalah satu-satunya cahaya kemuliaan Allah, satu- satunya wujud substansi Allah, dan satu-satunya yang bisa menyatakan Allah yang tidak tampak. Kristus adalah wakil Allah di dalam dunia.

    Yesus Kristus berkata lagi, "Kamu percaya kepada-Ku, bukan percaya kepada-Ku, melainkan percaya kepada Dia yang mengutus Aku." Aku mewakili Allah. Inilah cahaya kemuliaan. Goethe, seorang Jerman, waktu dia muda, dia patah hati dan ingin bunuh diri, tetapi tidak jadi. Dia menuliskan niatnya ketika hendak bunuh diri ke dalam satu buku. Buku itu dicetak dan dalam 6 bulan, lebih dari 200 orang yang membaca buku itu bunuh diri. Lalu selama puluhan tahun, dia menyusun sebuah buku yang berjudul "Force" untuk menyatakan seluruh filsafat hidupnya dan akhirnya harus diakui, ´no one can surpass Jesus´, biar kebudayaan manusia terus maju, tidak akan mungkin melampaui orang Nazaret itu, tidak mungkin melampaui moral dan kemuliaan Yesus yang dicatat di dalam keempat Injil.

    Waktu saya membaca kalimat itu, saya sangat tergerak. Goethe, orang yang besar, yang hidup sezaman dengan Beethoven, Mendelssohn. Beethoven mati terlebih dulu dan dia masih hidup. Dia memanggil Mendelssohn ke rumahnya untuk memainkan piano, musik yang terbesar, yang pernah diciptakan di dalam sejarah. Mendelssohn yang muda menabuh dari Bach sampai pada Mozart, Haydn, Bethoven I, II, III, dan IV. Sampai Mendelssohn memainkan Beethoven symphoni V, baru selesai movement pertama, Goethe mengatakan, "Sudah Mendelssohn, stop jangan mainkan lagi." Mengapa? Karena waktu kau memainkan Beethoven V, sejahtera yang saya pupuk dan saya latih melalui meditasi dan lain-lain sejak saya muda, langsung hilang semuanya. Kamu telah mengacaukan sejahteraku. Apa artinya? Sejahtera manusia tidak bisa bertahan, hanya sejahtera yang dari Tuhan yang dapat bertahan. Waktu dia sudah tua, dia mengira sudah melatih sifat manusianya dan sudah sukses. Justru saat itulah, dia sama sekali gagal. Pada waktu Kristus akan dibunuh di atas kayu salib, Dia mengatakan, "Aku memberikan sejahtera-Ku kepadamu, dan sejahtera yang Kuberikan kepadamu, tidak mungkin diberikan oleh orang lain." Yesus mati dengan sejahtera, Yesus bangkit dengan sejahtera, setelah bangkit Dia mengatakan, "peace on you". Goethe mengetahui, ´no one can surpass Jesus´, tidak ada orang seperti Yesus, maka dia menuliskan, "Biar pun kebudayaan kebudayaan manusia terus maju, tak mungkin melampaui kemuliaan yang pernah dipancarkan Kristus."

    Kemuliaan yang bagaimana yang dipancarkan Yesus? Tema ini membutuhkan penguraian yang lebih panjang lagi. Tetapi secara singkat, saya berkata kepada Saudara, "Kemuliaan dipancarkan melalui hidup-Nya, melalui sengsara-Nya." Pada waktu Dia diumpat, difitnah, Dia sangat tenang. Kemuliaan Yesus, kemuliaan Ilahi mutlak dan tidak terbatas. Perhatikan teladan Yesus yang menyatakan kemuliaan Allah, pernah dinyatakan sampai puncaknya secara konkret di Alkitab. Injil Matius 17:2 mengatakan, "Wajah-Nya seperti matahari, pakaian-Nya seperti terang yang besar." Di dalam Alkitab, hal seperti ini pernah terjadi 3 kali: Pertama kali, waktu Yesus masih hidup di dunia. Kedua, waktu Dia memanggil Paulus. Lalu ketiga, waktu Dia menyatakan diri kepada Yohanes, rasul termuda di pulau Patmos. Ketiga-tiganya memberikan satu kesan bahwa Dia lebih bercahaya dibanding dengan matahari, sehingga pada waktu siang hari, waktu paling terang, Paulus justru melihat cahaya yang lebih terang daripada matahari. Bukan saja demikian, Yohanes melihat, Dia mempunyai mata seperti api yang menyala-nyala. Yesus Kristus adalah kemuliaan yang diwujudkan di dalam dunia. Pada waktu Petrus tua, dia melukiskan istilah kemuliaan hanya satu kali saja, istilah yang luar biasa berbeda dengan semua istilah yang ada di dalam Kitab Suci. 2Petrus 1:16, dalam terjemahan bahasa Indonesia "kebesaran- Nya", tetapi dalam bahasa Inggris "His majesty", dalam bahasa Mandarin, kemuliaan yang sangat serius dan berwibawa. Kata ´majesty´ dipakai untuk melukiskan keagungan seorang raja. Pada waktu Petrus menulis ayat ini, dia membandingkannya dengan berita isapan jempol. Ia berkata, "Karena kami pernah melihat dengan mata sendiri, satu ´majesty´ atau kemuliaan yang dahsyat dari Tuhan sendiri." Mengapa Petrus yang menuliskan hal ini? Karena Petrus, Yakobus, dan Yohanes tiga orang yang pernah melihat Yesus Kristus menyatakan kemuliaan Allah, melalui perubahan wajah; transfiguration; ´change His figure´. Bukan saja demikian, kita juga dapat membaca dari Wahyu 1:16-17, Kristus menyatakan diri dengan begitu mulia.

  2. Apa yang disebut dengan kemuliaan Allah?

    Pertama, kemuliaan Allah di dalam diri Kristus melalui inkarnasi. Kedua, kemuliaan Allah di dalam anugerah penebusan. Ini merupakan kemuliaan yang paling puncak, yang boleh kita terima di dalam pengalaman kita masing-masing. Kita bukan hanya mengenal Dia, tetapi kita mengalami. Kita bukan hanya mengetahui Dia, tetapi kita memiliki Dia melalui anugerah kemuliaan. Baca Efesus 1:6. "Kasih karunia yang mulia atau anugerah kemuliaan Tuhan. Apakah ini? Ini adalah kemuliaan yang bersifat paradoks. Anugerah kemuliaan di dalam penebusan itu bersifat paradoks artinya, justru semua kemuliaan itu tersimpan. Hal ini, dalam theologia Martin Luther disebut sebagai ´the hiddeness of God´: suatu ketersembunyian dari Tuhan Allah. Martin Luther menggambarkan dua macam hal yang kita kenal tentang Kristus, ´the glory of Christ and the cross of Christ´. Kita harus mengerti mengenai Kristus yang tersalib dan Kristus yang mulia. Banyak orang hanya mau Kristus yang mulia, tetapi tidak mau Kristus yang tersalib. Martin Luther mengatakan, "Dua-duanya penting. Sebagaimana kita menyaksikan bulan, yang menghadapkan kita pada satu aspek, sedangkan aspek yang lain tidak pernah bisa kita lihat, kecuali kita melintasinya dengan roket yang melebihi tempat itu, barulah kita bisa melihat belakangnya." Demikian juga Allah menyatakan kepada kita, aspek-aspek yang rela Dia wahyukan, tetapi aspek yang tidak dinyatakan, kita tidak tahu itu. Itu disebut sebagai ´the hiddenness of God´.

    Perhatikan, kemuliaan Allah yang kita lihat adalah Kristus yang menjadi contoh teladan moral dan hidup yang mewakili Allah di dalam dunia ini dan yang dahsyat kemuliaan-Nya, yang pernah Dia nyatakan kepada tiga orang murid-Nya dan Paulus. Tetapi kita mau melihat sifat paradoks dari aspek yang lain, yaitu kemuliaan yang terembunyi. Ketika raja menutup pakaian kerajaannya dengan pakaian pengemis, jangan Anda kira bahwa dia adalah seorang pengemis. Biar pun secara lahiriah, dia seorang yang miskin, tetapi dia adalah tetap seorang raja yang berhak duduk di atas tahta. Demikian juga pada waktu kita melihat kemuliaan yang tersembunyi, itu berarti kemuliaan paradoks. Pada waktu Yesus dipaku di atas kayu salib, di manakah kemuliaan Allah? Tidak ada. Pada waktu itu, seluruhnya sudah menjadi tertutup, kebijaksanaan dan kuasa-Nya tidak kelihatan dan segala kemungkinan kemuliaan sudah tertudung, sehingga orang melihat salib, tempat yang bukan menyatakan kemuliaan, melainkan tempat yang memalukan. Orang yang dipaku di atas kayu salib, pakaiannya dilepas, mungkin hanya sisa satu helai kain untuk menutupi kemaluannya, seluruh tubuh ditelanjangi dan dipamerkan di atas kayu salib. Itu adalah tempat yang sangat memalukan, tetapi Allah justru menyatakan bahwa inilah anugerah kemuliaan (bandingkan 1Korintus 1:25). Pada waktu kita tidak melihat kemuliaan Allah, tidak melihat pertolongan Allah, pada saat kita melihat hal demikian di bukit Golgota, justru Tuhan mengatakan, "Open your inner eyes, look penetrate into all the bondage, and you should understand more than just superficial fenomena. Then look at the inner side: the glory of God." Kemuliaan penebusan adalah kemuliaan yang ditudung anugerah yang tersembunyi, yaitu kemuliaan yang menjadi ujian bagi iman seluruh umat manusia. Puji Tuhan!

    Maafkan saya sekali lagi untuk mengatakan kalimat yang saya ucapkan dua tahun yang lalu, bahwa di dalam seluruh Kitab Suci, saya percaya orang yang imannya paling besar, bukan Paulus atau Petrus, melainkan perampok yang diselamatkan di atas kayu salib. Saya tercengang, apakah yang menyebabkan dia mempercayai Kristus? Kalau Petrus, Paulus, atau orang lain percaya Yesus adalah Kristus karena mereka melihat sesuatu yang agung, bukan ´the hidden side´, tapi ´the expose side´, bukan pada anugerah yang paradoks, tapi pada anugerah yang dipancarkan, yang kelihatan. Namun, perampok itu sama sekali tidak melihat apa-apa dalam diri Yesus Kristus, dia hanya melihat Yesus yang mengalirkan darah, menerima ketidakadilan, disiksa, menderita, tidak bisa membalas, tidak bisa berbuat apa- apa, dicemooh, dipaku, dihina, dan dibuang. Tetapi dia mempunyai iman, yang melampaui fenomena, yang menembus paradoks, langsung menanamkan imannya di dalam esensi yang melebihi lahiriah. Kalau Anda bertanya kepada perampok itu, mengapa Anda percaya kepada Yesus Kristus? Dia akan menjawab, saya tidak melihat kedahsyatan kemuliaan yang dinyatakan, justru saya melihat ke dalam sumsum, yang berada di balik penderitaan yang besar itu.

  3. Dengan apa kita memuliakan Allah?

    Sekarang, kita masuki bagian terakhir, saya akan membahas dengan ringkas, dengan apa kita memuliakan Allah?

    1. Dengan hidup yang ada, hidup yang diciptakan.
    2. Dengan pengalaman penebusan, kita memuliakan Allah.
    3. Dengan perbuatan dan kesempatan untuk bersaksi (Matius 5:13-16).
    4. Di dalam kesengsaraan dan dengan mulut kita.

    Kita perlu menderita bagi Tuhan supaya bisa mendapat kemuliaan. Sebab itu, waktu kita menderita bagi Tuhan, biarlah kita memakai mulut kita untuk memuliakan Allah. Pada waktu penganiayaan, kita tetap harus memuliakan Allah. Puji Tuhan! Ia ada dalam seumur hidup kita, kita harus memuliakan Allah.

    Siapakah orang yang memuliakan Allah? Mungkin Saudara berkata, orang-orang yang pandai menyanyi atau yang sering berkhotbah. Jika hanya orang yang berkhotbah dan yang menyanyi, yang memuliakan Allah, maka hanya segelintir orang Kristen di mimbar saja yang bisa memuliakan Allah. Setiap orang Kristen dapat memuliakan Allah dengan kesaksiannya. Masyarakat mengetahui bahwa kita adalah orang Kristen, kita tidak bisa omong kosong saja, kita harus melakukan semuanya dengan baik untuk memuliakan nama Tuhan.

    Ayat ini mudah kita baca, namun masyarakat akan mempermalukan Allah Saudara karena hidup Saudara yang sembrono. Saudara harus memuliakan Allah di dalam usaha Saudara, di dalam keluarga Saudara, dan di dalam pergaulan Saudara (el).

Sumber: 

Sumber diambil dari:

Judul Buku : Momentum 28 Desember 1995 -- Buletin
Judul Artikel : Kemulian bagi Allah
Penulis : Pdt. Dr. Stephen Tong
Penerjemah : -
Penerbit : Lembaga Reformed Injili Indonesia, 1995
Halaman : 3 - 11

Spiritualitas Injili: Suatu Tinjauan Ulang

Dear e-Reformed Netters,

Salam sejahtera,

Semoga Anda semua baik-baik saja dan menikmati anugerah sukacita dari Tuhan.

Beberapa waktu yang lalu saya sempat merenungkan tentang apa artinya spiritualitas. Hal ini bermula dari rasa penasaran karena pada kenyataannya tidak hanya para teolog atau orang beragama saja yang membicarakan tentang spiritualitas, tapi juga para intelektual (contohnya pencetus ide SQ -- Spiritual Intelligence). Sayangnya, rasa penasaran saya itu cepat sekali lenyap ketika mengetahui bahwa ternyata yang dimaksud dengan 'spiritual intelligence' tidak harus dihubungkan dengan hal-hal agamawi atau rohani, atau bahkan Tuhan. Menurut mereka, orang yang memiliki kecerdasan spiritualitas yang tinggi belum tentu memiliki agama atau tahu menahu tentang hal-hal rohani, apalagi mempercayai adanya Tuhan. Nah makanya jangan mudah terkecoh dengan istilah yang keren.

Namun, rasa penasaran saya kembali tertantang ketika melihat lunturnya semangat kaum Injili dalam menanggapi isu-isu tentang spiritualitas Kristen yang muncul akhir-akhir ini. Bahkan tidak lagi terdengar suara-suara orang Injili yang dapat menjadi tonggak dimana orang-orang Kristen bisa menambatkan perhatiannya sehingga terus menghargai keunikan spiritualitas Injili .... Saya tiba-tiba tersentak, ketika menyadari bahwa, mungkin, kalau kita tidak hati-hati, mungkin saja kita bisa kehilangan satu generasi orang Kristen yang tidak lagi menghargai, atau bahkan lebih parah lagi, mengenal apa itu semangat Injili, spiritualitas Injili ...?!

Ketika saya bertanya pada diri sendiri 'Apa yang bisa saya lakukan untuk generasi saya? Maka salah satu jawaban yang muncul adalah saya ingin terus menyuarakan kembali suara-suara kaum Injili. Inilah tujuan saya memilih artikel Stanley J. Grenz berikut ini. Saya harap melalui tulisan ini kita semua diingatkan lagi tentang "warisan" keyakinan yang sangat berharga, yang dibangun oleh para leluhur rohani kita sebelumnya, yang telah menggumuli poin-poin penting spiritualitas Injili yang penting untuk dilestarikan. Tulisan Stanley J. Grenz di bawah ini sekaligus dapat menjadi contoh bagaimana kita meneruskan semangat kaum Injili, misalnya dengan cara meninjau ulang agar menjadi semakin tajam dan aplikatif bagi generasi kita sekarang dan menjadi inspirasi bagi generasi anak-anak kita yang akan datang.

Mari kita suarakan kembali semangat Kaum Injili!

In Christ,

Editorial: 

Dear e-Reformed Netters,

Salam sejahtera,

Semoga Anda semua baik-baik saja dan menikmati anugerah sukacita dari Tuhan.

Beberapa waktu yang lalu saya sempat merenungkan tentang apa artinya spiritualitas. Hal ini bermula dari rasa penasaran karena pada kenyataannya tidak hanya para teolog atau orang beragama saja yang membicarakan tentang spiritualitas, tapi juga para intelektual (contohnya pencetus ide SQ -- Spiritual Intelligence). Sayangnya, rasa penasaran saya itu cepat sekali lenyap ketika mengetahui bahwa ternyata yang dimaksud dengan 'spiritual intelligence' tidak harus dihubungkan dengan hal-hal agamawi atau rohani, atau bahkan Tuhan. Menurut mereka, orang yang memiliki kecerdasan spiritualitas yang tinggi belum tentu memiliki agama atau tahu menahu tentang hal-hal rohani, apalagi mempercayai adanya Tuhan. Nah makanya jangan mudah terkecoh dengan istilah yang keren.

Namun, rasa penasaran saya kembali tertantang ketika melihat lunturnya semangat kaum Injili dalam menanggapi isu-isu tentang spiritualitas Kristen yang muncul akhir-akhir ini. Bahkan tidak lagi terdengar suara-suara orang Injili yang dapat menjadi tonggak dimana orang-orang Kristen bisa menambatkan perhatiannya sehingga terus menghargai keunikan spiritualitas Injili .... Saya tiba-tiba tersentak, ketika menyadari bahwa, mungkin, kalau kita tidak hati-hati, mungkin saja kita bisa kehilangan satu generasi orang Kristen yang tidak lagi menghargai, atau bahkan lebih parah lagi, mengenal apa itu semangat Injili, spiritualitas Injili ...?!

Ketika saya bertanya pada diri sendiri 'Apa yang bisa saya lakukan untuk generasi saya? Maka salah satu jawaban yang muncul adalah saya ingin terus menyuarakan kembali suara-suara kaum Injili. Inilah tujuan saya memilih artikel Stanley J. Grenz berikut ini. Saya harap melalui tulisan ini kita semua diingatkan lagi tentang "warisan" keyakinan yang sangat berharga, yang dibangun oleh para leluhur rohani kita sebelumnya, yang telah menggumuli poin-poin penting spiritualitas Injili yang penting untuk dilestarikan. Tulisan Stanley J. Grenz di bawah ini sekaligus dapat menjadi contoh bagaimana kita meneruskan semangat kaum Injili, misalnya dengan cara meninjau ulang agar menjadi semakin tajam dan aplikatif bagi generasi kita sekarang dan menjadi inspirasi bagi generasi anak-anak kita yang akan datang.

Mari kita suarakan kembali semangat Kaum Injili!

In Christ,
Yulia Oen

Penulis: 
Stanley J. Grenz
Edisi: 
051/VI/2004
Isi: 

Disadur dari buku Stanley J. Grenz Revisioning Evangelical Theology: A Fresh Agenda for the 21th Century Downers Grove, Illinois: IVP, 1993. Hal. 31-59

Lane Dennis mengatakan bahwa ciri khas Kaum Injili adalah penekanannya pada keselamatan yang dialami secara pribadi -- komitmen kepada Yesus Kristus sebagai Juruselamat saya (pribadi). Kehebatan gerakan ini adalah mempersatukan pengalaman religius dengan bahasa teologis yang sama. Pengertian tentang natur Injili ini menunjukkan perubahan mendasar dari kesadaran Kaum Injili. Perubahan identitas yang berdasar pada pengakuan iman menuju kepada identitas yang berdasarkan spiritualitas.

William W. Wells menyatakan tiga karakteristik unik Gerakan Injili ini: orang Kristen Injili mempercayai otoritas Alkitab; menekankan pengampunan Allah dan hubungan pribadi yang indah dengan Allah melalui Kristus; dan menekankan perjuangan untuk hidup suci melalui disiplin rohani. Meskipun Gerakan Neo-Injili tetap berpegang kepada otoritas Alkitab, penekanan sekarang lebih kepada aspek spiritualitas, yang sebelumnya sering terselubungi oleh dimensi intelektual atau doktrinal.

Penekanan kepada dimensi spiritualitas sebenarnya sejalan dengan sejarah Gerakan Injili itu sendiri. Sebelum abad kedua puluh, Puritanisme dan Pietisme memberikan pengaruh yang signifikan terhadap Gerakan Injili ini. Puritanisme membangkitkan suatu bentuk kesalehan hidup sebagai respon terhadap Doktrin Pilihan dari Calvinisme. Calvinisme meletakkan keselamatan manusia dalam konteks pilihan Allah yang bersifat misteri. Meskipun teologi ini memelihara kedaulatan Allah, manusia menjadi tidak mempunyai kepastian bahwa dia memiliki status sebagai orang pilihan atau tidak. Karena itu, tidak ada pengakuan iman yang sungguh, tidak ada kesetiaan mengikuti sakramen, maupun serangkaian hidup yang suci, yang dapat menjamin bahwa seseorang merupakan umat pilihan Allah. Di tengah-tengah ketidakpastian inilah kaum Puritan menemukan satu tanda umat pilihan: pengalaman rohani secara pribadi terhadap anugerah keselamatan Allah. Dengan demikian, kepastian status pilihan menjadi bergantung kepada kemampuan seseorang menceritakan pengalaman pertobatannya. Lebih lagi, penekanan kembali kepada hal-hal yang bersifat spiritual ini merupakan pengaruh dari gerakan Pietis, khususnya keinginan mereka untuk mereformasi hidup dan bukan mereformasi doktrin.

Karena itu, seperti John Wesley katakan, titik temu antara Pietisme dan Gerakan Injili adalah pada: panggilan hidup baru, buah-buah rohani, dan suatu hidup yang berbeda dengan kemalasan gereja dan anggota-anggotanya yang sangat duniawi. Kaum Injili bersifat pietist dalam hal fokusnya pada dinamika kehadiran Kristus dalam hidup orang percaya. Hal ini menandai pergeseran dari gerakan sebelumnya yang menekankan pada aktivitas (doing), kepada hal-hal yang bersifat kontemplasi (being). Pembahasan lebih lanjut akan difokuskan kepada keunikkan spiritualitas Kaum Injili.

Menuju Pengertian Spiritualitas Injili

Salah satu definisi ´spiritualitas´ yang cukup baik diberikan oleh Robert Webber:

"Secara luas, spiritualitas dapat didefinisikan sebagai hidup yang sesuai dengan hidup Kristus. Hidup yang menyadari bahwa karya salib Kristus membuat kita menjadi warga negara sorga, dan sorgalah yang menjadi tujuan hidup kita di dunia. Perjalanan hidup ini dikerjakan dalam konteks kita sebagai anggota tubuh Kristus. Melalui ibadah kepada Allah, spiritualitas kita terus menerus dibentuk. Dan misi kita di dunia adalah untuk memberitakan visi Kristen melalui perkataan dan tindakan kita."

Karena itu dapat dikatakan bahwa spiritualitas adalah suatu perjuangan mengejar kesucian di bawah pimpinan Roh Kudus bersama-sama dengan seluruh orang percaya. Mengejar hidup yang dihidupi untuk memuliakan Allah, dalam persatuan dengan Kristus dan hasil dari ketaatan kepada Roh Kudus.

Sesuai dengan ajaran Paulus dalam 1Korintus 2:14-3:3, Kaum Injili sangat menekankan akan ´pola pikir rohani´ yang dikontraskan dengan manusia duniawi. Dengan menggabungkan salib dan Pentakosta -- yaitu bergantung pada kemenangan Kristus dan kehadiran Roh Kudus -- Kaum Injili menjalani hidup yang disebut oleh Watchman Nee sebagai ´the Normal Christian life´, yaitu hidup yang semakin serupa dengan Kristus yang ditandai dengan ketaatan total kepada kehendak Allah. Dengan demikian Kaum Injili selalu menekankan hidup yang berkemenangan melalui peperangan melawan kuasa setan, manusia lama, dan dunia. Dan dengan kuasa Roh Kudus mengalahkan musuh-musuh rohani orang percaya.

Kita dapat melihat bahwa inti dari spiritualitas Injili adalah suatu usaha untuk menyeimbangkan dua prinsip yang kelihatan bertentangan, yaitu: bagian dalam dari manusia (inward) dengan bagian luar (outward), dan dimensi kesucian personal dengan komunal.

Keseimbangan Antara Inward dan Outward

Spiritualitas Kaum Injili mencoba menyeimbangkan kesucian hati dan aktivitas pelayanan. Hati orang percaya harus dipenuhi dengan kasih kepada Yesus Kristus. Komitmen ini lebih dari sekedar pengetahuan tentang karya Kristus dalam sejarah atau menerima doktrin tentang Kristus. Tetapi adanya suatu hubungan pribadi yang dekat dengan Yesus yang bangkit dan hidup. Karena itu, bagian dalam dari manusia (inward) merupakan fondasi dari spiritualitas. Akibatnya, Kaum Injili lebih tertarik kepada respon pribadi seseorang kepada Yesus daripada kemampuan mereka untuk memformulasikan atau menghafalkan pernyataan doktrinal tentang Yesus.

Kaum Injili juga lebih mementingkan motivasi hati dalam mengikuti ibadah dan perjamuan kudus daripada sekedar memenuhi kewajiban itu secara eksternal. Ibadah eksternal tanpa kesadaran internal hanya merupakan ritual yang mati. Karena itu, Kaum Injili tidak datang ke gereja demi memenuhi tuntutan ibadah secara eksternal, tetapi karena dorongan hati untuk memuliakan Allah dan bersekutu bersama umat percaya. Kita termotivasi dari dalam hati dan bukan dipaksa dari luar untuk menghadiri ibadah bersama. Sikap seperti ini dinyatakan dengan suatu pujian dari dari hati, "I´m so glad, I´m a part of the family of God."

Dalam kaitan dengan ini, spiritualitas Injili juga sangat menekankan pengalaman religius dalam hidup orang percaya. Penekanan ini berasal dari Gerakan Pietisme yang sangat menekankan teologi lahir baru yang bersumber pada Injil Yohanes: ´Iman harus menjadi nyata dalam pengalaman! Iman harus mentransformasi hidup!´ Pengalaman lahir baru merupakan bagian sentral dan titik awal perjalanan hidup orang percaya bersama Tuhan, yang tidak bisa digantikan oleh apapun. Tetapi kelahiran baru ini harus diikuti dengan perjalanan spiritual pribadi yang ditandai dengan pertumbuhan dalam kesucian. Di hadapan Kaum Injili, James Houston menggambarkan spiritualitas sebagai,

´The outworking ... of the grace of God in the soul of man, beginning with conversion to conclusion in death or Christ´s second advent. It is marked by growth and maturity in a Christlike life.´[1] (Karya anugerah Allah dalam jiwa manusia, yang dimulai dengan kelahiran baru dan diakhiri dengan kematian atau kedatangan Kristus ke dua kali. Hal ini ditandai dengan pertumbuhan dan kedewasaan dalam hidup seperti Kristus.)

Penekanan pada inward, sangat sentral dalam spiritualitas Injili dan akan membentuk ketegangan kreatif ketika digabungkan dengan bagian luar (outward) dari hidup Kristen. Spiritualitas memang bersumber pertama-tama dari dalam hati, tetapi hidup Kristen juga berarti pemuridan. Dan pemuridan bersifat outward. Faktanya, spiritualitas sejati harus dinyatakan dalam perbuatan yang kelihatan. Perubahan hati harus dinyatakan dalam hidup yang nyata. Tetapi perbuatan nyata ini bukan untuk mendapatkan anugerah Allah, melainkan sebagai wujud dari kerinduan kita untuk mengikuti jejak kaki Yesus. Natur dari kehidupan spiritualitas adalah meneladani Yesus (the imitation of Christ). Pemuridan berarti mengikuti model yang telah dinyatakan dalam hidup Yesus, karena orang Kristen sejati akan merefleksikan karakter Yesus dalam hidupnya.

Pengertian ini mempengaruhi Kaum Injili dalam memandang sakramen. Kita menolak pandangan ekstrem dari sakramentalisme maupun penghapusan sakramen. Di satu sisi, kita menolak memandang sakramen sebagai suatu alat magis untuk mendapatkan anugerah Allah (sakramentalisme), tetapi di lain sisi kita juga tidak membuang sakramen. Kita memandang sakramen (Baptisan dan Perjamuan Kudus) sebagai suatu ibadah yang sangat penting untuk mengekspresikan secara fisik apa yang sudah dikerjakan Allah di dalam hati. Sakramen merupakan tanda yang kasat mata dari anugerah Allah yang tidak kasat mata.

Penekanan Kaum Injili tentang pemuridan sebagai meneladani Kristus juga mempengaruhi pengertian kita tentang kehidupan gereja. Kita menekankan mengikut Kristus sebagai suatu ibadah setiap hari dan bukan hanya ibadah hari minggu. James Houston menekankan bahwa kekristenan bukanlah suatu acara khusus, tetapi merupakan gaya hidup (life style). Sikap seperti ini mengakibatkan motivasi utama untuk menghadiri ibadah bersama adalah untuk diajar, didorong, dan dikuatkan untuk memiliki gaya hidup yang berkenan kepada Allah. Poin yang terus-menerus ditekankan pada ibadah Minggu adalah: ´Jika engkau adalah orang percaya, hidup suci harus menjadi nyata bukan hanya pada hari Minggu tetapi dari Minggu sampai Sabtu. Apa yang Anda dengar pada hari Minggu harus diterjemahkan dalam perbuatan sepanjang minggu. Jika tidak demikian, imanmu hanya merupakan iman hari Minggu.´

Dapat disimpulkan bahwa spiritualitas Injili mencoba menyeimbangkan dimensi dalam dan dimensi luar dari hidup Kristen. Kita mencoba menyeimbangkan hati yang hangat oleh kasih kepada Allah dengan hidup yang mengikuti teladan Yesus. Kita memprioritaskan dimensi dalam sebagai sumber dari dimensi luar, tetapi kita menganggap dimensi dalam mati jika tidak menghasilkan ekspresi luar yang seharusnya dalam hidup pemuridan. Lagu yang sering kita nyanyikan mengekspresikan dengan baik kedua dimensi ini, ´Trust and obey, for there´s no other way, to be happy in Jesus, but to trust and obey.´

Keseimbangan Personal dan Komunal

Kekudusan hidup di antara Kaum Injili biasanya hanya dimengerti secara individu. ´Membaca Alkitab´ berarti membaca secara pribadi; ´berdoa´ berarti berdoa secara pribadi; ´keselamatan´ berarti diselamatkan secara pribadi; ´hidup dalam Kristus´ berarti memiliki hubungan pribadi dengan Kristus. Seperti dikatakan Daniel Stevick: "Perjalanan Kristen dijalani sendiri, keselamatan dari Allah ditujukan kepada pribadi. Pertolongan-Nya selalu dalam konteks pribadi. Perjalanan diisi dengan penyucian secara pribadi dan tujuannya adalah istana yang dibangun bagi pribadi."[2]

Dalam pengertian tertentu, karakteristik yang digambarkan ini memang cukup tepat. Namun, pendekatan Kaum Injili terhadap perjalanan iman orang percaya secara pribadi tidak pernah dilihat sebagai bagian yang terisolasi, melainkan selalu dilihat dalam konteks persekutuan orang percaya. Di sinilah terdapat keseimbangan antara kehidupan personal dan komunal dari hidup spiritualitas.

Jelas kita mengerti spiritualitas Kristen sebagai sesuatu yang bersifat individu atau personal. Kelahiran baru dan pertumbuhan iman harus pertama-tama dialami secara individu. Masing-masing orang percaya harus bertanggung jawab terhadap spiritualitasnya secara pribadi. Setiap individu bertanggung jawab untuk hidup suci dan meneladani Kristus.

Penekanan pada tanggung jawab pribadi ini sejalan dengan prinsip tradisional Prostestan tentang keimamatan orang percaya dan terutama penekanannya mengenai ´kompetensi individu´. Prinsip kompetensi individu menyatakan bahwa setiap pribadi bertanggung jawab secara pribadi kepada Allah dan dengan pertolongan Roh Kudus mampu berespons secara pribadi kepada Allah. Prinsip ini memberikan implikasi penting bagi spiritualitas. Hal ini berarti bahwa tidak ada seorang pun yang dapat diperdamaikan dengan Allah oleh orang lain ataupun oleh gereja. Tidak seorang pun dapat mengklaim dirinya sebagai orang Kristen berdasarkan iman orangtua, karena melakukan ritual tertentu, lahir dalam negara tertentu, atau bahkan karena beragama tertentu. Kaum Injili biasanya mengatakan: ´Allah hanya mempunyai anak-anak, tetapi tidak mempunyai cucu.´ Karena itu para penginjil selalu menekankan: ´Keputusan untuk menerima Kristus atau menolak-Nya ada padamu; tidak ada seorang pun yang dapat menjawabnya bagimu.´ Penekanan ini sangat jelas pada lagu yang begitu terkenal: ´Manis lembut, Tuhan Yesus memanggil. Memanggil saya dan kau ... pulang, pulang, kau yang berlelah pulang.´

Karena spiritualitas adalah persoalan pribadi, Kaum Injili sangat menekankan disiplin rohani sebagai sarana untuk pertumbuhan rohani. Disiplin dalam membaca Alkitab setiap hari dengan apa yang disebut sebagai ´saat teduh´; bersaksi secara pribadi; dan juga hal yang tidak kalah pentingnya adalah menghadiri kebaktian secara rutin.

Penekanan pada aspek personal ini juga mempengaruhi strategi dalam misi Kaum Injili. Dalam abad-abad permulaan kekristenan mulai tersebar di luar Kerajaan Romawi ke daerah-daerah yang masih belum tersentuh peradaban. Para misionaris biasanya memfokuskan pemberitaan Injil kepada para pemimpin suku atau raja, sehingga ketika pemimpin ini dibaptis, seluruh rakyatnya juga ikut dibaptis. Kaum Injili sangat kuatir bahwa strategi ini hanya menghasilkan kekristenan yang bersifat pura-pura, dangkal dan bahkan bisa bersifat sinkretistik. Meskipun tidak menolak peran penting yang dimiliki para pemimpin, Kaum Injili sangat menekankan Injil yang diberitakan kepada setiap individu. Karena kita mengerti bahwa spiritualitas adalah tugas dari setiap pribadi.

Meskipun sangat menekankan dimensi personal bagi spiritualitas orang Kristen, Kaum Injili juga menyeimbangkannya dengan dimensi komunal atau korporat. Tidak ada seorang pun dapat hidup dan bertumbuh dalam mengikuti Yesus dalam isolasi. Tetapi setiap kita harus bersekutu supaya dapat bertumbuh secara dewasa. Analogi yang sering digunakan adalah bara api. Bara api akan saling membakar ketika dikumpulkan bersama. Tetapi ketika satu bara api dikeluarkan dari kelompoknya, dia akan segera padam dan menjadi dingin. Begitu juga hidup Kristen: orang Kristen yang menarik diri dari komunitas orang percaya akan sulit untuk bertumbuh dan cepat menjadi dingin. Tetapi ketika bersekutu bersama, orang Kristen akan saling mendukung dan dengan demikian akan terus hidup dan berapi-api bagi Tuhan.

Jadi dalam pandangan Kaum Injili, meskipun setiap orang bertanggung jawab atas pertumbuhan imannya sendiri, setiap orang juga bergantung kepada kelompok orang percaya. Setiap orang percaya membutuhkan dorongan dan nasihat dari saudara-saudara seiman lainnya.

Pandangan ini memberikan pengertian yang penting mengenai gereja. Jemaat gereja lokal harus merupakan suatu komunitas yang saling menasihatkan, mendukung, dan mengajar satu dengan yang lainnya. Lebih jauh, setiap anggota dari persekutuan orang percaya harus terlibat dalam tugas-tugas yang dikerjakan bersama. Kita terpanggil bukan saja untuk beribadah bersama, tetapi juga untuk masuk menjadi bagian dari kehidupan keseharian anggota yang lain. Dengan demikian, setiap orang berpartisipasi dan berperan dalam kehidupan komunitas Kristen. Inilah esensi dari jemaat lokal dalam pandangan Injili.

Prinsip bahwa setiap orang percaya perlu bersekutu dengan yang lainnya menghasilkan suatu penekanan klasik Injili terhadap kehadiran dalam kebaktian. Kita harus hadir dalam kegiatan-kegiatan gerejawi secara bersama. Tetapi tujuan penekanan ini berbeda dengan gereja-gereja liturgikal. Kita tidak melihat kehadiran dalam kegiatan gereja sebagai sarana mendapat anugerah, tetapi dalam perkumpulan orang percaya inilah pengajaran dan kekuatan dinyatakan.

Pengertian di atas memberikan dampak terhadap apa yang dianggap paling penting dalam ibadah Minggu. Roma Katolik menekankan perjamuan kudus dalam ibadah, sedangkan gereja-gereja Injili memfokuskan ibadah Minggu pada pemberitaan Firman Tuhan. Di atas segalanya, kita datang untuk mendengar kotbah, yang kita pandang sebagai sarana utama manusia bertemu dengan Allah. Kita mendengarkan kotbah dengan kerinduan untuk mendengar ´Allah sedang berkata-kata kepada saya secara pribadi´. Sebagai akibatnya, kita mendapat peringatan, kekuatan, dan bahkan arahan hidup melalui kehadiran kita dalam ibadah bersama. Kita berkumpul untuk mendengar Firman (Word), supaya kita bisa tersebar sebagai umat Allah di tengah-tengah dunia (world).

Tetapi akhir-akhir ini Kaum Injili memiliki pengertian yang lebih dalam lagi mengenai kepentingan ibadah bersama sebagai elemen yang sentral di samping kotbah. Salah satu pemimpin dalam hal ini adalah Robert Webber yang mengatakan:

´Worship is the rehearsal of our relationship to God. It is at that point through the preaching of the Word and through the administration of the sacrament, that God makes himself uniquely present in the body of Christ. Because worship is not entertainment, there must be a restoration of the incarnational understanding of worship, that is, in worship the divine meets the human. God speaks to us in his Word. He comes to us in the sacrament. We respond in faith and go out to act on it!´[3] (Ibadah adalah gladi-bersih dari hubungan kita dengan Allah. Pada titik itulah melalui pemberitaan Firman dan pelaksanaan sakramen, Allah hadir secara khusus dalam tubuh Kristus. Karena ibadah bukan merupakan hiburan, harus ada pengertian baru dari ibadah yang bersifat inkarnasi, yaitu Allah bertemu dengan manusia dalam ibadah. Allah berbicara kepada kita melalui Firman. Dia datang kepada kita dalam sakramen. Kita berespon dengan iman dan keluar untuk hidup sesuai dengan itu!)

Seperti dikatakan Webber, penekanan pada ibadah bersama bukan berarti meniadakan sentralitas kotbah dalam ibadah Minggu. Tetapi hal ini lebih merupakan suatu usaha untuk kembali mendapat keseimbangan yang lebih baik demi menjalankan tugas gereja dengan lebih efektif.

Di tengah-tengah penekanan Injili untuk ´menemukan pelayanan dalam gereja´, kita mendiskusikan interaksi yang penting antara dimensi personal dan korporal dari iman Kristen. Kita mendorong setiap individu untuk ´menemukan pelayanan´ dalam konteks gereja lokal. Dan hal ini jelas berkaitan dengan dimensi korporal dari spiritualitas Kristen. Sewaktu kita terlibat pelayanan dalam komunitas Kristen, kita berpartisipasi dalam tugas mendorong pertumbuhan orang lain dan juga secara tidak langsung kepada diri kita sendiri. Keterlibatan dalam hidup orang lain merupakan kesempatan untuk mendorong, menasihati, dan memenuhi kebutuhan mereka. Tetapi tujuannya lebih dari itu: supaya mereka yang menerima pelayanan bisa bertumbuh dewasa secara rohani dan kemudian akhirnya ikut melayani anggota lain dalam tubuh Kristus.

Pandangan ini berimplikasi pada eklesiologi. Bagi kita, gereja adalah persekutuan orang percaya, persekutuan murid Kristus, komunitas orang- orang yang dengan serius bertanggung jawab secara pribadi bagi spiritualitasnya dan pada saat yang sama terjun dalam pelayanan untuk mendorong pertumbuhan rohani secara korporal. Kaum Injili yang bertanggung jawab bernyanyi bersama: ´Kami akan berjalan bersama, kami akan berjalan bergandengan tangan.´ Karena jalan spiritualitas adalah jalan yang mengikat setiap individu bersama-sama. (BS)

[1] James M. Houston, "Spirituality" in The Evangelical Dictionary of Theology, ed. Walter A. Elwell (Grand Rapids, Michigan: Baker Book House, 1984),1047.
[2] Daniel B. Stevick, Beyond Fundamentalism (Richmond, Va: John Knox Press, 1964),127.
[3] Robert Webber, The Majestic Tapestry (Nashville: Thomas Nelson,1986),129.
Sumber: 

Bahan di atas dikutip dari sumber:

Judul Buku: Momentum, Edisi 44, Triwulan III/Oktober 2000
Judul Artikel: Spiritualitas Injili: Suatu Tinjuan Ulang
Penulis: Stanley J. Grenz
Penerjemah : -
Penerbit: Lembaga Reformed Injili Indonesia
Halaman: 29-36

"Yang Sangat Penting ..... Kristus Telah Mati"

Dear e-Reformed Netters,

Beberapa hari lagi kita akan merayakan Hari Kematian Kristus dan Hari Kebangkitan Kristus (PASKAH), perayaan dari peristiwa terbesar dalam sejarah kekristenan. Artikel yang saya sajikan berikut ini akan menolong kita memikirkan lebih dalam lagi tentang arti kematian dan kebagnkitan Kristus bagi kita, umat manusia yang dikasihi-Nya. Memang betul bahwa pikiran dan otak manusia tidak mungkin bisa mengetahui dan memahami dengan sejelas-jelasnya dan sedalam-dalamnya kesengsaraan yang dialami Kristus menjelang kematiannya. Tapi bukan berarti dengan demikian maka itu tidak penting untuk kita pikirkan. Uraian yang disampaikan Samuel Zwemer dalam artikel di bawah ini menolong kita melihat bagaimana Alkitab menyatakan bahwa kematian Kristus adalah segala-galanya bagi orang Kristen. Inilah inti dan pusat dari berita keselamatan yang dibawa Kristus ketika Ia datang ke dunia. Oleh karena itu jika seorang Kristen berbahagia menjadi orang Kristen bukan karena berita keselamatan bahwa "Kristus telah mati bagiku, bagi dosa- dosaku", maka kemungkinan besar ia sedang salah mengerti tentang kekristenan. Mengapa demikian? Silakan membaca artikel berikut ini.

SELAMAT MERAYAKAN HARI KEMATIAN DAN KEBANGKITAN KRISTUS!

In Christ,

Editorial: 

Dear e-Reformed Netters,

Beberapa hari lagi kita akan merayakan Hari Kematian Kristus dan Hari Kebangkitan Kristus (PASKAH), perayaan dari peristiwa terbesar dalam sejarah kekristenan. Artikel yang saya sajikan berikut ini akan menolong kita memikirkan lebih dalam lagi tentang arti kematian dan kebagnkitan Kristus bagi kita, umat manusia yang dikasihi-Nya. Memang betul bahwa pikiran dan otak manusia tidak mungkin bisa mengetahui dan memahami dengan sejelas-jelasnya dan sedalam-dalamnya kesengsaraan yang dialami Kristus menjelang kematiannya. Tapi bukan berarti dengan demikian maka itu tidak penting untuk kita pikirkan. Uraian yang disampaikan Samuel Zwemer dalam artikel di bawah ini menolong kita melihat bagaimana Alkitab menyatakan bahwa kematian Kristus adalah segala-galanya bagi orang Kristen. Inilah inti dan pusat dari berita keselamatan yang dibawa Kristus ketika Ia datang ke dunia. Oleh karena itu jika seorang Kristen berbahagia menjadi orang Kristen bukan karena berita keselamatan bahwa "Kristus telah mati bagiku, bagi dosa- dosaku", maka kemungkinan besar ia sedang salah mengerti tentang kekristenan. Mengapa demikian? Silakan membaca artikel berikut ini.

SELAMAT MERAYAKAN HARI KEMATIAN DAN KEBANGKITAN KRISTUS!

In Christ,
Yulia Oen

Catatan:
Ayat-ayat Alkitab yang dikutip dalam artikel ini diambil dari Alkitab LAI, Terjemahan Lama (TL).

Penulis: 
Samuel Zwemer
Edisi: 
049/IV/2004
Isi: 

"Yang sangat penting telah kusampaikan kepadamu," kata Paulus dalam Surat Pertama kepada Gereja Korintus, "yaitu apa yang telah kuterima sendiri, ialah bahwa Kristus telah mati karena dosa-dosa kita, sesuai dengan Kitab Suci," [Lihat 1Kor. 15:3] Pembaca yang teliti akan memperhatikan dari konteksnya, bahwa ini adalah pokok dari amanat Rasul Paulus, inti dari ajarannya, satu-satunya injilnya. Paulus mengatakan, bahwa dia menerimanya tidaklah terutama dan hanya dari anggota-anggota jemaat asli, tetapi langsung melalui wahyu (Gal. 1:15-19). Maka jemaat itu, dan Rasul Paulus sendiri, percaya, bahwa kebenaran pertama dan azasi dari iman Kristen adalah kematian Kristus karena dosa-dosa kita. Dan Rasul Paulus menerima dan mengajarkan kebenaran ini dalam waktu tujuh tahun setelah Kristus mati -- menurut penanggalan lain bahkan dalam waktu yang lebih pendek.

Kata Yunani yang diterjemahkan dengan "yang sangat penting" dapat juga diartikan "yang pertama-tama" atau paling depan dari segala kebenaran. Kematian Kristus disalib bagi Rasul Paulus adalah yang paling penting dan pasal yang berpengaruh dalam kepercayaannya. Ini adalah fundamental. Ini adalah rukun syarat dari batu pertama, batu pojok dari kuil kebenaran. Bahwa ini benar nampak jelas dari tempat yang diambil tentang kematian Kristus dalam Alkitab, dalam amanat kerasulan, dalam liturgi-liturgi dari kedua sakramen yang diselenggarakan oleh semua cabang Gereja dan dalam perbendaharaan nyanyian-nyanyian Kristus yang pertama-tama, maupun yang terakhir. Bukti itu bertambah-tambah dan melimpah. Salib itu bukan hanya merupakan lambang universil dari kekristenan; itu adalah amanatnya yang universal dan yang tak dapat disangsikan. Itu adalah pokok dari Injil -- firman yang "hidup dan kuat dan lebih tajam daripada pedang bermata dua."[Lihat Ibr. 4:12] Sebab tidak ada yang menimbulkan kesadaran akan dosa seperti salib.

Salib Kristus adalah lampu sorot Allah. Dia memperlihatkan kasih Allah dan dosa manusia, kekuasaan Allah dan kedaifan manusia, kesucian Allah dan kekotoran manusia. Bila mezbah dan korban penebusan adalah "yang pertama-tama" dalam Perjanjian Lama, maka salib dan perdamaian adalah "yang terutama" dalam Perjanjian Baru. Maka doktrin keselamatan Perjanjian Lama dan Perjanjian Baru dengan segala sesuatu yang dicakupnya mengenai hati baru dan masyarakat baru, sorga baru dan dunia baru, dalam garis yang lurus menuju kembali ke arah pusat segala-galanya - "Anak Domba yang telah disembelih."[Lihat Wah. 13:8]

  1. Perhatikanlah tempat ditulisnya cerita mengenai penyaliban dalam Perjanjian Baru. Dia disebut dalam tiap buku kecuali dalam tiga surat-surat pendek, Filemon dan Yohanes 2 dan 3. Matius, Markus, dan Lukas memberikan tempat yang lebih banyak padanya daripada untuk aspek manapun dari hidup dan ajaran Kristus. Matius menceritakan tragedi ini dalam dua pasal dengan seratus empatpuluh satu ayat. Markus menulis seratus sembilan belas ayat mengenai cerita itu, dua pasal yang merupakan yang terpanjang dari enam belas pasal. Lukas menyediakan dua pasal panjang untuk melukiskan penangkapan dan penyaliban itu. Hampir separo dari Injil Yohanes mengisahkan minggu kesengsaraan Kristus.

    Dalam Kisah Para Rasul-rasul semua ajaran berpusat pada kematian dan kebangkitan. Inilah "Berita Baik." "Ia menunjukkan diri-Nya setelah penderitaan-Nya selesai, dan dengan banyak tanda Ia membuktikan, bahwa Ia hidup." Puncak dari kotbah Rasul Petrus pada Pentakosta adalah mengenai Yesus "yang diserahkan Allah menurut maksud dan rencana-Nya ....... disalibkan dan dibunuh oleh tangan orang-orang kafir". "Allah telah membuat Yesus, yang kamu salibkan itu, menjadi Tuhan dan Kristus."[Lihat Kis. 1:3; 2:23, 36]

    Amanat itu diulangi lagi oleh Rasul Petrus dalam Bait Allah: "Kamu telah menolak Yang Kudus dan Benar, serta menghendaki seorang pembunuh." "Dengan jalan demikian," Petrus kemukakan, "Allah telah menggenapi apa yang telah difirmankan-Nya dahulu dengan perantaraan nabi-nabi-Nya, yaitu bahwa Kristus yang diutus-Nya harus menderita," tetapi "Allah membangkitkan Hamba-Nya dan mengutus-Nya kepada kamu, supaya Ia memberkati kamu dengan memimpin kamu masing-masing kembali dari segala kejahatanmu." Esok harinya dia kembali lagi pada tema "Yesus Kristus, orang Nazaret, yang telah kamu salibkan." Dalam doa upacara pertama dari Gereja Mula-mula kita diingatkan kembali pada penderitaan dan kematian dari "Yesus Hamba-Mu yang kudus." Hasil dari amanat demikian dinyatakan dalam kata-kata yang isinya tidak meragukan: "Kamu telah memenuhi Yerusalem dengan ajaranmu dan kamu hendak menanggungkan darah Orang itu kepada kami." Tetapi rasul-rasul menjawab, "Yesus, yang kamu gantungkan pada kayu salib dan kamu bunuh ....... telah ditinggikan oleh Allah sendiri dengan tangan kanan-Nya menjadi Pemimpin dan Juruselamat."[Lihat Kis. 3:14, 18, 26; 4:10, 27; 5:28, 30-31]

    Stefanus menjadikan kematian Yesus Kristus sebagai tema pembelaannya yang disusul cepat dengan kesyahidannya sendiri (Kis. 7:51-54). Filipus mulai berbicara dan bertolak dari nas itu saat ia memberitakan Injil Yesus kepada sida-sida Ethiopia (Kis. 8:26-40). Kornelius menerima amanat yang sama mengenai Dia: "Mereka telah membunuh Dia dan menggantungkan Dia pada kayu salib. Yesus itu telah dibangkitkan Allah pada hari yang ketiga."[Lihat Kis. 10:39-40]

    Di Antiokia Rasul Paulus bercerita tentang Kristus: "Mereka telah meminta kepada Pilatus supaya Ia dibunuh ......... mereka menurunkan Dia dari kayu salib, lalu membaringkan-Nya di dalam kubur. Tetapi Allah membangkitkan Dia dari antara orang mati." Selama tiga sabat Rasul Paulus memberi uraian dari Perjanjian Lama di Tesalonika, "bahwa Kristus harus menderita dan bangkit dari antara orang mati." Di Anthena dia berkhotbah tentang kematian Yesus Kristus, di Korintus dia hanya mau tahu tentang Yesus Kristus dan bahwa Dia disalibkan. Sebagai kata yang searti dengan Injil dia pakai "pemberitaan tentang salib" atau "berita pendamaian." Festus melukiskan amanat Rasul Paulus sebagai sesuatu yang bersangkutan dengan "seorang yang bernama Yesus, yang sudah mati, sedangkan Paulus katakan dengan pasti, bahwa Ia hidup." Dalam pembelaannya di depan Festus, Rasul Paulus mengatakan, bahwa dia tidak mempunyai amanat lain "kepada orang-orang kecil dan orang-orang besar. Dan apa yang kuberitakan itu tidak lain daripada yang sebelumnya yang telah diberitahukan oleh para nabi dan juga oleh Musa, yaitu bahwa Kristus harus menderita sengsara dan bahwa Ia adalah yang Pertama yang akan bangkit dari antara orang mati, dan bahwa Ia akan memberitakan terang kepada bangsa ini dan kepada orang-orang kafir."[Lihat Kis. 13:28-30; 17:3 1Kor. 1:18; 2Kor. 5:19; Kis. 25:19; 26:22-23]

    Dalam surat-surat Rasul Paulus kita sungguh kagum melihat jumlah yang berlimpah-limpah dari bukti-bukti, bahwa satu-satunya amanatnya adalah salib dan pendamaian. Dia telah memberitakan kabar baik ini selama limabelas tahun sebelum sepucukpun dari surat-suratnya dia tulis. Kita tidak dapat menemukan adanya perbedaan dalam tekanan antara surat- suratnya yang pertama dan yang terakhir dalam hal ini. Itulah yang menjadi pokok dari amanatnya kepada orang-orang Roma dan orang-orang Tesalonika. Kepada jemaat Galatia ia mengatakan dalam kata pendahuluannya bahwa Kristus Yesus "telah menyelamatkan diri-Nya karena dosa-dosa kita," dan (sesudah beberapa kalimat) dia meletus dengan perasaan berang: "Tetapi sekalipun kami atau seorang malaikat dari sorga yang memberitakan kepada kamu suatu Injil yang berbeda dengan Injil yang telah kami beritakan kepadamu, terkutuklah dia."[Lihat Gal. 1:4, 8]

    Bahwa Golgota yang menjadi pusat dari Injil Paulus, adalah jelas dari semua suratnya. Inkarnasi itu ada agar penebusan itu mungkin. Salib itu adalah luhur dan menentukan bagi Allah, bagi manusia dan bagi alam semesta. "Kristus telah mati untuk kita ketika kita masih berdosa." "Siapakah yang akan menghukum mereka? Kristus Yesuskah, yang telah mati?" "Kami memberitakan Kristus yang disalibkan ........ sebab yang bodoh dari Allah lebih besar hikmatnya dari pada manusia, dan yang lemah dari Allah lebih kuat dari pada manusia," "Jemaat Allah yang diperoleh-Nya dengan darah-Nya sendiri." Semua orang Kristen, apabila mereka minum dari Cawan itu "memberitakan kematian Tuhan sampai Ia datang." "Aku sekali-kali tidak mau bermegah, selain dalam salib Tuhan kita Yesus Kristus, sebab olehnya dunia telah disalibkan bagiku dan aku bagi dunia." Kristus adalah "kekasih-Nya" yang "oleh darah-Nya kita beroleh penebusan. "Ini adalah rahasia dari abad-abad pelbagai ragam hikmat Allah yang dibukakan bagi kerajaan-kerajaan dan kekuasaan-kekuasaan melalui Gereja. Mereka yang merupakan "seteru salib Kristus," Rasul Paulus menceritakan kepada kita dengan airmata, bermegah dalam keaibannya dan mereka akan binasa. Kristus "yang lebih utama dalam segala sesuatu ........ dan oleh Dialah Allah memperdamaikan segala sesuatu dengan diri-Nya ........ sesudah Ia mengadakan pendamaian oleh darah salib Kristus." Salib itu adalah pusat dari alam semesta dan dari sejarah. Dia masih akan melihat pendamaian segala sesuatu baik yang ada di bumi maupun yang ada di sorga melalui darah-Nya."[Lihat Rom. 5:8; 8:33-34; 1Kor. 1:23, 25; Kis. 20:28; 1Kor. 11:26; Gal. 6:14; Ef. 1:6-7; Fil. 3:18; Kol. 1:18-20]

    Dalam surat kepada orang-orang Ibrani, kematian Kristus (Dia sendiri sebagai imam, korban, dan mezbah) begitu menonjol sehingga kita tidak perlu menunjukkannya lagi. Kristus adalah Imam Besar yang Agung, yang "menyatakan diri-Nya, pada zaman akhir untuk menghapuskan dosa oleh korban-Nya." Darah Yesus Kristus adalah darah perjanjian. Kristus adalah yang mengadakan dan menyempurnakan iman kita karena Dia telah "memikul salib." Darah-Nya yang dipercikkan "berbicara lebih kuat dari pada darah Habel" -- itu adalah "darah perjanjian yang kekal" ditumpahkan oleh "Gembala Agung dari segala domba."[Lihat Ibr. 9:26; 12:2, 24; 13:20]

    Surat-surat Petrus menggemakan pengajarannya yang paling pertama dan sangat banyak menyinggung kesengsaraan Kristus yang "sendiri telah memikul dosa kita dalam tubuh-Nya di kayu salib ........ oleh bilur- bilur-Nya kamu telah sembuh". Akhirnya dalam surat 1 Yohanes dan dalam Wahyu salib itu masih tetap merupakan yang utama. Melaluinya Yesus Kristus merupakan "perdamaian untuk segala dosa kita dan bukan untuk dosa kita saja, tetapi juga untuk dosa seluruh dunia." "Ia telah menyerahkan nyawa-Nya untuk kita; jadi kita pun wajib menyerahkan nyawa kita untuk saudara-saudara kita." "Bagi Dia, yang mengasihi kita dan yang telah melepaskan kita dari dosa kita oleh darah-Nya ........ bagi Dialah kemuliaan dan kuasa sampai selama-lamanya. Amin." "Lihatlah, Ia datang dengan awan dan setiap mata akan melihat Dia, juga mereka yang telah menikam Dia."[Lihat 1Pet. 2:24; 1Yoh. 2:2; 3:16; Wah. 1:5-7]

  2. Kedua sakramen yang diterima oleh Gereja-gereja Timur dan Barat langsung menyebutkan kematian Kristus untuk dosa-dosa kita. Ini jelas, bukan hanya dari penempatan kata-katanya dalam Perjanjian Baru, melainkan juga dari banyak liturgi-liturgi dalam administrasinya. Di sini kita dapat katakan lagi bahwa "yang sangat penting" mereka memberitakan kematian Kristus yang merupakan penebusan kita dari dosa. Pembaptisan adalah upacara penerimaan dalam Kristus. Dimanapun Perjanjian Baru tidak ada menyebut orang-orang Kristen yang tidak dibaptiskan, dan orang-orang percaya yang primitif ini tahu apa yang dimaksudkan Rasul Paulus ketika ia mengatakan, bahwa semua "yang telah dibaptis dalam Kristus, telah dibaptis dalam kematian-Nya." Pengampunan dosa dan pembaptisan berhubungan erat dalam pikiran mereka dengan air dan darah yang mengalir dari sisi Kristus yang robek itu. Kedua sakramen itu dimaksud untuk mengantar amanat Injil dalam perlambangan yang tak dapat disangsikan. Selama sakramen-sakramen itu mempertahankan tempatnya dalam Gereja, mereka adalah -- dengan adanya segala yang ditambahkan dengan upacara dan tahyul sekalipun -- saksi dari arti penyelamatan kematian Kristus, saksi dari sifat penggantiannya, keharusannya, dan wataknya yang menentukan. Gereja Mula-mula terus "bertekun dalam ....... memecahkan roti," karena dengan itu mereka ingin memberitakan kematian Kristus dan pengampunan dosa melalui darah-Nya. Itu adalah "persekutuan dengan darah Kristus ........ dengan tubuh Kristus," turutnya kita dalam "satu Roh," "pengampunan dosa," penyucian "batin kita dari perbuatan-perbuatan yang sia-sia." Inilah yang membuat pemecahan roti itu begitu berharga bagi Gereja Mula-mula dan bagi semua Gereja selama duapuluh abad. [Lihat Rom. 6:3; Kis. 2:42; 1Kor. 10:16; 12:13; Mat. 26:28; Ibr. 9:14]

  3. Bila kita beralih dari liturgi pada kumpulan nyanyian gereja, kita akan mempunyai kesaksian yang sama. Dalam nyanyian-nyanyian Latin dan Yunani masa-masa pertama, dalam nyanyian Gereja-gereja Kopt dan Armenia, maupun dalam nyanyian-nyanyian Gereja Reformasi, salib itu adalah "yang sangat penting", dan kesengsaraaan Tuhan Yesus merupakan tema. Dalam nyanyian Gereja inilah kita menemukan kesatuan dan kedalaman teologi yang kadang-kadang tidak terdapat dalam kepercayaan- kepercayaan sekalipun.

    "Anak Domba yang disembelih itu layak untuk menerima kuasa dan kekayaan, dan hikmat, dan kekuatan, dan hormat, dan kemuliaan, dan puji-pujian!" "Anak Domba yang di tengah-tengah takhta itu." Apapun yang tercipta turut dalam Paduan Suara Haleluya.[Lihat Wah. 5:12; 7:17]

    Anak-anak kecil di berbagai negeri dan bahasa menyanyikan inti dari Injil itu:

    "Yesus mati bagiku. Sorga, buka pintumu! Hutang dosa terhapus, Aku sudah ditebus."

    Betapa besar bagian dari nyanyian-nyanyian dari Gereja itu merupakan nyanyian kesengsaraan atau tafsiran dari penebusan yang dibuat di atas salib! Siapakah yang dapat melupakan pelukisan dalam begitu banyak bahasa dari "O, Haupt voll Blut und Wunden" (O, kepala yang penuh darah dan luka) atau kepiluan lagunya seperti yang dinyanyikan oleh orang Kristen Jerman?

    "..... Tidak cukup kuatku: hanya oleh sayang-Mu, oleh darah-Mu kudus, dapat aku ditebus."

    Andaikata Yesus dari Nasaret hanyalah manusia belaka dan bukan Anak Allah dan Juruselamat kita, kematian-Nya yang menyedihkan itu akan merupakan peristiwa yang terbesar juga dalam sejarah manusia. Banyaknya keterangan-keterangan yang teliti dalam catatan masanya mengenai kesengsaraaan-Nya dan penyaliban-Nya, segala hal-hal yang dahsyat yang menyertainya dalam alam; ketujuh kata dari salib, pengaruhnya terhadap mereka yang melihatnya dan terhadap segala abad dan bangsa -- semuanya ini jelas menunjukkan kepentingannya. Kita jangan mengubah tekanannya. Peristiwa yang utama dalam hidup Yesus Kristus dan bagi Dia sendiri, adalah kematian-Nya di atas salib karena dosa.

    Kata-kata dari James Denny tidaklah terlalu keras:

    "Jika penebusan itu, terlepas dari perumusan yang tepat, berarti sesuatu bagi jiwa, maka dia adalah segala-galanya. Penebusan itu adalah yang paling mendalam dari segala kebenaran dan yang paling kreatif. Lebih dari apapun juga dia menentukan konsepsi kita mengenai Tuhan, manusia, sejarah dan bahkan mengenai alam. Penebusan itu menentukan semuanya ini, karena dengan satu dan lain jalan kita harus menyesuaikan semuanya ini dengan pengertian ini. Penebusan itu adalah tema dari segala pikiran, yang akhir-akhirnya merupakan kunci bagi segala penderitaan. Penebusan manusia dari dosa ini adalah suatu kenyataan yang demikian rupa, sehingga dia tak dapat berkompromi. Maka bagi jiwa modern, maupun bagi yang kolot, daya penarik dan penolakan dari kekristenan itu berpusat pada suatu titik yang sama. Salib Kristus adalah satu-satunya kemuliaan manusia atau perintangannya yang terakhir."

Sumber: 

Bahan di atas dikutip dari sumber :

Judul Buku:Kemuliaan Salib
Judul Artikel : -
Penulis:Samuel Zwemer
Penerjemah : -
Penerbit:Badan Penerbit Kristen untuk OMF, 1970
Halaman:9-15

Calvin dan Tuduhan Skisma dari Katolik Roma Terhadap Para Reformator: Sebuah Studi Tentang Kesatuan Gereja (Bag. 2)

Dear e-Reformed Netters,

Selamat Hari Reformasi Gereja 2003!!
Mari kita hayati perjuangan para reformator dalam mengembalikan kemurnian ajaran gereja dengan hidup yang memelihara kesatuan Tubuh Kristus sesuai dengan Firman-Nya!

In Christ,
Yulia

Editorial: 

Dear e-Reformed Netters,

Selamat Hari Reformasi Gereja 2003!!
Mari kita hayati perjuangan para reformator dalam mengembalikan kemurnian ajaran gereja dengan hidup yang memelihara kesatuan Tubuh Kristus sesuai dengan Firman-Nya!

In Christ,
Yulia

Penulis: 
Hidalgo B. Garcia
Edisi: 
044/X/2003
Isi: 

PELAYANAN GEREJA DAN FIRMAN ALLAH

Salah satu isu yang Calvin bahas dengan Sadoleto adalah masalah jabatan-jabatan gereja. Ia mengamati dari surat Sadoleto bahwa Sadoleto menuntut ketaatan dan kesetiaan kepada pejabat-pejabat gereja dengan landasan bahwa mereka dianugerahkan otoritas. Calvin mengoreksi gagasan yang keliru ini. Baginya, otoritas dan kekuasaan orang-orang yang ditunjuk untuk jabatan gereja dibatasi dalam limit-limit tertentu sesuai jabatan mereka menurut firman Allah. Dalam limitasi ini Kristus membatasi penghormatan yang Ia haruskan untuk diberikan kepada para rasul dan, karena itu, juga kepada para gembala. Tugas utama para gembala adalah memberitakan dan mengajarkan sabda Tuhan guna memajukan gereja. Inilah satu-satunya tujuan kekuasaan rohani, yakni "to avail only for edification, to wear no semblance of domination, and not to be employed in subjugating faith."**46 Paus, meskipun mengklaim sebagai pengganti Petrus, juga tidak dibebaskan dari limitasi ini. Kemerosotan disiplin di kalangan para uskup Roma, menurut pengamatan Calvin, adalah salah satu alasan mengapa gereja telah jatuh ke dalam kondisi yang demikian menyedihkan. Disiplin gereja mempunyai beberapa implikasi bagi kesatuannya karena menurutnya, agar gereja bersatu harus diikat bersama-sama melalui disiplin seperti halnya tubuh yang diikat otot-ototnya. Dalam hal ini menuduh balik para pejabat Katolik Roma yang telah menghancurkan integritas gereja melalui penyalahgunaan jabatan eklesiastikal; merekalah yang menabur benih-benih perpecahan. Ia secara tegas menyangkal tuduhan Sadoleto yang mengatakan bahwa para Reformator melepaskan diri dari kuk tirani gereja agar mereka sendiri bebas untuk melakukan tindakan amoral yang tak terkendalikan.**47

Dalam The Necessity of Reforming the Church, Calvin mengevaluasi pertanyaan tentang suksesi yang berhubungan dengan masalah disiplin gereja, dan dengan demikian, seperti telah kita lihat di atas, berhubungan juga dengan kesatuan gereja. Mengenai hubungan antara kontinuitas (atau suksesi) dan kesatuan ia mengatakan, "no one, therefore, can lay claim to the right of ordaining, who does not, by purity of doctrine, preserve the unity of the Church."**48 Pernyataan ini merupakan reaksi terhadap klaim Katolik Roma bahwa hanya merekalah yang memiliki hak dan kekuasaan untuk menahbiskan orang-orang ke dalam pelayanan gereja dan menentukan bentuk ordinasinya. Para pengikut Paus menyebut kanon-kanon kuno yang mereka klaim telah memberikan superintendensi untuk masalah-masalah mengenai para uskup dan klerus.**49 Suksesi yang konstan telah dilimpahkan kepada mereka, bahkan itu berasal dari para rasul. Mereka menyangkal bahwa jabatan itu bisa ditransfer secara sah kepada orang lain. Dengan demikian, berkaitan dengan klaim suksesi ini, para Reformator yang menjalankan pelayanan tanpa otoritas Katolik Roma, telah merampas kekuasaan eklesiastikal dan telah melakukan invasi terhadap wewenang hierarki Katolik Roma.**50

Calvin membantah klaim suksesi ini dengan menyatakan bahwa suksesi apostolik telah lama diinterupsi oleh keuskupan Katolik Roma.

But if we consider, first, the order in which for several ages have been advanced to this dignity, next the manner in which they conduct themselves in it, and lastly, the kind of persons whom they are accustomed to ordain, and to whom they commit the goverment of churches, we shall see that this succession on which they pride themselves was long ago interrupted.**51
Ia menguraikan tiga kategori aturan penunjukan para uskup, cara bagaimana mereka mengatur diri mereka sendiri dalam jabatan itu, dan jenis orang yang mereka tunjuk.**52 Pertama, oleh karena hierarki Katolik telah merebut bagi diri mereka sendiri kekuasaan tunggal untuk menunjuk para klerus, Calvin mendebatnya dengan bertitik tolak dari sejarah gereja, "the magistracy and people had a discretionary power (arbitrium) of approving or refusing the individual who was nominated by the clergy, in order that no man might be intruded on the unwilling or not consenting."**53 Dalam hal cara para uskup mengatur diri mereka, ia bersikeras agar siapapun yang mengatur gereja, hendaknya ia juga mengajar.**54 Tujuan Kristus menunjuk para uskup dan gembala ialah, seperti dinyatakan Paulus, agar mereka mengajar gereja dengan doktrin yang sehat. Menurut pandangan ini, seorang gembala gereja yang baik tidak mungkin tidak melaksanakan tugas mengajar.**55 Ia mengamati bahwa para uskup tidak melaksanakan tugas ini dengan setia. "As if they had been appointed to secular dominion, there is nothing they less think of than episcopal duty."**56 Tidak heran jika kemudian orang-orang yang mereka promosikan untuk mendapat kehormatan sebagai imam adalah mereka yang memiliki karakter serupa. Ia menuntut dengan tegas agar ada eksaminasi yang ketat terhadap kehidupan dan doktrin mereka yang ingin menjadi pendeta, seperti yang sekarang dilakukan di gereja-gereja para Reformator.**57 Mengenai upacara ordinasi, Calvin berargumen bahwa praktek Katolik Roma tidak bersumber dari Alkitab.**58 "Satu-satunya yang kita baca, seperti yang biasa dilakukan pada zaman kuno, adalah penumpangan tangan."**59

Hal yang sangat kritis dalam semua klaim suksesi apostolik ini ialah doktrin Injil yang murni. Keprihatinannya ini ia rangkum dengan kalimat, "Setiap orang yang melalui tingkah lakunya memperlihatkan bahwa ia adalah musuh dari doktrin yang sehat, apapun gelar yang mungkin ia banggakan, ia telah kehilangan semua otoritasnya dalam gereja,"**60 karena itu ia pun tidak bisa mengklaim suksesi apostolik. Pernyataan-pernyataan ini begitu signifikan sebab telah menggoncangkan fondasi utama gereja Roma.

KESATUAN DAN FIRMAN ALLAH

Pemahaman yang benar mengenai gereja dalam relasinya dengan firman Allah, batasan-batasan dan tujuan jabatan otoritas gereja dan disiplin, serta suksesi apostolik yang tepat telah meletakkan dasar bagi pembelaan Calvin terhadap tuduhan skisma dan bidat. Dalam jawabannya kepada Sadoleto, ia membuat pembelaan ini dengan mempertentangkan pengakuan dari orang Kristen Reformed dengan kesetiaan Katolik yang dipaparkan oleh Sadoleto. Reformator itu mengaku bahwa tidak ada hal lain yang ia lakukan kecuali percaya bahwa tidak ada kebenaran yang dapat mengarahkan jiwa seseorang menuju jalan kehidupan selain dari apa yang dikobarkan melalui firman itu. Segala hal lain yang berasal dari penemuan manusia adalah kesombongan yang sia-sia dan pemberhalaan.

Calvin berusaha menghadirkan dan menguraikan apa yang dipercayainya sebagai doktrin yang murni dan kebenaran Injil. Melalui hal ini ia memperjelas bahwa tujuan para Reformator adalah untuk kebangkitan gereja kembali. Ia memperhatikan bahwa sejumlah besar kebenaran dari doktrin kenabian dan evangelikal telah musnah dan telah "diusir dengan kasar oleh api dan pedang"**61 dalam gereja Roma. Ia menolak tuduhan Sadoleto bahwa semua yang coba dilakukan oleh para Reformator hanyalah untuk menghancurkan semua doktrin sehat yang telah disetujui oleh orang-orang beriman selama lima belas abad. Dengan gamblang ia menjelaskan bahwa para Reformator jauh lebih sesuai dengan zaman awal kekristenan dibanding gereja Roma,**62 dan Sadoleto sendiri tidak dapat menyangkalnya.

Bagi Calvin, bentuk gereja yang telah diinstitusikan oleh para rasul merupakan satu-satunya model yang benar, dan bentuk kuno gereja itu yang dibuktikan dalam tulisan-tulisan bapa-bapa gereja kini telah menjadi puing-puing. Ia memperjelas tujuan tindakan para Reformator yaitu untuk memperbarui gereja, dan perlunya melakukan hal itu bukan disebabkan oleh imoralitas dari keuskupan Roma seperti yang diklaim oleh Sadoleto. Menurut Calvin, yang mendorong para Reformator melakukan reformasi ialah karena "cahaya kebenaran ilahi itu telah dipadamkan, firman Allah telah dikubur, kebaikan Kristus tertinggal dalam pengabaian yang dalam, dan jabatan gembala ditumbangkan."**63 Dengan berjuang menentang kejahatan-kejahatan seperti itu, mereka tidak berperang melawan gereja, namun justru mendampingi gereja di tengah penderitaannya yang sangat.**64 Ia bertanya kepada Sadoleto dengan tajam, apakah seseorang yang "sangat giat untuk kesalehan dan kekudusan seperti pada zaman gereja mula-mula, yang tidak puas dengan kondisi yang ada dalam gereja yang pecah dan rusak, dan berusaha untuk memperbaiki kondisi gereja serta merestorasinya agar mencapai kemegahan yang sejati" akan dianggap sebagai musuh?**65 Pastor Jenewa itu menyebut dua tanda dari gereja yang telah disebutkan di atas dan bertanya kepada kardinal Katolik itu, "dengan yang manakah dari hal- hal ini yang kalian ingin kami gunakan untuk menilai gereja?"**66

Apa yang disebut skisma oleh orang-orang Katolik Roma, Calvin menyatakannya sebagai usaha para Reformator untuk membawa gereja yang terdisintegrasi itu kepada kesatuan.**67 Ia membuat sebuah analogi menarik antara orang yang melakukan Reformasi dan seseorang yang mengangkat panji pimpinan militer untuk memanggil prajurit-prajurit yang terpencar agar kembali ke pos mereka. Pemimpin militer itu adalah Kristus dan prajurit-prajurit yang terpencar itu ialah para pemimpin gereja. Orang yang mengangkat bendera pemimpin itu adalah Reformator, dan diangkatnya bendera menandakan sebuah panggilan bagi kesatuan, yang diekspresikan Calvin dengan tajam,

In order to bring them together, when thus scattered, I raised not a foreign standard, but that noble banner of thine whom we must follow, if we would classed among thy people .... Always, both by word and deed, have I protested how eager I was for unity. Mine, however, was a unity of the Church, which should begin with thee and end in thee. For as oft as thou didst recommend to us peace and concord, thou, at the same time, didst show that thopu wert the only bond for preserving it. But if I desired to be at peace with those who boasted of being the heads of the Church and pillars of faith, I behoved to purchase it with the denial of thy truth. I thought that any thing was to be endured sooner than stoop to such a nefarious paction.**68
Calvin menyamakan para klerus Roma dengan serigala yang sangat lapar dan nabi-nabi palsu yang Kristus prediksikan akan ada di antara umat- Nya. Tindakan para Reformator dibandingkan dengan pelayanan para nabi zaman kuno, yang tidak dianggap skismatik ketika mereka mengharapkan bangkitnya kembali agama yang telah terdekadensi. Mereka tetap berada di dalam kesatuan gereja,**69 "walaupun mereka ditetapkan untuk dihukum mati oleh para pendeta yang jahat, dan dianggap tidak layak memperoleh tempat di antara manusia ..... **70 Jelaslah bahwa motif para Reformator bukan untuk memecah-belah gereja tetapi untuk memperbaharuinya dan memimpin kelompok-kelompok Kristen ke dalam kesatuan.**71 Baginya ada perbedaan besar antara "skisma dari gereja dan belajar untuk memperbaiki kesalahan-kesalahan di mana gereja sendiri pun telah terkontaminasi."**72 Skisma muncul ketika gereja Roma menolak untuk dikoreksi:
Thou, O Lord, knowest, and the fact itself has testified to men, that the only thing I asked was, that controversies should be decided by thy word, that thus both parties might unite with one mind to establish thy kingdom; and I declined not to restore peace to the Church at the expense of my head, if I were found to have been unnecessarily the cause of tumult. But what did our opponents?... Did they not spurn at all methods of pacification?**73
Ia mengakhiri jawabannya kepada Sadoleto dengan sebuah doa yang merefleksikan esensi responsnya atas tuduhan skisma Katolik Roma:
The Lord grant, Sadolet(o), that you and all your party may at length perceive, that the only true bond of Ecclesiastical unity would exist if Christ the Lord, who hath reconciled us to God the Father, were to gather us out of our present dispersion into the fellowship of his body, that so, through his one Word and Spirit, we might join together with one heart and one soul.**74

OTORITAS GEREJA DAN FIRMAN ALLAH

Kini kita akan mempertimbangkan Response (or Antidote) to Articles Agreed Upon by the Faculty of Sacred Theology of Paris (1543) dari Calvin. Walaupun kepentingan utama dari artikel itu adalah untuk menentukan doktrin-doktrin yang harus diajarkan dan dipercayai, artikel tersebut memiliki implikasi-implikasi penting bagi pemahaman Katolik Roma mengenai kesatuan. Artikel-artikel inilah yang mendefinisikan gereja Katolik yang satu dan kudus. Apa yang mereka sebar luaskan adalah cara Katolik Roma berjuang dengan kekuatan- kekuatan yang memecah-belah di dalamnya; artikel-artikel ini dimaksudkan untuk "menenangkan gelombang opini yang menentang."**75 Prolog dari artikel-artikel ini menyebut peringatan Paulus untuk kesatuan dalam kitab Efesus, yaitu agar mereka jangan "seperti anak- anak yang diombang-ambingkan oleh rupa-rupa angin pengajaran." Menanggapi hal ini Calvin memberikan antidot pertama di mana ia menekankan firman Allah, dan bersikeras bahwa inilah (firman Allah) yang menjadi otoritas satu-satunya untuk menyelesaikan atau memutuskan kontroversi-kontroversi. Ia menyebut beberapa bagian dari Alkitab dan bapa-bapa leluhur gereja untuk membuktikan bahwa otoritas satu-satunya yang membuat gereja tetap bereksistensi adalah firman Allah. Ia menyimpulkan,

Oleh karena itu, di tengah pertanyaan-pertanyaan yang bertentangan di masa sekarang ini, marilah kita mengikuti nasihat yang menurut Theodoret, (Lib. I. Hist. Eccles. cap. 7) diberikan oleh Constantine kepada para uskup di konsili Nicea -- marilah kita mencari kebulatan hati dari sabda Allah yang murni.**76
Otoritas Alkitab menjadi sangat berarti ketika kita memperhatikan cara Calvin meletakkannya di atas dan terhadap otoritas gereja seperti yang diajukan dalam Artikel-artikel Iman, khususnya bab XVIII-XXIII, oleh Fakultas Teologi di Paris. Dengan berdasar pada otoritas Alkitab ia menantang klaim gereja mengenai otoritas. Pada Artikel XVII, bersama dengan orang-orang Katolik Roma, ia mengakui bahwa hanya ada satu gereja yang universal. Kendati demikian, pertanyaan yang lebih krusial bagi Calvin adalah bagaimana seseorang mengenali penampakan dari gereja. Jawabannya sederhana, yaitu firman Allah. "Kita menempatkannya di dalam firman Allah, atau, dengan kata lain, karena Kristus adalah Kepalanya, kita percaya bahwa gereja harus dilihat dalam Kristus sebagaimana seseorang dikenali melalui wajahnya."**77 Apa yang ia maksud dengan firman Allah dan Kristus adalah pemberitaan Injil? Baginya, pemberitaan Injil dan visibilitas Kristus dan gereja saling berkorelasi. "Sebagaimana pemberitaan Injil yang murni tidak selalu dinyatakan, maka wajah Kristus pun tidak selalu menarik perhatian,"**78 demikian juga gereja tidak selalu dapat dilihat.**79 Orang-orang Katolik Roma mendasarkan visibilitas dan otoritas gereja Katolik yang satu pada hierarkinya, sedangkan Calvin mendasarkannya pada pemberitaan firman.**80

Pada Artikel XIX, berkenaan dengan otoritas gereja yang visibel dalam mendefinisikan dan menentukan isu-isu kontroversial, Calvin menantang pemikiran bahwa yang visibel selalu benar seperti yang diperlihatkan dalam sejarah. Sikap ini berbahaya karena mereka "yang menerima definisi gereja yang visibel tanpa penilaian, dan tanpa terkecuali, bisa membuat seseorang terpaksa menyangkal Kristus."**81 Sekali lagi ia memberi penekanan pada firman untuk menyelesaikan perbantahan.

Jika muncul pertikaian diantara gereja-gereja, kita mengakui bahwa metode yang sah untuk menciptakan keharmonisan, yang selalu dicari-cari, adalah para pendeta itu berkumpul, dan mendefinisikan dari firman Allah tentang apa yang harus diikuti.**82
Pada artikel XX, berkaitan dengan hal-hal yang tidak diungkapkan secara jelas dan khusus di dalam Alkitab namun bagaimanapun juga harus dipercaya dan diterima oleh gereja melalui tradisi, Calvin mengutip Agustinus dan Chrysostom, selain dari Alkitab, segala sesuatu yang penting untuk keselamatan telah dinyatakan kepada kita dan hal-hal selain Injil tidak boleh dipercaya.

Berkaitan dengan kekuasaan ekskomunikasi, dalam artikel XXI ia mengakui bahwa kekuasaan untuk mengekskomunikasi telah diserahkan kepada gereja, begitu pula cara penggunaannya telah ditentukan (dalam firman Allah). Ini berarti ekskomunikasi harus dilakukan melalui "mulut Allah" dan tujuannya haruslah untuk pertumbuhan kerohanian/ kebaikan.**83 Hal ini jelas merupakan sebuah kontrol atau pembatasan terhadap penyalahgunaan kekuasaan ini yang dilakukan oleh hierarki Katolik yang, Fakultas Teologi di Paris mengakui, tidak boleh mempersoalkan apakah ekskomunikasi itu adil asalkan itu dilakukan dalam nama-Nya (Kristus).**84

Artikel XXII menyatakan bahwa otoritas konsili-konsili tidak dapat salah asal Paus memimpinnya dan bentuk-bentuk legal serta protokol dipelihara sebagaimana mestinya. Terhadap hal ini Calvin menekankan otoritas atau kepemimpinan Kristus. Ia tidak percaya konsili apapun yang hanya bersidang menurut aturan-aturan manusia sebagaimana mestinya, kecuali jika konsili itu dikumpulkan dalam nama Kristus. Maksudnya, Kristuslah yang memimpin, karena jika tidak konsili- konsili itu dipimpin berdasarkan pemikiran mereka sendiri dan karena itu yang mereka lakukan tidak lain dari kesalahan. Sebuah konsili yang berkumpul di dalam nama Kristus dipimpin oleh Roh Kudus, dan di bawah bimbingan-Nya, dipimpin kepada kebenaran.**85

Hal ini mengarah pada pertanyaan mengenai keutamaan Paus dalam Artikel XXII. Artikel ini lebih merupakan suatu pertahanan atas kepausan dari serangan kaum Lutheran, yang bersikeras bahwa Batu Karang itu adalah Kristus sebagai dasar gereja, dan menyangkal suksesi kepausan, serta tidak mau mengakui keutamaan Roma. Bagi Calvin, Kristuslah Kepala Gereja yang universal, bukannya Paus. Alkitab tidak berbicara mengenai pelayanan Paus, dan rasul Paulus pun tidak berpikir bahwa gereja merupakan satu keuskupan yang universal. "Sebagai penghargaan atas kesatuan, ia (Paulus) menyebut satu Tuhan, satu iman, satu baptisan (Efesus 4:11). Mengapa ia tidak menambahkan satu Paus sebagai kepala pelayanan?"**86 Ia menggambarkan relasi antara Petrus dan Paulus dan rasul-rasul yang lain, dan di dalam relasi itu tidak ada isyarat bahwa Petrus superior dibanding yang lain.**87 Bagi Calvin, gereja adalah tubuh Kristus di mana kepada setiap anggotanya diberikan "suatu ukuran yang pasti dan fungsi tertentu serta terbatas agar kekuasaan yang utama dari pemerintah terletak hanya pada Kristus."**88 Dalam keutamaan Kristus yang universal inilah terletak kesatuan dan katolisitas gereja, yang telah terbukti kebenarannya oleh bapa-bapa gereja, antara lain Cyprian dan Gregory. Cyprian secara khusus membuat analogi-analogi tentang satu cahaya (light) dengan banyak berkas cahaya (rays), satu batang yang ditunjang oleh akarnya dan memiliki banyak cabang, (rays), satu batang yang ditunjang oleh akarnya dan memiliki banyak cabang, satu sumber air dan banyak sungai, "demikian juga gereja, dengan diliputi cahaya dari Tuhan, ia mengirim berkas-berkas cahayanya tersebar ke mana-mana; gereja juga memperbanyak cabang-cabangnya, ia mencurahkan sungai-sungai turun ke seluruh dunia; namun tetap semuanya itu berasal dari satu kepala dan satu sumber."**89 Calvin berkomentar bahwa, menurut Cyprian, keuskupan Kristus ialah satu-satunya yang universal, dan ia mengajarkan agar bagian-bagian itu dipegang oleh para pelayan-Nya.**90

KESIMPULAN

Polemik-polemik Calvin dengan Roma mengenai tuduhan skisma tidak diragukan lagi telah menghasilkan refleksi-refleksi yang sangat dalam mengenai gereja dan kesatuannya. Isu dasarnya adalah pemahaman tentang gereja, tetapi tidak terlepas dari Kristus dan firman Allah. Gereja adalah milik Kristus dan dipersatukan di dalam Dia. Hal ini paling jelas terlihat melalui pemberitaan Injil dan pelaksanaan sakramen- sakramen yang tepat. Di dalam firman itulah terletak otoritas gereja. Semua kuasa dan fungsi pelayanan gereja dibatasi dalam firman Allah. Jabatan gereja, disiplin, dan aturan suksesi diatur oleh Roh Kristus menurut firman Allah dan semuanya itu dimaksudkan guna memajukan gereja. Calvin dan para Reformator percaya bahwa gereja Roma telah mengkorupsi doktrin Injil yang murni, menyalahgunakan kekuasaannya, dan mempromosikan segala jenis takhayul. Oleh karena itu, tujuan yang jelas dari para Reformator adalah membantu memulihkan atau memperbarui gereja Roma kepada keadaannya yang lebih murni sesuai pola gereja mula-mula seperti yang dikenal oleh bapa-bapa leluhur gereja. Calvin menganggap tuduhan skisma terhadap mereka sebagai suatu pertanyaan untuk memilih Kristus atau gereja Roma. Itu adalah pertanyaan mengenai yang manakah gereja sejati itu. Karena para Reformator taat kepada Kristus dan firman-Nya, mereka tetap berada dalam satu gereja yang sejati, dan oleh sebab itu mereka tidak dapat dianggap memisahkan diri dari gereja atau memecah-belahnya.

Calvin mencintai gereja seperti ia mencintai Kristus; kedua hal ini tidak dapat dipisahkan. Ia mengabdikan seluruh buku IV dari Institutes untuk menguraikan secara detail mengenai gereja Katolik yang kudus. Ia menyebut gereja itu sebagai ibu, karena Allah telah menyerahkan kita kepadanya agar kita bertumbuh dalam iman.**91 Itu sebabnya sangat penting untuk mengenalnya dan tidak mengabaikannya. Mereka yang tidak memiliki hubungan dengannya berarti juga tidak memiliki hubungan dengan Kristus, dan oleh karena itu mereka tidak memiliki keselamatan. Mereka yang mengabaikannya adalah orang-orang yang murtad, yang membelot dari kebenaran dan dari keluarga Allah, mereka adalah penyangkal-penyangkal Allah dan Kristus. Calvin percaya bahwa gereja terdiri dari semua orang pilihan Allah, termasuk mereka yang telah meninggal dunia. Gereja adalah katolik atau universal, yang berarti gereja adalah satu.

All the elect of God are so joined together in Christ, that as they depend on one head, so they are as it were compacted into one body, being knit together like its different members; made truly one by living together under the same Spirit of God in one faith, hope, and charity, called not only to the same inheritance of eternal life, but to participation in one God and Christ.**92
Sekalipun Calvin berbicara mengenai gereja yang tidak kelihatan, ia tidak mengabaikan berbicara tentang manifestasinya yang kelihatan, tentang jemaat lokal. Ia juga memberi perhatian besar untuk memperlihatkan karakternya yang visibel, yang ditandai terutama sekali dengan kesatuan:
This article of the Creed relates in some measure to the external Church, that every one of us must maintain brotherly concord with all the children of God, give due authority to the Church and, in short, conduct ourselves as sheep of the flock. And hence the additional expression, the "communion of the saints;"...just as it had been said, that saints are united in the fellowship of Christ on this condition, that all the blessings which God bestows upon them are mutually communicated to each other.**93
Tetapi kesatuan ini, agar terpelihara, harus diikat dengan aturan yang telah ditentukan Allah**94 dan dengan kebenaran doktrin ilahi.**95 Hal ini mungkin memberi kita suatu kesan bahwa Calvin adalah seorang pendeta yang tidak fleksibel. Namun bagaimanapun juga ia mengakui bahwa ketidaksempurnaan bisa timbul di dalam pemberitaan Injil dan pelaksanaan sakramen-sakramen. Ia membuat perbedaan antara doktrin-doktrin yang fundamental dengan yang sekunder (adiaphora), dan menyatakan bahwa semuanya ini tidak memiliki nilai yang sama**96. Semua perbedaan minor ini dalam cara apapun seharusnya tidak dijadikan alasan untuk mengabaikan gereja atau untuk menciptakan kelompok lain. "what I say is, that we are not on account of every minute difference to abandon a church, provided it retain sound and unimpaired that doctrine in which the safety of piety consists."**97 Ia juga tidak merekomendasikan agar seseorang meninggalkan gereja karena adanya penyelewengan moral di antara para anggotanya. "Kita terlalu sombong bila kita dengan segera membenarkan diri untuk keluar dari persekutuan gereja, karena kehidupan semua orang tidak sesuai dengan penilaian kita, atau bahkan dengan pernyataan Kristen."**98

Dari presentasi pandangan Calvin mengenai gereja dan kesatuannya, jelaslah bahwa perbedaan-perbedaan antara para Reformator dan gereja Roma pada hakikatnya bersifat fundamental, dan bahwa natur dari Reformasi pada dasarnya bersifat pembaharuan. Tetapi Calvin juga banyak berbicara menentang denominasionalisme dan fundamentalisme yang kaku, yang begitu tidak fleksibelnya sehingga hanya karena ketidaksepakatan doktrinal yang minor dan bahkan karena konflik- konflik pribadi, mereka memecah-belah atau memisahkan diri dari gereja. Boleh dibilang Calvin adalah seorang injili yang ekumenikal.



Catatan Kaki (Bag. 1):
  1. Ibid. 52. Bdk. "Confession of Faith in the Name of the Reformed Churches of France" dalam Tracts and Treatises 2.150-152; Institutes IV.iii.6.
  2. Ibid. 54.
  3. Ibid. 174. Bdk. Institutes IV.iii.10-12.
  4. Ibid. 170. Bdk. Institutes IV.ii.3.
  5. Ibid. 172.
  6. Ibid. 171.
  7. Institutes IV.ii.1-3.
  8. Tracts and Treatises 1.172. Bdk. Institutes IV.v.2. Pada zaman sebelum Calvin, pemerintah dan masyarakat memiliki kekuasaan dalam pengangkatan dan penolakan pejabat gerejawi.
  9. Ibid. 170.
  10. Ibid. 140.
  11. Ibid. 172. Bdk. 197, 198, 203, 204, 219; Institutes IV.v.1.
  12. Ibid. 170, 171, 204, 205. Bdk. "On Ceremonies and the Calling of the Ministers" dalam Calvin Ecclesiastical Advice (tr. Mary Beaty & Benjamin W. Farley; Louisville: Westminster/John Knox, 1991) 90,91.
  13. Ibid. 174, 175.
  14. Ibid. 174. Bdk. Institutes IV.iii.16.
  15. Ibid. 173.
  16. Ibid. 38.
  17. Ibid. 37-39, 48, 49, 66. Calvin sering menyebut bapa-bapa gereja untuk menyangkal tuduhan bahwa pengajaran para Reformator itu adalah inovasi-inovasi dan merupakan sesuatu yang baru. Ia tidak hanya yakin bahwa bapa-bapa gereja ada di pihaknya, tetapi ia juga yakin bahwa mereka adalah oposisi bagi gereja Roma sekarang. Untuk studi yang lebih jelas mengenai Calvin dan bapa-bapa gereja, lihat Anthony N. S. Lane, John Calvin: Student of the Church Fathers (Grand Rapids: Baker, 1999)
  18. Ibid. 49. Suatu pembelaan yang lebih singkat terhadap tuduhan skisma itu tetapi dalam konteks berbeda diberikan dalam "On Book One (of Pighius)" dalam The Bondage and Liberation of the Will: A Defense of the Orthodox Doctrine of Human Choice Against Pighius (ed. A. N. S. Lane; tr. G. I. Davies; Grand Rapids: Baker, 1996) 7-34. Karya itu (1543) adalah respons Calvin terhadap karya Albert Pighius, Ten Books on Human Free Choice and Divine Grace (1542), yang merupakan evaluasi atas Institutesnya Calvin (edisi 1539), khususnya bab 2 dan 8: "The Knowledge of Humanity and Free Choice," dan "The Predestination and Providence of God" secara berturut-turut.
  19. Ibid.
  20. Ibid.
  21. Ibid.
  22. Bdk. Institutes IV.ii.2.
  23. Tracts and Treatises, 1.59.
  24. Ibid. 60. Bdk. Institutes IV.ii.9, 10.
  25. Ibid. Bdk. Institutes IV.ii.10.
  26. Ibid. 67.
  27. Ibid. 63. Bdk. Institutes IV.ii.5
  28. Ibid.
  29. Ibid. 68.
  30. Tracts and Treatises 1.71.
  31. Ibid. 73. Bdk. Institutes IV.ii.10; IV.viii.5.
  32. Ibid. 102. Bdk. Institutes IV.viii.7.
  33. Ibid.
  34. Ibid.Bdk. G. C. Berkouwer, "Calvin and Rome" 185. Berkouwer menganggap pertanyaan mengenai otoritas gereja sebagai isu utama terhadap apa yang diarahkan Calvin dalam polemik-polemiknya.
  35. Ibid. 104.
  36. Ibid.
  37. Ibid. 106. Bdk. Institutes IV.xii.5.
  38. Ibid.
  39. Ibid. 108. Bdk. Institutes IV.viii.10,11;IV.ix.1-4. Dalam The Necessity of Reforming the Church and Canon and Decrees of the Council of Trent, with the Antidote, Calvin tidak melihat adanya pengharapan di dalam konsili yang bersidang atas inisiasi Paus. Dalam traktatnya yang pertama ia menyerukan kepada kaisar Charles V agar mengadakan konsili persidangan propinsi, yang memiliki preseden sejarah. "Sesering bidat-bidat baru muncul, ataupun gereja diganggu oleh beberapa perselisihan, bukankah merupakan suatu kebiasaan untuk segera mengadakan persidangan sinode secara propinsi, sehingga gangguan itu kemudian dapat diakhiri? Tidak pernah menjadi suatu kebiasaan untuk lagi-lagi mengadakan konsili umum sampai suatu cara lain telah diusahakan" (Tracts and Treatises 1.223). Di dalam pendahuluan antidotnya terhadap konsili Trent, Calvin memunculkan pertanyaan-pertanyaan serius mengenai persidangan dari konsili itu. Ia mengangkat pertanyaan mengenai masalah waktu, komposisi Trent, prosedur-prosedur, dan tujuannya. Menyadari bahwa Paus telah menentukan semua hal ini sebelumnya, Calvin membuang semua harapan akan adanya Reformasi di gereja Roma. "Apakah ini? Seluruh dunia mengharapkan adanya sebuah konsili di mana butir-butir yang bertentangan bisa tetap didiskusikan. Orang-orang ini mengakui bahwa mereka hadir tidak lain hanya untuk menghakimi apapun yang tidak sesuai dengan pikiran mereka. Dapatkah seseorang tetap sedemikian bodohnya dengan berpikir untuk mendapat bantuan atas kesusahan-kesusahan kita dari suatu konsili?" (Tracts and Treatises 3.39). Hal yang sama diungkapkan dalam artikel "If Christians Can be Given a Plan for a General Council" dalam Calvin's Ecclesiastical Advice 46-48.
  40. Ibid. 110. Bdk. "Confession of Faith in the Name of the Reformed Churches of France" dalam Tracts and Treatises 2.150, 151; Institutes IV.vi.10.
  41. Bdk. Institutes IV.vi.4.
  42. Ibid. 111. Bdk. Institutes IV.vi.1, 3, 6
  43. Ibid. 112. Bdk. Institutes IV.ii.6;IV.iv.16, 17.
  44. Ibid. Bdk. "The Necessity" 218, di mana Calvin menentang keutamaan Paus berdasarkan pada pemikiran apakah gereja Roma adalah gereja sejati dan apakah Paus adalah uskup yang benar. Demi kepentingan argumentasi jika kita mengatakan "bahwa keutamaan itu adalah dicurahkan secara ilahi pada keuskupan Roma, dan telah didukung oleh persetujuan bersama dari gereja mula-mula; kendati demikian keutamaan ini hanya mungkin jika Roma memiliki gereja dan juga uskup yang sejati. Karena penghormatan terhadap kursi jabatan tersebut tidak bisa tetap bertahan setelah kursi jabatan itu tidak ada lagi."
  45. Institutes IV.i.5.
  46. Ibid.IV.i.2. Bdk."Cathechism of the Church of Geneva" (1541, 1545) dalam Tracts and Treatises 2.50, 51.
  47. Ibid.IV.i.3.
  48. Ibid.IV.i.5.
  49. Ibid.IV.i.9.
  50. Ibid.IV.i.12.
  51. Ibid.
  52. Ibid.IV.i.18.


Sumber: 

Sumber diambil dari:


Judul Buku : Veritas Vol. 3/1 (April 2002)
Judul Artikel : Calvin dan Tuduhan Skisma Dari Katolik Roma Terhadap
Para Reformator: Sebuah Studi Tentang Kesatuan Gereja
Penulis : Hidalgo B. Garcia
Penerjemah : -
Penerbit : SAAT, Malang (2002)
Halaman : 48 - 59

Calvin dan Tuduhan Skisma dari Katolik Roma Terhadap Para Reformator: Sebuah Studi Tentang Kesatuan Gereja (Bag. 1)

Dear e-Reformed Netter,

Seperti yang Anda ketahui pada akhir Oktober nanti kita akan merayakan HARI REFORMASI GEREJA, jadi saya sengaja pilihkan artikel yang sesuai untuk menyambut hari besar gereja itu. Judulnya adalah:

CALVIN DAN TUDUHAN SKISMA DARI KATOLIK ROMA TERHADAP PARA
REFORMATOR: SEBUAH STUDI TENTANG KESATUAN GEREJA
oleh: HIDALGO B. GARCIA

Namun karena artikel ini sangat panjang maka akan bagi menjadi dua bagian. Bagian pertama akan saya kirimkan untuk Publikasi e-Reformed edisi September 2003 (maaf, baru dikirim awal Oktober 2003). Sedangkan bagian kedua akan saya kirimkan sebagai edisi akhir Oktober 2003. Semoga bahan ini bisa memperluas pemahaman kita tentang pandangan para Reformator, khususnya pandangan John Calvin tentang Kesatuan Gereja. Kiranya menjadi berkat.

In Christ,

Editorial: 

Dear e-Reformed Netter,

Seperti yang Anda ketahui pada akhir Oktober nanti kita akan merayakan HARI REFORMASI GEREJA, jadi saya sengaja pilihkan artikel yang sesuai untuk menyambut hari besar gereja itu. Judulnya adalah:

CALVIN DAN TUDUHAN SKISMA DARI KATOLIK ROMA TERHADAP PARA
REFORMATOR: SEBUAH STUDI TENTANG KESATUAN GEREJA
oleh: HIDALGO B. GARCIA

Namun karena artikel ini sangat panjang maka akan bagi menjadi dua bagian. Bagian pertama akan saya kirimkan untuk Publikasi e-Reformed edisi September 2003 (maaf, baru dikirim awal Oktober 2003). Sedangkan bagian kedua akan saya kirimkan sebagai edisi akhir Oktober 2003. Semoga bahan ini bisa memperluas pemahaman kita tentang pandangan para Reformator, khususnya pandangan John Calvin tentang Kesatuan Gereja. Kiranya menjadi berkat.

In Christ,
Yulia

Penulis: 
Hidalgo B. Garcia
Edisi: 
043/IX/2003
Isi: 

Calvin bisa dianggap sebagai seorang pemimpin gereja yang ekumenikal. Namun, dalam kebanyakan studi tentang sikap ekumenikal Calvin, mau tidak mau kita merasakan adanya prasuposisi yang tidak semestinya, yang tidak berhubungan dengan situasi aktual abad keenam belas dan tujuh belas. Mungkin sulit diperlihatkan sampai sejauh mana sikap seseorang terhadap gerakan ekumenikal saat ini mempengaruhi kesimpulannya tentang ekumenisme para Reformator. Studi-studi ekumenikal merupakan subjek persoalan yang sensitif dan melibatkan loyalitas subjektif yang tidak selalu diakui secara terbuka.

Masalah subjektivitas ini merupakan problem metodologis dalam studi mengenai ekumenisme Calvin. Sebelum melakukan pendekatan secara objektif mengenai posisinya terhadap gereja Katolik Roma, pertama- tama kita harus menyadari prasuposisinya yang mendasar dan harus mengajukan pertanyaan-pertanyaan yang tepat. Menurut saya, dari perspektif para Reformator, terutama Calvin, pertanyaannya bukanlah apakah seharusnya ada reuni dengan gereja Roma, tetapi, dengan cara bagaimana gereja itu bisa direformasi ke dalam keadaannya yang lebih murni. Ia tidak ragu-ragu mengatakan bahwa gereja Roma telah kehilangan status privilesenya sebagai gereja sejati.

Richard Stauffer, menurut hemat saya, melakukan pendekatan yang tepat terhadap posisi Calvin berkenaan dengan gereja Roma. Ia mengatakan bahwa kita harus kembali ke latar belakang polemik-polemik abad ke-16 untuk memahami pemosisian Calvin tentang Reformasi berkaitan dengan gereja Roma. "Dalam pandangan Reformator Jenewa itu, sesungguhnya hal itu merupakan masalah pembedaan antara gereja yang sejati dan yang palsu.".**1 Ia bersikeras bahwa hanya ada satu gereja yang katolik dan kudus dan bahwa para Reformator tidak sedang menciptakan gereja yang lain. Baginya, maksud dari Reformasi adalah untuk mereformasi gereja Roma, bukannya membentuk gereja yang lain. Ia mengakui bahwa jemaat-jemaat Protestan memang telah muncul sebagai akibat dari Reformasi, namun semuanya ini merupakan bagian atau ekspresi dari gereja katolik yang satu dan kudus, dan itu tidak dapat menghalangi seseorang dari persekutuan dengan orang-orang Kristen dari komunitas persekutuan lainnya. Dengan kata lain, bagi Calvin, denominasionalisme sebagaimana yang kita kenal sekarang merupakan sebuah anomali. Seharusnya ada partisipasi penuh dan pengakuan mutual serta penerimaan terhadap orang-orang Kristen dari jemaat manapun. Calvin bahkan akan mengingkari gagasan tentang "Calvinisme." Dalam kesemuanya ini, baik pendiriannya terhadap gereja Roma maupun relasinya dengan gereja-gereja Protestan, ia memperlihatkan bahwa maksud dari Reformasi adalah untuk merestorasi gereja katolik yang satu dan kudus itu ke dalam keadaan yang lebih murni. Menurut saya, setiap studi tentang sikap ekumenisme Calvin seharusnya bertolak dari maksud Reformasi ini.

Para sarjana baru-baru ini cenderung terfokus pada pertanyaan tentang apakah Calvin melakukan separasi atau mengupayakan kesatuan dengan gereja Roma. Jean Cadier**2 dan Martin Klauber**3, misalnya, yakin bahwa posisi Calvin adalah separasi dengan gereja Roma. Menurut saya, "separasi" bukanlah kategori yang tepat karena mengandung ambiguitas tertentu di dalamnya. Sebagaimana akan kita lihat yang terlibat adalah soal-soal yang lebih dalam daripada separasi dan Calvin bersikeras bahwa para Reformator bukanlah skismatik. Cadier menyebut konferensi-konferensi dengan Katolik Roma di mana Calvin berpartisipasi dengan begitu aktif. Jika pendirian Calvin terhadap gereja Roma pada intinya adalah separasi, satu pertanyaan perlu diajukan, biar bagaimanapun mengapa ia mau berpartisipasi dalam pertemuan-pertemuan seperti itu? Di sisi lain, pengakuan iman fundamental yang dipresentasikan Klauber, dapat, dan seharusnya, dilihat dengan cara berbeda, bukan hanya "sebagai basis untuk usaha persatuan eklesiastikal di antara berbagai kubu Protestan,"**4 namun juga sebagai dasar untuk diskusi dengan orang-orang Katolik.

Ada sekelompok sarjana lain**5 yang lebih positif memandang relasi Calvin dengan gereja Roma, dan mereka percaya bahwa meski Calvin bersikap nonkompromis dalam keyakinan teologisnya, namun ia tetap mengharapkan kesatuan gereja-gereja, termasuk gereja Roma. John T. McNeil memberikan analisa historis yang baik mengenai usaha-usaha ekumenikal Calvin dan menyimpulkan bahwa ia tidak akan mengalah untuk apa yang ia anggap sebagai kebenaran hakiki, demi memperoleh kedamaian di antara gereja dan menegakkan kebersamaan di antara mereka. Namun McNeil juga setuju dengan kebanyakan sarjana Calvin bahwa ia akan menyambut dengan senang hati setiap kesempatan berunding guna membentuk relasi maksimum dengan setiap gereja, termasuk gereja Roma.**6 I. John Hesselink tiba pada kesimpulan serupa dengan McNeill, meskipun melalui pendekatan berbeda.

Menurut Robert M. Kingdon, posisi Calvin bersifat terbuka dan sikap ini bisa ia pakai sebagai pendekatan ekumenikal. Kingdon mengakui adanya kesepakatan antara Katolikisme Tridentine dan Protestantisme Ortodoks dan ini dapat dipelajari oleh semua orang yang berusaha memahami kepedulian Protestan yang dalam, agar semua doktrin Kristen terkokoh berdasar pada Alkitab.**7 Theodore W. Casteel melihat reaksi Calvin terhadap konsili Trent dalam konteks pemikiran konsiliar sang Reformator. Ia menyimpulkan, "Reformator Jenewa itu melihat harapan terbaik akan adanya rekonsiliasi dalam sebuah konsili yang benar-benar ekumenikal--sebuah proyek yang ia perjuangkan hingga akhir hidupnya.**8

Pada dasarnya saya mengikuti kelompok kedua yang berpendapat bahwa Calvin bersikap nonkompromi dalam keyakinannya, kendati demikian ia tetap mengharapkan reformasi gereja Roma yang akan mengarah pada kesatuan. Saya akan mencoba menunjukkan hal ini dengan cara yang belum pernah ditempuh sebelumnya, yakni, menganalisa jawaban Calvin terhadap tuduhan Katolik Roma bahwa para Reformator adalah skismatik. Artikel ini berisi sebagai berikut: tuduhan skismatik dari Katolik Roma terhadap para Reformator, pemahaman Katolik Roma tentang kesatuan, respons Calvin atas tuduhan skisma, dan akhirnya, pada bagian kesimpulan, pengertian Calvin tentang kesatuan gereja, yang diintisarikan dari responsnya terhadap tuduhan skisma dan dari Institutes. Yang pertama dari tiga bagian ini akan diambil terutama dari traktat-traktat dan risalah-risalah yang berhubungan langsung dengan polemik-polemik Calvin-Roma Katolik.**9 Semua isu yang dipresentasikan dalam artikel ini, tentu saja, terdapat dalam Institutes, dan dengan demikian, saya akan mengutip bagian-bagian Institutes yang paralel dan relevan pada catatan kaki.

TUDUHAN SKISMA ROMA KATOLIK

Tuduhan skisma yang paling menonjol terdapat dalam surat yang ditulis oleh uskup Roma, Sadoleto, kepada senat dan masyarakat Jenewa (1539). Melalui surat ini, ia memanfaatkan kesempatan dalam peristiwa pengusiran Calvin dari Jenewa untuk membujuk penduduk Jenewa agar kembali ke sisi gereja Roma. Ia menggambarkan para Reformator sebagai musuh-musuh kesatuan dan kedamaian Kristen, yang menabur benih-benih perselisihan, dan membuat jemaat Kristus yang setia berbalik dari jalan bapa-bapa dan para leluhur mereka.**10 Ia membandingkan mereka seperti abses, "by which some corrupted flesh being torn off, is separated from the spirit which animates the body, and no longer belongs in substance to the body Ecclesiastic."**11 Paus Paulus III dalam suratnya kepada kaisar Charles V (1544) melukiskan para Reformator sebagai pengacau yang senang dengan pertikaian: "Nay, they rather entirely deprive the Church of all discipline, and of all order, without which no human society can be governed."**12

Sadoleto, dalam surat yang sama, meragukan ajaran-ajaran para Reformator sebab ajaran itu merupakan inovasi yang baru tercipta, yang usianya baru 25 tahun. Ia mengagungkan kemuliaan usia gereja Katolik Roma yang menurutnya telah hadir selama lebih dari 1500 tahun dan mengklaim bahwa bapa-bapa leluhur gereja berada di pihaknya. Klaim atas otoritas bapa-bapa leluhur gereja merupakan salah satu pokok persengketaan dalam polemik Calvin-gereja Roma. Bagi Sadoleto, yang menjadi soal perdebatan adalah apakah ia harus mengikuti gereja Katolik Roma kuno ataukah membenarkan para pendatang baru yang skismatik itu. "Inilah tempatnya, saudara yang terkasih, inilah jalan raya di mana jalan itu terbagi ke dua arah, yang satu mengarah pada kehidupan, dan yang lain pada kematian abadi."**13 Ini merupakan seruan kepada orang Katolik untuk memisahkan diri dari para Reformator, sebuah seruan yang semata-mata dibuat berdasar pada otoritas gereja dan tradisi yang diwarisi dari para orang tua. Dasar seruan ini dibuat menjadi lebih eksplisit melalui gambaran Sadoleto tentang dua pilihan atau dua cara, dengan menghadirkan dua orang yang diuji di hadapan Allah. Orang pertama, anggap saja seorang Katolik yang setia, akan mengakui imannya berdasar otoritas gereja Katolik dengan semua hukum, nasihat dan dekritnya. Ia tampil di hadapan Allah berdasar pada ketaatannya pada gereja bapa-bapanya dan bapa-bapa leluhurnya. Dalam pengakuannya itu terefleksikan tuduhan tanpa bukti terhadap para Reformator:

And though new men had come with the Scripture much in their mouths and hands, who attempted to stir some novelties, to pull down what was ancient, to argue against the Church, to snatch away and wrest from us the obedience which we all yielded to it, I was still desirous to adhere firmly to that which had been delivered to me by my parents, and observed from antiquity, with the consent of most holy and most learned Fathers.**14

Kesetiaan kepada gereja merupakan definisi dari hierarki Katolik tentang orang Kristen yang baik, karena di dalam gerejalah keselamatan kekal seseorang yang setia paling terjamin. Paulus III dalam surat tersebut di atas menasihati kaisar Charles V untuk tidak memberi kelonggaran pada kelompok Protestan dan tetap berpegang pada otoritas gereja:

But, dear son, everything depends on this, that you do not allow yourself to be withdrawn from the unity of the Church, that you do not backslide from the custom of the most religious Princes, your forefathers, but in everything pertaining to the discipline, order, and institutions of the Church, pursue the course by which you have, for many years, given the strongest proofs of heart-felt piety.**15

Selanjutnya, Sadoleto menggambarkan orang yang lain, anggaplah mewakili para Reformator, sebagai seorang yang iri dan dengki pada kekuasaan dan privilese hierarki Roma. Kegagalan para Reformator untuk berbagi kekayaan eklesiastikal telah menggerakkan mereka untuk menyerang gereja dan, "induced a great part of the people to contemn those rights of the Church, which had long before been ratified and inviolate."**16 Ia menuduh mereka semata-mata memberontak pada otoritas konsili, bapa-bapa gereja, para Paus Roma dan tradisi- tradisi.**17 Impresi yang ingin ia bentuk ialah bahwa pemberontak Reformed itu mengklaim mereka tahu lebih banyak dari ajaran-ajaran kuno. Tetapi rasa frustasi karena gagal untuk mengubah gereja akhirnya membuat mereka memecah-belahnya. Pernyataan terakhir sang Reformator yang merasa tidak puas itu, seperti digambarkan oleh Sadoleto, mengatakan demikian:

Having thus by repute for learning and genius acquired fame and estimation among the people, though, indeed, I was not able to overturn the whole authority of the Church, I was, however, the author of great seditions and schisms in it.**18

Di samping itu, tuduh Sadoleto, para Reformator bukan saja memecah gereja tetapi juga mengoyak-ngoyaknya. Ia mengamati bahwa sejak masa Reformasi sekte-sekte berkembang biak. "Sects not agreeing with them, and yet disagreeing with each other--a manifest indication of falsehood, as all doctrine declares."**19. Pemecahan dan pengoyakan gereja yang kudus itu, menurutnya, sepatutnya adalah pekerjaan setan, bukan pekerjaan Allah.

PEMAHAMAN KATOLIK ROMA MENGENAI KESATUAN

Tuduhan skisma yang sama dilakukan dalam Adultero-German Interim (1548),**20 meskipun tidak langsung seperti dalam surat-surat Sadoleto dan Paulus III. Menurut dekrit imperial ini ada dua tanda yang membedakan gereja dari kawanan skismatik dan bidat, yaitu kesatuan dan katolisitas. Di sini kesatuan dijabarkan sebagai ikatan kasih dan damai yang mempersatukan anggota-anggota gereja bersama-sama.**21 Perhatikan bahwa dalam kesatuan tersebut tidak disebutkan adanya fondasi doktrinal dan spiritual, kecuali ketaatan yang mutlak terhadap ajaran dan disiplin gereja. Lebih jauh lagi, gereja Roma menyombongkan diri sebagai katolik melalui klaimnya atas ekspansi geografis dan temporal serta suksesi apostolik: "diffused through all times and places, and through means of the Apostles and their successors, continued even to us, being propagated by succession even to the ends of the earth, according to the promises of God."**22 Skismatik dan bidat-bidat, sebagaimana dituduhkan kepada para Reformator, "break the bond of peace, and to their own destruction deprive themselves of Catholic union, while they prefer their own party to the whole universal Church."**23. Untuk memelihara kesatuan dan integritas gereja Katolik seseorang harus tunduk pada otoritasnya dengan kerendahan dan ketaatan. Sadoleto mengungkapkan sikap demikian:

For we do not arrogate to ourselves anything beyond the opinion and authority of the Church; we do not persuade ourselves that we are wise above what we ought to be; we do not show our pride in contemning the decrees of the Church; we do not make a display among the people of towering intellect or ingenuity, or some new wisdom; but (I speak of true and honest Christians) we proceed in humility and in obedience, and the things delivered to us, and fixed by the authority of our ancestors, (men of the greatest wisdom and holiness) we receive with all faith, as truly dictated and enjoined by the Holy Spirit.**24

Dengan demikian, dapat kita katakan bahwa bagi gereja Roma makna kesatuan tidak lain dari sikap tunduk, yang menjadi dasar klaim infalibilitas dan otoritas gereja. Terhadap dasar inilah sekarang kita beralih.

Kesatuan gereja, menurut Katolik Roma, bertumpu pada infalibilitasnya. Hal ini terungkap jelas dalam Articles Agreed Upon by the Faculty of the Sacred Theology of Paris (1542).**25 Artikel XVIII menyatakan:

Every Christian is bound firmly to believe, that there is on earth one universal visible Church, incapable of erring in faith and manners, and which, in things which relate to faith and manners, all the faithful are bound to obey.**26

Dari artikel ini jelas terbukti bahwa otoritas gereja merupakan otoritas hierarki. Hierarki disamakan dengan gereja yang visibel dan infalibel. Karena visibilitas gereja didasarkan atas visibilitas hierarki, maka yang belakangan juga dianggap infalibel. Bukti kedua untuk infalibilitas hierarki (dan karena itu, otoritasnya juga) ialah suksesi yang terus-menerus dari Petrus. Karena doktrin inilah apapun yang telah ditentukan gereja Roma bersifat otoritatif. Hal ini juga didukung oleh klaim bahwa gereja dipimpin langsung oleh Roh Kudus, karena Roh Kudus tidak bisa salah, maka gereja pun demikian.**27

Infalibilitas gereja merupakan dasar otoritas gereja, dan menjadi perisai yang tak terkalahkan yang melindungi gereja dari serangan musuh-musuhnya, seperti dinyatakan oleh artikel XVII. Di atas dasar inilah bertumpu doktrin-doktrin dan kekuatan gereja. Artikel-artikel berikut**28 memperlihatkan otoritas infalibel gereja yang berakar dari artikel XVIII yang mendahuluinya:

Article XIX: That to the visible Church belongs definitions in doctrine. If any controversy or doubt arises with regard to any thing in the Scriptures, it belongs to the foresaid Church to define and determine.

Article XX: It is certain that many things are to be which are not expressly and specially delivered in the sacred Scriptures, but which are necessarily to be received from the Church by tradition.

Article XXI: With the same full conviction of its truth ought it to be received, that the power of excommunicating is immediately and of divine right granted to the Church of Christ, and that, on that account, ecclesiastical censures are to be greatly feared.

Article XXII: It is certain that a General Council, lawfully convened, representing the whole Church, cannot err in its determination of faith and practice

Article XXIII: Nor is it less certain that in the Church militant there is, by divine right, a Supreme Pontiff whom all christians are bound to obey, and who, indeed, has the power of granting indulgences.

Semua artikel iman ini dimaksudkan untuk memelihara kesatuan gereja, yang menurut pemahaman hierarki gereja Roma, berdasar pada infalibilitas dan otoritasnya. Calvin menolak semua ini dalam polemik- polemiknya dengan gereja Roma. Sebelum kita melihat penolakannya terhadap artikel-artikel iman Paris ini, kita akan menganalisa responsnya atas tuduhan skisma dari hierarki Katolik Roma.

FIRMAN ALLAH DAN GEREJA: RESPONS CALVIN TERHADAP TUDUHAN SKISMA

Isu mendasar berkaitan dengan tuduhan skisma ialah pemahaman tentang gereja. Pada prinsipnya Calvin sependapat dengan Sadoleto bahwa tidak ada yang lebih membahayakan bagi keselamatan kita daripada ibadah yang sia-sia dan menentang aturan Allah. Ia menganggap prinsip ini sebagai batu loncatan bagi pembelaannya atas tuduhan Sadoleto. Namun pertanyaannya, menurut Calvin, dari dua pihak ini manakah yang memelihara ibadah yang benar pada Allah? Bagi Sadoleto, tulis Calvin, ibadah yang benar adalah seperti yang ditentukan oleh gereja. Namun, ia mengajukan sebuah pertanyaan serius sehubungan dengan penggunaan kata "gereja" oleh Sadoleto dan para pengikut Paus. Ia menuduh Sadoleto memiliki delusi tentang istilah "gereja," atau paling tidak, secara sadar ia memberikan keterangan yang tampaknya mengesankan tetapi palsu. Dalam the Necessity of Reforming the Church, ia mendesak audiensinya untuk tidak merasa takut terhadap penggunaan kata "gereja" oleh para pengikut Paus.**29 Para nabi dan rasul telah berjuang melawan "gereja pura-pura" pada masa mereka. Mereka juga dituduh telah menghina kesatuan gereja. Namun pertanyaannya, gereja yang mana? Bagi Calvin tidaklah cukup hanya menggunakan nama gereja seperti yang dilakukan para pengikut Paus yang berusaha mengejutkan orang-orang dengan memutarbalikkan istilah gereja. "Penilaian harus dilakukan untuk memastikan yang mana gereja sejati, dan apa natur kesatuannya."**30

Menurutnya, ada dua tanda gereja yang sejati, yakni pemberitaan firman yang setia dan pelaksanaan sakramen yang tepat. Berkaitan dengan kesatuan gereja maka hal yang pertama-tama perlu diperhatikan adalah berhati-hati supaya gereja tidak terpisah dari Kristus, Kepalanya.**31 Ia menjabarkan apa yang ia maksud dengan Kristus, "Ketika saya mengatakan Kristus, maka termasuk dalam pengertiannya adalah doktrin-Nya yang Ia meteraikan dengan darah-Nya."**32 Melalui kesatuan antara gereja dan Kristus inilah Calvin menyangkal tuduhan bahwa ia dan para Reformator tidak sependapat dengan gereja.**33 Tuduhan skisma harus dianggap sebagai ketaatan kepada Kristus lebih dari ketaatan kepada gereja Roma. Dalam The Method of Giving Peace to Christendom and Reforming the Church, Calvin, mengutip Hilary, berkeyakinan bahwa satu-satunya kedamaian gereja ialah yang berasal dari Kristus. Ikatan kedamaian adalah kebenaran Injil.**34 Implikasi kesatuan itu diekspresikan demikian: "Wherefore, if we would unite in holding a unity of the Church, let it be by a common consent only to the truth of Christ."**35 Selanjutnya, dalam Remarks on the Letter of Pope Paul III (to the Emperor Charles V), ia mengusulkan sebuah pembedaan antara gereja yang sejati dan yang palsu berdasar pada kesetiaan kepada Kristus, yang merupakan dasar kesatuan.

Let Farnese (Pope) then show that Christ is on his side, and he will prove that unity of the Church is with him. But seeing it is impossible to adhere to him without denying Christ, he who turns aside from him makes no departure from the Church, but discriminates between the true Church and a church adulterous and false.**36

Calvin menekankan firman Allah dalam pemahamannya tentang gereja. Yang ia maksud dengan gereja ialah, "from incorruptible seed begets children for immortality, and, when begotten, nourishes them with spiritual food (the seed and food being the Word of God)."**37 Tempat bagi firman Allah adalah sesuatu yang hilang dalam pengertian gereja Roma. Kepada Sadoleto ia menyatakan,

In defining the term, you omit what would have helped you, is no small degree, to the right understanding of it. When you describe it as that which in all parts, as well as at the present time, in every region of the earth, being united and consenting in Christ, has been always and every where directed by the one Spirit of Christ, what comes of the Word of the Lord, that clearest of all marks, and which the Lord himself, in pointing out the Church, so often recommends to us? For seeing how dangerous it would be to boast of the Spirit without the Word, he declared that the Church is indeed governed by the Holy Spirit, but in order that that government might be not be vague and unstable, he annexed it to the Word of God.**38

Bagi Calvin, Roh dan firman tidak dapat dipisahkan. "Learn, then by your own experience, that it is no less unreasonable to boast of the Spirit without the Word, than it would be absurd to bring forward the Word itself without the Spirit."**39 Dengan prinsip ini, ia memberikan definisi yang lebih tepat tentang gereja, yaitu "sebuah kumpulan dari semua orang kudus, sebuah kumpulan yang menyebar ke seluruh dunia dan hadir di sepanjang zaman, namun terikat bersama- sama oleh satu doktrin, dan satu Roh Kristus, yang mempererat dan memelihara kesatuan iman dan harmoni persaudaraan."**40 Dari definisi ini ia kemudian membuat klaim yang pasti tentang kesatuan: "With this Church we deny that we have any disagreement. Nay, rather, as we revere her as our mother, so we desire to remain in her bosom."**41 Calvin menyatakan bahwa para Reformator menganggap kesatuan gereja sebagai sesuatu yang kudus dan mereka menyampaikan kutuk terhadap semua orang yang dengan cara apapun melanggarnya.**42 Ia memahami kesatuan gereja sebagai sesuatu yang berakar dari prinsip Kitab Suci, "satu Tuhan, satu iman, satu baptisan, satu Allah dan Bapa dari semua." Ia mencirikan iman dengan mengatakan, "Lebih jauh, kita harus ingat apa yang dikatakan dalam perikop lain, 'bahwa iman datang dari firman Allah.' Karena itu, biarlah itu menjadi poin yang pasti bahwa kesatuan yang kudus hadir di antara kita, ketika kita sepakat dalam doktrin yang murni kita dipersatukan dalam Kristus saja."**43 Syarat kedamaian adalah "Kebenaran Allah yang murni, suara dari Sang Gembala semata," sedangkan "terhadap suara orang-orang asing penjaga menentang dan menolaknya."**44 Melalui hal ini ia menekankan kesepakatan doktrinal lebih dari sekadar ketaatan eksternal kepada gereja. Ia memberikan komentar terhadap perkataan Paulus di Efesus 4:12-15:

Could he [Paul] more plainly comprise the whole unity of the Church in a holy agreement in a true doctrine, than when he calls us back to Christ and to faith, which is included in the knowledge of him, and to obedience to the truth?**45

[Bersambung -- ke Publikasi e-Reformed yang akan terbit pada akhir Oktober 2003.]



Catatan Kaki (Bag. 1):
  1. The Quest for Church Unity from John Calvin to Isaac d'Huisseau (Allison Park: Pickwick, 1986) 3. Pendirian ini dan yang saya anut mirip dengan pendirian Daniel Lucas Lukito dalam artikelnya, "Esensi dan Relevansi Teologi Reformasi," Veritas 2/2 (Oktober 2001) 149-157. Bdk. G. C. Berkouwer, "Calvin and Rome" dalam John Calvin: Contemporary Prophet, A. Symposium (ed. Jacob T. Hoogstra; Grand Rapids: Baker, 1959) 185. Untuk pengertian Calvin mengenai kebenaran, lih. Charles Partee, "Calvin's Polemic: Foundational Convictions in the Service of God's Truth" dalam Calvinus Sincerioris: Calvin as Protector of the Purer Religion (Sixteenth Century Essays and Studies vol. XXXVI; ed. Wilhelm Neuser & Brian G. Armstrong; Kirksville: Sixteenth Century Journal) 97-122.
  2. "Calvin and the Union of the Churches" dalam John Calvin (ed. G. E. Duffield; Grand Rapids: Eerdmans, 1966) 118.
  3. "Calvin on Fundamental Articles and Ecclesiastical Union," Westminster Theological Journal 54 (1992) 342-343.
  4. Ibid. 341
  5. John T. McNeill, "Calvin as an Ecumenical Churchman," Church History 32 (1963) 379 dst. Robert M. Kingdon, "Some French Reactions to the Council of Trent," Church History 33 (1964) 149 dst.; I. John Hesselink, "Calvinus Oecumenicus: Calvin's Vision of the Unity and Catholicity of the Church," Reformed World XXX; Theodore W. Casteel, "Calvin and Trent: Calvin's Reaction to the Council of Trent in the Context of His Conciliar Thought," Harvard Theological Review 63 (1970) 91 dst.
  6. "Calvin as an Ecumenical Churchman" 390-391.
  7. "Some French Reactions" 151.
  8. "Calvin and Trent" 117. Untuk pendapat kontra lih. Robert E. McNally, "The Council of Trent and the German Protestants," Theological Studies 25 (1964) 1-22.
  9. H. Beveridge memberikan introduksi yang baik untuk The Tracts and Treatises on the Reformation of the Church by John Calvin (3 vol.; tr. Henry Beveridge; Grand Rapids: Eerdmans, 1958) v-xli. Referensi selanjutnya bersumber dari buku ini, kecuali jika saya sebutkan lain. Untuk diskusi tentang risalah polemik Calvin, lih. Francis Higman, "I Came Not to Send Peace, But a Sword" dalam Calvinus Sincerioris 123-135.
  10. Tracts and Treatises 1.4,5.
  11. Ibid. 14.
  12. Ibid. 240. Surat Paus Paulus III kepada Charles V (1544) adalah teguran kepada sang kaisar yang memberi kelonggaran, meskipun hanya berupa sedikit keringanan dari tuduhan yang tidak adil kepada kaum Protestan, dan yang telah mengambil yurisdiksi dalam masalah-masalah agama yang berada di luar lingkup jabatannya. Paulus III mengeluh, "the Emperor, in claming illegal jurisdiction, had committed two sins: first, he had presumed, without consulting him, to promise a Council: and secondly, he had not hesitated to undertake an investigation alien to his office" (ibid. 238). Calvin memberi tanggapan yang tajam mengenai surat ini (1544). Ia mengekspos hipokrisi Paus dengan menunjukkan fakta bahwa semua konsili besar gereja pada masa-masa awal diputuskan bukan oleh para Paus atau uskup, tetapi oleh kaisar.
  13. Ibid. 16.
  14. Ibid. 16, 17.
  15. Ibid. 239.
  16. Ibid. 17, bdk. h.5.
  17. Ibid.
  18. Ibid. 18.
  19. Ibid. 19.
  20. Diumumkan secara resmi oleh kaisar Charles V, Interim diduga sebagai rencana kompromis antara orang-orang Katolik dan Protestan selama menunggu keputusan konsili umum. Kecuali artikel-artikel tentang Communion mengenai jenis dan pernikahan para imam, konstitusi imperial itu condong ke arah Katolik Roma. Apa yang dinamakan Common States (negeri-negeri Katolik) yang tetap setia kepada gereja Roma harus terus memelihara ordonansi-ordonansi dan anggaran dasar gereja yang universal, yakni, Katolik Roma, dan States (negeri-negeri protestan) yang telah memeluk apa yang disebut inovasi-inovasi itu diperingatkan untuk menghubungkan diri mereka kembali dengan Common States, dan sepakat dalam memelihara anggaran dasar dan upacara-upacara gereja Katolik yang universal (Tracts and Treatises 3.192).
  21. Ibid. 205.
  22. Ibid.
  23. Ibid.
  24. Tracts and Treatises 1.11.
  25. Sorbonne Theological Faculty pada tahun 1543, dengan otoritas dari Francis I, menyusun dan menerbitkan 25 artikel yang menolak ajaran Reformasi. Calvin menyangkal dan menerbitkan artikel-artikel tersebut pada tahun 1544. Di dalamnya ia memberikan teks dari setiap artikel diikuti dengan komentarnya terhadap artikel tersebut. Dengan status magisterial, artikel-artikel tersebut menentukan bahwa doktrin-doktrin itu mengikat dan harus diajar oleh para doktor dan pendeta dan dipercayai oleh orang-orang yang setia. Bahwa gereja adalah ekuivalen atau di atas Alkitab, terungkap secara eksplisit dalam dokumen ini. "The place ought to have very great authority in the Church; and although our masters are deficient in proofs from Scripture, they compensate the defect by another authority which they have, viz., that of the Church, which is equivalent to Scripture, or even (according to the Doctors) surpassed it in certainty" (ibid. 71, 72).
  26. Ibid. 101.
  27. Ibid. 102.
  28. Ibid. 103-112.
  29. Tracts and Treatises 1.212. "The Necessity of Reforming the Church" dipresentasikan di hadapan Imperial Diet di Spires tahun 1544, menyampaikan sebuah "Supplicatory Remonstrance" kepada kaisar Charles V, sehubungan dengan konsili umum gereja menurut cara gereja mula-mula. Bdk. Institutes IV.ii.2, 4.
  30. Ibid. 213.
  31. Ibid. Dalam Institutes IV.i.2-7, Calvin mengacu pada gereja bukan hanya gereja yang terlihat tetapi juga orang-orang pilihan Allah. Pemilihan sebagai dasar kesatuan gereja bukanlah tema umum dalam polemik-polemiknya dengan gereja Roma. Bdk. Arthur C. Cochrane, "The Mystery of the Continuity of the Church: A Study in Reformed Symbolics," Journal of Ecumenical Studies 2 (1965) 81-96. Cochrane mencatat bahwa menurut pengajaran Reformed misteri kontinuitas gereja terdapat dalam pilihan dan panggilannya, di dalam dan oleh Yesus Kristus.
  32. Ibid.
  33. Bdk. Institutes IV.ii.2.
  34. Tracts and Treaties 3.240. Salah satu traktat terpenting dan serupa isinya dengan "The Necessity of Reforming the Church," "The True Method of Giving Peace to Christendom and of Reforming the Church" (1547), adalah penolakan Calvin terhadap "The Adultero- German Interim."
  35. Ibid. 266.
  36. Tracts anda Treatises 1.259.
  37. Ibid. 214.
  38. Tracts and Treatises 1.35.
  39. Ibid. 37.
  40. Ibid.
  41. Ibid. Bdk. Institutes IV.i.1.
  42. Ibid. 214
  43. Ibid. 215. Bdk. Institutes IV.ii.5.
  44. "The True Method of Giving Peace" dalam Tracts and Treatises 3.242.
  45. Ibid.
Sumber: 

Sumber diambil dari:


Judul Buku : Veritas Vol. 3/1 (April 2002)
Judul Artikel : Calvin dan Tuduhan Skisma Dari Katolik Roma Terhadap
Para Reformator: Sebuah Studi Tentang Kesatuan Gereja
Penulis : Hidalgo B. Garcia
Penerjemah : -
Penerbit : SAAT, Malang (2002)
Halaman : 37 - 59

Gereja; Mau Kemana? Konservatif dan Radikal

Dear e-Reformed Netters,

Selamat bertemu lagi!

Artikel ini saya kutip dari Majalah Momentum yang terbit tahun 1989 yang lalu. Menurut catatan Redaksi dari mana artikel ini diambil, dikatakan bahwa meskipun makalah ini ditulis lebih dari 10 tahun yang lalu (berarti sekarang sudah 24 tahun yang lalu) namun sangat cocok dengan situasi kekristenan di Indonesia sekarang. Saya juga setuju bahwa artikel ini masih cocok dengan situasi kekristenan di Indonesia tahun 2003. Oleh karena itu saya tertarik untuk membagikan artikel ini di milis e-Reformed. Setelah membaca artikel ini marilah kita belajar untuk mementingkan apa yang penting dan tidak mementingkan apa yang tidak penting. Esensi lebih penting dari yang bukan esensi. Nah, apakah esensi dari gereja dan apakah yang tidak esensi dari gereja? Silakan merenungkan artikel ini.

In Christ,

Editorial: 

Dear e-Reformed Netters,

Selamat bertemu lagi!

Artikel ini saya kutip dari Majalah Momentum yang terbit tahun 1989 yang lalu. Menurut catatan Redaksi dari mana artikel ini diambil, dikatakan bahwa meskipun makalah ini ditulis lebih dari 10 tahun yang lalu (berarti sekarang sudah 24 tahun yang lalu) namun sangat cocok dengan situasi kekristenan di Indonesia sekarang. Saya juga setuju bahwa artikel ini masih cocok dengan situasi kekristenan di Indonesia tahun 2003. Oleh karena itu saya tertarik untuk membagikan artikel ini di milis e-Reformed. Setelah membaca artikel ini marilah kita belajar untuk mementingkan apa yang penting dan tidak mementingkan apa yang tidak penting. Esensi lebih penting dari yang bukan esensi. Nah, apakah esensi dari gereja dan apakah yang tidak esensi dari gereja? Silakan merenungkan artikel ini.

In Christ,
Yulia

Penulis: 
John RW Stott
Edisi: 
042/VIII/2003
Isi: 

Di dalam gereja kontemporer ada dua ekstrim yang tidak seharusnya ada, yaitu aliran konservatif dan aliran radikal. Sebaiknya kita memberikan definisi untuk kedua istilah ini terlebih dahulu. Yang disebut aliran konservatif ditunjukkan kepada sebagian orang yang bertekad untuk memelihara hal-hal yang sudah lewat dan meneruskannya, sehingga menolak perubahan apapun. Sedangkan aliran radikal ditunjukkan kepada sebagian manusia yang melawan tradisi-tradisi yang sudah lampau sehingga senantiasa mencari perubahan di dalam kegelisahan.

Pada tahun 1968 saya mengikuti Sidang Raya IV dari Dewan Gereja Sedunia yang diadakan di Upsala, Swedia sebagai penasehat. Setiba di sana saya mendapatkan bahwa kami semua secara serentak sudah diklasifikasikan, khususnya di dalam surat kabar pada hari itu. Jika bukan dihina dan digolongkan sebagai aliran tradisionil yang konservatif, anti perombakan, pemelihara kondisi sekarang atau aliran tradisionil yang tidak menginginkan kemajuan, maka akan langsung digolongkan dan diterima secara hangat ke dalam aliran radikal yang bersifat perubahan dan revolusionir. Bukankah ini semua merupakan klasifikasi yang tidak berarti sama sekali? Sebenarnya setiap orang Kristen yang seimbang harus berjejak di atas kedua wilayah itu sekaligus. Ijinkan saya memberi penjelasan lebih mendetail mengapa setiap orang Kristen harus sekaligus menjadi konservatif dan juga radikal, khususnya di dalam pengertian tertentu.

Setiap orang Kristen seharusnya bersifat konservatif karena seluruh gereja dipanggil oleh Tuhan untuk memelihara Wahyu-Nya, sehingga boleh memelihara mandat yang diberikan serta mempertahankan kebenaran yang satu kali sudah diberikan kepada orang suci. (Yudas 17: "Ingatlah akan apa yang dahulu telah dikatakan kepada kamu oleh rasul-rasul Tuhan kita, Yesus Kristus"). Tugas gereja bukan menemukan Injil yang baru secara terus menerus atau menemukan teologi baru atau moral baru atau kekristenan yang baru, melainkan menjadi pemelihara yang setia bagi satu-satunya Injil yang bersifat kekal. Wahyu yang diberikan Allah sendiri sudah sempurna di dalam AnakNya Yesus Kristus dan kesaksian- kesaksian rasul-rasulNya terhadap Kristus yang sudah dicatat di dalam seluruh Kitab Suci. Pewahyuan dari diri Allah tidak boleh diubah dengan bentuk dan cara apapun - tidak perduli ditambahkan atau dikurangi- kebenaran dan otoritas Kitab Suci tidak boleh diubah.

Penulis dari buku "Pertumbuhan Dan Persatuan" mengutarakan konsep ini dengan dinamis: "Tugas gereja yang utama adalah memelihara keutuhan Injil. Untuk membicarakan kebiasaan mental ini dengan maksud mengatakan, barang itu memang kuno serta penentang segala pikiran baru, sama sekali bukan maksud kita. Penggemar hal-hal kuno dan penentang pencerahan merupakan kebiasaan buruk orang Kristen, sedangkan konservatifisme merupakan kebajikan orang Kristen."

Namun disesalkan ada sebagian orang Kristen yang tidak hanya membatasi konservatifisme mereka di dalam teologi Alkitabiahnya, tetapi juga dalam hal-hal lain. Bahkan mereka memiliki kepribadian yang konservatif, sehingga mereka selalu bersifat konservatif di dalam pandangannya tentang politik dan sosial, di dalam bentuk hidupnya, pakaiannya, model rambutnya bahkan mode jenggotnya dan segala bentuk hidup yang bisa kita bayangkan. Mereka semua sangat kuno adanya. Bukan saja mereka telah menjerumuskan diri ke dalam lumpur saja, melainkan lumpur yang sudah membeku sebagai semen. Mereka membenci segala macam perubahan. Mereka mirip dengan seorang guru besar yang pernah berbicara di dalam universitas Cambridge pada masa mahasiswanya: "Perubahan macam apa saja di dalam waktu apa saja dengan alasan apa saja, semuanya harus disesalkan"! Motto yang paling digemari adalah "Sebagaimana permulaan dunia ini tetaplah sekarang dan selama-lamanya seperti itu juga sampai selama-lamanya, Amin!"

Di pihak lain aliran radikal adalah mereka yang bertanya-tanya tentang agama negara. Mereka menganggap tidak ada tradisi kebiasaan atau organisasi yang begitu suci sehingga tidak boleh diganggu atau diubah; juga menganggap tidak ada pribadi manusia yang begitu suci sehingga tidak boleh dikritik. Sebaliknya mereka bersedia untuk mengadakan penghakiman dan pengritikan terhadap segala sesuatu yang diwarisi dari masa lampau. Bukan saja demikian, penghakiman semacam ini senantiasa memimpinnya menuju perombakan yang tuntas, jika perlu menuju revolusi (sebagai seorang Kristen mungkin ia tidak memakai kekuatan yang rusuh).

Dilihat sepintas lalu aliran konservatif berlawanan dengan aliran radikal sehingga kita tidak mungkin menghindarkan diri dari keekstriman di dalam masalah ini, tetapi faktanya tidak demikian. Ini semua disebabkan oleh kurangnya pengertian kita bahwa Tuhan kita Yesus Kristus adalah sekaligus konservatif dan radikal, tetapi di dalam segi- segi yang berbeda.

Sikap Tuhan terhadap Alkitab bersifat konservatif - kitab Suci tidak bisa digugurkan. Ia berkata, "Aku datang bukan untuk meniadakan hukum Taurat atau kitab para nabi melainkan untuk menggenapinya."(Matius 5:17). Juga berkata, "Sesungguhnya selama belum lenyap langit dan bumi ini, satu iota atau satu titik pun tidak akan ditiadakan dari hukum Taurat sebelum semuanya terjadi." (Matius 5:18). Teguran utama Yesus terhadap pemimpin Yahudi sejamannya adalah mereka tidak menghormati kitab Suci Perjanjian Lama serta kekurangan ketaatan yang sejati terhadap otoritas kitab Suci yang kudus.

Tetapi Yesus juga sebenarnya harus disebut sebagai radikalis, Dia merupakan pengeritik yang tajam terhadap aliran penguasa Yahudi yang tajam, tanpa ketakutan apapun, bukan hanya karena mereka tidak setia kepada firman Allah secara sempurna, juga karena mereka terlampau setia kepada tradisi mereka sendiri. Yesus pernah secara tegas menghapuskan tradisi yang sudah diturunkan secara berabad-abad demi supaya firman Allah boleh dilihat kembali dengan jelas serta terpelihara.

Yesus sangat berani di dalam mendobrak segala kebiasaan sosial. Ia menegaskan pentingnya memperhatikan lapisan masyarakat yang rendah yang selalu dihina dan diabaikan. Ia berbicara dengan perempuan di hadapan umum, yang tidak diijinkan dalam jaman itu, Ia mengundang anak kecil datang kepadaNya, sedangkan di dalam masyarakat orang Romawi anak-anak buangan selalu terlantar dan sangat kotor sehingga umumnya manusia menganggap lumrah jika tidak mau diganggu oleh anak-anak kecil. Ia mengijinkan para pelacur mendekatiNya (umumnya orang Farisi menghindarkan diri dari perempuan macam ini karena membencinya), sedangkan Yesus sendiri sungguh-sungguh menjamah orang berpenyakit kusta yang sebenarnya dilarang untuk dijamah (orang Farisi umumnya melempar batu kepada mereka supaya memelihara diri dari mereka dalam jarak tertentu) di dalam cara-cara seperti ini dan sebagainya. Yesus menolak untuk diikat oleh kebiasaan dan adat manusia, hati nurani dan jiwaNya hanyalah diikat oleh firman Allah. Sebab itu Yesus merupakan sesuatu kombinasi yang unik dari sifat konservatif dan radikal. Ia bersifat konservatif terhadap Kitab Suci tetapi jika diperhatikan secara saksama Ia bersifat radikal terhadap hal-hal lain yang Ia temukan.

"Seorang murid tidak lebih dari pada gurunya, atau seorang hamba dari pada tuannya." (Matius 10:24) demikianlah perkataan Kristus yang pernah diucapkanNya. Maka jika Yesus dapat mengkombinasikan semangat radikal dan semangat konservatif, kita yang menyebut diri sebagai pengikutNya juga dapat meneladaniNya. Secara fakta jika kita hendak setia kepadaNya kita haruslah demikian. Pada masa ini kita sangat memerlukan lebih banyak orang-orang radikal konservatif sehingga orang Kristen Injili memperkembangkan daya penelitian yang lebih bersifat kritis untuk membedakan apakah yang boleh dan harus diubah serta apa yang tidak perlu dan tidak boleh diubah.

Yang lebih patut kita perhatikan adalah kita perlu lebih jelas di dalam membedakan Kitab Suci dan kebudayaan. Karena Kitab Suci merupakan firman Allah yang tidak berubah untuk selama-lamanya. Sedangkan kebudayaan dibentuk oleh tradisi gereja, kebiasaan dan adat masyarakat serta daya kreatif manusia. Segala otoritas yang dimiliki kebudayaan adalah diwarisi oleh masyarakat dan gereja[1]. Sebaliknya kebudayaan berubah sesuai jaman dan tempat. Lebih dari itu kita orang Kristen menyatakan kerelaan kita hidup di bawah otoritas firman Allah, maka seharusnya kita menaklukkan kebudayaan jaman kita di bawah penghakiman Alkitab yang terus menerus tanpa henti sehingga sama sekali tidak merasa bosan atau menentang perubahan kebudayaan. Kita seharusnya berpihak dan berdiri di front mereka yang mengusulkan serta merombak kebudayaan, sehingga kebudayaan boleh menyatakan dengan sungguh-sungguh kehormatan sifat manusia serta menyenangkan Allah Pencipta kita.

Pada suatu kunjungan saya ke sekolah teologi Trinitas di Deerfield, Illinois di Amerika Serikat, mahasiswa sekolah ini memberi kesan yang dalam bagi saya. Meskipun mereka berasal dari latar belakang yang berbeda, namun mereka menemukan bersama bahwa di dalam pengabdian mereka terhadap Kekristenan yang Alkitabiah. Mereka bersatu untuk melepaskan diri dari agama Kristen Amerika kontemporer serta bertekad bulat untuk menerapkan Kitab Suci di dalam segala masalah besar hari ini. Maka mereka bersama-sama membentuk satu persekutuan doa dan studi yang bersifat gabungan. Organisasi tersebut bertumbuh menjadi kesatuan Kekristenan rakyat, sedangkan jurnal mereka adalah "Manusia Amerika yang berlalu". Cover edisi perdananya melukiskan Kristus yang sedang memakai mahkota duri, tangan yang terbelenggu sedang menudungi bendera yang bergaris dan berbintang. Ada yang menganggap gambaran ini bersifat menghujat tetapi saya tidak berpikir demikian. Lukisan ini merupakan pernyataan jenius yang memperhatikan kemuliaan Kristus. Jimmy Wallace di dalam tajuk rencananya mengumumkan: "Serangan terhadap agama yang ada berupa berita yang menjelekkan kekristenan yang bersifat melepaskan agama dari kebudayaan. Lembek dan tanpa daya hidup sehingga dengan sendirinya ditolak oleh generasi kita ini secara gampang... . Kita menemukan bahwa gereja Amerika sangat diikat oleh nilai kebudayaan kita dan bentuk kehidupan kita..."

Ikatan terhadap gereja yang bersifat Amerika ini mengakibatkan hal yang sangat disesalkan yaitu mempersamakan gaya hidup Amerika dengan gaya hidup Kekristenan. Di dalam tempat-tempat lain di dunia penyataan kebudayaan kekristenan juga demikian. Di dalam dunia ketiga dan bagi banyak gereja ini merupakan masalah utama. Kekristenan dicangkokkan oleh misionari dan Eropa dan Amerika Utara, sedangkan gereja sekarang sedang mencari identitas mereka dengan kebudayaan yang ada. Mereka menemukan masalah dalam menghadapi dua kebudayaan.

Pertama mengenai kebudayaan setempat atau suku mereka, khususnya di Afrika, pemimpin Kristen setempat menyadari meskipun banyak kebiasaan tradisional Afrika - yang berfungsi merefleksikan sumber kebudayaan mereka yang kafir tetapi bukan saja tidak merugikan iman, kasih, keadilan, dan hal-hal baik lainnya di dalam kemoralan dan kerohanian, secara faktual mereka harus menaati kedaulatan Kristus yang memungkinkan hidup secara kelimpahan.

Kedua adalah mengenai kebudayaan kafir (tidak perduli Eropa atau Amerika) yaitu masalah setelah Injil dikabarkan di dunia ketiga. Masalah ini sebagian disebabkan seolah-olah Injil, yang mengakibatkan kebudayaan kekristenan, merupakan penghinaan terhadap kehormatan kebudayaan bangsa mereka, sehingga seruan: "Usirlah agama orang putih!" timbul di sana sini. Padahal seruan ini salah adanya. Karena agama Kristen bukan milik orang putih atau organisasi yang lain. Yesus Kristus merupakan Tuhan dari setiap bangsa, negara dan segala usia, tanpa perbedaan. Tetapi untuk orang Asia, Afrika maupun Amerika Latin yang menemukan serta memperkembangkan cara untuk mengutarakan penerapan kebenaran Kristus dan kehidupan kekristenan melalui kebudayaan yang ada pada mereka merupakan hal yang tepat. R. Peddila di dalam kongres Penginjilan Sedunia di Lausanne pada tahun 1974 telah memperdebatkan lagi dengan semangat yang menggebu-gebu tentang masalah kebudayaan Kekristenan.

Itu sebabnya para pemimpin Kristen dari gereja-gereja Gerakan Baru bukan hanya memerlukan hikmat untuk membedakan kebudayaan bangsa dan kebudayaan impor, juga harus dapat membedakan kebudayaan yang bernilai dan kebudayaan yang tidak bernilai. Mereka juga harus memiliki keberanian untuk memelihara yang satu dan menolak yang lain.

Kekristenan di Eropa juga harus demikian, sebab sumbernya boleh ditelusuri sampai 2000 tahun yang lalu. Kekristenan di daerah ini juga terpendam di bawah kebudayaan Spanyol pada abad-abad tersebut. Pada saat kita membicarakan gereja Lutheran, Anglican, Presbyterian atau Brethern kita perlu membedakan secara saksama. Karena setiap aliran mengandung bentuk, tradisi atau kebudayaan Kekeristenan. Warna bentuk kebudayaan tradisionil bukan hanya ditemukan di dalam pengutaraan dotrinal, tetapi juga tidak luput dari liturgi dan musik, arsitektur dan gaya serta pandangan peranan ulama dan kaum awam, juga metode penggembalaan dan pemberitaan Injil. Pada faktanya setiap hal dalam gereja kita adalah demikian dan setiap hal harus ditaklukkan ke bawah penelitian Alkitab yang bersifat ketat dan kritis.

Maka pada saat kita menolak perubahan tidak peduli di dalam gereja atau masyarakat, kita perlu instrospeksi sendiri apakah ini sesuai dengan kitab Suci yang kita pertahankan (bila kebiasaan kita adalah mempertahankan secara ketat), atau hanya terbatas di dalam tradisi yang dihargai oleh sebagian tua-tua gereja atau tradisi kebudayaan saja. Ini tidak berarti semua tradisi harus dibuang hanya karena semua adalah tradisi. Aliran anti adat tanpa sifat kritis sama bodohnya dengan aliran konservatif tanpa kekritisan, bahkan kadang-kadang lebih berbahaya. Yang mau saya tegaskan adalah tidak ada tradisi yang berhak meloloskan diri dari penelitian ulang dan tidak ada hak istimewa pada tradisi tertentu.

Di lain pihak pada waktu kita tergesa-gesa di dalam perubahan, kita harus mengerti dengan jelas Alkitab tidak melawan hal-hal yang ingin kita ubah. Sebaliknya ada tradisi-tradisi yang tidak Alkitabiah sebenarnya boleh diteruskan serta memerlukan perubahan untuk membenarkannya. Jikalau ada yang tidak Alkitabiah dan nyata-nyata melawan prinsip Alkitab, kita harus berani mendongkel serta menghentikannya sekuat tenaga. Jika tradisi yang tidak Alkitabiah seolah-olah tidak relevan dengan Alkitab, minimalnya kita harus mempertimbangkannya dengan kritis.

Pada umumnya kita mengetahui dan mengakui sifat otoritas dari pikiran, kebudayaan yang kita bayangkan, namun kebenaran dan kekekalan hanya dimiliki Kitab Suci. Kebudayaan telah menjadi sebagian perasaan keamanan kita. Bila hal-hal ini diancam, kita juga merasakan ancaman itu sehingga kita selalu menghindari bahaya dan berusaha mempertahankannya.

Kadang-kadang kita kurang menaruh perhatian terhadap otoritas Alkitab. Kita memperlakukan Firman Allah sama dengan cara kita memperlakukan tradisi dan konsep manusia, sehingga gampang melalaikannya. Dengan ini membuktikan kita masih orang Kristen duniawi, yang secara tuntas sudah menerima sikap anti otoritas yang dimiliki oleh orang dunia, sehingga tidak bersedia hidup di bawah otoritas Allah serta otoritas pemerintahanNya terhadap umatNya.

Orang Kristen jaman ini dipanggil untuk menjalankan tali keseimbangan ini. Kita tidak menolak segala perubahan, juga tidak mengubahnya secara total secepat mungkin, lebih dari itu terhadap hal-hal yang diperbolehkan oleh Alkitab dan yang dapat diubah juga kita serang dengan serampangan. Setiap orang Kristen yang percaya Allah di dalam sejarah dan pekerjaan Roh Kudus sepanjang sejarah gereja tidak mungkin merasa senang untuk mengubah sesuatu hanya disebabkan ingin mengubahnya. Kadang-kadang yang lama ada juga baiknya, karena telah bertahan dalam ujian waktu. Kita perlu sikap peka terhadap orang Kristen tua yang beraliran konservatisme. Mereka tidak mudah membiasakan diri terhadap perubahan tetapi lebih gampang merugikan dan menghambat perubahan. Dari pandangan Alkitab kita mengetahui yang kita butuhkan adalah daya membedakan yang bijaksana. Maka kita harus bisa menikmati tradisi yang lampau serta berdaya responsif terhadap aliran- aliran baru. Hanya dengan demikian baru kita dapat mempergunakan penghakiman dari Kitab Suci yang radikal di dalam segala macam kebudayaan, serta di bawah pimpinan Tuhan baru mungkin mencapai perubahan yang lebih baik.

Kiranya Tuhan memberikan kebijaksanaan yang sama kepada kita saat ini. Kiranya Dia juga memberikan keberanian kepada kita sehingga mempergunakan kebijaksanaan ini bukan hanya untuk urusan gerejani, tetapi dapat juga diterapkan ke dalam wilayah sosial, etika, dan politik.

Mungkin saya boleh mempergunakan terminologi biologis untuk mengutarakan maksud saya. Yaitu kita memerlukan kutu sapi Kristen (orang yang membenci kita) untuk mengganggu dan menusuk kita sehingga kita melangsungkan perubahan. Pada saat yang sama kita juga memerlukan anjing penjaga Kristen (pengawal) pada saat kita menyatakan tanda- tanda mengkompromikan kebenaran Alkitab. Di dalam keadaan bagaimanapun, pengawal itu dapat menggonggong dengan suara keras yang bertahan lama. Tidak perduli yang menusuk orang atau menggonggong orang, kedua macam pribadi ini sulit kita ajak kerja sama. Mereka pun tidak gampang menemukan minat persamaan antara mereka sendiri. Namun yang menusuk harus tidak menggigit yang menggonggong dan yang menggonggong harus tidak menelan yang menusuk. Mereka harus belajar hidup rukun dalam gereja Kristus serta mengkonsentrasikan perhatian terhadap umat Tuhan yang begitu banyak, guna melaksanakan tugas mereka masing-masing. Kita sebenarnya sangat membutuhkan kedua macam hamba Tuhan ini.

Setelah peringatan tentang bahaya dari perubahan yang terlalu banyak dan perubahan yang terlalu sedikit, sekarang marilah kita mengambil kesimpulan, yaitu bahaya yang lebih besar (paling sedikit di dalam aliran Injili) adalah salah menanggapi unsur kebudayaan sebagai unsur Alkitabiah sampai akhirnya menjadi terlampau konservatif dan terlampau terikat oleh tradisi. Sehingga tidak bisa melihat hal-hal gerejawi dan sosial yang tidak berkenan kepada Tuhan. Konsekuensinya kita menjadi terlalu kolot di dalam ikatan kondisi sekarang serta menolak pengalaman yang paling tidak enak yaitu perubahan.

BENTUK DAN KEBEBASAN

Dari membicarakan ekstrim konservatif dan radikal mari kita beralih kepada ekstrim berorganisasi dan tidak berorganisasi. Organisasi sekuler sedang mengalami perpecahbelahan di sana sini. Secara global manusia melawan bentuk dan struktur yang kaku serta mengejar kebebasan dan fleksibilitas. Gereja Kristen telah diakui di seluruh dunia sebagai satu struktur organisasi yang menonjol dan mantap. Sehingga kita tidak mungkin luput dari tantangan jaman yang satu ini. Kita harus ingat tantangan ini berasal dari sudut internal maupun eksternal. Banyak orang Kristen yang muda sedang menuntut sesuatu agama Kristen tanpa organisasi untuk menanggalkan beban gereja Kristen yang harus ditanggungnya. Mari kita menganalisa gerakan ini di dalam 3 pernyataannya yang utama.

Pertama orang sedang mencari gereja yang tidak memiliki bentuk yang tetap. Kelompok-kelompok Kekristenan seluruh dunia sedang menerobos tradisi dan mengerjakan segala hal menurut caranya sendiri.

Kedua, orang Kristen sedang mencari macam penyembahan yang tidak terikat peraturan. Pendeta tidak lagi memimpin setiap upacara melainkan mendorong jemaat untuk berpartisipasi, organ sudah diganti oleh gitar, liturgi yang kuno sudah diganti oleh bahasa sehari-hari. Makin banyaknya kebebasan berarti makin sedikitnya upacara. Makin banyaknya inisiatif berarti makin sedikit hal-hal yang statis.

Ketiga, melawan denominasionalisme dan suatu hal yang ditekankan yaitu kebebasan. Rupanya generasi yang baru ini sangat puas dengan membuang segala sesuatu yang lampau. Bahkan semua ikatan gereja-gereja lain pada saat ini. Mereka suka menyebut diri sebagai Kristen dan tidak mau panji denominasi apapun.

Kita tidak perlu ragu bahwa ketiga tuntutan ini mempunyai kekuatan yang meyakinkan. Mereka memiliki perasaan yang berkobar-kobar dan mereka berbicara secara dinamis. Kita tidak bisa mengabaikannya atau menganggapnya sebagai gila, maupun menganggap mereka adalah kaum pemuda yang tidak bertanggung jawab. Karena ini merupakan sesuatu gejala global yang menuntut kebebasan, fleksibilitas, kemandirian dan non-organisasi. Orang Kristen generasi tua dan yang agak bersifat tradisionil perlu mengerti hal ini. Kita harus bisa bersimpati dan sebisa mungkin berjalan bersama dengan mereka. Kita harus mengakui bersama bahwa Roh Kudus mungkin dan kadang-kadang sudah dibelenggu di dalam struktur organisasi kita[2]. Dan terbatas di dalam bentuk yang ada pada kita.

Namun saya masih ingin sampaikan bahwa kebebasan dan kacau balau tidak mempunyai arti yang sama, apakah sebabnya kita memerlukan semacam bentuk dan organisasi tertentu.

Pertama, gereja yang berorganisasi. Orang Kristen berasal dari latar belakang gereja yang berbeda-beda dan mengasihi serta menghargai tradisi yang berbeda-beda. Meskipun tidak semuanya, tapi paling tidak mayoritas menyetujui bahwa pendiri gereja yang asli, yaitu Kristus, menghendaki gerejaNya mempunyai organisasi yang tampak. Gereja juga mempunyai aspek yang tidak bisa dilihat, ini merupakan satu fakta. Di situ hanya ada "orang-orang" yang diketahui sebagai milikNya sendiri. Tetapi tidak boleh kita memakai alasan bahwa gereja sejati adalah yang tidak kelihatan untuk menyangkal bahwa Yesus Kristus mengharapkan umatNya boleh dilihat dan diketahui oleh dunia, Dia sendirilah yang telah menetapkan sakramen pembaptisan sebagai upacara masuk ke dalam gereja, dan baptisan merupakan sesuatu yang terbuka dan bisa dilihat. Dia juga mendirikan sakramen perjamuan suci bagi persekutuan orang Kristen, yang melaluinya gereja boleh dipersatukan dan dengan ini pun mengeksklusifkan orang-orang yang bukan anggota. Sehingga boleh melaksanakan disiplin di dalam anggota-anggota gerejanya. Bukan saja demikian, Dia juga mengutus gembala-gembala untuk memelihara kaum dombaNya. Maka tidak perduli di mana pun, jika ada baptisan, perjamuan suci, pendeta atau istilah-istilah tradisionil, penginjil, sakramen, maka di sana ada organisasi. Mungkin organisasi ini bersifat lebih sederhana dari denominasi-denominasi historis. Mungkin lebih fleksibel tetapi tetap ada sesuatu organisasi yang jelas dan tegas. Lebih dari ini seseorang boleh menyatakan perlawanan yang keras terhadap nilai pemberitaan firman dan nilai sakramen namun pemberitaan firman dan sakramen tetap diakui bersama oleh gereja-gereja yang berbeda.

Kedua, penyembahan yang resmi. Secara pribadi saya sama sekali menyetujui penyembahan kaum muda yang timbul dari dalam hati yang melimpah dengan sukacita dan ramai-ramai. Meskipun kadang-kadang saya merasakan kepahitan di dalamnya seperti pengalaman saya satu kali di suatu tempat. Telinga saya hanya berjarak beberapa inchi dari loud speaker yang keras sekali.

Kadang-kadang penyembahan kita terlalu formil, terlalu tinggi dan monoton. Bahkan di dalam kebaktian modern boleh dikatakan sama sekali sudah kehilangan ibadat sehingga sangat merisaukan. Sebagian orang Kristen seolah-olah menganggap bukti utama penyertaan Roh Kudus adalah keramaian dan inspirasi inisiatif. Bukankah ini mengisyaratkan bahwa kita sudah melupakan bahwa merpati, angin, dan api sama-sama adalah tanda Roh Kudus? Pada saat Roh Kudus hadir dengan kuasa-Nya di tengah- tengah umat, kadang-kadang Ia mendatangkan ketenangan, kesejahteraan, keagungan dan mengakibatkan perasaan takut kepada Tuhan. Suara kecilNya boleh didengar. Di dalam ketakutan terhadap Roh, manusia berlutut di hadapan kuasa Allah yang hidup dan sejati. Menyembah dengan "hanya Tuhan ada di dalam BaitNya yang suci, manusia seluruh bumi sepatutnya berdiam diri dan hormat di hadapanNya". Saya tidak bermaksud untuk mengatakan ibadat dan bentuk pasti bersatu. Karena kebaktian yang tidak resmipun kadang-kadang bersifat ibadat. Sedang penyembahan resmi yang memakai upacara yang agung kadang-kadang tidak memiliki ibadat yang bersifat rohani. Namun di mana terjadi persatuan antara keagungan lahiriah dan ibadat batiniah, di sana penyembahan yang dipersembahkan paling memuliakan Allah.

Ketiga, prinsip yang berelasi. Mayoritas kita menegaskan gereja lokal paling sedikit harus memiliki sifat kemerdekaan tertentu. Sedangkan menurut Kitab Suci gereja lokal adalah penyataan yang nampak di dalam satu tempat yang bersifat gereja global. Sedangkan gereja lokal bukan saja adalah gereja global, juga disebut sebagai Bait Allah dan tubuh Kristus. (Gereja lokal: 1Korintus 3:16; 12:27, gereja global: Efesus 2:19-22; 4:4, 16). Namun gereja lokal mungkin terlalu menekankan prinsip otonomi gereja lokal ini sehingga melalaikan orang Kristen dari jaman lampau dan jaman sekarang. Pada saat terjadinya kondisi semacam ini gereja lokal akan menjadi terlampau memuaskan diri sehingga menekan gereja Tuhan baik secara waktu dan ruang.

Maka kita perlu mengingatkan diri tentang kebenaran-kebenaran Alkitab yang senantiasa mudah dilupakan oleh kaum muda. Apakah anda hanya tertarik dengan keadaan sekarang, apakah generasi ini khusus menggemari kalimat Henry Ford yang menganggap sejarah itu hampa adanya? Kadang-kadang seolah-olah ini benar. Namun Allah macam apakah yang anda percaya? Allah di dalam Kitab Suci adalah Allah sejati, Allah Abraham, Ishak, Yakub, Allah Musa dan nabi-nabi, Allah Yesus Kristus dan rasul-rasulNya, Allah gereja abad permulaan, Dialah yang melampaui segala abad untuk merealisasikan kehendakNya. Jika Allah memang adalah Tuhan sejarah, bagaimana kita boleh melalaikan sejarah atau tidak tertarik kepadanya? Ia adalah juga Allah dari seluruh gereja. Persatuan gereja berasal dari persatuan sifat ilahi karena hanya ada satu Bapa, satu keluarga, karena hanya ada satu Tuhan, satu iman, satu pengharapan, satu baptisan dan hanya karena ada satu Roh Kudus maka hanya ada satu tubuh (gereja).

Jikalau kita tidak boleh melalaikan masa lampau, maka kita juga tidak boleh melalaikan masa sekarang. Seluruh masalah yang berelasi dengan orang Kristen yang lain adalah sangat kompleks dan mudah menimbulkan perselisihan. Alkitab tidak memberikan jaminan untuk menemukan atau memelihara persatuan tanpa kebenaran, tetapi Alkitabpun juga tidak memberikan jaminan bahwa kita boleh menemukan kebenaran tanpa persatuan. Ini benar adanya namun persekutuan di dalam kepercayaan pengakuan bersama itu pun benar adanya.

Sekali lagi saya menyerukan di dalam masalah ini janganlah kita terus menempuh cara ekstrim. Di dalam gereja Kristus berorganisasi atau tanpa organisasi, formil atau tidak formil, suasana khidmat atau inspirasi inisiatif, independen atau bersekutu, kita harus memberikan tempat kepada keduanya.

Gereja masa permulaan telah memberikan teladan yang sempurna kepada kita di dalam masalah ini. Bukankah kita membaca setelah hari Pentakosta orang Kristen yang baru dipenuhi Roh Kudus berbakti ke dalam rumah sembahyang dan memecahkan roti di dalam rumah mereka sendiri. Maka mereka tidak langsung menolak gereja orang Yahudi, tetapi memperbaikinya berdasarkan Injil yang diterimanya, bahkan mereka memakai kebaktian di rumah mereka untuk mengisi penyembahan dan permintaan yang formal di dalam Bait Allah. Apa yang saya lihat di sini setiap gereja lokal seolah-olah harus menampung baik ibadah yang formal di dalam gereja dan persekutuan tidak formal di dalam rumah ke dalam pengaturan programnya. Sedangkan generasi tua dan anggota gereja tradisionil yang senang kepada penyembahan formal memerlukan pengalaman kebebasan dalam penyembahan keluarga. Sedangkan anggota gereja yang muda, yang gemar kepada keramaian dan inspirasi inisiatif memerlukan pengalaman penyembahan gerejani yang bersifat khidmat dan formil. Karena kombinasi semacam ini adalah sangat sehat.

Catatan dari Pdt. Dr. Stephen Tong:

  1. Hal ini merupakan refleksi masyarakat Barat di mana gereja mempunyai peranan penting dalam masyarakat, bukan refleksi masyarakat Timur di mana gereja merupakan minoritas masyarakat.
  2. Sebenarnya Roh Kudus yang membebaskan tidak mungkin dibelenggu oleh kita. Kalimat ini harus dimengerti sebagai berikut, yaitu: Jika kita mementingkan organisasi dan struktur kita, kita akan mengikat diri di dalam keterbatasan kita sendiri sehingga tidak mengalami berkat dan kuasa Roh Kudus yang melampaui keterbatasan kita, maka kitalah yang menjadi terbelenggu, bukan Roh Kudus.

Catatan tentang penulis:

Pendeta John Stott adalah pendeta emiritus dari gereja Segala Orang Suci di London. Seorang teolog Injili yang terkenal di seluruh dunia. Otak utama dari Lausanne Covenant. Beliau menulis banyak buku termasuk Keseimbangan Agama Kristen, Seni Berkhotbah Abad XX, Agama Kristen, Ajaran Khotbah di Bukit dll.

Sumber: 

Sumber:

Judul Buku: Momentum 7
Judul Artikel: Gereja; Mau Kemana? Konservatif dan Radikal
Penulis : John RW Stott
Penerjemah : -
Penerbit: Lembaga Reformed Injili Indonesia, 1989
Halaman: 6-11

Spiritualitas Injili: Suatu Tinjauan Ulang


Editorial: 
Penulis: 
Stanley J. Grenz
Edisi: 
037/III/2003
Isi: 

Lane Dennis mengatakan bahwa ciri khas Kaum Injili adalah penekanannya pada keselamatan yang dialami secara pribadi-komitmen kepada Yesus Kristus sebagai Juruselamat saya (pribadi). Kehebatan gerakan ini adalah mempersatukan pengalaman religius dengan bahasa teologis yang sama. Pengertian tentang natur Injili ini menunjukkan perubahan mendasar dari kesadaran Kaum Injili. Perubahan identitas yang berdasar pada pengakuan iman menuju kepada identitas yang berdasarkan spiritualitas.

William W. Wells menyatakan tiga karekteristik unik Gerakan Injil ini: orang Kristen Injili mempercayai otoritas Alkitab; menekankan pengampunan Allah dan hubungan pribadi yang indah dengan Allah melalui Kristus; dan menekankan perjuangan untuk hidup suci melalui disiplin rohani. Meskipun Gerakan Neo-Injili tetap berpegang kepada otoritas Alkitab, namun penekanan sekarang lebih kepada aspek spiritualitas, yang sebelumnya sering terselubungi oleh dimensi intelektual atau doktrinal.

Penekanan kepada dimensi spiritualitas sebenarnya sejalan dengan sejarah Gerakan Injil itu sendiri. Sebelum abad kedua puluh, Puritanisme dan Pietisme memberikan pengaruh yang signifikan terhadap gerakan injil ini. Puritanisme membangkitkan suatu bentuk kesalehan hidup sebagai respon terhadap doktrin pilihan dari Calvinisme. Calvinisme meletakkan keselamatan manusia dalam konteks pilihan Allah yang bersifat misteri. Meskipun teologi ini memelihara kedaulatan Allah, manusia menjadi tidak mempunyai kepastian bahwa dia memiliki status sebagai orang pilihan atau tidak. Karena itu, tidak ada pengakuan iman yang sungguh, tidak ada kesetiaan mengikuti sakramen, maupun serangkaian hidup yang suci, yang dapat menjamin bahwa seseorang merupakan umat pilihan Allah. Di tengah-tengah ketidakpastian inilah kaum Puritan menemukan satu tanda umat pilihan: pengalaman rohani secara pribadi terhadap anugerah keselamatan Allah. Dengan demikian, kepastian status pilihan menjadi bergantung kepada kemampuan seseorang menceritakan pengalaman pertobatannya. Lebih lagi, penekanan kembali kepada hal-hal yang bersifat spiritual ini merupakan pengaruh dari gerakan Pietis, khususnya keinginan mereka untuk mereformasi hidup dan bukan mereformasi doktrin.

Karena itu, seperti John Wesley katakan, titik temu antara Pietisme dan Gerakan Injili adalah pada: penggilan hidup baru, buah-buah rohani, dan suatu hidup yang berbeda dengan kemalasan gereja dan anggota-anggotanya yang sangat duniawi. Kaum Injili bersifat pietist dalam hal fokusnya pada dinamika kehadiran Kristus dalam hidup orang percaya. Hal ini menandai pergeseran dari gerakan sebelumnya yang menekankan pada aktifitas (doing), kepada hal-hal yang bersifat kontemplasi (being). Pembahasan lebih lanjut akan difokuskan kepada keunikan spiritualitas Kaum Injili.

Menuju Pengertian Spiritualitas Injili

Salah satu definisi 'spiritualitas' yang cukup baik diberikan oleh Robert Webber adalah: "Secara luas, spiritualitas dapat didefinisikan sebagai hidup yang sesuai dengan hidup Kristus. Hidup yang menyadari bahwa karya salib Kristus membuat kita menjadi warga negara sorga, dan sorgalah yang menjadi tujuan hidup kita di dunia. Perjalanan hidup ini dikerjakan dalam konteks kita sebagai anggota tubuh Kristus. Melalui ibadah kepada Allah, spiritualitas kita terus- menerus dibentuk. Dan misi kita di dunia adalah untuk memberitakan visi Kristen melalui perkataan dan tindakan kita." Karena itu dapat dikatakan bahwa spiritualitas adalah suatu perjuangan mengejar kesucian di bawah pimpinan Roh Kudus bersama-sama dengan seluruh orang percaya. Mengejar hidup yang dihidupi untuk memuliakan Allah, dalam persatuan dengan Kristus dan hasil dari ketaatan kepada Roh Kudus.

Sesuai dengan ajaran Paulus dalam 1Korintus 2:14-3:3, Kaum Injili sangat menekankan akan 'pola pikir rohani' yang dikontraskan dengan manusia duniawi. Dengan menggabungkan salib dan Pentakosta - yaitu bergantung pada kemenangan Kristus dan kehadiran Roh Kudus - Kaum Injili menjalani hidup yang disebut oleh Watchman Nee sebagai 'the normal Christian life', yaitu hidup yang semakin serupa dengan Kristus yang ditandai dengan ketaatan total kepada kehendak Allah. Dengan demikian Kaum Injili selalu menekankan hidup yang berkemenangan melalui peperangan melawan kuasa setan, manusia lama, dan dunia. Dan dengan kuasa Roh Kudus mengalahkan musuh-musuh rohani orang percaya.

Kita dapat melihat bahwa inti dari spiritualitas Injili adalah suatu usaha untuk menyeimbangkan dua prinsip yang kelihatan bertentangan, yaitu: bagian dalam dari manusia (inward) dengan bagian luar (outward), dan dimensi kesucian personal dengan komunal.

Keseimbangan Antara Inward dan Outward

Spiritualitas Kaum Injili mencoba menyeimbangkan kesucian hati dan aktifitas pelayanan. Hati orang percaya harus dipenuhi dengan kasih kepada Yesus Kristus. Komitmen ini lebih dari sekedar pengetahuan tentang karya Kristus dalam sejarah atau menerima doktrin tentang Kristus. Tetapi adanya suatu hubungan pribadi yang dekat dengan Yesus yang bangkit dan hidup. Karena itu, bagian dalam dari manusia (inward) merupakan fondasi dari spiritualitas. Akibatnya, Kaum Injili lebih tertarik kepada respon pribadi seseorang kepada Yesus daripada kemampuan mereka untuk memformulasikan atau menghafalkan pernyataan doktrinal tentang Yesus.

Kaum Injili juga lebih mementingkan motivasi hati dalam mengikuti ibadah dan perjamuan kudus daripada sekedar memenuhi kewajiban itu secara eksternal. Ibadah eksternal tanpa kesadaran internal hanya merupakan ritual yang mati. Karena itu, Kaum Injili tidak datang ke gereja demi memenuhi tuntutan ibadah secara eksternal, tetapi karena dorongah hati untuk memuliakan Allah dan bersekutu bersama umat percaya. Kita termotivasi dari dalam hati dan bukan dipaksa dari luar untuk menghadiri ibadah bersama. Sikap seperti ini dinyatakan dengan suatu pujian dari hati 'I'm so glad I'm a part of the family of God.'

Dalam kaitan dengan ini, spiritualitas Injili juga sangat menekankan pengalaman religius dalam hidup orang percaya. Penekanan ini berasal dari Gerakan Pietisme yang sangat menekankan teologi lahir baru yang bersumber pada Injil Yohanes: 'Iman harus menjadi nyata dalam pengalaman! Iman harus mentransformasi hidup!' Pengalaman lahir baru merupakan bagian sentral dan titik awal perjalanan hidup orang percaya bersama Tuhan, yang tidak bisa digantikan oleh apapun. Tetapi kelahiran baru ini harus diikuti dengan perjalanan spiritual pribadi yang ditandai dengan pertumbuhan dalam kesucian. Di hadapan Kaum Injili, James Houston menggambarkan spiritualitas sebagai,

'The outworking...of the grace of God in the soul of man, beginning with conversion to conclusion in death or Christ's second advent. It is marked by growth and maturity in a Christlike life.' (Karya anugerah Allah dalam jiwa manusia, yang dimulai dengan kelahiran baru dan diakhiri dengan kematian atau kedatangan Kristus ke dua kali. Hal ini ditandai dengan pertumbuhan dan kedewasaan dalam hidup seperti Kristus.)

Penekanan pada inward, sangat sentral dalam spiritualitas Injili dan akan membentuk ketegangan kreatif ketika digabungkan dengan bagian luar (outward) dari hidup Kristen. Spiritualitas memang bersumber pertama-tama dari dalam hati, tetapi hidup Kristen juga berarti pemuridan. Dan pemuridan bersifat outward. Faktanya, spiritualitas sejati harus dinyatakan dalam perbuatan yang kelihatan. Perubahan hati harus dinyatakan dalam hidup yang nyata. Tetapi perbuatan nyata ini bukan untuk mendapatkan anugerah Allah, melainkan sebagai wujud dari kerinduan kita untuk mengikuti jejak kaki Yesus. Natur dari kehidupan spiritualitas adalah meneladani Yesus (the imitation of Christ). Pemuridan berarti mengikuti model yang telah dinyatakan dalam hidup Yesus, karena orang Kristen sejati akan merefleksikan karakter Yesus dalam hidupnya.

Pengertian ini mempengaruhi Kaum Injili dalam memandang sakramen. Kita menolak pandangan ekstrem dari sakramentalisme maupun panghapusan sakramen. Di satu sisi, kita menolak memandang sakramen sebagai suatu alat magis untuk mendapatkan anugerah Allah (sakramentalisme), tetapi di lain sisi kita juga tidak membuang sakramen. Kita memandang sakramen (baptisan dan perjamuan kudus) sebagai suatu ibadah yang sangat penting untuk mengekspresikan secara fisik apa yang sudah dikerjakan Allah di dalam hati. Sakramen merupakan tanda yang kasat mata dari anugerah Allah yang tidak kasat mata.

Penekanan Kaum Injili tentang pemuridan sebagai meneladani Kristus juga mempengaruhi pengertian kita tentang kehidupan gereja. Kita menekankan mengikuti Kristus sebagai suatu ibadah setiap hari dan bukan hanya ibadah hari minggu. James Houston menekankan bahwa kekristenan bukanlah suatu acara khusus, tetapi merupakan gaya hidup (life style). Sikap seperti ini mengakibatkan motivasi utama untuk menghadiri ibadah bersama adalah untuk diajar, didorong, dan dikuatkan untuk memiliki gaya hidup yang berkenan kepada Allah. Poin yang terus- menerus ditekankan pada ibadah minggu adalah: 'Jika engkau adalah orang percaya, hidup suci harus menjadi nyata bukan hanya pada hari Minggu tetapi dari Minggu sampai Sabtu. Apa yang Anda dengar pada hari Minggu harus diterjemahkan dalam perbuatan sepanjang minggu. Jika tidak demikian, imanmu hanya merupakan iman hari Minggu.'

Dapat disimpulkan bahwa spiritualitas Injili mencoba menyeimbangkan dimensi dalam dan dimensi luar dari hidup Kristen. Kita mencoba menyeimbangkan hati yang hangat oleh kasih kepada Allah dengan hidup yang mengikuti teladan Yesus. Kita memprioritaskan dimensi dalam sebagai sumber dari dimensi luar, tetapi kita menganggap dimensi dalam mati jika tidak menghasilkan ekspresi luar yang seharusnya dalam hidup pemuridan. Lagu yang sering kita nyanyikan mengekspresikan dengan baik kedua dimensi ini, 'Trust and obey, for there's no other way, to be happy in Jesus, but to trust and obey.'

Keseimbangan Personal dan Komunal

Kekudusan hidup di antara Kaum Injili biasanya hanya dimengerti secara individu. 'Membaca Alkitab' berarti membaca secara pribadi; 'berdoa' berarti berdoa secara pribadi; 'keselamatan' berarti diselamatkan secara pribadi; 'hidup dalam Kristus' berarti memiliki hubungan pribadi dengan Kristus. Seperti dikatakan Daniel Stevick: 'Perjalanan Kristen dijalani sendiri, keselamatan dari Allah ditujukan kepada pribadi. Pertolongan-Nya selalu dalam konteks pribadi. Perjalanan diisi dengan penyucian secara pribadi dan tujuannya adalah istana yang dibangun bagi pribadi.'

Dalam pengertian tertentu, karakteristik yang digambarkan ini memang cukup tepat. Namun, pendekatan Kaum Injili terhadap perjalanan iman orang percaya secara pribadi tidak pernah dilihat sebagai bagian yang terisolasi, melainkan selalu dilihat dalam konteks persekutuan orang percaya. Di sinilah terdapat keseimbangan antara kehidupan personal dan komunal dari hidup spiritualitas.

Jelas kita mengerti spiritualitas Kristen sebagai sesuatu yang bersifat individu atau personal. Kelahiran baru dan pertumbuhan iman harus pertama-tama dialami secara individu. Masing-masing orang percaya harus bertanggung jawab terhadap spiritualitasnya secara pribadi. Setiap individu bertanggung jawab untuk hidup suci dan meneladani Kristus.

Penekanan pada tanggung jawab pribadi ini sejalan dengan prinsip tradisional Protestan tentang keimamatan orang percaya dan terutama penekanannya mengenai 'kompetensi individu'. Prinsip kompetensi individu menyatakan bahwa setiap pribadi bertanggung jawab secara pribadi kepada Allah dan dengan pertolongan Roh Kudus mampu berespon secara pribadi kepada Allah. Prinsip ini memberikan implikasi penting bagi spiritualitas. Hal ini berarti bahwa tidak ada seorang pun yang dapat diperdamaikan dengan Allah oleh orang lain ataupun oleh gereja. Tidak seorang pun dapat mengklaim dirinya sebagai orang Kristen berdasarkan iman orangtua, karena melakukan ritual tertentu, lahir dalam negara tertentu. Kaum Injili biasanya mengatakan: 'Allah hanya mempunyai anak-anak, tetapi tidak mempunyai cucu.' Karena itu para penginjil selalu menekankan: 'Keputusan untuk menerima Kristus atau menolak-Nya ada padamu; tidak ada seorang pun yang dapat menjawabnya bagimu.' Penekanan ini sangat jelas pada lagu yang begitu terkenal: 'Lemah, lembut, Tuhan Yesus memanggil,. Memanggil saya dan kau ...pulang, pulang, kau yang berlelah pulang.'

Karena spiritualitas adalah persoalan pribadi, Kaum Injili sangat menekankan disipllin rohani sebagai sarana untuk pertumbuhan rohani. Disiplin dalam membaca Alkitab setiap hari dengan apa yang disebut sebagai 'saat teduh'; bersaksi secara pribadi; dan juga hal yang tidak kalah pentingnya adalah menghadiri kebaktian secara rutin.

Penekanan pada aspek personal ini juga mempengaruhi strategi dalam misi Kaum Injili. Dalam abad-abad permulaan kekristenan mulai tersebar di luar Kerajaan Romawi ke daerah-daerah yang masih belum tersentuh peradaban. Para misionaris biasanya memfokuskan pemberitaan Injil kepada para pemimpin suku atau raja, sehingga ketika pemimpin ini dibaptis, seluruh rakyatnya juga ikut dibaptis. Kaum Injili sangat kuatir bahwa strategi ini hanya menghasilkan kekristenan yang bersifat pura-pura, dangkal dan bahkan bisa bersifat sinkretistik. Meskipun tidak menolak peran penting yang dimiliki para pemimpin, Kaum Injili sangat menekankan Injil yang diberitakan kepada setiap individu. Karena kita mengerti bahwa spiritualitas adalah tugas dari setiap pribadi.

Meskipun sangat menekankan dimensi personal bagi spiritualitas orang Kristen, Kaum Injili juga menyeimbangkannya dengan dimensi komunal atau korporat. Tidak seorang pun dapat hidup dan bertumbuh dalam mengikuti Yesus dalam isolasi. Tetapi setiap kita harus bersekutu supaya dapat bertumbuh secara dewasa. Analogi yang sering digunakan adalah bara api. Bara api akan saling membakar ketika dikumpulkan bersama. Tetapi ketika satu bara api dikeluarkan dari kelompoknya, dia akan segera padam dan menjadi dingin. Begitu juga hidup Kristen: orang Kristen yang menarik diri dari komunitas orang percaya akan sulit untuk bertumbuh dan cepat menjadi dingin. Tetapi ketika bersekutu bersama, orang Kristen akan saling mendukung dan dengan demikian akan terus hidup dan berapi-api bagi Tuhan.

Jadi dalam pandangan Kaum Injili, meskipun setiap orang bertanggung jawab atas pertumbuhan imannya sendiri, setiap orang juga bergantung kepada kelompok orang percaya. Setiap orang percaya membutuhkan dorongan dan nasihat dari saudara-saudara seiman lainnya.

Pandangan ini memberikan pengertian yang penting mengenai gereja. Jemaat gereja lokal harus merupakan suatu komunitas yang saling menasihatkan, mendukung dan mengajar satu dengan yang lainnya. Lebih jauh, setiap anggota dari persekutuan orang percaya harus terlibat dalam tugas-tugas yang dikerjakan bersama. Kita terpanggil bukan saja untuk beribadah bersama, tetapi juga untuk masuk menjadi bagian dari kehidupan keseharian anggota yang lain. Dengan demikian, setiap orang berpartisipasi dan berperan dalam kehidupan komunitas Kristen. Inilah esensi dari jemaat lokal dalam pandangan Injili.

Prinsip bahwa setiap orang percaya perlu bersekutu dengan yang lainnya menghasilkan suatu penekanan klasik Injili terhadap kehadiran dalam kebaktian. Kita harus hadir dalam kegiatan-kegiatan gerejawi secara bersama. Tetapi tujuan penekanan ini berbeda dengan gereja-gereja liturgikal. Kita tidak melihat kehadiran dalam kegiatan gereja sebagai sarana mendapat anugerah, tetapi dalam perkumpulan orang percaya inilah pengajaran dan kekuatan dinyatakan.

Pengertian di atas memberikan dampak terhadap apa yang dianggap paling penting dalam ibadah Minggu. Roma Katolik menekankan perjamuan kudus dalam ibadah, sedangkan gereja-gereja Injili memfokuskan ibadah minggu pada pemberitaan Firman Tuhan. Di atas segalanya, kita datang untuk mendengar kotbah, yang kita pandang sebagai sarana utama manusia bertemu dengan Allah. Kita mendengarkan kotbah dengan kerinduan untuk mendengar 'Allah sedang berkata-kata kepada saya secara pribadi.' Sebagai akibatnya, kita mendapat peringatan, kekuatan, dan bahkan arahan hidup melalui kehadiran kita dalam ibadah bersama. Kita berkumpul untuk mendengar Firman (Word), supaya kita bisa tersebar sebagai umat Allah di tengah-tengah dunia (world).

Tetapi akhir-akhir ini Kaum Injili memiliki pengertian yang lebih dalam lagi mengenai kepentingan ibadah bersama sebagai elemen yang sentral di samping kotbah. Salah satu pemimpin dalam hal ini adalah Robert Webber yang mengatakan:

'Worship is the rehearsal of our relationship to God. It is at that point through the preaching of the Word and through the administration of the sacrament, that God makes himself uniquely present in the body of Christ. Because worship is not entertainment, there must be a restoration of the incarnational understanding of worship, that is, in worship the divine meets the human. God speaks to us in his Word. He comes to us in the sacrament. We respond in faith and go out to act on it!' (Ibadah adalah gladi bersih dari hubungan kita dengan Allah. Pada titik itulah melalui pemberitaan Firman dan pelaksanaan sakramen, Allah hadir secara khusus dalam tubuh Kristus. Karena ibadah bukan merupakan hiburan, harus ada pengertian baru dari ibadah yang bersifat inkarnasi, yaitu Allah bertemu dengan manusia dalam ibadah. Allah berbicara kepada kita melalui Firman. Dia datang kepada kita dalam sakramen. Kita berespon dengan iman dan keluar untuk hidup sesuai dengan itu!)
Seperti dikatakan Webber, penekanan pada ibadah bersama bukan berarti meniadakan sentralitas kotbah dalam ibadah minggu. Tetapi hal ini lebih merupakan suatu usaha untuk kembali mendapat keseimbangan yang lebih baik lagi demi menjalankan tugas gereja dengan lebih efektif.

Di tengah-tengah penekanan Injili untuk 'menemukan pelayanan dalam gereja', kita mendiskusikan interaksi yang penting antara dimensi personal dan korporal dari iman Kristen. Kita mendorong setiap individu untuk 'menemukan pelayanan' dalam konteks gereja lokal. Dan hal ini jelas berkaitan dengan dimensi korporal dadri spiritualitas Kristen. Sewaktu kita terlibat pelayanan dalam komunitas Kristen, kita berpartisipasi dalam tugas mendorong pertumbuhan orang lain dan juga secara tidak langsung kepada diri kita sendiri. Keterlibatan dalam hidup orang lain merupakan kesempatan untuk mendorong, menasihati, dan memenuhi kebutuhan mereka. Tetapi tujuannya lebih dari itu: supaya mereka yang menerima pelayanan itu bisa bertumbuh dewasaa secara rohani dan kemudian akhirnya ikut melayani anggota lain dalam tubuh Kristus.

Pandangan ini berimplikasi pada eklesiologi. Bagi kita, gereja adalah persekutuan orang percaya, persekutuan murid Kristus, komunitas orang- orang yang dengan serius bertanggung jawab secara pribadi bagi spiritualitasnya dan pada saat yang sama terjun dalam pelayana untuk mendorong pertumbuhan rohani secara korporal. Kaum Injili yang bertanggung jawab bernyanyi bersama: 'Kami akan berjalan bersama, kami akan berjalan bergandengan tangan.' Karena jalan spiritualitas adalah jalan yang mengikat setiap individu bersama- sama.

[Catatan: Tulisan di atas disadur dari buku Stanley J. Grenz; Revisioning Evangelical Theology; A Fresh Agenda for the 21th Century, Downers Grove, Illinois; IVP, 1993. Hal. 37-59]

Sumber: 

Sumber diambil dari:

Judul Buku : Momentum 44/Triwulan III/2000
Judul Artikel : Spiritualitas Injili: Suatu Tinjauan Ulang
Penulis : Stanley J. Grenz
Penerjemah : -
Penerbit : Lembaga Reformed Injili Indonesia
Halaman : 29 - 36

Komentar


Syndicate content