Artikel ini ditranskrip dan diedit kembali dari khotbah seri Surat Roma oleh Pdt. Dr. Stephen Tong di Mimbar Gereja Reformed Injili Indonesia di Jakarta.
Transformasi Pikiran Kristen merupakan hal yang besar sekali. Di dalam dunia ini, kita melihat hal yang paling sulit diubah adalah pikiran- pikiran yang sudah membeku. Pikiran yang sudah keras itu sulit untuk mempunyai pandangan yang baru. Akan tetapi, Roma 12:1-2 menyatakan kepada kita bahwa orang Kristen yang menyerahkan diri untuk menjadi korban yang hidup justru mungkin mengalami suatu perubahan dan pembaharuan budinya.
Ada orang yang kelihatannya begitu miskin, begitu kasihan, padahal dia mempunyai emas dalam jumlah yang banyak. Ia tidak pernah mau memakainya karena takut jika dia sudah lebih tua tidak mempunyai uang pensiun. Pikiran itu sudah begitu beku, kaku dan tidak bisa diubah. Orang itu maunya dikasihani, ditolong, tidak mau mengeluarkan apa yang ada padanya. Saya tidak tahu, mengapa begitu banyak orang yang sebenarnya dicipta sebagai wakil Tuhan di dalam dunia, dengan peta dan teladan Allah, mempunyai akal budi, bijaksana, pengertian kebenaran, tetapi mereka mau diikat oleh pengertian-pengertian yang begitu rendah, begitu kaku sehingga mereka tidak bisa berubah.
Paulus berkata jika kita menyerahkan diri sebagai korban yang hidup; kita akan diubah oleh Tuhan sendiri. Suatu perubahan, pembaharuan yang membuat kita terus segar, terus hidup di dalam kesukaan yang luar biasa. Ada orang yang ketika kita bergaul satu dua hari dengannya, kita sudah merasa bosan untuk berbicara dengannya, berbicara dua menit saja kita sudah merasa terlalu panjang. Sebaliknya, ada orang lain yang sudah bergaul sampai puluhan tahun dengan kita, tetapi setiap kali bertemu dengannya tetap segar, tetap senang, berbicara berjam-jam pun kita tetap merasa berarti. Ketika mau berpisah, kita merasa sayang sekali, dan berharap bila bertemu lagi. Apa sebabnya? Karena yang terakhir ada perubahan, pembaharuan, penyegaran yang tidak habis-habisnya, yang lain tidak. Ini penting sekali.
Kita menjadi orang Kristen, bukan menjadi orang Kristen yang beku, yang kering, yang sudah mati, yang sudah tidak bisa berubah, tetapi kita menjadi orang Kristen yang selalu segar, fleksibel, selalu siap mengikuti pimpinan Roh Kudus. Perubahan dan pembaharuan akal budi kita merupakan hal yang sangat penting dan menjadi satu tanda dalam diri kita sehingga dapat selalu menjadi berkat bagi orang lain. Di mana pun kita berada, orang lain merasa segar, apa pun yang kita bicarakan orang lain merasa diteguhkan. Ketika kita memberikan penjelasan orang lain merasa ditolong dan pikirannya dicerahkan. Karena pikiran dan mental kita ada proses pembaharuan yang tidak henti-hentinya, bahkan perubahan itu bisa memberi pengaruh dan bisa memperbaharui orang lain. Orang Kristen seharusnya adalah satu-satunya jenis orang yang terus menerus kontak dengan sumber kebenaran, bijaksana, dan cahaya sorgawi, karena Tuhan kita adalah dirinya kebenaran, sumber bijaksana, yang mewahyukan segala rencana yang kekal kepada orang-orang yang dicintai oleh-Nya.
Satu kalimat Elisa yang membuat saya sangat kagum: mengapa Tuhan tidak menyatakan kehendak-Nya kepadaku? Ketika perempuan Sunem datang kepadanya. Ia berkata kepada bujangnya, larilah menyongsong perempuan itu dan katakan kepadanya: "Selamatkah engkau, selamatkah suamimu, selamatkah anak itu?" Jawab perempuan Sunem itu "Selamat!". Dan, sesudah perempuan itu sampai ke gunung, dipegangnyalah kaki abdi Allah itu, tetapi Gehazi mendekat hendak mengusir dia. Lalu, berkatalah Elisa, abdi Allah itu: "Biarkanlah dia, hatinya pedih! Tuhan menyembunyikan hal ini dari padaku, tidak memberitahukannya kepadaku" (2 Raj. 4:25-27). Seolah-olah menjadi sesuatu yang mengejutkannya, mengapa kali ini Allah tidak memberitahukan kehendak-Nya kepada saya? Berarti Elisa mempunyai satu keyakinan, satu kepercayaan yang teguh, bahwa Allah selalu memberikan infomasi yang paling penting kepadanya. Di dalam kalimat itu, kita melihat, dia mempunyai satu keyakinan dalam hidup yang begitu rutin, begitu transparan, begitu segar, setiap saat bisa mengetahui, menerima pimpinan dan kehendak Tuhan. Bolehkah kita menjadi kawan Tuhan? Bisakah kita menjadi teman Tuhan yang akrab? Yesus Kristus berkata, "Aku tidak memperlakukan kamu sebagai budak, tetapi Aku menyebut kamu sebagai kawan-Ku." Kawan adalah yang bisa berbicara dari hati ke hati, yang senantiasa tidak takut membongkar rahasianya, dia dapat dipercayai atas hal-hal yang konfidensial. Hubungan kita dengan Tuhan seharusnya mencapai taraf di mana kita berbicara dengan Dia, seperti kawan yang akrab yang sama-sama mempercayai satu dengan yang lain, kita memperoleh pikiran dan isi hati Tuhan untuk terus memperbaharui kita.
Paulus berkata di sini, biarlah kamu diperbaharui, dan kamu juga diubah, janganlah menjadi serupa dengan dunia ini, tetapi berubahlah oleh pembaharuan budimu. Di dalam bahasa Inggrisnya indah sekali, do not conform any longer to the pattern of this world, but be transformed by the renewing of your mind. Then you will be able to test and approve what Gods will is -- his good, pleasing and perfect will. Di sini terdapat conform dan transform. Kata conform dihubungkan dengan menjadi seperti dunia, sedangkan transform menjadi seperti Tuhan Allah. Ini berbeda sekali. Hanya ada dua macam manusia, dan hanya ada dua macam orang Kristen: (1) yang sudah dikonformasikan baik cara, bentuk, maupun kebiasaan hidupnya sama dengan corak hidup duniawi, atau (2) yang terus menerus mengalami transformasi, semakin lama semakin mirip, semakin dekat, semakin memancarkan kemuliaan Sang Penciptanya. Kita bukan hidup dikonformasi di dalam corak duniawi, tetapi ditransformasi di dalam pimpinan Tuhan dan kehendak Allah yang kekal.
Kita akan memikirkan apakah yang mengubah kita? Apakah yang membuat pikiran kita terus berubah?
Yang pertama adalah melalui kita mengenal kehendak dan keputusan Allah yang kekal. Kita harus mengenal the eternal will and the eternal decree of God. Kekekalan adalah suatu kemutlakan yang tidak berubah, yang hanya dimiliki oleh Tuhan Allah sendiri. Meskipun God is the only immortal, tetapi pada waktu Dia menciptakan manusia, Dia menciptakannya dalam keadaan serupa dengan-Nya, dan mempunyai peta teladan dari-Nya. Itulah sebabnya, kita diberikan konsep dan pikiran yang memungkinkan kita mengerti akan hal-hal yang bersifat immortal. Maka, pada waktu manusia mengenal akan kehendak Allah yang kekal, lalu dia membandingkannya dengan semua filsafat, pemikiran, ide, cara hidup dan penilaian dari dunia, dia dapat membedakan mana yang fana dan baka, maka kita yang seharusnya berubah, untuk bisa sesuai dengan apa yang ada pada Tuhan. Kita bukan meminta Tuhan yang berubah, agar sesuai dengan kita yang ada di dunia. Orang Kristen yang baik tidak mengatakan, saya masuk gereja ini karena gereja ini cocok untuk saya. Sebenarnya manusia tidak boleh mengatakan, agar Tuhan cocok dengan kita, melainkan agar kita cocok dengan Tuhan. Kita tidak seharusnya minta Tuhan cocok dengan saya, melainkan minta Tuhan mengubah saya supaya saya cocok dengan Tuhan. Jadi, doa bukan mau mengubah Tuhan, doa adalah permohonan agar Tuhan mengubah kita supaya menjadi seperti Dia. Itu doa yang sesungguhnya. Jika kita berdoa dengan menangis, bahkan sampai memaksa justru akan membahayakan rohani kita sendiri. Barangsiapa berdoa dengan memaksa Tuhan menjalankan apa yang dia inginkan, orang ini tidak mungkin mengubah Tuhan, dia hanya memberikan peluang bagi setan mewakili Tuhan, memalsukan Tuhan untuk menipu dirinya sendiri. Jadi, transformasi itu terjadi di dalam diri kita, transformasi tidak terjadi di dalam diri Allah, transformasi adalah diri kita semakin lama semakin berubah, semakin sesuai dengan kehendak Allah yang kekal. Karena mengerti akan kehendak Allah yang kekal, mudah bagi kita mengalami transformasi. Karena mengenal kehendak Allah yang kekal, kita rela berubah. Ini adalah karena yang lebih kekal lebih penting daripada yang sementara ini.
Yang kedua adalah melalui kekuatan dari pengertian Firman Tuhan, dan perintah-perintah Tuhan. Kalau kita membaca Mazmur 119, di sana terdapat istilah-istilah yang terus menerus diulang, taurat-Mu, titah-Mu, perintah-Mu, hukum-Mu, kehendak-Mu, istilah-istilah sinonimus ini terus menerus muncul, memberi pengertian kepada kita bahwa yang dari Tuhan itu sudah sempurna adanya. Dan, dikatakan di Mazmur itu, firman-Mu lebih berharga daripada emas yang murni. Untuk murni bagaikan emas, membutuhkan tempaan dan ujian terus menerus. Demikian juga Tuhan melatih kita. Tuhan melatih kita dengan cara: mengeluarkan semua bahan campuran yang tidak berguna di dalam hidup kita. Melalui satu kali ujian, dua kali ujian, tiga kali ujian, akan terus diubah, diperbaharui sampai sempurna, yakni pada saat Tuhan melihat peta teladan-Nya sendiri secara sempurna direfleksikan dalam hidup kita masing-masing. Pada saat Tuhan dapat melihat diri-Nya melalui refleksi hidup kita, Dia akan mengatakan, orang ini sudah betul-betul dilatih dan sudah betul-betul berubah menjadi serupa dengan-Ku. Pemazmur berkata, "firman-Mu lebih indah daripada emas yang murni." Apakah maksudnya? Bagaimanapun murninya diri kita, hanya merupakan refleksi dari Tuhan Allah sendiri, dan Tuhan sendiri lebih murni dari pada kemurnian siapa pun. Sebab itu, dengan firman yang kita ketahui dan jalankan, kita mendapatkan kuasa perubahan dan kuasa pembaharuan.
Yang ketiga adalah melalui terus menerus memandang kepada Yesus Kristus, sebagai contoh dan teladan hidup kita. Kristus adalah kriteria dan standar dari etika segala zaman. Tidak ada orang yang seperti Yesus Kristus, yang pernah mengatakan kalimat: datang dan ikutlah Aku. Socrates tidak pernah mengucapkan kalimat itu. Kong Hu Cu dan Budha juga tidak mengatakan kalimat tersebut, mereka hanya berani mengatakan, mari kita mencari kebenaran. Akan tetapi, berbeda dengan Yesus Kristus, Dia berkata bahwa "Aku adalah kebenaran", "datang dan ikutlah Aku". Dia menjadi teladan yang terutama, yang tersempurna, yang tertinggi. The supreme example of human life and human good works is in the live of Jesus Christ. Yesus Kristus mengatakan, datang dan ikutlah Aku. Maka pada waktu kita merenungkan Kristus, kita mengikut Yesus Kristus, kita menemukan satu kekuatan untuk mengubah diri kita. Setiap kali kita merenungkan, berbicara, berpikir tentang Kristus, kita akan menggali dan mendapatkan suatu kekuatan untuk mengubah pikiran kita sendiri. Di dalam Kristus, kita melihat dua hal: (1) contoh yang tidak bercacat cela dan (2) cara penilaian yang berbeda sekali dari dunia.
Paulus sendiri berkata, setelah aku mengenal Kristus, maka perkara- perkara yang dulu berfaedah bagiku, sekarang sudah kuanggap sebagai sampah, karena Kristus menjadi harga tertinggi, pusaka yang paling bernilai di dalam pengejaranku. Contoh hidup dan konsep penilaian Yesus Kristus begitu berbeda dengan orang dunia. Yesus Kristus berkata, yang dihargai oleh manusia, yang diutamakan oleh manusia, senantiasa menjadi kebencian bagi Tuhan Allah. Orang-orang di dunia menghargai hal-hal yang fana, yang bisa berubah, tetapi Tuhan memberikan satu patokan dan kriteria yang sama sekali berbeda dengan konsep dunia. Itu sebabnya Paulus berkata, demi Kristus aku telah membuang segala sesuatu yang dulu aku kira sangat berharga, dan sekarang aku memandangnya bagaikan sampah. Jadikanlah Kristus sebagai harga yang tertinggi dalam kehidupan kita.
Yang keempat adalah melalui kesaksian-kesaksian dari orang-orang suci di dalam sepanjang sejarah. Di dalam Ibrani 12:1, kita melihat penulis kitab mengajak kita meletakkan semua beban berat, untuk mengikut Tuhan, agar kita mengerti, sudah ada saksi-saksi, seperti awan yang mengelilingi kita. Begitu banyak saksi, apakah maksud dari istilah ini? Ini merupakan kesimpulan dari seluruh pasal 11. Di dalam seluruh pasal 11, penulis kitab Ibrani memperkenalkan satu per satu tokoh, yang meninggalkan segala kebahagiaan dunia untuk mengikut Tuhan. Masing-masing mereka karena iman kepercayaan berani menerima penganiayaan sampai dimasukkan ke dalam gua singa, digergaji, dibunuh oleh pedang, atau mengalami kelaparan, bahkan dimasukkan ke dalam dapur api. Di dalam Ibr. 11 itu terdapat satu kalimat, Dunia ini tidak layak bagi mereka (ay. 38). Dunia tidak layak memiliki orang-orang yang dianiaya seperti itu, tetapi pada waktu penganiayaan datang, apakah mereka menyerah? Apakah mereka berkompromi? Apakah mereka menjadi orang yang lemah, takluk, dan menyerah kepada musuh? Tidak! Sampai mati, mereka tetap menjaga, memelihara iman dan kesetiaan mereka kepada Tuhan. Setelah seluruh pasal 11 selesai, maka ayat 12:1 mengatakan, karena itu, kita mempunyai banyak saksi, bagaikan awan yang mengelilingi kita, marilah kita menanggalkan semua beban dan dosa, yang begitu merintangi kita, dan berlomba-lomba dengan tekun di dalam perlombaan yang menjadi kewajiban kita.
Mengapa para saksi iman ini berani hidup demikian? Karena mereka tahu Kristus adalah titik pusat dari seluruh sejarah. Orang dunia tidak mungkin melihat ini, kecuali orang Kristen yang diperbaharui pikirannya bisa mengerti bahwa dalam seluruh sejarah, hanya menuju pada satu titik pusat, yaitu Kristus, Anak Allah yang datang ke dalam dunia. Seluruh sejarah harus bertanggung jawab dan berkaitan dengan hadirnya Kristus di dalam dunia ini. Musa melihat begitu jelas, pikirannya diperbaharui oleh Roh Kudus, sehingga apa pun yang dia kerjakan dikaitkan dengan titik pusat dari pada sejarah, yaitu Kristus, Musa rela menderita bagi Kristus, dan hidup bersama-sama dengan kaum Israel, dan dia menganggap bahwa menderita bersama-sama dengan umat Allah itu lebih berharga daripada hidup di dalam istana. Inilah kalimat, konsep, perasaan yang sama dengan Paulus yang mengatakan, karena Kristus, aku melihat segalanya bagaikan sampah, karena Kristus adalah nilai yang tertinggi bagiku.
Ini tidak berarti bahwa kita tidak boleh hidup mewah, tidak boleh kaya, dan juga tidak berarti kita harus meninggalkan segala sesuatu agar menjadi miskin dan menderita, baru menunjukkan bahwa kita mengasihi Tuhan. Akan tetapi, pada saat Tuhan mau kita meninggalkan segala sesuatu, sudahkah kita bersedia? Pada saat menjalankan kehendak Tuhan, bersediakah kita berkorban, dengan tidak menghiraukan untung rugi dan hidup mati diri sendiri. Inilah konsep perubahan, yaitu perubahan penilaian, aksiologi yang berdasarkan standar sorgawi bukan berdasarkan standar duniawi. Di Inggris, ada seorang yang bernama David Martyn Llyod-Jones. Sekarang Llyod-Jones sudah meninggal dunia. Akan tetapi, dia pernah mendirikan satu mimbar yang menggemparkan seluruh dunia di London. Jika pada abad ke-19 ada Charles Haddon Spurgeon yang disebut sebagai The Prince of The Preachers, maka pada abad ke-20 ini kita harus mengakui David Martyn Llyod-Jones adalah raja di tengah-tengah para pengkhotbah. Di tengah kota London, dia mendirikan satu mimbar. Dia memakai Westminster Chapel yang bisa menampung ribuan orang. Yang datang mendengar khotbah Llyod-Jones bukan orang biasa, bukan anak muda atau mereka yang tidak berpengetahuan, tetapi banyak dari anggota parlemen, para profesor, doktor yang datang dari Universitas Cambridge, Oxford, Edinburgh, London dsb. Dia sebenarnya adalah seorang dokter medis yang dipilih menjadi dokter pribadi dari kerajaan Inggris. Dia seharusnya bekerja di istana Buckingham dan seharusnya mendapat uang yang luar biasa banyaknya. Akan tetapi, pada saat dia mendapatkan panggilan Tuhan, maka dia menyerahkan kedudukan yang tinggi di dalam kerajaan dan penghasilan yang besar, dan menjadi hamba Tuhan. Semua orang mengatakan, dia pasti sudah gila, ribuan dokter bermimpi untuk bisa mendapatkan posisi tersebut, tetapi justru dilepaskan. Llyod-Jones berkata, bahwa dia mendapatkan pandangan yang diberikan oleh Tuhan, bahwa kehendak Tuhan lebih penting daripada keuntungan pribadi. Dia mulai berkhotbah, menegakkan firman Tuhan pada zaman tersebut. Dia adalah seorang yang pintar dan limpah pikirannya. Dia mengkhotbahkan Efesus 1 saja sebanyak 147 kali. Yang dikhotbahkan bukan dongeng, tapi penguraian firman Tuhan yang kaya luar biasa, membuat banyak orang yang diubahkan. Bukunya mengenai Roma dan Efesus dicetak puluhan jilid. Semua buku ini keluar dari pikiran orang yang takut kepada Tuhan. Pada waktu dia sudah menjadi tua sekali, seorang pendeta tua berkata kepada saya, jikalau David Martyn Llyod-Jones tidak sejak muda menyerahkan diri kepada Tuhan, waktu dia tua angka poundsterling yang dimiliki pasti banyak sekali, tetapi karena dia menyerahkan diri, menjadi seorang hamba Tuhan dia meninggalkan semua yang dianggap begitu bernilai oleh dunia. Pendeta itu melanjutkan, karena dia menyerahkan diri, maka kekristenan mempunyai warisan yang begitu banyak, untuk penggalian firman Tuhan. Dia juga mengatakan, jika Llyod-Jones tidak menyerahkan diri, orang Kristen tidak pernah bisa sadar berapa besar kerugian di dalam kerajaan Tuhan.
Cara Tuhan bekerja begitu heran, banyak orang yang mau pergi ke tempat yang begitu sulit, ada orang yang rela mengorbankan pekerjaan yang begitu penting, ada yang membuang segala kekayaan untuk pekerjaan Tuhan. Albert Schweitzer, pada saat dia pergi ke Afrika, dia sudah mendapatkan 4 gelar doktor dalam bidang yang besar: filsafat, theologi, medis, dan musik. Gelar-gelar ini didapatnya dari sekolah- sekolah penting di Jerman. Kalau dia ingin mendapatkan banyak uang di Jerman, tentu tidak sulit baginya, tetapi dia lebih memilih pergi ke Afrika, ke tempat yang begitu hina, begitu primitif. Pada waktu dia tua, seorang wartawan Perancis, seorang humanis pergi mencari dia. Waktu dia tiba di sana, dia terharu luar biasa karena Albert Schweitzer masih tinggal di satu rumah, yang belum ada listrik, yang menggunakan lampu tempel. Dia datang dari negara yang begitu maju, pergi ke tempat yang begitu sulit, begitu primitif, untuk mengobati orang sakit di tengah desa-desa yang tidak habis-habisnya membutuhkan pelayanan. Pada waktu wartawan itu kembali ke Perancis, dia berkata kepada orang lain, di dalam dunia abad ke-20, yang sudah begitu maju, masih ada orang mau hidup seperti 20 abad yang lampau. Jiwa yang dimiliki orang demikian itu adalah jiwa Yesus, hatinya adalah hati Sang Penebus. Schweitzer pergi untuk menyatakan cinta kasih Tuhan kepada orang lain. Jika kita melihat dari Kitab Suci, begitu banyak orang yang berbuat seperti itu, dan di dalam sejarah, Tuhan tetap bekerja, sampai zaman ini pun Tuhan tetap bekerja.
Yang kelima adalah melalui pimpinan Roh Kudus. Roh Kudus adalah Roh yang memimpin kita. Alkitab belum pernah menggabungkan istilah rasuk dengan Roh Kudus, yang dipakai adalah: pencurahan, urapan, pengudusan, gerakan, pimpinan, kepenuhan, pencerahan Roh Kudus. Penggunaan kata kerasukan dalam Alkitab adalah kerasukan setan.
Apakah bedanya dirasuk dan dipimpin? Yang dipimpin tahu dirinya dipimpin, tetapi yang dirasuk tidak sadar kalau dirinya sedang dirasuk. Gejala orang yang menyatakan dirinya menerima pekerjaan Roh Kudus, lalu pingsan, tidak sadarkan diri adalah tipuan setan, yang mengimitasi pekerjaan Roh Kudus. Kitab Suci memberikan prinsip kepada kita bahwa tidak ada orang yang kerasukan Roh Kudus. Roh Kudus adalah Parakletos, comforter atau counselor yang lain; yaitu Penghibur yang mendampingi. Roh Kudus bukan masuk dalam diri kita lalu mengambil alih seluruh pribadi kita, membuat manusia bingung, otak tidak lagi berfungsi, membunuh rasio. Akan tetapi, Roh Kudus memimpin, mencerahkan, membawa kita kembali kepada firman, membuat kita mengerti akan rencana Allah, kehendak Allah. Kita rela taat kepada-Nya dengan sukacita. Kita mau dipimpin oleh-Nya. Itulah pekerjaan Parakletos yang begitu indah dan ajaib.
Ketika Roh Kudus memimpin seseorang, maka Ia memimpin pikirannya, emosinya, kehendaknya, dan seluruh hidup pribadinya. Di dalam pimpinan Roh Kudus itulah, Ia memberi pengertian kepada kita sehingga kita mengetahui apa yang baik, apa yang tidak baik, apa yang benar, apa yang tidak benar. Roh Kudus memimpin manusia untuk hidup sebagai anak-anak Allah. Orang yang dipimpin Roh Kudus adalah anak-anak Allah. Orang yang disebut anak-anak Allah, seharusnya taat dan menikmati pimpinan Roh Kudus.
Roh Kudus memimpin kita hanya dengan satu cara, yaitu melalui firman dan melalui kesaksian dan gerakan yang berasal dari firman. Roh Kudus tidak pernah memimpin kita di luar firman, Roh Kudus memimpin kita dengan firman Kebenaran. Ketika kita membaca, merenungkan firman, Roh Kudus memimpin, menggerakkan. Kadang-kadang, jika kita ingin mengerjakan sesuatu yang tidak beres, bila kita adalah orang yang sudah diselamatkan, pasti merasakan satu ganjalan di dalam hati nurani kita, yang mengatakan, do not do it!. Jikalau suara Roh Kudus yang bekerja di dalam hati kita, kita harus taat kepada-Nya. Jika pimpinan yang berdasarkan firman dan prinsip firman sudah menggerakan hati kita, maka kita bertindak hati-hati dan tidak sembarangan bergerak. Pimpinan semacam ini juga membuat pikiran, mental, bijaksana dan budi kita terus diubah, diperbaharui, disegarkan, dan kita menjadi anak Tuhan yang terus memancarkan sinar cahaya dari Tuhan.
Yang keenam adalah melalui memandang kepada hari depan. Orang yang kaku, adalah orang yang diperbudak oleh sejarah, orang yang lincah, adalah orang yang dibentuk untuk hari depan. Banyak orang yang statis, karena dia dipengaruhi dan dikakukan oleh sejarah.
Manusia bukanlah Allah. Hanya Allah sendiri yang tidak berubah, hanya firman Tuhan yang tidak berubah. Akan tetapi, kita yang harus senantiasa berubah. Semua perubahan harus membawa kita kepada firman yang tidak berubah, itulah perubahan yang benar. Jikalau kita mengatakan kita harus berubah, setan langsung menawarkan perubahan untuk mengikuti arus-arus lain. Bukankah Alkitab mengatakan, kita harus berubah? Bagaimana dengan Reformed theology. Reformed theology bukan kaku, bukan mati dan hanya menerima sejarah, tetapi merupakan theologi yang terus menerus kembali kepada Alkitab, terus kembali setia kepada Alkitab. Perubahan itu yang terus mengubah kita, tetapi tidak membawa kepada perubahan yang tidak lagi setia kepada Kitab Suci. Mengapa kita harus berubah untuk kembali kepada Alkitab? Bukan berubah untuk menuju pada hari depan? Karena Kitab Suci lebih dulu daripada sejarah, dan lebih maju daripada hari depan; Alkitab adalah satu-satunya buku yang memberikan kepada kita hal-hal sebelum dunia diciptakan, arti dari rencana Allah, bagaimana dunia berakhir dan menuju pada pengharapan yang kekal, sebelum titik Alfa dan sebelum titik Omega, apa dan ke mana, seluruhnya sudah berada di dalam Kitab Suci. Itu sebabnya Paulus mengatakan bahwa kita bukan memperhatikan hal-hal yang kelihatan, tetapi kita justru memperhatikan hal-hal yang tidak kelihatan, karena yang kelihatan itu sementara adanya, yang tidak kelihatan itu kekal adanya (2 Kor. 4:18). Waktu kita ada di dalam kesementaraan itu, kita begitu berat, sengsara, susah dan penuh penderitaan. Akan tetapi, ketika yang sementara itu dibandingkan dengan yang kekal, maka yang sementara menjadi tidak ada apa-apa, kita menuju kepada kekekalan. Itu sebabnya, kita mengaitkan hal ini dengan ayat selanjutnya dari Ibr. 12, Kristus mengabaikan segala siksaan. Dia mengabaikan segala penderitaan, waktu Dia memandang akan hari depan, yang penuh dengan perjanjian Tuhan Allah kepada-Nya, yang penuh dengan kemuliaan.
Orang Kristen perlu mempunyai pikiran yang terlepas dari pada segala ikatan sejarah, tradisi, kebiasaan, lingkungan, karena kita boleh dengan bebas melihat kepada rencana Allah, dan kebahagiaan yang ada di depan. Ada dua orang yang dipenjara, yang sama-sama divonis untuk melakukan kerja berat yaitu memecahkan batu-batu untuk dijadikan bahan bangunan. Mereka setiap hari harus bekerja selama 16 jam. Makan hanya untuk mendapatkan kekuatan untuk kembali bekerja. Pada suatu hari, keduanya diberitahukan: 10 hari lagi selesailah masa kerja kerasmu. Mereka senang sekali meskipun masih harus bekerja 10 hari lagi. Akan tetapi, kemudian disambung dengan berita: si A dibebaskan dari penjara, sedangkan si B ditembak mati. Meskipun selama sisa 10 hari, si A dan B sama-sama harus tetap bekerja yang beratnya dan cara kerjanya sama. Namun, apakah perasaan mereka sama? Tidak sama! Si B, yang dihukum mati melewati waktunya dengan susah karena kematian semakin dekat. Sedangkan si A, yang dibebaskan melewati hari-hari itu dengan sukacita. Berbeda sekali bukan? Inilah maksudnya berharap kepada kekekalan. Jika kita hidup hanya untuk sementara ini, hidup kita tidak mempunyai arti apa-apa. Akan tetapi, jika apa yang kita lakukan, mempunyai nilai kekekalan maka kita hidup bersukacita karena pengharapan yang kekal itu.
Marilah kita mengabaikan segala penderitaan, kesulitan, beban berat yang harus kita tanggung untuk Tuhan, karena semua ini bagi kehendak Allah yang kekal. Jadi, di dalam 6 poin yang kita renungkan ini, poin pertama adalah kehendak Allah yang kekal dan poin terakhir adalah memandang kepada nilai yang kekal. Di tengah-tengah poin pertama dan terakhir, kita memerlukan firman Tuhan yang terus mengajar kita, memerlukan teladan Kristus yang menguatkan kita, memerlukan orang suci yang menjadi contoh dan yang selalu menggairahkan kita, memerlukan terus menerus taat kepada pimpinan Roh Kudus, sehingga our mentality, our philosophy of life, and our thinking diubahkan, terus mengalami transformasi dan pembaharuan, sehingga kita boleh menjadi saksi Kristus yang hidup dan mulia di dalam dunia.
Bagaimana dengan Saudara yang membaca artikel renungan ini? Biar kita semua terus menerus berubah di hadapan Tuhan ke arah yang dikehendaki- Nya. Amin.
Judul Buku | : | Momentum 30 Triwulan II/1996 |
Judul Artikel | : | Transformasi Pikiran Kristen |
Penerbit | : | LRII |
Penulis | : | Stephen Tong |
Halaman | : | 3-11, 19 |