Dear e-Reformed Netters,
Karena sebentar lagi akan tiba Hari Natal, maka saya pikir akan sangat baik kalau pada kesempatan pengiriman kali ini, saya mengambil artikel yang sedikit berbau Natal .... :)
Saya yakin, dalam banyak tahun mengikuti perayaan Natal, Anda pasti ingat tema-tema Natal yang menggunakan kata 'damai', seperti, "Damai di Bumi", "Natal yang Membawa Damai", "Kristus Raja Damai", "Pesan Damai dari Kristus", "Damai di Hati", dan masih banyak lagi .... Intinya, kedatangan Kristus diidentikkan dengan datangnya damai di dunia. Pesan Natal ini diambil dari pernyataan malaikat yang tertulis dalam Lukas 2:14.
Artikel di bawah ini, yang berjudul "BUKAN DAMAI, MELAINKAN PEDANG", sepertinya bertentangan dengan pesan-pesan Natal yang selama ini biasa kita dengar. Tapi judul yang diambil dari Injil Matius 10:34 ini adalah kata-kata Kristus sendiri, maka sekarang pertanyaannya, apakah dua kalimat tersebut bertentangan? Sebagai orang Kristen yang mengerti Alkitab, tentu saja kita tidak mau memberikan jawaban yang terlalu apologetik (dalam arti yang sesungguhnya), ... 'wah kata-kata Tuhan Yesus itu sulit untuk kita tafsirkan sendiri, mungkin seharusnya dijawab oleh mereka yang ahli bahasa Yunani dan bla ... bla ... bla ....'
Kalau kita dihadapkan pada pilihan, maka secara akal sehat dan etika, tentu saja kita akan mengganggap kata-kata malaikatlah yang lebih enak kita dengar. Menerima pernyataan Matius 10:34, sepertinya mempercayai bahwa Yesus datang sebagai pembawa onar. Maka kita akan cenderung mencoba menghindari memberikan jawaban atas masalah ini dan berkata bahwa kita tidak mengerti apa yang dikatakan Yesus.
Menanggapi sikap-sikap seperti ini, maka Kata Pengantar dalam buku dari mana artikel ini diambil, yang berjudul "Ucapan Yesus yang Sulit", sangat menarik untuk kita simak:
"Satu alasan dari keluhan bahwa perkataan Yesus itu sulit adalah karena Dia membuat pendengar-Nya berpikir. Bagi sebagian orang, berpikir merupakan suatu pekerjaan yang sulit dan tidak enak, terutama bila menyangkut penilaian kembali yang kritis dari prasangka dan pendirian yang kuat, atau bila menyangkut tantangan terhadap konsensus pemikiran zaman sekarang. Oleh karena itu, setiap perkataan yang mengundang mereka untuk mengikutsertakan pemikiran yang demikian dianggap perkataan yang sulit. Banyak perkataan Yesus dianggap sulit dalam pengertian demikian."
Nah, silakan merenungkan penjelasan F.F. Bruce (seorang pakar biblika Perjanjian Baru) dalam artikel berikut ini. Harapan saya dengan mengerti lebih dalam kata-kata Tuhan Yesus ini, kita bisa lebih menyadari bahwa dengan menerima Kristus sebagai Raja dalam kehidupan kita, bukan berarti bahwa kehidupan Kristen kita akan selalu dilimpahi dengan 'rasa damai' seperti yang kita inginkan atau kita mengerti. Justru kadang kita lihat sebaliknya, ketika kita dengan taat menjalankan prinsip-prinsip iman Kristen, maka kita mendapati hidup kita tidak lagi sejalan dengan prinsip-prinsip yang selama ini kita (lingkungan) pegang. "Rasa damai' tiba-tiba berubah menjadi konflik, meskipun sebenarnya bukan itu yang kita harapkan. Sementara kita mempersiapkan hati untuk menyambut Natal, marilah kita renungkan, bagaimana damai sejahtera yang sejati bisa betul-betul menguasai hati kita pada peringatan Natal tahun 2004?
In Christ,
Yulia Oen
Ini perkataan keras bagi semua orang yang mengingat berita para malaikat pada malam kelahiran Tuhan Yesus: ´Kemuliaan bagi Allah di tempat yang mahatinggi dan damai sejahtera di bumi di antara manusia yang berkenan kepada-Nya´. Bagian akhir dari berita ini seolah-olah berarti ´damai sejahtera di bumi di antara manusia adalah sasaran kasih Allah´. Memang, malaikat-malaikat hanya muncul dalam Lukas 2:14, sedang perkataan keras yang kita kutip terambil dari Matius. Akan tetapi, Lukas juga mencatat perkataan keras ini, hanya saja ia mengganti kata metafora ´pedang´ dengan kata bukan metafora, yaitu ´pertentangan´ (Lukas 12:51). Kedua penginjil kemudian melanjutkan tulisannya tentang Tuhan Yesus yang berkata, "Sebab Aku datang untuk memisahkan orang dari ayahnya, anak perempuan dari ibunya, menantu perempuan dari ibu mertuanya" (Matius 10:35; Lukas 12:53). Lalu, Matius menutup perkataan ini dengan kutipan dari Perjanjian Lama yang berbunyi ´musuh orang ialah orang-orang seisi rumahnya´ (Mikha 7:6).
Satu hal yang sudah pasti: Tuhan Yesus tidak menyokong pertentangan. Ia mengajar pengikut-Nya untuk jangan melawan atau membalas kalau mereka diserang atau diperlakukan tidak baik, "Berbahagialah orang yang membawa damai", kata-Nya, "karena mereka akan disebut anak-anak Allah" (Matius 5:9). Artinya, Allah ialah Allah Damai Sejahtera, sehingga orang yang mencari dan meneruskan damai mencerminkan sifat Allah. Ketika Ia melakukan kunjungan terakhir ke Yerusalem, berita yang Ia bawa menyangkut ´apa yang perlu untuk damai sejahtera´, dan Ia menangis karena kota itu menolak berita-Nya dan cenderung kepada jalan yang menuju kebinasaan (Lukas 19:41-44). Berita yang dikumandangkan pengikut-pengikut-Nya dalam nama-Nya setelah kepergian-Nya disebut ´Injil damai sejahtera´ (Efesus 6:15) atau ´berita perdamaian´ (2 Korintus 5:19). Disebut demikian bukan hanya sebagai ajaran doktrin, tetapi sebagai kenyataan yang dialami. Individu-individu dan kelompok-kelompok yang dahulunya saling berjauhan mengalami bagaimana mereka saling akur karena pengabdian yang sama kepada Kristus. Hal semacam ini bahkan dialami lebih awal dalam rangkaian pelayanan di Galilea. Kalau Simon orang Zelot dan Matius si pemungut cukai mampu hidup berdampingan sebagai dua rasul di antara dua belas rasul, tentunya rasul-rasul yang lain memandangnya sebagai mukjizat dari kasih karunia Allah.
Akan tetapi, ketika Tuhan Yesus berbicara tentang ketegangan dan konflik dalam keluarga, Ia mungkin berbicara berdasarkan pengalaman pribadi. Ada indikasi dalam kisah Injil bahwa beberapa anggota keluarga-Nya sendiri tidak bersimpati dengan pelayanan-Nya: orang-orang yang dalam suatu kesempatan berusaha untuk mengambil-Nya dengan paksa karena orang yang mengatai-ngatai ´Ia tidak waras lagi´ disebut ´sahabat-Nya´ dalam RSV tetapi lebih tepat ´kaum keluarga-Nya´ dalam NEB dan juga dalam terjemahan bahasa Indonesia (Markus 3:21). Sebab saudara-saudara-Nya sendiri tidak percaya kepada-Nya, demikian dikatakan dalam Yohanes 7:5. (Kalau orang bertanya mengapa saudara-saudara-Nya ini menduduki kursi-kursi kepemimpinan bersama para rasul dalam gereja mula-mula, maka jawabannya dengan pasti terdapat dalam pernyataan 1 Korintus 15:7, yaitu bahwa Tuhan Yesus yang bangkit menyatakan diri kepada Yakobus saudara-Nya.)
Jadi, kalau Tuhan Yesus berkata bahwa Ia datang bukan untuk membawa damai melainkan pedang, yang Ia maksudkan ialah bahwa itu adalah akibat kedatangan-Nya, bukan karena itu menjadi tujuan kedatangan-Nya. Kata-kata-Nya menjadi kenyataan dalam kehidupan gereja yang mula-mula. Dan, kebenaran kata-kata ini telah dibuktikan kemudian dalam sejarah pelayanan misi-misi Kristen. Waktu satu atau dua anggota keluarga atau golongan masyarakat lainnya menerima iman Kristen, maka hal ini selalu menimbulkan pertentangan dari anggota-anggota yang lain. Paulus, yang rupanya juga mengalami pertentangan semacam ini dalam keluarganya sebagai akibat pertobatannya, membuat perlengkapan bagi situasi semacam ini dalam hidup kekeluargaan para petobatnya. Ia tahu bahwa ketegangan bisa timbul bila seorang suami istri menjadi Kristen, sedang pasangannya tetap tidak percaya. Bila pasangan yang tidak percaya merasa berbahagia hidup bersama orang Kristen, itu baik. Seluruh keluarga dalam waktu yang tidak lama bisa menjadi Kristen. Akan tetapi, bila pasangan yang tidak percaya bersikeras untuk meninggalkan dan mengakhiri perkawinan, maka orang Kristen tidak boleh menggunakan kekerasan atau tindakan-tindakan legal, karena ´Allah memanggil kamu untuk hidup dalam damai sejahtera´ (1 Korintus 7:12-16).
Jadi, dalam kata-kata-Nya ini, Tuhan Yesus memperingatkan pengikut- pengikut-Nya bahwa kesetiaan mereka kepada-Nya bisa mengakibatkan konflik di rumah, bahkan pengusiran dari lingkungan keluarga. Adalah baik bahwa mereka diperingatkan sebelumnya, jadi mereka tidak bisa berkata, "Kami tidak pernah membayangkan bahwa kami harus membayar harga ini untuk mengikut Dia!"
Sumber diambil dari:
Judul Buku | : | Ucapan Yesus yang Sulit |
Judul Artikel | : | Bukan Damai, Melainkan Pedang |
Penulis | : | F.F. Bruce |
Penerjemah | : | - |
Penerbit | : | Seminari Alkitab Asia Tenggara, Malang, 2001 |
Halaman | : | 141 - 143 |
Dear Reformed Netters,
Bertepatan dengan HARI REFORMASI GEREJA (31 Oktober 2000), maka e-Reformed menyajikan sebuah artikel yang sangat menarik tentang GEREJA, yang ditulis oleh Pdt. Dr. R. Dean Anderson.
Maaf, artikel ini memang dengan sengaja tidak diterjemahkan dalam bahasa Indonesia (untuk menghindarkan dari salah interpretasi).
Selamat merenungkan, dan selamat HARI REFORMASI GEREJA!
Yulia Oeniyati"It is the duty of all believers, according to the Word of God, to separate from those who do not belong to the Church and to join this assembly (of God's true Church) wherever He has established it. They should do so even though the rulers and edicts of princes were against it, and death or physical punishment might follow." (Belgic Confession, Article 28)
That is not a small thing! It is important to ensure that one is at the correct church address. It is so important, according to the confession, that you will even have to risk death because of it. And this is not just idle talk, since at the time these words were written it often came to that. Every Sunday morning you and your family had to make a choice; either go to the Roman Catholic church and listen to a sermon from a priest, or go to the Reformed church. And in those days the Reformed church was strictly off limits. You could be dragged off to prison just for having Reformed literature in your house.
In the confession the issue is not the belief of the individual person in the congregation or in the church. The issue is not what a particular minister might happen to think. Rather, the issue is about the church being church. The confession holds that there are some churches which must be called "false". Now that word "false" sounds very strong. In this context it actually means nothing other than "illegitimate", i.e. church that Christ no longer recongnizes as a legitimate gathering of His sheep.
Is that possible? Is it true that Christ will sometimes refuse to recognize churches as legitimate gatherings? Many people don't think so. They say: A church always remains church of Christ. She is our mother - even if she becomes seriously ill. You don't abandon a sick mother, do you?
And yet the Reformed believe that it is necessary to leave a church that has so degenerated that it can no longer be accepted as legitimate. Just as our Confession states, it is the duty of every believer to leave any unlawful church and to join themselves to the lawful (=true) church.
PERSONAL FAITH
But back to our original question. is the address of the church truly as important as our confession makes out? Isn't it sufficient to have an upright personal faith and to belong to a reasonable local congregation?
A personal faith that comes from an upright heart is truly essential. I, myself, personally must learn to depend on Jesus Christ. I must learn to praise and thank Him for the forgiveness of my sins. Christ has paid the ultimate penalty for me. Christ, not I, was crucified for my sins. And, miracle of miracles, I learn that He has given me that personal faith, and regularly feeds it with His Word and spirit. There is then a sudden change from "me" to "God".
When we have received that living faith in our heart, we have a personal relationship with God. It cannot be otherwise. For then Christ lives in our hearts through his Spirit. Then the Holy Spirit is part of our lives. That's why the Bible warns us as believers: "do not grieve the Holy Spirit of God, in whom you were sealed for the day of redemption." (Eph. 4:30). The Spirit places God's mark on us. On the last day we may show that mark, "Look! This is a person for whom Christ has paid!"
But if I have such a personal relationship, through faith, then, surely, I wouldn't loose it just by going to another - what one might call a false or unlawful - church, would I? No, but that wasn't the question. I could pray to god in such a church too, and I could praise and thank him there. yes, but that wasn't the question either.
What is the question then? This: Do you sit in a gathering that Christ recognize as His church? You can go and sit anywhere and praise God. And Christ, if you have true faith, will continue to acknowledge you as one of His sheep. But does he acknowledge that gathering as His church? That is a completely different question.
What, then, is Christ church? Does't He say, "where two or three are gathered in my name, there am I in the midst of them" (Matt. 18:20)? Yes He does say that, but there He is not speaking about the church. In that passage He is speaking to His disciples and promises them that when they follow the procedure for discipline (Matt. 18:15-20) He will be with them. The "two or three" are sithnesses concerning the unforgiven sin of straying bother.
WHAT IS CHRIST'S CHURCH?
The confession correctly states that the church is the gathering of true believers, and a gathering that God wishes to establish in every local place. Just before His ascension into heaven the Lord Jesus gave His great missionary mandate to His disciples. They had to go into the whole world with the gospel. That was the beginning of the New Testament church. We read about the institution of these new churches in every place in the Book of Acts. That's where we see the apostles travelling, preaching, and instituting churches. How does a church become instituted? By establishing a gathering of believers over elders are placed who, in the name of Christ, feed this congregatoion (=gathering). Te elders bear the final responsibility for such a local congregation of church (cf. Heb. 13:17).
It is of such a local church that we are members. Each local church is a complete church of the Lord Jesus Christ, His body (1 Cor. 10:17; 12:12ff and especially v. 27).
HOW DOES CHRIST SPEAK ABOUT HIS ACKNOWLEDGEMENT OF THESE CHURCHES?
If you are a member of Christ's church, then you have also received responsibilities from Him. As a member of His church you must use your gifts for the upbuilding of this congregation, you must help ensure that He receives His rightful honour and that sin isn't tolerated there.
Christ rules over His local churches. We see a good example of this in Rev. 1-3. In Rev. 1:9-20 John sees a vision of the glorified Jesus walking in the middle of the seven golden lampstands, the seven churches of Asia Minor. In chapter two and three Christ writes letters to the seven congregations. Some of the congregations are comforted, some are warned. Of importance to our topic are warnings.
Take, for example, the congregation in Ephesus (Rev. 2:1-7). She had lost her first love (v.4). The Lord calls her to repentance. Then He says, "If not I will come to you and remove your lampstand from its place, unless you repent." (v.5).
To whom is Christ speacking? To the church/congregation as a whole.
What does it mean, that He would remove His lampstand? Then they would no longer be church of the Lord Jesus (cf. Red. 1:12-13, 20).
Sure, they would continue to come together and conduct worship services. They would still consider themselves to be a church of Jesus Christ. But Christ says, "I have removed my lampstand! I am no longer in your midst!"
Christ gives the same warning to the church at Laodicea. He reproves them for being neither hot nor cold. They have no zeal for the gospel. What does Christ say to them? "So, because you are lukewarm, and neither cold not hot, I will spew you out of my mouth." What does that mean? Christ will no longer acknowledge this church, this congregation.
Just imagine that you were a member of one of these congregations! Just imagine if your congregation received such a letter from the Lord Jesus Christ. What would happen? You would surely do your best to become actively involved in the congregation, but, well, if the majority of the congregation didn't make any changes - what then? At a certain moment, if the congregation as a whole did not repent, the Lord would activate His warning. He would no longer acknowledge this congregation as His own. If you want to remain true to Jesus you must now leave this congregation and join one that He does acknowledge as His church. The church you leave behind will, most likely, continue to call itself a church of Christ. Likely there will still be sheep of Christ left behind, sheep who have not yet seen that Jesus no longer acknowledges that congregation as His church. That would be a sad thing, and you would certainly do your best to convince these believers that Jesus wants to be served in a church which He recognizes, a church which remains true to His Word.
It is, of course, not always easy to determine that a church is no longer acknowledged by Christ. Jesus does not give direct revelation about htis. You will not receive a vision, or get a message from an angel. You must determine it for yourself, from what Christ has revealed about His church and His gospel in His Word. But if you notice that a church refuses to repent you cannot hold out until a new generation appears. The warnings for the churches of Ephesus and Laodicea were given to the congregations as they were at that time. Jesus warns them that if they do not repent he will spit them out of His mouth and remove His lampstand from them.
During the time of the New Testament you can already notice the beginnings of the church struggle. In his letters (in particular Galatians and 2 Corinthians), Paul speaks about the activities of false preachers and apostles who preach in various places and establish churches. He calls their preaching a false gospel and says that their followers are cursed (cf. Gal. 1:6-9). Even in the first century the choice of a church was not easy, but surely important!
OUR CHOICE OF CHURCH
When we look at churches around us such as the Roman Catholic Church or other churches which have become generally apostate then two things soon become clear. Firstly, there are still many sheep of Jesus Christ to be found there - people who are truly believers and who want to serve God with their whole life. Secondly, such churches have often become so tolerant or apostate that for years the gospel has been completely denied. Yes, there may still be ministers who preach the true gospel. But the persistent denial of cardinal doctrines such as the resurrection, of Christ's crucifixion for our sins is often quietly tolerated. Church discipline against those who teach heresy is such a situation unheard of because "doctrinal freedom" must be maintained. Even reasonably conservative congregations within a generally liberal denomination of churches are not free from the consequences of an organizational denial of Scripture. Local congregations will still be bound by the decisions of their liberal synods.
This article is not the place to expand upon the problems within such churches. But one point should be clear. if we pay close attention to what Jesus says about His churches in the New Testament then we cannot and may not acknowledge such churches as true churches of Christ. The warnings of Christ in His Word go unheeded for years and even for generations. There can be no other possibility but that Christ has acted on His warnings.
OUR RESPONSIBILITY
How does all this concern us? In the first place we are all responsible before Christ concerning the choice of church we make. If He has forgiven our sins by His crucifixion then He asks more from us. We are all also responsible to use all our gifts for the building up of that church which He acknowledges. This means that we may not lean back in our lazy chair and leave all of the concerns of the congregation over to others, but that we honestly ask ourselves how we can be of benefit in building and sustaining Christ's church in this place. Last, but certainly not least, is our responsibility toward those sheep who remain in a church that Christ no longer acknowledges. With great care, wisdom and love we must excercise our calling to convince such people to consider their church situation and to call them to become members of a church that Christ does recognize. We may not keep silent about this matter. The love for Christ, as well as the love for these brothers and sisters must stimulate each of us to activity in this matter. Do you have friends, acquaintances or even family in such churches? If you remain silent about their choice of church in order to "keep the peace" you rather show yourself to be love-less toward them. The love of Christ is a love that will put everything on the line in order to convince others to worship and thank Him in the manner He as asked for in His Word.
It may be that this means that you must study more about the doctrine of the church and some more recent church history. Then do not neglect to do so. Let us pray that our local churches become known, not as exclusive clubs with people who don't pay any attention to others, but as congregations that are actively busy with the Word of God, and always willing and ready to speak about it in the love of Christ - all in order to see to it that our Lord is honoured and worshipped. Let it be said of us - that's where you see the Spirit of God at work, that's where you find people who put the Word of God above all else. only God can work that in us, through His Word and Spirit. Let us direct our efforts towards Him.
*) A version of this paper adapted to the Dutch situation can be found at:
http://katwijk.gkv.nl/anderson/pdfenglish/Christ_church.pdf
Dear Pembaca
Berikut ini adalah artikel pertama yang kami kirimkan sejak kami berubah bentuk menjadi MILIS PUBLIKASI
TGBTG,
Owner dan Admin
ECCLESIA REFORMATA REFORMANDA EST - Gereja yang telah mengalami reformasi tetap perlu direformasi. Hal ini merupakan konsekuensi dari fakta bahwa Alkitab adalah standar yang sempurna dan absolut, sedangkan gereja pada setiap titik dalam sejarahnya di dunia, masih tidak sempurna dan terlibat dalam kesalahan. Menurut Alkitab, reformasi gereja adalah suatu proses yang kontinyu dan berkesinambungan. Proses reformasi ini harus berlangsung terus sampai kesudahan dunia. Tidak ada satu titik pun di mana gereja boleh berhenti dan berkata, "Aku sudah sampai. Sampai di sini saja dan tidak dilanjutkan lagi!" Hanya gereja yang sudah menang di surga yang boleh berkata begitu.
... reformasi gereja adalah suatu proses yang kontinyu dan berkesinambungan.
Dalam proses reformasi ini ada tahap-tahap historis tertentu dan tanda-tanda luar biasa yang menunjukkan kemajuan yang telah dicapai. Pengakuan Iman Westminster, sebagai contoh, menandai kemajuan yang benar dalam reformasi gereja sampai pada saat pengakuan itu diformulasikan. Kita tidak boleh menganggap bahwa proses ini telah lengkap dalam zaman kita, atau pada titik mana pun dalam sejarah gereja di dunia. Kita harus selalu melupakan perkara-perkara yang di belakang dan mengarahkan pandangan ke depan; kita harus selalu bergumul untuk menangkap hal-hal yang untuknya kita ditangkap dalam Kristus. Semua segi kehidupan gereja perlu direformasi sesuai Alkitab: doktrin, kebaktian, pemerintahan, disiplin, kegiatan misi, yayasan pendidikan, publikasi, dan kehidupan secara praktis. Reformasi selalu merupakan proses selangkah demi selangkah, dan memang perlu begitu. Kaum Zelot berusaha untuk mencapai segala sesuatu dalam satu lompatan, tetapi mereka hanya membenturkan kepala pada dinding batu. Allah bekerja melalui proses sejarah - proses yang bertahap, landai, berlangsung terus menerus dan kita harus menyesuaikan diri dengan cara Allah bekerja.
Semua segi kehidupan gereja perlu direformasi sesuai Alkitab:
doktrin, kebaktian, pemerintahan, disiplin, kegiatan misi, yayasan pendidikan, publikasi, dan kehidupan secara praktis.
Reformasi gereja yang sesuai dengan Alkitab membutuhkan suatu sikap periksa diri dan kritik diri pada pihak gereja. Yang diperlukan bukan hanya studi Alkitab secara mendalam, melebihi pencapaian-pencapaian masa lampau, tetapi dibutuhkan usaha periksa diri dan kritik diri pada gereja. Standar-standar gereja harus selalu tunduk pada pemeriksaan dan pemeriksaan ulang dalam terang Alkitab. Hal ini tersirat dalam pengakuan kita bahwa hanya Alkitab yang tidak dapat salah, maka segala sesuatu yang lain harus terus menerus diuji dan diuji-ulang oleh Alkitab. Bukan hanya standar-standar resmi dari gereja, tetapi kehidupannya, program-programnya, kegiatan-kegiatannya, harus tunduk pada kritik diri dan periksa diri berdasarkan Alkitab. Hal-hal ini harus selalu diuji dan diuji-ulang dalam terang firman Allah. Kritik diri pada pihak gereja seperti ini merupakan panggilan bagi kehidupan persekutuan, dan merupakan pasangan dari panggilan yang Allah berikan dalam Firman-Nya terhadap setiap individu untuk melakukan pemeriksaan diri.
... hanya Alkitab yang tidak dapat salah, maka segala sesuatu yang lain harus terus menerus diuji dan diuji-ulang oleh Alkitab.
Kritik diri pada pihak gereja seperti ini memang sulit. Perlu usaha, intelegensia, studi, pengorbanan, kerendahan hati dan penyangkalan diri yang sangat kuat, serta kejujuran absolut. Perlu kesetiaan pada Alkitab, ketaatan yang siap berjalan sejauh mana pun agar menjadi sesuai dengan firman Allah, suatu heroisme sejati dan kesetiaan absolut pada Alkitab. Kritik diri yang sedemikian itu pada pihak gereja dapat terasa memalukan dan bahkan sakit. Hal itu dapat berarti bahwa gereja, seperti orang Kristen dalam buku John BunyanPerjalanan Seorang Musafir, mendapati dirinya berada dalam jalan setapak di padang rumput, dan harus melangkah mundur dengan rendah hati dan dengan rasa sakit sampai kembali pada Jalan Besar milik Raja. Kritik diri yang sedemikian pada pihak gereja dapat berakibat hancurnya kepentingan-kepentingan khusus atau proyek-proyek khusus dari pribadi-pribadi atau kelompok-kelompok tertentu dalam gereja. Tindakan itu dapat menyingkapkan adanya hal-hal tertentu dalam standar, kehidupan dan program gereja. Tindakan itu dapat menyingkapkan adanya hal-hal tertentu dalam standar, kehidupan dan program gereja, yang tidak sungguh-sungguh sesuai dengan firman Allah, karena itu perlu dipertimbangkan kembali dan diharmoniskan dengan firman Allah. Karena hal-hal yang di atas atau oleh sebab-sebab yang mirip dengan di atas tadi maka kritik diri pada gereja seringkali diabaikan, bahkan ditentang dengan keras. Mereka yang menyerukan diadakannya reformasi itu atau yang mengusahakannya, akan cenderung dianggap sebagai ekstrimis, fanatik, kaum antusias, pemimpi, pembuat onar dan sejenisnya. Akan tetapi, dengan kritik diri yang seperti itulah maka reformasi-reformasi pada masa lampau telah terjadi. Orang-orang seperti Luther, Knox, Melvile, Cameron, dan Renwick hanya gentar pada penghakiman Allah dalam Firman-Nya. Mereka tidak gentar pada penghakiman dan sikap bermusuhan dari manusia. Apabila gereja sungguh-sungguh telah berani untuk melihat dirinya sendiri dalam cermin firman Allah, dalam ketulusan mutlak, maka gereja itu sedang berada pada puncak kekuatannya, dan sedang memancarkan pengaruhnya dalam dunia ini. Gereja itu sedang melangkah maju dalam hidup baru dan kekuatan baru. Pada pihak lain, jika gereja merasa segan atau menolak untuk melihat dirinya sendiri dengan penuh perhatian dalam cermin firman Allah, maka gereja itu telah menjadi lemah, mandeg, dekaden, tidak efektif dan tidak memiliki pengaruh. Kritik diri yang dilakukan secara terus-menerus oleh suatu denominasi berdasarkan Alkitab merupakan suatu tugas yang tersirat dan diakui dalam pengajaran kita. Akan tetapi, apakah hal ini sungguh-sungguh dipegang dengan serius? Adakah semangat yang berkobar-kobar, seberapa jauh keprihatinan kita...; saya bahkan mengatakan, seberapa jauh toleransi untuk hal itu pada masa ini?
Pada setiap gereja selalu terdapat tendensi untuk menganggap bahwa kehidupan dan kegiatan-kegiatan yang ada pada saat ini sebagai yang normal dan benar. Maka hal-hal yang sebenarnya hanya merupakan kebiasaan saja, dalam kenyataan dapat memilki kekuatan dan pengaruh sebagai sesuatu yang prinsip; sedangkan hal-hal yang prinsip malah diperlakukan seolah-olah hanya sekedar kebiasaan atau konsensus manusia, yang mempunyai otoritas hanya sebatas penggunaannya atau persetujuan orang banyak. Pengesahan dari kegunaan saat ini dianggap sebagai cukup untuk menetapkan sesuatu. Sebaliknya, tidak adanya penggunaan pada saat ini dianggap cukup untuk membuktikan bahwa sesuatu itu salah atau tidak tepat.
Stagnasi seperti ini, sikap yang menganggap status quo sebagai yang normal, berarti menutup pintu rapat-rapat terhadap kemajuan yang benar dalam reformasi gereja. Karena status quo selalu merupakan dosa. Selalu kurang dari tuntutan firman Allah. Selalu merupakan sesuatu yang kurang dari apa yang Allah sungguh-sungguh inginkan dari gereja. Karena status quo itu dosa, maka mungkin hal ini tidak diterima dengan kepuasan yang penuh, bahkan jauh dari penerimaan sebagai ideal dari gereja itu. Mengabsolutkan status quo adalah suatu dosa. status quo selalu perlu dipertobatkan. memandang status quo dengan rasa puas diri merupakan dosa terbesar dari gereja pada zaman kita ini - suatu dosa yang pasti mendukakan Roh Kudus, dan suatu dosa yang pasti menghalangi gereja dalam membuat kemajuan yang benar dan baik, dalam reformasi sesuai dengan Alkitab. Suatu gereja yang dikuasai oleh pandangan seperti itu tidak dapat sungguh-sungguh bergerak maju ke depan. Bahkan mungkin tergelincir mundur dalam ketidaksetiaan dan kemurtadan. Paling tidak gereja itu hanya bergerak dalam lingkaran yang tetap, selalu kembali lagi ke tempat semula.
Gereja-gereja di Amerika pada umumnya telah bergerak dalam suatu lingkaran yang tetap melalui sejarahnya pada masa lampau. Kita dapat juga mengatakan, mereka telah bergerak dalam lingkaran setan. Polanya adalah adanya kemerosotan diikuti oleh kebangunan rohani diikuti oleh kemerosotan dan seterusnya. Kemajuan yang sejati tidak dilakukan. Tampaknya, yang terbaik yang dapat dilakukan adalah, berhasil keluar dari satu sumur kemudian sumur berikutnya demikian seterusnya. Tidak ada hal yang lebih umum dalam gereja dari pada stagnasi yang seperti ini. Tidak ada hal yang lebih sulit daripada pemeriksaan yang sungguh-sungguh terhadap wajah gereja, struktur atau kegiatannya, dan direformasi dalam terang firman Allah.
Kemajuan yang benar berarti berdiri di atas landasan-landasan yang telah diletakkan pada masa yang lampau. Akan tetapi, kemajuan yang benar itu tidak berarti terikat dan dikendalikan oleh tangan mati dari kesalahan-kesalahan dan cacat-catat masa lampau. Hanya ada satu kendali yang benar bagi kemajuan yang sejati, dan itu adalah kendali dari Alkitab sendiri. Reformasi yang benar dari gereja adalah reformasi di atas dasar Alkitab, reformasi di dalam batas-batas Alkitab, bukan reformasi di luar batas Alkitab.
Apakah pejabat-pejabat resmi gereja, publikasi-publikasinya, yayasan-yayasannya, sungguh-sungguh merefleksikan pandangan yang ada di gereja itu? Ataukah mereka harus mengambil posisinya pada standar resmi dari gereja dan mempertahankan garis itu dalam berkonfrontasi dengan orang banyak? Ataukah mereka berani menjadi pioner dalam melakukan kritik diri dari denominasi itu berdasarkan Kitab Suci? Apakah mereka merintis jalan baru, maju ke depan masuk ke dalam daerah baru dalam terang firman Allah?
Itu tadi merupakan pertanyaan-pertanyaan yang sulit dan serius. Tendensinya adalah mengambil jalan pintas dan mengabaikannya. Pertanyaan-pertanyaan seperti itu jarang dihadapi. Kita lebih cenderung untuk menganggap bahwa status quo itu sebagai normal. Atau jika bukan status quo sekarang, maka pencapaian-pencapaian pada masa lampau dianggap sebagai normal. Jika kita dapat kembali kepada cara-cara melakukan segala sesuatu seperti "hari-hari baik pada masa lampau" dan mempertahankan standar itu, maka segala sesuatu akan lancar dan beres, demikian katanya. Akan tetapi, apakah benar akan terjadi seperti itu? Sudah di manakah kita sekarang? Sekarang ini tahun 1991. Apakah bisa dimaafkan kalau kita gagal untuk maju ke depan melampaui pendahulu-pendahulu kita dalam pemahaman Firman? Bagaimanakah kita bisa mengatakan bahwa reformasi gereja telah komplit dalam tahun 1560, dalam tahun 1638, atau bahkan dalam tahun 1950? Apa saja yang kita lakukan sejak itu? Apakah talenta kita sudah dikuburkan dalam kantong uang? Tidaklah sulit untuk mengakui adanya keburukan- keburukan dalam gereja yang membutuhkan koreksi. Akan tetapi, tendensinya adalah untuk berpendapat bahwa kita dapat kembali pada dasar yang baik dari satu atau dua generasi yang lampau, maka segala sesuatu akan menjadi seperti yang seharusnya. Apa lagi yang dapat diharapkan? Kita hanya dapat mempertahankan garis itu untuk waktu-waktu yang akan datang. Akan tetapi, itu berarti kita tidak melaksanakan tugas yang Allah berikan. Pendahulu-pendahulu kita melakukan reformasi gereja pada zamannya, Allah memanggil kita untuk melakukan reformasi pada zaman kita ini. Kita tidak boleh puas dengan kemenangan yang diperoleh itu, kita sendiri harus menghantam, dengan iman, berdasarkan pada firman Allah. Kita hidup dalam jaman pragmatis, suatu zaman yang tidak sabar pada kebenaran, dan umumnya hanya memperhatikan hasil praktis. Zaman kita menginginkan hasil dan dengan senang hati mau mempercayai bahwa buah ara dihasilkan oleh semak duri, jika mereka kira mereka melihat buah-buah ara itu (pohon ara merupakan pohon besar yang tidak berduri - Red.). Reformasi yang benar mencari kemuliaan Allah dan kebenaran-Nya lebih dari segala pertimbangan yang lain.
Allah memanggil kita untuk melakukan reformasi pada jaman kita ini
Saya mendengar adanya keberatan, ketika seseorang berusaha membawa beberapa hal dari gereja ke bawah pemeriksaan Alkitab, yaitu bahwa waktunya tidak tepat. "Mungkin engkau benar", demikian dikatakan oleh yang keberatan, "tetapi apakah sekarang ini merupakan waktu yang tepat untuk memunculkan permasalahan seperti itu?" Kita harus menyadari bahwa bagi kebenaran, waktu selalu tepat, kebenaran selalu tepat, kebenaran selalu pantas layak serta patut, dan jika menunggu waktu yang tepat untuk memunculkan kebenaran, maka waktu yang tepat itu mungkin tidak akan pernah datang. Waktu yang lebih baik itu mungkin tidak pernah datang. Selalu saja ada alasan-alasan yang bisa dikemukakan untuk tidak melaksanakan reformasi gereja sesuai dengan firman Allah.
Kita harus menyadari bahwa bagi kebenaran, waktu selalu tepat, kebenaran selalu tepat, kebenaran selalu pantas layak serta patut, dan jika menunggu waktu yang tepat untuk memuncul- kan kebenaran, maka waktu yang tepat itu mungkin tidak akan pernah datang.
Allah adalah Allah kebenaran. Dia adalah Terang, dan di dalam Dia sama sekali tidak ada kegelapan. Kristus adalah Raja dari Kerajaan kebenaran. Bagi tujuan inilah Dia dilahirkan, yaitu agar Dia dapat memberi kesaksian tentang kebenaran. Mereka yang berasal dari kebenaran mendengarkan suara-Nya. Sikap yang siap untuk menerima status quo sebagai kenormalan, merupakan salah satu penghalang besar pada jalan reformasi sejati dan kemajuan dalam gereja sekarang. Sikap ini merupakan dosa karena buta terhadap dosa yang sebenarnya dari status quo. Sikap ini gagal untuk menyadari bahwa status quo selalu perlu untuk ditobatkan, selalu perlu untuk diampuni dalam anugerah ilahi, dan selalu perlu untuk direformasi oleh gereja di atas bumi. Sikap ini gagal untuk menyadari kebenaran dari pernyataan Agustinus, yaitu bahwa setiap kebaikan yang kurang dari kebaikan tertinggi selalu mengandung unsur dosa; menerima status quo adalah dosa.
Pada dasarnya, penerimaan dengan sikap puas atas status quo sebagai sesuatu yang normal merupakan akibat dari suatu konsep yang salah tentang Allah, suatu konsep yang gagal untuk memperhitungkan kekudusan-Nya dan kemurnian-Nya; dan juga dari konsep yang salah tentang Alkitab, suatu konsep yang gagal untuk menyadari sifat absolut dari Alkitab sebagai standar gereja. Meletakkan kebenaran dan kehormatan Allah pada tempat yang tertinggi, di atas semua pertimbangan yang lain, apapun itu, memerlukan pengabdian moral yang besar. Hal ini benar bagi gereja seperti juga bagi individu, dan barangsiapa yang kehilangan nyawanya bagi Kristus akan mendapatkannya.
Sumber diambil dari:
Judul Buku | : | Momentum |
Judul Artikel | : | - |
Penulis | : | Johannes Geerhardus Vos |
Penerjemah | : | - |
Penerbit | : | Lembaga Reformed Injili Indonesia |
Halaman | : | - |
Dear Reformed Netters,
Artikel yang saya kirimkan ke Anda ini sangat menarik untuk disimak. Kiranya dapat menjadi perenungan bagi kita menjelang perayaan Paskah tahun ini. Doa saya, kita semua semakin menghargai pentingnya kematian Kristus bagi iman keselamatan kita.
Selamat merayakan Hari Paskah 2008.
Redaksi, Yulia Oeniyati < yulia(at)in-christ.net >
Lee Strobel
096/II/2008
14-2-2008
Karena menganggap diri seorang ateis, maka saya mengawali perjalanan spiritual saya dengan cara yang tidak biasa.
Saya minta pertolongan Tuhan.
Saya pikir-pikir, apa ruginya? Jika saya ternyata benar dan Tuhan sedang tidak ada di surga, maka saya hanya akan kehilangan waktu selama tiga puluh detik. Jika ternyata saya salah dan Tuhan menjawab saya, maka saya akan mendapat untung besar. Maka, saat sendirian di dalam kamar; pada 20 Januari 1980, saya panjatkan doa demikian ini:
"Tuhan, aku bahkan tidak percaya Engkau ada di sana, tetapi jika memang benar Engkau ada, aku ingin menemukan-Mu. Aku benar-benar ingin mengenal kebenaran-Mu. Maka jika Engkau memang ada, mohon nyatakan diri-Mu padaku."
Apa yang tidak saya ketahui pada waktu itu yaitu, doa sederhana ini melontarkan saya selama hampir dua tahun ke dalam petualangan pencarian yang berakhir dengan sebuah revolusi dalam hidup saya.
Berbekal pelatihan bidang hukum yang pernah saya ikuti, yang memberi saya pengetahuan mengenai bukti, juga latar belakang jurnalistik, yang memberi saya keterampilan-keterampilan dalam mengejar-ngejar fakta, saya pun mulai membaca berbagai macam buku dan mewawancarai banyak ahli. Saya sangat dipengaruhi oleh Josh McDowell melalui buku-bukunya. "More Than a Carpenter"[1] dan "Evidence That Demands a Verdict"[2], telah membuka mata saya pada kemungkinan bahwa seseorang bisa memiliki iman yang dapat dipertahankan secara intelektual.
Tentu saja, saya juga membaca Alkitab. Namun, terlebih dahulu saya sisihkan jauh-jauh pemikiran bahwa Alkitab itu benar-benar adalah firman, yang adalah ilham dari Tuhan. Sebaliknya, pada saat itu saya memandang Alkitab dengan sudut pandang yang tak terbantahkan -- sebagai suatu kumpulan dokumen masa lampau yang merekam kejadian- kejadian yang memiliki nilai historis.
Saya juga membaca tulisan-tulisan religius lainnya, termasuk Kitab Mormon, sebab saya rasa penting untuk memeriksa alternatif keyakinan rohani yang berbeda. Sebagian besar keyakinan itu mudah dibuyarkan. Sebagai contoh, Mormonisme dengan cepat runtuh di tengah penelitian saya setelah saya menemukan beberapa ketidaksesuaian yang tidak dapat ditolerir antara kesaksian-kesaksian sang pendiri, Joseph Smith, dengan penemuan-penemuan arkeologi modern. Berbeda dengan kekristenan, yang semakin saya teliti, semakin membangkitkan ketertarikan saya.
Saya gambarkan proses ini seolah-olah saya sedang merangkai suatu "jigsaw" (teka-teki bergambar) raksasa dalam benak saya. Tiap kali menemukan bukti atau jawaban, itu seperti menemukan letak potongan jigsaw yang tepat pada posisi yang semestinya. Saya tidak tahu seperti apa jadinya gambar akhir dari rangkaian jigsaw tersebut -- itu adalah suatu misteri -- tetapi setiap fakta yang dapat saya ungkap mengarah pada satu langkah ke depan untuk makin dekat pada solusinya.
JAWABAN BAGI SEORANG ATEIS
Tak lama kemudian, saya menemukan bahwa orang Kristen telah melakukan suatu kesalahan taktis. Agama-agama lain percaya pada berbagai dewa atau tuhan yang tak berwujud, tidak kelihatan, dan pemahaman itu sulit untuk diubah. Tetapi orang Kristen mendasarkan agama mereka pada hal- hal yang katanya adalah ajaran dan mukjizat dari sesosok Pribadi yang mereka klaim atau akui sebagai Orang yang secara historis adalah nyata -- Yesus Kristus -- yang menurut mereka, adalah Tuhan.
Saya rasa ini merupakan suatu kekeliruan yang besar sebab jika Yesus benar-benar hidup, Ia pasti meninggalkan bukti-bukti historis. Saya pun berpikir bahwa yang perlu saya lakukan adalah berusaha memastikan kebenaran historis tentang Yesus dan mungkin saja saya akan menemukan bahwa Dia adalah Orang yang baik, mungkin sangat bermoral dan seorang Guru yang sempurna, tetapi yang pasti, sama sekali tidak menyerupai Tuhan.
Saya memulainya dengan menanyakan pada diri saya sendiri pertanyaan pertama dari seorang wartawan yang baik: "Ada berapa pasang mata di sana?" "Mata" adalah istilah lain untuk saksi. Setiap orang tahu betapa kuatnya kesaksian saksi mata dalam menetapkan kejujuran suatu peristiwa. Percayalah, saya sudah melihat banyak terdakwa yang digiring ke penjara oleh saksi mata.
Maka saya ingin mengetahui, "Ada berapa banyak saksi mata yang menjumpai orang bernama Yesus ini? Berapa banyak yang mendengar-Nya saat Dia memberikan pengajaran-pengajaran? Berapa banyak yang melihat- Nya melakukan mukjizat-mukjizat? Berapa banyak yang benar-benar telah melihat-Nya setelah Dia, yang katanya bangkit dari kematian?"
Saya terkejut saat menemukan bahwa tidak hanya satu saksi mata yang ada di sana; melainkan ada banyak, dan Perjanjian Baru dengan jelas menyebutkan beberapa orang dari mereka. Sebagai contoh, ada Matius, Petrus, Yohanes, dan Yakobus -- mereka semua adalah saksi mata. Markus, seorang sejarawan, yang menulis berdasarkan wawancara langsung dengan Petrus sendiri; Lukas, seorang dokter yang menulis riwayat hidup Yesus berdasarkan kesaksian para saksi mata; dan juga Paulus, yang hidupnya berubah 180 derajat setelah dia berkata bahwa dirinya telah bertemu dengan Kristus yang telah bangkit kembali.
Petrus dengan teguh meyakinkan bahwa dia dengan teliti telah mencatat informasi yang diperolehnya secara langsung. "Kami tidak mengarang kisah-kisah yang kami ciptakan dengan cerdik saat kami mengatakan kepada Anda mengenai kuasa dan kedatangan dari Tuhan kita Yesus Kristus," tulisnya, "tetapi kami adalah saksi mata dari kebesaran- Nya."[3]
Yohanes berkata, dia telah menuliskan tentang hal-hal "yang telah kami dengar, yang telah kami lihat dengan mata kami, yang telah kami saksikan, dan yang telah kami raba dengan tangan kami."[4]
KESAKSIAN YANG DAPAT DIPERCAYA
Orang-orang ini tidak hanya menyaksikan secara langsung, tetapi McDowell dengan jelas menunjukkan, mereka telah berkhotbah tentang Yesus pada orang-orang yang hidup pada masa dan di daerah yang sama dengan Yesus sendiri. Hal ini sangat penting sebab jika para murid itu melebih-lebihkan atau hanya sekadar menulis ulang sejarah, maka para pendengar, yang terkadang memusuhi mereka, pasti akan mengetahui kebohongan itu dan menolak mereka. Tetapi sebaliknya, mereka dapat berbincang-bincang mengenai berbagai hal yang telah diketahui orang banyak dengan para pendengar tersebut.[5]
Sebagai contoh, tidak lama sesudah Yesus dibunuh, Petrus berkhotbah pada orang banyak di kota yang sama di mana penyaliban itu berlangsung. Banyak di antara mereka mungkin melihat Yesus dibunuh. Petrus memulainya dengan berkata: "Hai orang Israel, dengarlah perkataan ini: `Yang aku maksudkan, ialah Yesus dari Nazaret, seorang yang telah ditentukan Allah dan yang dinyatakan kepadamu dengan kekuatan-kekuatan dan mukjizat-mukjizat dan tanda-tanda yang dilakukan oleh Allah dengan perantaraan Dia di tengah-tengah kamu, seperti yang kamu tahu.`"[6]
Dengan kata lain, "Ayolah, kalian semua -- kamu sudah mengetahui apa yang Yesus lakukan. Kamu sendiri telah melihat hal-hal ini!" Lalu dia mengungkapkan bahwa Raja Daud telah mati dan dikuburkan dan kuburannya masih ada sampai hari ini, "Yesus inilah yang dibangkitkan Allah, dan tentang hal itu kami adalah saksi."[7]
Yang menarik adalah reaksi para pendengar. Mereka tidak berkata, "Kami tidak tahu apa yang kamu bicarakan!" Sebaliknya, mereka panik dan ingin tahu apa yang harus mereka lakukan. Pada hari itu juga, sekitar tiga ribu orang meminta pengampunan dan banyak lainnya juga turut serta -- sepertinya itu karena mereka mengetahui bahwa Petrus telah mengatakan hal yang sebenarnya.[8]
Saya pun bertanya pada diri sendiri, "Apakah kekristenan dapat tumbuh berakar dengan cepat karena memang benar tidak dapat dibantah jika para murid itu berkeliling menyebarkan perkataan yang telah diketahui oleh para pendengar mereka bahwa hal-hal itu dilebih-lebihkan atau bahkan palsu?"
Potongan-potongan jigsaw mulai tertata tepat pada tempatnya.
Satu bukti lagi yang ditawarkan orang Kristen pada saya -- namun saya tidak memercayainya -- yakni para murid Yesus pasti percaya pada apa yang telah mereka khotbahkan tentang Dia karena sepuluh dari sebelas orang murid memilih mengalami kematian yang mengerikan daripada menarik kembali kesaksian mereka bahwa Yesus adalah Anak Allah yang telah bangkit dari kematian. Beberapa orang lainnya disiksa hingga mati melalui penyaliban.
Awalnya saya tidak menyadari hal menarik ini. Saya bisa menunjukkan semua kelemahannya melalui sejarah, yakni ada orang-orang yang rela mati karena membela keyakinan mereka. Tetapi para murid itu berbeda, kata McDowell. Orang akan rela mati demi kepercayaan mereka jika telah yakin dengan kebenaran kepercayaan itu, tetapi orang tidak akan mau mati untuk kepercayaan jika tahu bahwa kepercayaan itu palsu.
Dengan kata lain, keseluruhan iman Kristen bergantung pada apakah Yesus Kristus benar-benar bangkit dari kematian.[9] Tidak ada kebangkitan, berarti tidak ada kekristenan. Para murid berkata bahwa mereka melihat Yesus setelah Dia dibangkitkan dari kematian. Mereka mengetahui apakah mereka berbohong atau tidak; hal itu tidak mungkin merupakan halusinasi atau kekeliruan. Dan jika mereka memang berbohong, akankah mereka dengan sepenuh hati rela mati demi hal yang mereka ketahui adalah palsu?
Seperti yang diamati oleh McDowell, tidak ada orang yang dengan sadar dan dengan sepenuh hati rela mati demi suatu kepalsuan.[10]
Fakta tunggal itu sangat memengaruhi saya, terlebih lagi ketika saya mengetahui apa yang terjadi pada para murid setelah penyaliban. Sejarah menunjukkan bahwa mereka muncul dan dengan terus terang menyatakan bahwa Yesus mengatasi dunia kematian. Tiba-tiba, orang- orang yang dahulunya penakut ini dipenuhi dengan keberanian, bersedia berkhotbah hingga mati bahwa Yesus adalah Anak Allah.
Apa yang mengubah mereka? Saya tidak mendapatkan penjelasan yang lebih masuk akal lagi selain bahwa para murid itu telah memeroleh pengalaman yang mengubah hidup mereka bersama dengan Kristus yang telah dibangkitkan kembali.
SEORANG SKEPTIS ABAD PERTAMA
Penyelidikan saya terutama sampai pada diri seorang murid bernama Thomas, sebab dia sama skeptisnya seperti saya. Saya rasa dia pasti dapat menjadi seorang wartawan terkenal. Thomas berkata dia tidak akan percaya bahwa Yesus telah kembali hidup kecuali jika dia bisa secara pribadi memeriksa luka-luka di tangan dan kaki Yesus.
Menurut catatan dalam Perjanjian Baru, Yesus muncul dan memanggil Thomas untuk memeriksa bukti bagi dirinya agar percaya, dan Thomas melihat bahwa luka-luka itu benar. Saya terpesona saat mengetahui bagaimana Thomas menghabiskan sisa hidupnya. Menurut sejarah, dia mengakhiri hidupnya dengan tetap menyatakan -- hingga ditikam sampai mati di India -- bahwa Yesus adalah Anak Allah yang telah bangkit kembali dari kematian. Baginya, bukti telah meyakinkan dirinya dengan sangat jelas.
Selain itu, adalah penting untuk membaca apa yang Thomas katakan setelah dia menjadi puas oleh bukti bahwa Yesus telah mengalahkan kematian. Thomas menyatakan: "Tuhanku dan Allahku."[11]
Selanjutnya, Yesus tidak menanggapinya dengan berkata, "Stop! Tunggu sebentar, Thom. Jangan menyembah aku. Kamu hanya boleh menyembah Tuhan, dan ingat, aku hanyalah seorang guru besar dan Manusia yang menjunjung tinggi nilai-nilai moral." Sebaliknya, Yesus menerima penyembahan Thomas.
Dengan demikian, tidak perlu lagi mencari kesalahan dari konsepsi populer bahwa Yesus tidak pernah mengklaim atau mengaku bahwa Dia adalah Allah. Selama bertahun-tahun, orang-orang yang skeptis atau tidak percaya telah bercerita kepada saya bahwa Yesus tidak pernah menganggap diri-Nya lebih dari sekadar manusia biasa dan bahwa Dia marah di dalam kuburan-Nya jika Dia mengetahui bahwa orang-orang menyembah diri-Nya. Tetapi ketika saya membaca Alkitab, saya menemukan bahwa Yesus menyatakan berulang kali -- baik melalui perkataan maupun perbuatan -- siapa diri-Nya sebenarnya.
Riwayat hidup Kristus yang paling tua menggambarkan bagaimana Dia ditanyai secara langsung oleh imam besar selama proses pengadilan: "Apakah Engkau Mesias, Anak dari Yang Terpuji?"[12] Yesus tidak ragu- ragu. Dua kata pertama yang diucapkan-Nya adalah: "Akulah Dia."[13]
Imam besar tahu apa yang Yesus katakan, karena itu dia dengan marah menyatakan pada pengadilan, "Kamu sudah mendengar hujatan-Nya terhadap Allah"[14] Hujat apa? Bahwa Yesus telah mengaku diri-Nya adalah Allah! Ini, setelah saya pelajari, adalah kejahatan yang membuat-Nya dihukum mati.
Ketika saya menjadi semakin yakin terhadap para saksi mata dalam Perjanjian Baru, saya tetap teringat pada seorang skeptis lain yang berbicara kepada saya bertahun-tahun yang lalu. Mereka mengklaim bahwa Perjanjian Baru tidak bisa dipercayai karena buku itu ditulis seratus tahun atau bahkan lebih setelah masa kehidupan Yesus. Mereka berkata bahwa mitos-mitos tentang Yesus telah tumbuh subur selama masa itu dan telah menyimpangkan kebenarannya tanpa disadari.
Tetapi ketika saya menguji fakta-fakta dengan objektif, saya mendapati bahwa penemuan-penemuan arkeologis terbaru telah memaksa para ahli untuk memberikan pernyataan bahwa masa penulisan Perjanjian Baru lebih awal dari pernyataan sebelumnya.
Dr. William Albright, seorang profesor terkenal dari Universitas John Hopkins dan mantan Direktur American School of Oriental Research in Jerusalem, berkata bahwa ia yakin berbagai buku dari Kitab Perjanjian Baru ditulis dalam masa lima puluh tahun setelah penyaliban dan sangat mungkin dalam dua puluh atau empat puluh lima tahun sesudah masa Yesus.[15] Ini berarti usia Perjanjian Baru sama tuanya dengan masa kehidupan para saksi mata, yang pasti akan memperdebatkan isinya jika penulisannya dibuat-buat.
Terlebih lagi, para ahli telah mempelajari mengenai waktu yang diperlukan bagi suatu legenda untuk berkembang pada masa lampau. Dan kesimpulan mereka yakni: Tidak ada waktu yang cukup, antara kematian Yesus dan penulisan Perjanjian Baru, bagi suatu legenda untuk dapat menyimpangkan kebenaran historis.[16]
Bahkan, saya kemudian mempelajari bahwa suatu pengakuan iman dari gereja mula-mula -- yang menyatakan bahwa Yesus mati untuk dosa-dosa kita, dan dibangkitkan kembali, serta muncul di hadapan banyak saksi - -telah ditelusuri ulang hingga tiga sampai delapan tahun setelah kematian Yesus. Pernyataan iman ini, yang dilaporkan oleh Rasul Paulus dalam 1 Korintus 15:3-7, ditulis berdasarkan kesaksian langsung dan merupakan suatu konfirmasi paling awal mengenai inti dari Injil.[17]
Sepotong demi sepotong, teka-teki jigsaw mental saya pun semakin menyatu.
KUASA NUBUATAN
Selanjutnya saya mengarah pada nubuatan-nubuatan Alkitab, wilayah di mana saya biasanya bersikap sangat sinis. Saya telah menulis banyak artikel selama bertahun-tahun mengenai ramalan-ramalan tentang masa depan -- salah satu dari kisah-kisah Tahun Baru yang menyibukkan semua reporter pemula -- dan saya mengetahui betapa sedikitnya ramalan- ramalan yang benar-benar terjadi. Sebagai contoh, setiap tahun orang- orang di Chicago tetap percaya bahwa tim Chicago Cubs pasti akan memenangkan kejuaraan dunia, dan hal itu belum pernah terjadi sepanjang hidup saya!
Meskipun demikian, semakin banyak saya menganalisa nubuatan-nubuatan dalam Perjanjian Lama, keyakinan saya menjadi semakin kuat bahwa nubuat-nubuat tersebut membentuk rangkaian bukti-bukti historis yang mengagumkan dalam mendukung klaim bahwa Yesus adalah Mesias dan Anak Allah.
Sebagai contoh, saya membaca Yesaya 53 di Perjanjian Lama dan menemukan hal yang sangat aneh mengenai gambaran bahwa Yesus disalibkan -- dan itu ditulis lebih dari tujuh ratus tahun sebelum penyaliban itu terjadi. Hal itu seperti upaya saya memprediksikan bahwa Cubs akan berhasil pada tahun tahun 2700-an! Semuanya, ada sekitar lima lusin nubuat utama mengenai sang Mesias, dan semakin dalam saya mempelajari nubuat-nubuat itu, makin banyak kesulitan yang saya temui untuk menjelaskannya.
Garis pertahanan pertama saya dalam menolak kekristenan adalah bahwa Yesus mungkin dengan sengaja telah mengatur riwayat hidup-Nya agar dapat menggenapi nubuatan-nubuatan tersebut sehingga Ia akan dikira Mesias yang telah lama ditunggu-tunggu kedatangan-Nya. Sebagai contoh, da1am Zakharia 9:9 diramalkan bahwa Mesias akan mengendarai seekor keledai memasuki kota Yerusalem. Mungkin ketika Yesus akan memasuki kota, Ia mengatakan pada para murid-Nya, "Pergi ambilkan Aku seekor keledai. Aku ingin mengelabuhi orang-orang di sini hingga berpikir Aku adalah Mesias karena Aku benar-benar ingin disiksa sampai mati!"
Tetapi argumentasi itu runtuh ketika saya membaca nubuat-nubuat tentang peristiwa-peristiwa yang tidak mungkin dapat diatur oleh Yesus, seperti tempat kelahiran-Nya, yang telah diramalkan oleh nabi Mikha tujuh ratus tahun sebelum Dia dilahirkan, juga silsilah keluarga-Nya, bagaimana kejadian kelahiran-Nya, bagaimana Ia dikhianati demi uang dalam jumlah tertentu, bagaimana Ia dibunuh, bagaimana tulang-tulang-Nya tetap utuh dan tidak ada yang dipatahkan (berbeda dengan kedua penjahat yang disalibkan bersama dengan Dia), bagaimana para prajurit mengundi pakaian-Nya, dan seterusnya.[18]
Garis pertahanan saya yang kedua adalah bahwa Yesus bukan satu-satunya orang kepada siapa nubuat-nubuat itu ditujukan. Mungkin saja beberapa orang dalam sejarah cocok dengan ramalan-ramalan tersebut, tetapi karena Yesus memunyai lebih banyak agen hubungan masyarakat yang baik, dengan demikian Dia menjadi yang paling diingat oleh setiap orang.
Tetapi setelah membaca sebuah buku karya Petrus Stoner, seorang profesor ilmu alam di Westmont College yang telah pensiun, keraguan tersebut pun tersingkap. Stoner dengan enam ratus siswanya telah melakukan perhitungan secara matematis bahwa hingga saat ini peluang kemungkinan bagi setiap orang hanya dapat memenuhi delapan nubuat Perjanjian Lama.[19] Peluang kemungkinan dalam hal ini, yaitu satu peluang dengan kemampuan sebesar sepuluh per tujuh belas. Itu adalah sebuah nominal dengan tujuh belas angka nol di belakangnya!
Untuk berusaha memahami jumlah yang sangat besar itu, saya melakukan beberapa penghitungan. Saya membayangkan seluruh dunia ditutup oleh ubin lantai berwarna putih berukuran satu setengah inci persegi -- setiap permukaan tanah di bumi -- dan hanya satu ubin yang dasarnya berwarna merah.
Selanjutnya seseorang diizinkan untuk mengembara seumur hidup di tujuh benua. Ia hanya boleh membungkuk sekali untuk mengambil satu potong ubin. Apakah aneh jika ternyata satu ubin yang diambil itu dasarnya berwarna merah? Hal yang sama anehnya adalah hanya ada peluang sebanyak delapan nubuat Perjanjian Lama yang dapat dipenuhi oleh setiap orang sepanjang sejarah!
Hal itu cukup mengesankan, akan tetapi berikutnya Stoner menganalisa empat puluh delapan nubuatan. Dia menyimpulkan bahwa hanya akan ada satu peluang dengan kekuatan sebesar sepuluh per 157 yang akan terjadi pada diri setiap orang sepanjang sejarah.[20] Itu adalah sebuah nominal dengan 157 angka nol di belakangnya!
Saya telah melakukan suatu riset dan mempelajari bahwa atom itu begitu kecilnya hingga diperlukan satu juta atom dibariskan agar sama dengan lebar dari selembar rambut manusia. Saya juga mewawancarai para ilmuwan mengenai perkiraan mereka akan jumlah atom yang ada di seluruh alam semesta.
Dan sementara hasilnya adalah jumlah yang amat sangat besar, saya simpulkan bahwa keanehan empat puluh delapan nubuat Perjanjian Lama berpeluang terjadi pada diri individu mana pun adalah sama seperti seseorang yang memilih secara acak satu atom yang telah ditentukan lebih dahulu di antara semua atom di dalam jutaan triliun triliun triliun triliun galaksi seukuran galaksi kita!
Yesus berkata Dia datang untuk menggenapi nubuat-nubuat tersebut. Ia berkata, "Yakni bahwa harus digenapi semua yang tertulis tentang Aku dalam kitab Taurat Musa dan kitab Nabi-nabi dan kitab Mazmur."[21] Saya pun mulai percaya bahwa semua nubuat itu digenapi -- hanya dalam Yesus Kristus.
Saya bertanya kepada diri saya sendiri, jika seseorang menawari saya suatu bisnis yang memiliki peluang rugi hanya sebesar sepuluh per 157, berapa banyak uang yang akan saya investasikan? Saya akan menaruh semua yang saya miliki untuk satu kesempatan -- pasti -- menang seperti itu! Dan saya pun mulai berpikir, "Dengan adanya semua keanehan tersebut, sepertinya saya perlu menginvestasikan hidup saya pada Kristus."
REALITAS DARI KEBANGKITAN
Karena merupakan hal yang sentral bagi kekristenan, saya pun menghabiskan cukup banyak waktu untuk meneliti bukti historis pada kebangkitan Yesus. Saya bukan orang skeptis pertama yang melakukannya. Ada banyak orang yang telah melakukan pengujian serupa dan kemudian menjadi orang Kristen.
Sebagai contoh, seorang wartawan sekaligus pengacara Inggris bernama Frank Morison yang ditugaskan untuk menulis buku yang menunjukkan bahwa kebangkitan adalah suatu mitos. Namun, setelah bersusah payah mempelajari bukti, dia menjadi seorang Kristen, dan berkata bahwa tidak ada keraguan bahwa kebangkitan memiliki "suatu dasar historis yang kuat dan mendalam"[22]. Buku tentang penyelidikan rohani yang akhirnya dia tulis, memberi saya suatu analisa seorang pengacara yang kritis mengenai kebangkitan.
Sudut pandang hukum lainnya datang dari Simon Greenleaf, seorang profesor cerdas yang mendapat penghargaan karena membantu Harvard Law School dalam meraih reputasi unggul bagi sekolah hukum tersebut. Greenleaf menulis salah satu dari risalah-risalah hukum Amerika terbaik yang pernah ditulis, dengan topik tentang apa yang mendasari pembuktian secara hukum.
Bahkan, Mahkamah Agung Amerika Serikat pun mengutip perkataannya. London Law Journal berkata bahwa Greenleaf mengetahui tentang hukum pembuktian jauh lebih banyak daripada "semua pengacara yang memenuhi pengadilan-pengadilan di Eropa".[23]
Greenleaf mengejek kebangkitan sampai seorang siswa menantangnya untuk membuktikannya sendiri. Secara metodis, dia menerapkan pengujian- pengujian secara hukum pembuktian dan menjadi yakin bahwa kebangkitan adalah suatu peristiwa historis yang nyata. Profesor berdarah Yahudi itu lalu menyerahkan hidupnya bagi Kristus.[24]
Secara ringkas, bukti dari kebangkitan adalah bahwa Yesus mati dibunuh dengan cara disalib dan ditikam dengan tombak; Ia telah dinyatakan mati oleh para ahli; Ia dibalut dengan kain kafan berisi tujuh puluh lima pon rempah-rempah; Ia dibaringkan di dalam sebuah gua makam; sebuah batu karang yang sangat besar digulingkan menutupi jalan masuk ke dalam makam itu (menurut satu catatan historis masa lampau, begitu besarnya batu itu hingga dua puluh orang pun tidak dapat memindahkannya); dan makam itu dijaga oleh para prajurit berdisiplin tinggi.
Lalu, tiga hari kemudian makam itu ditemui dalam keadaan kosong, dan para saksi mata mengaku hingga ajal mereka bahwa Yesus muncul di tengah-tengah mereka.
Siapa yang memunyai motif untuk mencuri tubuh Yesus? Para murid tidak akan menyembunyikannya hingga disiksa sampai mati karena berbohong mengenai hal itu. Para pemimpin Yahudi dan Romawi akan senang dan berpawai mempertontonkan tubuh Yesus menyusuri jalanan Yerusalem; sebab itu akan langsung mematikan kemashyuran agama baru yang mulai menanjak itu, yang telah sekian lama ingin mereka habisi.
Tetapi yang terjadi selanjutnya adalah selama empat puluh hari, Yesus muncul secara langsung sebanyak dua belas kali pada waktu yang berbeda-beda di hadapan lebih dari 515 orang -- menemui para skeptis seperti Thomas dan Yakobus, dan suatu waktu muncul di hadapan sekelompok orang, pada waktu lainnya menemui seseorang secara pribadi, suatu saat muncul di dalam rumah, di saat yang lain muncul di tempat terbuka pada siang hari. Ia berbincang-bincang dengan orang-orang dan bahkan makan bersama dengan mereka.
Beberapa tahun kemudian, ketika Rasul Paulus menyebutkan bahwa ada beberapa saksi mata kebangkitan Yesus, dia mencatat bahwa banyak di antara mereka masih hidup, seolah-olah ia tujukan kepada para skeptis abad pertama, "Pergi pastikan sendiri pada mereka jika kamu tidak percaya padaku."[25]
Bahkan, jika Anda mendatangi para saksi menanyai setiap orang yang benar-benar melihat Yesus yang dibangkitkan kembali, dan jika Anda melakukan uji silang terhadap tiap-tiap orang selama hanya lima belas menit, dan jika Anda lakukan hal ini siang dan malam selama 24 jam tanpa berhenti, Anda akan mendengarkan kesaksian para saksi langsung selama lebih dari lima hari yang melelahkan.
Dibandingkan dengan pengadilan-pengadilan yang saya liput, ini adalah banjir bukti. Lebih banyak lagi jigsaw yang terkunci tepat pada tempatnya.
MENGGALI KEBENARAN
Saya mengamati arkeologi dan ternyata bidang ini menegaskan catatan Alkitab dari waktu ke waktu. Terus terang, masih ada beberapa isu yang belum terungkap. Namun, seorang ahli arkeologi yang istimewa, Dr. Nelson Gleuck, berkata: "Dapat dikatakan dengan pasti bahwa tidak ada penemuan arkeologis yang berlawanan dengan referensi Alkitab. Bahkan, sejumlah penemuan arkeologis mengkonfirmasikan dengan sangat jelas atau sangat detail pernyataan-pernyataan historis yang ada dalam Alkitab."[26]
Saya sangat terpesona oleh kisah seorang arkeolog terbesar sepanjang sejarah, yakni Sir William Ramsay dari Universitas Oxford, Inggris. Dia adalah seorang ateis; bahkan, putra dari pasangan ateis. Dia menghabiskan dua puluh lima tahun untuk melakukan penggalian arkeologis demi membuktikan kesalahan Kitab Kisah Para Rasul, yang ditulis oleh Lukas, sejarawan yang juga menulis Injil dengan namanya {Injil Lukas).
Tetapi bukannya meragukan Kitab Lukas, penemuan-penemuan Ramsay justru mendukungnya. Akhirnya, ia menyimpulkan bahwa Lukas adalah salah satu sejarawan paling akurat yang pernah hidup. Dipacu oleh bukti-bukti arkeologis tersebut, Ramsay menjadi seorang Kristen.[27]
Saya pun berkata, "Baiklah, memang terbukti Perjanjian Baru dapat dipercaya berdasarkan fakta sejarah. Tetapi apakah ada bukti mengenai Yesus di luar Alkitab?"
Saya terkagum-kagum saat menemukan bahwa ada sekitar selusin penulis sejarah kuno non-Kristen yang mengutip catatan sejarah mengenai kehidupan Yesus, termasuk fakta bahwa Ia melakukan hal-hal yang ajaib, bahwa Ia dikenal sebagai seorang yang berbudi luhur, bahwa Ia disebut Mesias, bahwa Ia disalibkan, bahwa langit menjadi gelap saat Ia terpaku di kayu salib, bahwa para murid-Nya berkata Ia telah bangkit kembali dari dunia orang mati, dan bahwa mereka menyembah-Nya sebagai Tuhan.[28]
Sebenarnya, ini hanyalah suatu ringkasan singkat dari penyelidikan rohani saya, sebab saya telah menyelidiki secara mendalam terhadap lebih banyak detil dibanding dengan yang digambarkan di sini. Dan saya tidak menyarankan buku ini semata hanya sebagai latihan akademis murni. Ada banyak ungkapan emosi yang terlibat di dalamnya. Tetapi nampaknya, ke mana pun saya memandang, keandalan catatan Alkitab tentang kehidupan, kematian, serta kebangkitan Yesus Kristus tampak semakin nyata.
MEMECAHKAN TEKA-TEKI
Saya telah memilah-milah bukti selama satu tahun sembilan bulan hingga sepulang dari gereja pada Minggu, 8 November 1981. Saya sedang sendirian di dalam kamar tidur, dan saya berkesimpulan bahwa waktunya telah sampai pada suatu putusan.
Kekristenan belum mutlak terbukti. Jika itu memang terbukti, maka tidak akan ada ruang bagi iman. Tetapi jika memertimbangkan fakta- fakta yang ada, saya menarik kesimpulan bahwa bukti historis yang ada dengan jelas mendukung klaim-klaim tentang Kristus jauh melampaui setiap keraguan. Bahkan sebenarnya, berdasarkan pada apa yang telah saya pelajari, perlu lebih banyak iman agar tetap ateis daripada menjadi seorang Kristen!
Oleh karena itu, setelah saya meletakkan potongan terakhir dari jigsaw mental saya pada tempatnya, seolah-olah saya berhenti sejenak untuk melihat potongan gambar dari rangkaian potongan jigsaw yang secara sistematis telah saya satukan dalam benak saya selama hampir dua tahun.
Gambar itu adalah potret dari Yesus Kristus, Anak Allah.
Seperti halnya Thomas, seorang skeptis terdahulu, saya pun merespons hal ini dengan menyatakan: "Tuhanku dan Allahku!"
Setelah itu, saya menuju dapur, di mana Leslie sedang berdiri di samping Alison di depan bak pencucian. Putri kami berusia lima tahun pada saat itu, dan dengan berjinjit, untuk pertama kalinya ia hampir mampu menggapai kran dapur.
"Lihat, Ayah, lihat!" serunya. "Aku dapat meraihnya! Aku dapat meraihnya!"
"Ya Sayang, hebat sekali," kata saya sambil memeluk dirinya. Lalu saya berkata kepada Leslie, "Kamu tahu, seperti itulah yang kini kurasakan. Aku telah berusaha meraih seseorang dalam waktu yang lama, dan hari ini akhirnya aku mampu meraih-Nya."
Dia mengetahui apa yang sedang saya katakan. Dengan berlinangan air mata, kami berpelukan.
Dan selanjutnya, Leslie dan para sahabatnya berdoa bagi saya hampir setiap hari sepanjang perjalanan rohani saya. Sering kali, doa-doa Leslie terfokus pada ayat dari Perjanjian Lama ini:
"Kamu akan Kuberikan hati yang baru, dan roh yang baru dalam batinmu dan Aku akan menjauhkan dari hatimu hati yang keras dan Kuberikan hati yang taat."[29]
Puji syukur kepada Tuhan, sebab Dia setia pada janji-Nya itu.
Catatan Kaki:
Diambil dan diedit seperlunya dari:
Judul buku | : | Inside the Mind of Unchurched Harry and Mary |
Judul artikel | : | Kejutan dari Seorang Skeptis |
Penulis | : | Lee Strobel |
Penerjemah | : | Jonathan Santoso |
Penerbit | : | Majesty Books Publisher, Surabaya 2007 | Halaman | : | 29 -- 42 |
Dear e-Reformed netters,
Artikel berikut ini adalah sambungan dari artikel yang diterbitkan di Edisi e-Reformed sebelumnya. Jika Anda belum menerima edisi sebelumnya tersebut, silakan menghubungi saya.
In Christ,
Yulia
< yulia(at)in-christ.net >
ANATOMI KEPERCAYAAN DAN IMAN: Sebuah Refleksi Teologis Dan Pastoral (1)
MAKNA DAN DAMPAK IMAN
Berbicara dari sudut pandang teologis, iman berarti komitmen total dan memercayakan diri dalam Kebenaran dan memiliki hidup persekutuan dengan Allah sejati yang Esa -- sebuah perpalingan ontologikal kembali kepada Sang Pencipta. Perpalingan kembali ini tidak boleh dimengerti dalam pola pikir struktur pantheistik atau panentheistik, perpalingan kembali ke asal, seperti dalam praktik-praktik kontemplatif para-religius, kembali kepada sifat ketuhanan di dalam. Tidak juga boleh dimengerti sebagai kemampuan mencapai Firman untuk menjadi seperti Tuhan, atau untuk menjadi Tuhan. Sebaliknya, ini adalah sebuah perpalingan kembali yang asasi kepada Allah dalam konteks keselamatan kristiani. Pengertian yang benar akan kekristenan adalah bahwa Kristus adalah Firman yang menjadi daging supaya kita menjadi manusia, bukan menjadi allah. Sewaktu kita kembali kepada Allah, kita menjadi anak-anak Allah. Iman kita di dalam Kristus menghasilkan kepastian dan jaminan di dalam diri kita dengan cara-cara berikut ini dalam pengertian akan realitas:
Kepastian akan Kebaikan dan Kesempurnaan Allah
Masalah kejahatan dalam filsafat hanya dapat dijelaskan dalam konteks iman kristiani, di mana iman menyediakan pembacaan dan interpretasi yang benar akan realitas secara keseluruhan. Tanpa iman dan kepercayaan kepada Firman Allah, tidak akan ada makna bagi keberadaan apa pun. Iman kita dalam Kristus memberikan jaminan kepada kita akan kepastian kebaikan, sekaligus meyakinkan bahwa kejahatan adalah kesia-siaan. Dalam kekristenan, kejahatan tidak memiliki keberadaan yang nyata. Sebenarnya, kejahatan bukanlah lawan dari kebaikan, tetapi ketiadaan atau miskinnya kebaikan. Karya dan tindakan dari Allah yang sempurna selalu baik. Kebaikan seperti itu adalah fondasi dari semua kebaikan. Oleh karena itu, dalam iman, apa yang kita miliki dan apa yang kita alami adalah baik sempurna. Kesempurnaan seperti itu menjadi lengkap dan menjadi subjek pujian dalam keselamatan di dalam Yesus Kristus bagi anak-anak-Nya yang ditebus.
Adalah benar bahwa kehidupan di dunia ini penuh kesulitan, penderitaan, dan tragedi. Akan tetapi, bagi orang beriman, hidup itu penuh dengan anugerah dan hal-hal yang menyenangkan. Sebagaimana terang menjadi lebih cemerlang dalam kegelapan, kebaikan menjadi lebih manis di tengah-tengah kepahitan, begitu pula hidup kita lebih bermakna di dalam kesulitan, kesedihan dan penderitaan. Bagi mereka yang memiliki iman, segala sesuatu bekerja bersama untuk mendatangkan kebaikan bagi mereka yang mengasihi Allah, yaitu mereka yang dipanggil oleh Allah (Roma 8:28). Dalam imanlah kita melihat keindahan ciptaan, pemeliharaan dan penebusan Allah.
Jaminan akan Makna dan Nilai yang Sejati
Dalam psikologi sosial dan ekonomi, nilai selalu mengikuti harga sedemikian rupa sehingga nilai dapat diciptakan oleh harga. Makna kemudian mengikuti. Oleh karena itu, selama seseorang berani untuk membayar harganya, walaupun mungkin tidak ada pasaran untuk sementara waktu, tetapi bila ia dapat bertahan cukup lama dan berani untuk melipatgandakannya dengan propaganda dan promosi yang baik, orang lain pastinya akan menerima nilai dalam harga tersebut, atau harga yang mereka bayar. Dalam perilaku seperti itu, harga menentukan pasar, dan lebih lanjut lagi, nilai dibentuk ketika harga dibayar. Manusia bahkan akan berpikir bahwa makna yang benar sejalan dengan harga. Walaupun kenyataannya tidak sesederhana itu, akan tetapi, seperti inilah tepatnya bagaimana struktur nilai dalam pola pikir modern berjalan pada saat ini. Kebanyakan orang tidak lagi tertarik dalam mencari makna dan nilai. Inilah penyebab utama dari kerusakan moral pada saat ini: Deskripsi yang murni dari manusia yang tidak mempunyai iman.
Secara teologis, maknalah yang menentukan nilai. Intisari dari makna tidak ditemukan dalam pembacaan dan interpretasi kenyataan, tetapi dalam relasi dan kesatuan antara makna tersebut dengan kebenaran dari kenyataan secara keseluruhan. Kebenaran adalah dasar dari semua makna. Sebenarnya, masalah kita bukanlah bahwa kita menyangkal kenyataan bahwa kebenaran ada, tetapi dalam asumsi kita bahwa kebenaran perlu dimengerti sebagai sesuatu yang nyata dan bermakna. Inilah tepatnya alasan kebanyakan orang menganggap pembacaan dan interpretasi kenyataan sebagai realitas dan kebenaran, meyakini bahwa tanpa pembacaan dan interpretasi, fakta, realitas dan kebenaran tidak memiliki makna dan oleh karena itu tidak memiliki nilai.
Asumsi seperti itu menegaskan bahwa kebenaran adalah murni keberadaan yang pasif. Ini adalah asumsi yang salah. Oleh karena pembacaan dan interpretasi harus dimulai dengan beberapa pendirian dan mengasumsikan dasar-dasar tertentu, yang tanpanya tidak mungkin ada komunikasi. Oleh sebab itu, dapat dicatat bahwa kebenaran tidaklah pasif. Sebaliknya kebenaran harus aktif. Seseorang yang membaca, memahami, dan menginterpretasikan, harus mengambil peran sebagai peran pembantu. Aktor utamanya, dalam hal ini, adalah Kebenaran itu sendiri atau pemberi Kebenaran. Iman hanyalah sebuah agen dalam proses tersebut.
Dalam teologi, kita menganggap iman adalah sesuatu yang dianugerahkan Allah oleh kemurahan-Nya di dalam hati manusia, yang memampukannya untuk membuat tanggapan yang sepatutnya pada saat kebenaran dinyatakan. Iman membuka pikiran manusia untuk menerima wahyu Allah dan berserah kepada Kebenaran, mengenal Kebenaran, menyatakan makna, menegaskan nilai dan mempertandingkan keberadaan kita. Secara sederhana, iman yang sejati membawa kita kepada pengertian yang jelas akan makna, merasakan nilainya, dan menikmati keberadaan kita. Tanpa iman, makna menghilang, nilai terlepas, dan keberadaan dipenuhi dengan kecemasan dan tekanan. Ini menjawab pertanyaan mengapa orang yang tidak beriman selalu hidup dalam kesia-siaan dan berkeluh tanpa harapan.
Kepastian akan Kenikmatan dari Keberadaan
Dalam penciptaan, keberadaan adalah sebuah keharusan ontological. Seperti itu, keberadaan menjadi tidak ada rasanya, tidak bermakna, membuat kita putus asa. Secara filosofis, selain Allah yang membuat keberadaan-Nya sendiri, segala sesuatu penuh keterbatasan. Oleh karena itu, jikalau tidak ada iman, tidak ada suatu apa pun dapat dinikmati. Keberadan tanpa iman menghasilkan ketidakberdayaan dan membawa keputusasaan, frustasi dan kebosanan. Iman membawa kita untuk merasakan kenikmatan dari kehidupan. Inilah tepatnya mengapa Paulus dapat berkata; Aku hidup oleh karena iman di dalam Anak Allah.
Bagi orang Kristen, karena kita percaya dalam Kristus dan mengambil bagian dalam sifat Allah, kita pastinya mengalami kebesaran dan kebaikan Allah, dan juga Allah sendiri, dalam keberadaan kita. Augustine pernah berkata, Allah memberikan segala sesuatu bagi kita untuk digunakan (uti) sehingga kita dapat menikmati (frui) Allah. Dalam pengertian seperti itu, walaupun kita harus melalui pencobaan-pencobaan Ayub, kita masih dapat bersukacita dalam penderitaan, seperti Ayub menyatakan bahwa: "Tuhan yang memberi, Tuhan juga yang mengambil. Terpujilah nama Tuhan." (Ayub 1:21). Oleh karena itu, sekalipun Ia membunuhku, aku akan tetap percaya kepada-Nya. Iman membawa kita untuk merasakan anugerah-Nya dan Diri-Nya sendiri, membuat kita tidak hanya bersuka dalam kehadiran Allah, tetapi juga bersuka di dalam Tuhan. (Ibrani 11:6; Roma 5:11).
Puncak Kepercayaan dan Iman dalam Tindakan
Bagi kebanyakan orang, iman adalah suatu alat untuk mencapai atau menegaskan anugerah Allah. Hal ini benar hanya dalam pandangan pengertian religius akan iman. Secara teologis, iman bukanlah suatu alat; melainkan iman adalah suatu keadaan hati dan jiwa sebagai kepercayaan dan komitmen yang total kepada Allah. Kata "fiducia" dalam teologi mengandung banyak makna yang dalam. Kadang kala disebut "fiducia cordis" sebagai hati dan inti dari iman. Dalam bagian penggunaannya sepanjang sejarah Gereja, kata itu tampaknya kehilangan maksud dan maknanya seiring berlalunya waktu. Gereja secara bertahap telah bergeser dari penekanannya pada aspek percaya seperti yang dituntut oleh objek yang kita percayai, kepada aspek-aspek percaya tertentu dari seseorang yang percaya. Bergeser dari penekanan teosentris kepada penekanan antroposentris, dari teologi ke antropologi.
Bagi manusia, perwujudan kepercayaan dan iman adalah tindakan dan perilaku yang baik, secara umum dikenal sebagai pembenaran di hadapan manusia dan dipuji oleh orang lain. Karena Allah tidak memerhatikan penampilan, Allah tidak perlu untuk mendasarkan pembenarannya pada perbuatan baik manusia. Oleh karena itu, walaupun iman selalu didukung oleh perbuatan baik, tetapi iman dalam ciri-cirinya sendiri adalah perbuatan baik dihadapan Allah, bukan di hadapan manusia. Inilah mengapa iman kadang-kadang disebut tindakan baik semata. (Lihat Lukas 12:8). Iman adalah tindakan kepada Allah dan di hadapan Allah. Inilah mengapa Allah membenarkan manusia karena imannya bukan perbuatannya. Dengan kata-kata biasa, karena iman adalah percaya dalam Allah, percaya adalah penyerahan diri yang total kepada Allah, seperti Paulus menyatakan bahwa kita dapat percaya pada-Nya dan juga menderita bagi-Nya. (Filipi 1:29).
Sisa makalah ini akan mendedikasikan dirinya pada penjelasan mengenai iman dalam arti "fiducia", dimana teologi Kristen menjelaskan lebih lanjut maknanya dalam istilah-istilah "iman yang takut" (apprehensio fiducialis); "iman inti atau hati yang percaya" (fiducia cordis), dan "kebaikan iman atau tindakan iman" (actus fidei).
Aspek-aspek yang Takut dari Iman
Apa yang kita maksud dengan iman yang takut adalah hasil dari tindakan dan pekerjaan yang mulia dari Roh Kudus, membuat manusia mampu mengamati dan memahami anugerah, karya, dan kehendak sempurna dari Allah dalam tindakan-Nya. Dengan kata lain, dalam iman yang takut, pikiran manusia ditangkap oleh Firman Allah. Karenanya, dia akan sepenuhnya mengerti dalam pengetahuan dan penyerahan kepada Allah dan Firman-Nya yang dinyatakan, dan dengan rela menerima penghakiman dan pengampunan-Nya.
Seperti Abraham, dia percaya apa yang telah Allah janjikan, dan Allah menganggap hal ini sebagai kebajikan-Nya. Inilah dasar dari iman kristiani, tantangan dan pencobaan yang utama yang dihadapi orang-orang Kristen saat ini. Pemazmur berkata, apabila dasar-dasar dihancurkan, apakah yang dapat dibuat oleh orang benar itu? (Mazmur 11:2). Inilah tepatnya dimana penyakit-penyakit Gereja modern dan teologi modern dihasilkan. Baru-baru ini, banyak usaha didedikasikan pada diskusi-diskusi dan rekonstruksi teologi kristiani, mengabaikan fakta bahwa kita telah meragukan dasar iman kita dan mencoba untuk menggantikan Allah dengan nama-nama yang lain. (Mazmur 16:4). Ini adalah sebuah tanda yang nyata akan kurangnya iman yang takut. Usaha seperti itu dianggap gagal, karena bibit kerusakan ditanam pada saat itu bahkan sebelum usaha itu memulai rekonstruksi.
Iman yang sejati memahami kehadiran Allah dan kebesaran Allah, bahkan sebuah pengertian akan membawa kita pada pengalaman dari Yusuf muda yang pernah berkata, "Bagaimana bisa aku melakukan dosa yang begitu besar terhadap Allah! Bahkan ketika tak seorangpun tahu!"
Iman Inti atau Hati yang Percaya
Kata "cordis fiducia" mengandung dua arti: 1) sebagai sebuah indikasi bahwa tempat iman adalah dalam hati manusia, dan 2) bahwa inti dari iman adalah ketika hati menyatu dengan iman mengarahkan diri pada Kebenaran. Hal yang terakhir menunjuk pada fakta bahwa iman senantiasa melampaui intelektual dan ia berada pada jiwa yakni bagian utama dari eksistensi manusia. "Cordis fiduca" menentukan religiusitas manusia dan hubungannya dengan Allah. Hal yang terakhir itu mengacu pada fakta bahwa jiwa memiliki kemampuan mengasihi, memerhatikan, dan melekatkan diri pada Allah dan firman-Nya.
Secara harafiah dapat dikatakan bahwa kemampuan mengasihi dan memberi penghargaan adalah dua hal yang berbeda. Kasih cenderung lebih nyata sedangkan penghargaan berbentuk konkret. Keduanya adalah tanda dari sebuah kondisi dari perasaan dan karya yang benar sebagai suatu ungkapan dari sikapnya terhadap obyek dari keyakinan dan kasihnya. Iman yang sejati mengungkapkan diri sendiri dalam hati dan lewat ucapan. Hati dan ucapan berjalan seiring memercayai dan mengakui bahwa Kristus adalah Tuhan (Rm. 10:9-10). Iman yang sejati lebih dari sekedar itu, ia tidak akan pernah malu pada injil Yesus Kristus (Rm. 1:16; Mrk. 8:38-39).
Dalam konteks pastoral, iman mengandung aspek mistik dan keajaiban. Iman membawa seseorang yang percaya dalam keberadaan tertawan, sehingga orang itu tidak dapat menahan diri untuk bersaksi di depan umum ataupun menolak dorongan untuk memproklamirkan nama Kristus dan memuliakan-Nya. Sesungguhnya, orang itu begitu bangga menjadi miliki Allah.
Dari zaman ke zaman, kita telah menyaksikan bahwa walaupun memercayai Yesus adalah hal spiritual dan pribadi, namun sejauh kaitannya dengan iman, sekali orang mengakui imannya pada Kristus (?). Dia tidak akan ragu untuk memproklamirkannya di depan umum sekalipun ia harus membayar harga dengan nyawanya sendiri. Bagi orang lain, seorang yang sudah percaya tidaklah perlu begitu offensif. Beberapa orang bahkan berpikir bahwa orang percaya meyakini dan berdoa secara diam-diam sendiri. Namun bagi orang percaya sejati, iman mereka membara sehingga mereka tidak memiliki pilihan lain selain melakukan sesuatu. Seperti Maria dari Betania, orang percaya yang sejati akan menghancurkan kendi minyak narwastu untuk mengurapi kaki Tuhan, meresikokan dirinya diserang oleh kritik tajam dan kecaman orang lain. Hal ini merupakan ekspresi dari penghargaan yang terbaik. Iman yang sejati tidaklah dapat diungkapkan sepenuhnya. Iman sejati dapat memperlihatkan dorongan yang dashyat, yang mampu memindahkan gunung dan membelah lautan. Iman sejati seperti api yang menghanguskan dan seperti air yang tiada henti menetes melubangi batu kerikil yang tebal. Semua hal ini merupakan penjelasan tentang iman, keyakinan yang dirasakan oleh hati.
Kebajikan atau Tindakan Iman
Sebagaimana kita diskusikan dalam tulisan ini, iman sejati tidaklah membutuhkan perbuatan untuk membuktikannya. Iman sejati sebaliknya merupakan perbuatan itu sendiri di hadapan Allah dan diterima oleh Allah. Teologi merujuk kebenaran ini sebagai kebajikan iman atau tindakan iman. Mengikuti Paulus, gereja tradisional menyakini iman, pengharapan, dan kasih sebagai tiga pilar utama dari keutamaan Kristen. Kebajikan iman, dipahami secara umum sebagai hal yang paling jelas di antara ketiganya. Sekalipun demikian, secara ontologis, iman sesungguhnya merupakan sebuah kesadaran diri yang jelas mengenai kehadiran ilahi yang menuntut sebuah ketertundukan total dan komitmen pada Allah dan firman-Nya. Penjelasan berikut ini memberikan gambaran mengenai tindakan iman sebagai kebajikan moral.
IMAN DALAM KOMITMEN
Komitmen merupakan sebuah tindakan sukarela alami dari seorang yang sudah diyakini oleh Kebenaran. Hal ini membawa kita pada beberapa pertanyaan teologis, sejauh pembahasan dalam konteks iman dan komitmen, apakah iman adalah hasil dari kemampuan subyektif manusia, "habitus fidei", ataukah hasil dari anugerah Allah, yang memampukan orang itu untuk secara total menyerahkan dirinya di hadapan Allah? Jika iman adalah inisiatif ilahi, maka apa yang seorang manusia lakukan hanyalah mempraktikkan hak istimewa yang diberikan oleh Allah saat ia berkonfrontasi dengan wahyu ilahi. Manusia tidaklah memiliki pilihan lain selain daripada respons yang sewajarnya kepada panggilan Allah. Berbicara dalam terang keyakinan Reformed, komitmen iman bukanlah usaha manusia, sebaliknya, iman adalah anugerah Allah. Dan dengan demikian, keutamaan iman merupakan pekerjaan Allah itu sendiri. Jelas tidak ada kontribusi manusia sama sekali. Oleh sebab itu tidak ada alasan bagi manusia untuk mengakui bahwa iman itu miliknya. Iman itu ada karena Allah bersedia tinggal di dalam manusia. Sebagaimana pepohonan dihanyutkan oleh banjir badang, demikianlah manusia disandera oleh Allah dan oleh kasih-Nya. Oleh sebab itu, komitmen penulis adalah agar kita dapat tinggal tenang seperti anak yang terlelap, sepenuhnya menyerahkan diri di atas pangkuan sang ibu. Dan hal ini merupakan tanda dari iman yang sejati yang membawa ucapan syukur dan pujian dalam diri kita. Orang yang memiliki iman tidaklah pernah menyombongkan diri, dia lebih memilih untuk berkomitmen total dan hanya bersedia berbicara hal yang besar mengenai Kristus yang tersalib (1Kor. 2:1-5).
IMAN DALAM KETERTUNDUKAN DAN KETAATAN
Iman dan ketaatan tidak dapat dipisahkan, keduanya merupakan ekspresi konkret dari keyakinan terhadap Kristus. Secara teologis, lawan dari iman bukanlah ketidakpercayaan, ataupun keragu-raguan melainkan kesombongan dan ketidaktaatan. Kejatuhan dari Adam dan Hawa, dan seluruh tokoh Alkitab merujuk pada fakta bahwa mereka terlalu sombong dan tidak taat. Alkitab menyatakan bahwa kesombongan mendahului kehancuran. Langkah pertama dari iman yang sejati adalah penyangkalan dan penyerahan diri dalam rangka mengikut Tuhan. Ketaatan dalam iman melibatkan hal berikut:
Pengetahuan akan Allah
Mengenal kedaulatan dan kemuliaan Allah. Keberadaan kita amat bergantung pada diri-Nya. Bagaimana kita dapat mempertanyakan Allah dan meragukan diri-Nya, dan firman-Nya? Pemazmur pernah mengatakan, "Aku kelu, tidak kubuka mulutku, sebab Engkau sendirilah yang bertindak" (Mzm. 39:10). Demikian juga kita mendengar pemilik kebun anggur berkata. "Tidakkah aku bebas mempergunakan milikku menurut kehendak hatiku? (Mat. 20:15) Apakah yang dapat kita lakukan selain berkata "Aku hanya hamba Allah, lakukanlah sebagaimana yang Engkau kehendaki." Ketika Anak Allah datang ke dunia ini, Dia sengaja mengosongkan diri dan merendahkan diri. Mengambil rupa seorang hamba, dan menjadi manusia. Saat menjadi seorang manusia, Ia merendahkan diri sedemikian rupa dan taat sampai mati bahkan sampai mati di kayu salib! (Fil. 2:6-8). Dia bahkan tetap taat saat menderita (Ibr. 5:8). Jika kita pernah mengenal Allah, mengapa kita tidak merendahkan diri dan secara penuh merendahkan diri kepada Tuan kita?
Pengetahuan akan Diri Sendiri
Dalam kenyataannya, kita sering membandingkan diri kita pada yang lain. Dengan berbuat demikian, kita akan terjebak di dalam kealpaan terhadap diri, posisi dan pendirian kita sendiri. Sesungguhnya, sebagian besar orang tidaklah puas terhadap hak istimewa yang mereka miliki. Hal ini merupakan hasil dari kealpaan kita terhadap fakta bahwa kita merupakan anggota keluarga sorgawi dan dunia (Ef. 3:15). Saat Petrus masih berpikir banyak mengenai nasib yang akan menimpa Yohanes, Yesus menjawab apa yang harus kamu lakukan adalah mengikuti Aku (Yoh. 21:22).
Sesungguhnya Allah telah menyediakan bagian dan piala bagi kita; Dia menjaga harta benda kita agar tetap aman. Sebagaimana Pemazmur mengungkapkan "Tali pengukur jatuh bagiku di tempat-tempat yang permai; ya milik pusakaku menyenangkan hatiku." (Mzm. 16:6-8). Oleh sebab itu, mari kita berdiam dan menenangkan diri dan ketahuilah bahwa ialah Allah (Mzm. 46:10). Mari kita dengar perkataan-Nya pada Daniel, "Tetapi engkau, pergilah sampai tiba akhir zaman, dan engkau akan beristirahat, dan akan bangkit untuk mendapatkan bagianmu pada kesudahan zaman" (Dan. 12:13). Tunduklah pada rencana dan pengaturan-Nya. Lakukan hal terbaik untuk tetap menaati-Nya. Karena Dialah bagian dari warisan dan piala kita (Mzm. 16:5). Jika Anda memiliki iman, akuilah dan puaslah dengan keadaanmu saat ini -- inilah tanda dari pengetahuan yang benar mengenai diri sendiri.
Pengetahuan akan Otoritas
Takut akan orang yang memiliki kuasa merupakan sebuah praktik yang wajar. Oleh sebab itu, otoritas dan kuasa telah menjadi tempat dimana orang mudah untuk menunjukkan ketaatan. Ketakutan jenis ini merupakan hasil dari ketidaktahuan akan otoritas yang sebenarnya. Ketaatan yang sejati menyerahkan diri pada otoritas yang tidak mengenal ketakutan. Otoritas itu adalah buah dari iman yang sejati. Di dalam otoritas seperti ini, kasih dimungkinkan untuk bertumbuh.
Kita percaya dan taat pada Kristus bukan karena kita takut pada-Nya namun karena kita terpaku oleh kedashyatan kasih Allah, dan oleh karenanya kita mengasihi Allah. Dalam konteks ini, ketaatan dan ketertundukan bukan lagi persoalan intelektual dan pemahaman sensasional, melainkan sebuah dorongan dari jiwa menuju pemenuhan. Oleh sebab itu, kita menjadikan hal menyenangkan hati Allah sebagai tujuan hidup kita (2Kor. 5:9). Sekalipun kita tidak pernah melihat Dia, kita mengasihi Dia. Dan sekalipun kita tidak melihat Dia saat ini, kita percaya pada-Nya dan hati kita dipenuhi oleh sukacita yang tidak dapat diungkapkan, karena kita telah menerima tujuan dari iman kita, yakni keselamatan dari jiwa ini (1Pet. 1:8-9). Klarifikasi dari pemahaman kita akan otoritas akan selalu menghasilkan ketaatan batiniah dalam diri kita.
IMAN DAN HAL MENGIKUT YESUS
Apa yang Kristus inginkan dari para pengikut-Nya adalah usaha menyangkal diri mereka sendiri, memikul salib dan mengikuti-Nya. Orang yang percaya pada Allah, akan mengikut Allah. Hal ini memerlukan iman. Yohanes, murid yang dikasihi Kristus menyatakan bahwa orang yang mengikut Kristus adalah mereka yang menaati firman-Nya, di mana kasih Allah sungguh sempurna berada dalam diri mereka ... sebab barangsiapa yang berkata ia hidup di dalam Dia haruslah ia melakukan apa yang Yesus lakukan (1Yoh. 2:5-6).
Pesan terakhir Kristus kepada para murid-Nya hampir sama dengan ungkapan di atas, Dia berkata: "sebab Aku telah memberikan suatu teladan kepada kamu, supaya kamu juga berbuat sama seperti yang telah Kuperbuat kepadamu. Aku berkata kepadamu: sesungguhnya seorang hamba tidaklah lebih tinggi dari pada tuannya, ataupun seorang utusan daripada dia yang mengutusnya. Jikalau kamu tahu semua ini, maka berbahagialah kamu, jika kamu melakukannya" (Yoh. 13:15-17). Mengikuti Kristus adalah salah satu karakteristik yang terpenting dari menjadi seorang Kristen. Jika iman didirikan di atas dasar Firman Allah, maka hasilnya adalah kasih terhadap Allah dan meneladani hidup Kristus. Dokumen dan warisan literatur pada masa Abad Pertengahan mengindikasikan bahwa para orang-orang kudus mewariskan praktik hidup yang meneladani Kristus. Mereka mengikut Tuhan secara konstan dan konsisten. Dibandingkan dengan hidup kita hari ini, patutlah kita menjadi malu, karena walaupun kita mengakui telah mengenal Kristus dan memproklamirkan nama-Nya, namun dalam hal ketertundukan dan penyerahan diri untuk mengikuti serta meneladani-Nya, kita masih jauh dari apa yang Tuhan harapkan.
KESIMPULAN
Penyederhanaan iman rupanya merupakan paradoks pada kenyataannya. Setelah kejatuhan manusia, tidak ada seorangpun memiliki iman. Kita telah jatuh di dalam perangkap kepercayaan, yakni ketidakpercayaan dan keraguan terhadap hal-hal yang benar dan dapat dipercaya. Inilah sebabnya sejarahwan dan filosof, Will Durant pernah berkata: "Agama datang dan pergi, namun ketakhayulan berlangsung selamanya." Dalam perjalanan sejarah umat manusia, ketakhayulan tampaknya selalu mendahului agama yang sejati. Oleh sebab itu cara terbaik untuk memperlakukan kepalsuan dan ketakhayulan ini bukanlah dengan kekuasaan, politik, ideologi, teori ataupun uang. Bahkan tidak dengan agama ataupun kepercayaan agama, melainkan melalui iman yang sejati -- yakni iman yang berakar dalam Firman Allah dan pemahaman yang benar mengenai Allah dan wahyu-Nya. Allah pernah berkata pada Yeremia: "Nabi yang beroleh mimpi, biarlah menceritakan mimpinya itu, dan nabi yang beroleh firman-Ku, biarlah menceritakan firman-Ku itu dengan benar! Apakah sangkut-paut jerami dengan gandum? Demikian Firman Tuhan. Bukankah firman-Ku seperti api, demikianlah firman Tuhan dan seperti palu yang menghancurkan bukit batu?" (Yer. 23:28-29).
Firman Tuhan adalah satu-satunya perisai yang paling ampuh untuk berhadapan dengan ketakhayulan dan keyakinan yang palsu. Biarkan kita membangun diri kita dengan iman yang paling suci dan berdoa di dalam Roh Kudus. Senantiasa berada di dalam lingkaran kasih Allah sementara kita menunggu belas kasihan Yesus Kristus yang akan membawa kita kepada hidup yang kekal (Yud. 20). Sebagaimana kita telah mengakhiri pertandingan yang baik, "aku telah mencapai garis akhir dan aku telah memelihara iman" (2Tim 4:7-8), oleh sebab itu mari kita senantiasa percaya dan dengan gembira menaati Dia. Menjadi orang yang taat dan menjadi manusia beriman yang kelak mendapat pujian dari Allah.
Sumber diambil dari:
Judul Buku | : | Jurnal Teologi Stulos, Volume 4, Nomor 1, Juni 2005 |
Judul Artikel | : | Anatomi Kepercayaan dan Iman: Sebuah Refleksi |
Teologis dan Pastoral | ||
Penulis | : | Joseph Tong, Ph.D. |
Penerjemah | : | - |
Penerbit | : | Sekolah Tinggi Teologia Bandung |
Halaman | : | 103 - 108 |
Dear e-Reformed netters,
Masyarakat Kristen saat ini telah dikacaukan dengan berbagai paham `positif thinking` yang sangat tidak alkitabiah, terutama melalui pengajaran-pengajaran dari teologia kemakmuran dan sejenisnya. Pernahkah Anda mendengar kata-kata seperti berikut ini, "jika Anda beriman, maka Anda akan sembuh" atau "jika Anda beriman maka Anda kaya". Jika ternyata Anda sudah berdoa dan tidak sembuh atau tidak kaya, maka itu tandanya Anda tidak beriman. Iman tak ubahnya dengan rasa percaya diri, karena itu untuk mendapatkan apa yang Anda inginkan Anda harus beriman lebih keras lagi. Ini adalah pengajaran yang tidak sesuai dengan Alkitab. Dari praktik-praktik pengajaran yang sesat seperti ini, tidak heran jika banyak masyarakat Kristen Indonesia yang memiliki kehidupan, cita-cita, dan pemikiran yang tidak jauh berbeda dengan orang-orang yang bukan pengikut Kristus. Betapa jauhnya orang mengerti tentang iman sebagaimana yang Alkitab maksudkan.
Iman bukan sesuatu yang diusahakan, tapi diterima. Iman juga bukan sesuatu yang menghasilkan keuntungan bagi manusia, tapi ketaatan dan kemuliaan bagi Allah. Lawan kata dari `iman` bukan `keragu-raguan` atau `ketidakyakinan`, tapi `ketidaktaatan` atau kesombongan. Bagaimana menjelaskannya?
Artikel yang saya baca beberapa waktu yang lalu dari Jurnal Teologi Stulos, yang ditulis oleh Dr. Joseph Tong, telah menggugah saya untuk mempelajari lebih dalam pengertian tentang iman. Saya sangat terkesan dan melihat iman seakan-akan seperti melihatnya dengan cara pandang yang baru, lain dari yang biasa saya lakukan. Sangat filosofis, karena itu Anda harus membacanya perlahan-lahan dan dikunyah satu persatu, kalau tidak Anda bisa tersedak alias mabok! Tapi percaya saya, `it`s worth reading`. Ada banyak pokok-pokok pemikiran penting yang perlu mendapat perhatian, khususnya bagi Anda yang dulunya merasa sudah mengerti tentang arti iman. Biarlah kita semua semakin diperkaya dengan kekayaan Firman-Nya, yaitu Firman yang hidup dan menghidupkan. Selamat menyimak.
In Christ,
Yulia
< yulia(at)in-christ.net >
Pendahuluan
Pada umumnya, kepercayaan dan iman dimengerti sebagai hal yang identik. Secara harafiah, "kepercayaan" kurang lebih dianggap bersifat subjektif dan pribadi, sedangkan "iman" dianggap sebagai sesuatu yang condong obyektif, yaitu sebagai 'pengakuan kepercayaan di depan publik.' Namun, dalam konteks studi keagamaan, penggunaan dua kata dapat dipertukarkan dan menunjuk pada suatu keadaan khusus dalam diri seseorang, atau pendirian yang dimiliki seseorang, ketika menghadap suatu Pribadi yang kudus, yang mulia atau yang tak terpahami. Kepercayaan dan iman diperlakukan secara berbeda hanya ketika aspek-aspek khusus ingin ditekankan dalam wacana-wacana keagamaan atau teologis.
Sebenarnya, kata "iman" telah beberapa kali mengalami perubahan makna sepanjang zaman. Secara keagamaan, iman tentunya adalah pengetahuan akal dan hati yang mengindikasikan soal dasar dan menyeluruh dari jiwa dan pikiran manusia sebagai 'suatu keadaan dasar yang menentukan perilaku dan keberadaan manusia.' Berbeda dengan kepercayaan, iman bukan semata-mata masalah pribadi, atau hanyalah keputusan yang bersifat pribadi yang tidak berhubungan dengan yang lainnya. Sebenarnya, dalam teologi Kristen, baik kepercayaan maupun iman tidak dapat dianggap hal pribadi atau hasil dari pikiran, emosi atau keinginan pribadi; sebaliknya kepercayaan dan iman berasal dari Allah dan wahyu Allah. Itulah sebabnya dikatakan, "Walaupun kepercayaan adalah hasil dari pikiran, pendirian atau pengalaman religius dari komitmen pribadi, tetapi kepercayaan bukanlah semata-mata hal pribadi." Iman adalah tanggapan atau pernyataan tanggapan, ketika seseorang merenungkan Allah serta karya dan penyataan-Nya. Secara sederhana, sifat positif dari tanggapan seperti itu disebut "iman," sedangkan sifat negatifnya disebut "ketidakpercayaan" atau "kepercayaan jahat atau sesat."
Persoalannya menjadi lebih rumit pembahasannya ketika kita merenungkan atau menganalisis masalah tersebut secara teologis. Hal ini dikarenakan oleh kenyataan bahwa kepercayaan dan iman tidak hanya tentang pendirian, agama dan komitmen seseorang. Iman sebenarnya adalah jumlah keseluruhan dari pikiran, perilaku dan keberadaan seseorang, bahkan jaminan dan kepastian eksistensi seseorang. Inilah sebabnya mengapa penulis kitab Ibrani memberikan pernyataan yang membingungkan, tetapi meyakinkan itu, bahwa, "Iman adalah dasar dari segala sesuatu yang kita harapkan dan bukti dari segala sesuatu yang tidak kita lihat!" (Ibrani 11:1)
Makalah ini dimaksudkan untuk membahas di dalam kerangka filosofis, dengan menyajikan suatu refleksi anatomi yang positif, di dalam wacana teologis dan disertai kepedulian pastoral, tentang masalah tersebut. Tujuan utamanya adalah untuk menjelaskan secara terperinci unsur-unsur iman, hakikat, makna, konsekuensi dan dampak-dampak iman kepercayaan dalam kehidupan orang-orang yang memilikinya. Penulis berharap bahwa gereja akan memiliki pengertian yang lebih baik tentang Kebenaran yang dipercayakan kepada kita dalam konteks pastoral, sehingga kita dapat memegang teguh iman yang kita miliki dan lebih berbuah dan setia di dalam gereja, maupun di dalam masyarakat kita.
Penjelasan Mengenai Unsur-Unsur Iman
Secara Alkitabiah, Allah adalah satu-satunya sumber iman dan Firman-Nya adalah dasar iman kita. Tanpa Allah dan Firman Allah, tidak akan pernah ada iman, dan kita pun tidak membutuhkan iman. Sebagaimana hubungan antara Allah dan Firman-Nya, demikian pula seharusnya hubungan iman dengan Firman Tuhan. Iman selalu berkembang ketika Roh Allah bekerja dan manusia menanggapi secara kooperatif. Secara sederhana, iman tidak dapat datang dari manusia, atau atas inisiatif manusia, juga tidak dapat dilengkapi oleh manusia. Seperti yang pernah dikemukakan Paulus, "Iman timbul dari pendengaran, dan pendengaran oleh firman Kristus ...." "Sebab segala sesuatu adalah dari Dia, dan oleh Dia, dan kepada Dia: Bagi Dialah kemuliaan sampai selama-lamanya!" (Roma 10:17; 11:36). Allah ialah yang pertama memberi kita Firman-Nya, dan Roh Kudus yang bekerja dalam cara yang khusus untuk membuat kita berbalik kepada Allah dari berhala-berhala untuk melayani Allah yang hidup dan yang benar (1 Tesalonika 1:9).
Oleh karena itu, secara teologis, iman itu murni pemberian Allah. Adalah Allah, yang dalam kemurahan-Nya, menyatakan Firman-Nya kepada kita melalui wahyu, inkarnasi, pengilhaman dan penulisan Alkitab, dan penyataan, untuk membawa kita mendengar Firman-Nya dan menanggapi panggilan-Nya kepada pertobatan dan pengampunan dosa.
Namun, dari sudut pandang manusia, iman harus dimengerti sebagai tanggapan dan perilaku manusia yang sepantasnya serta aktual terhadap kehadiran Allah melalui penyajian Firman-Nya. Dalam teologi tradisional, Alkitab menggambarkan iman dalam 3 cara, yaitu, iman intelektual (noticia), iman perasaan (assensus), dan iman kehendak (fiducia); untuk mengindikasikan unsur-unsur intelektual, emosional dan kemauan dalam iman serta pengaruh-pengaruhnya pada keberadaan manusia, secara berurutan. Semua ini dihasilkan dari pekerjaan Roh Kudus melalui Firman dari penyajian Firman serta pernyataan-Nya. Firman itu membuka hati manusia dan memperbarui pikiran mereka agar mereka dapat mengenal Allah dan wahyu-Nya. Demikianlah, manusia mulai mengetahui kebodohan, kesia-siaan, kebandelan dan kegelapan dari keberadaannya yang mula-mula. Di bawah penerangan Allah, pikiran kita mulai menyadari dan merasakan kesedihan yang mendalam akan kehidupan kita yang berdosa, kemudian dengan rela dan senang menyetujui teguran dari Roh, selagi hati kita tersayat dan berbalik kepada Allah (lihat Kisah Para Rasul 2:37). Akhirnya, kita dapat dengan bahagia memercayakan diri kepada Allah dan Firman-Nya, dan menerima penghakiman-Nya tanpa syarat, untuk kemudian menerima anugerah pengampunan-Nya menuju regenerasi untuk memasuki kerajaan dari Anak-Nya yang terkasih (Kolose 1:13).
Sebenarnya, baik iman intelektual maupun iman perasaan adalah keadaan pikiran dalam alam intelektual dan emosional. Secara berurutan keduanya disebut "pengetahuan intelektual" dan "pengetahuan indrawi. Keduanya disebut "iman yang sementara," karena keduanya dibatasi oleh hal-hal fisik dan eksistensial atau pengalaman. Karena fakta bahwa iman yang sementara berserah kepada bukti-bukti faktual dan fisik, maka iman sementara itu rentan untuk berubah dan menghilang dalam ruang dan waktu. Tidak diragukan, iman intelektual dan iman indra memiliki kepastian faktual; namun keduanya bersifat sementara sehingga tidak bertahan lama. Inilah tepatnya, alasan mengapa kebanyakan gereja tradisional menemukan dirinya mengalami kesulitan untuk menerima gerakan Karismatik dan pekerjaannya di dalam gereja.
Sejauh berbicara mengenai iman, pengetahuan intelektual dan pengetahuan indera memerlukan keputusan yang berkemauan dan komitmen untuk menyelesaikan bagiannya. Keduanya membutuhkan penanaman Firman untuk membangun kepenuhannya untuk dapat disebut "iman yang sejati."
Dalam teologi, komitmen yang berkemauan disebut "fiducia", atau 'mempercayakan diri' (trust). Dalam konteks ini, keimanan yang memercayakan diri adalah suatu bentuk yang sama sekali berbeda dari iman. Iman yang memercayakan diri tidak hanya peduli tentang kemauan, pilihan, keputusan, komitmen dan tindakan semata-mata. Sebenarnya, iman yang memercayakan diri untuk dinilai oleh obyek iman, yang merupakan sasaran iman, bukan oleh iman itu sendiri. Yang dipercaya, dan bukan yang memercayai, yang menentukan kepastiannya, maknanya dan nilai dari iman yang memercayakan diri itu. Dengan perkataan lain, dalam iman yang memercayakan diri, fokusnya bukan hanya kepada keputusan dan tindakan iman yang memercayakan diri itu saja; melainkan haruslah pada apa yang seseorang percayai dan siapa yang dia percayai. Dalam doktrin kristiani, orang Kristen mempunyai dua objek iman yang memercayakan diri itu, yakni: Kebenaran atau Firman Allah dan Allah sendiri. Yang pertama disebut "iman berpreposisi" atau "iman doktrinal," sedangkan yang kemudian disebut "iman relasional" atau "iman yang hidup," yakni isi kebenaran atau isi kehidupan dari iman. Secara sederhana, itu berarti mengetahui apa yang engkau percayai dan siapa yang engkau percayai; dan mau mati bagi imanmu, seperti halnya mau hidup baginya (atau bagi-Nya) pada saat situasi mengharuskannya.
Walaupun orang-orang setia tidak takut mati; tetapi mereka lebih suka hidup bagi iman mereka. Dilaporkan, ketika Uni Soviet yang dulu terpecah, banyak pejabat-pejabat tingkat tinggi melakukan bunuh diri. Alasannya antara lain, adalah: bahwa mereka memiliki iman dalam komunisme dan percaya bahwa ada sesuatu yang layak untuk ditebus dengan kematian, tetapi sekarang mereka tidak menemukan sesuatu yang layak untuk dijalani dalam kehidupan. Sementara kematian memang memberi kesaksian pada sesuatu yang dipercayai seseorang, tetapi ketika ia menemukan bahwa hidup tidak menyatakan kebenaran, apa gunanya lagi hidup baginya? Sejauh berbicara mengenai Kebenaran, ketika seseorang berkomitmen pada ideologi yang tidak benar, mungkin akan ada banyak alasan yang layak untuk mati baginya, karena kematian mengakhiri segala hal secara tidak dapat dikembalikan lagi, tetapi tidak ada satupun alasan untuk hidup baginya, karena untuk hidup terus adalah suatu penantian yang tidak ada akhirnya dan sia-sia.
Signifikansi iman Kristen yang sangat menonjol adalah, bahwa iman Kristen memiliki Kebenaran sebagai presuposisinya; juga memiliki Kristus yang hidup, Sang Juru Selamat, sebagai dasar hidup dan relasi bagi imannya. Dalam konteks seperti itu, iman percaya membuat seorang percaya tidak hanya rela mati bagi apa yang diyakininya, tetapi juga membuatnya mampu untuk terus menjalani apa yang diyakininya dalam kehidupan. Karena Ia hidup, maka kita hidup, dan kita akan melayani-Nya dengan gembira (Yohanes 14:19, 12:24-26). Karena memiliki iman yang mempercayakan diri seperti ini, kita dapat berseru seperti Paulus, "Karena bagiku hidup adalah Kristus ..." dan "... hidupku yang kuhidupi sekarang di dalam daging, adalah hidup oleh iman dalam Anak Allah yang telah mengasihi aku dan menyerahkan diri-Nya untuk aku." (Filipi 1:21; Galatia 2:20).
Intisari Iman - Firman Allah
Analisis filosofis menghasilkan fakta bahwa segala sesuatu yang memiliki makna kekal atau nilai kekal harus memiliki hubungan langsung dengan Kebenaran. Manusia tidak dapat hidup tanpa iman. Ini adalah akibat fakta bahwa Allah telah membebankan kekekalan pada manusia (Pengkhotbah 3:10). Jiwa yang kekal menjadi pemacu yang tidak ada akhirnya, mendorong manusia untuk mengejar apa yang kekal dan abadi -- Kebenaran. Kita semua tahu bahwa manifestasi-manifestasi kebenaran yang luar biasa di dalam dunia fisik adalah fakta-fakta yang konkrit. Kita juga pasti tahu bahwa manifestasi-manifestasi konkret/pengaktualisasian kebenaran itu (fakta-fakta) belum tentu Kebenaran itu sendiri. Namun demikian, kita tetap tidak henti-hentinya mencari fakta-fakta, seolah-olah kebenaran adalah jumlah keseluruhan dari fakta-fakta. Meskipun ini tidak jelas, kita tetap rela dan bahkan terus-menerus menderita begitu banyak untuk pengejaran yang demikian sia-sia. Mengambil dalil kerangka struktur pengertian dari Kant, pengejaran terus-menerus yang seperti itu dengan jelas mengindikasikan kita yakin bahwa Kebenaran betul-betul ada. Kita bahkan rela mendedikasikan diri kita pada pengejarannya yang tiada akhir dan dengan gembira menyerahkan diri kita di bawahnya.
Dalam pandangan kristiani, kebenaran tidak hanya bersandar pada Allah yang kekal semata; kebenaran juga bersandar pada wahyu yang Allah telah berikan kepada manusia. Inilah alasan bagi kita untuk mengatakan bahwa intisari dari iman bukanlah pada fakta-fakta, atau keyakinan seseorang, ataupun pada kepercayaan diri seseorang atas fakta-fakta semacam itu, tetapi pada Firman Allah yang diwahyukan. Karena Firman berasal dari Allah yang kekal, Firman adalah saksi-Nya. Firman itu telah menjadi daging dalam Kristus dan tinggal di antara kita. Firman itu dinyatakan dan dipelihara oleh gereja yang telah ditebus Kristus. Untuk alasan ini, teologi menjadikan Gereja sebagai pelindung iman, sebagai yang memiliki simpanan iman. Alkitab menyebut gereja sebagai tiang penopang dan dasar dari Kebenaran. (1 Timotius 3:15).
Seseorang yang berada di dalam Gereja tidak akan hanya memiliki iman terhadap Injil (fides evangelica) untuk menjadi anak Allah; ia akan terpelihara dengan baik dalam Firman Allah dan bertambah dalam iman dan berkepenuhannya. Oleh karena itu, iman yang sejati tidak hanya dimulai oleh Firman, iman yang sejati juga harus ditanam di tanah yang subur: Gereja. Iman yang sejati perlu dilestarikan dan dipelihara dalam persekutuan yang penuh kasih dari orang-orang pilihan Allah. Dalam konteks ini, Roh Kudus akan menyucikan kita dan memurnikan iman kita dengan Firman-Nya untuk membuat kita berbuah. Inilah tujuan utama teologi pastoral dan pelayanan.
(Bersambung)