Teologia Sistematika

Bukan Damai, Melainkan Pedang

Editorial: 

Dear e-Reformed Netters,

Karena sebentar lagi akan tiba Hari Natal, maka saya pikir akan sangat baik kalau pada kesempatan pengiriman kali ini, saya mengambil artikel yang sedikit berbau Natal .... :)

Saya yakin, dalam banyak tahun mengikuti perayaan Natal, Anda pasti ingat tema-tema Natal yang menggunakan kata 'damai', seperti, "Damai di Bumi", "Natal yang Membawa Damai", "Kristus Raja Damai", "Pesan Damai dari Kristus", "Damai di Hati", dan masih banyak lagi .... Intinya, kedatangan Kristus diidentikkan dengan datangnya damai di dunia. Pesan Natal ini diambil dari pernyataan malaikat yang tertulis dalam Lukas 2:14.

Artikel di bawah ini, yang berjudul "BUKAN DAMAI, MELAINKAN PEDANG", sepertinya bertentangan dengan pesan-pesan Natal yang selama ini biasa kita dengar. Tapi judul yang diambil dari Injil Matius 10:34 ini adalah kata-kata Kristus sendiri, maka sekarang pertanyaannya, apakah dua kalimat tersebut bertentangan? Sebagai orang Kristen yang mengerti Alkitab, tentu saja kita tidak mau memberikan jawaban yang terlalu apologetik (dalam arti yang sesungguhnya), ... 'wah kata-kata Tuhan Yesus itu sulit untuk kita tafsirkan sendiri, mungkin seharusnya dijawab oleh mereka yang ahli bahasa Yunani dan bla ... bla ... bla ....'

Kalau kita dihadapkan pada pilihan, maka secara akal sehat dan etika, tentu saja kita akan mengganggap kata-kata malaikatlah yang lebih enak kita dengar. Menerima pernyataan Matius 10:34, sepertinya mempercayai bahwa Yesus datang sebagai pembawa onar. Maka kita akan cenderung mencoba menghindari memberikan jawaban atas masalah ini dan berkata bahwa kita tidak mengerti apa yang dikatakan Yesus.

Menanggapi sikap-sikap seperti ini, maka Kata Pengantar dalam buku dari mana artikel ini diambil, yang berjudul "Ucapan Yesus yang Sulit", sangat menarik untuk kita simak:

"Satu alasan dari keluhan bahwa perkataan Yesus itu sulit adalah karena Dia membuat pendengar-Nya berpikir. Bagi sebagian orang, berpikir merupakan suatu pekerjaan yang sulit dan tidak enak, terutama bila menyangkut penilaian kembali yang kritis dari prasangka dan pendirian yang kuat, atau bila menyangkut tantangan terhadap konsensus pemikiran zaman sekarang. Oleh karena itu, setiap perkataan yang mengundang mereka untuk mengikutsertakan pemikiran yang demikian dianggap perkataan yang sulit. Banyak perkataan Yesus dianggap sulit dalam pengertian demikian."

Nah, silakan merenungkan penjelasan F.F. Bruce (seorang pakar biblika Perjanjian Baru) dalam artikel berikut ini. Harapan saya dengan mengerti lebih dalam kata-kata Tuhan Yesus ini, kita bisa lebih menyadari bahwa dengan menerima Kristus sebagai Raja dalam kehidupan kita, bukan berarti bahwa kehidupan Kristen kita akan selalu dilimpahi dengan 'rasa damai' seperti yang kita inginkan atau kita mengerti. Justru kadang kita lihat sebaliknya, ketika kita dengan taat menjalankan prinsip-prinsip iman Kristen, maka kita mendapati hidup kita tidak lagi sejalan dengan prinsip-prinsip yang selama ini kita (lingkungan) pegang. "Rasa damai' tiba-tiba berubah menjadi konflik, meskipun sebenarnya bukan itu yang kita harapkan. Sementara kita mempersiapkan hati untuk menyambut Natal, marilah kita renungkan, bagaimana damai sejahtera yang sejati bisa betul-betul menguasai hati kita pada peringatan Natal tahun 2004?

SELAMAT HARI NATAL 2004!
"Damai sejahtera Yesus Kristus kiranya menyertai kita selamanya."

In Christ,
Yulia Oen

Penulis: 
F.F. Bruce
Edisi: 
056/XI/2004
Isi: 
Bukan Damai, Melainkan Pedang

Bukan Damai, Melainkan Pedang

"Jangan kamu menyangka, bahwa Aku datang untuk membawa damai di atas bumi: Aku datang bukan untuk membawa damai, melainkan pedang." (Matius 10:34)

Natal

Ini perkataan keras bagi semua orang yang mengingat berita para malaikat pada malam kelahiran Tuhan Yesus: ´Kemuliaan bagi Allah di tempat yang mahatinggi dan damai sejahtera di bumi di antara manusia yang berkenan kepada-Nya´. Bagian akhir dari berita ini seolah-olah berarti ´damai sejahtera di bumi di antara manusia adalah sasaran kasih Allah´. Memang, malaikat-malaikat hanya muncul dalam Lukas 2:14, sedang perkataan keras yang kita kutip terambil dari Matius. Akan tetapi, Lukas juga mencatat perkataan keras ini, hanya saja ia mengganti kata metafora ´pedang´ dengan kata bukan metafora, yaitu ´pertentangan´ (Lukas 12:51). Kedua penginjil kemudian melanjutkan tulisannya tentang Tuhan Yesus yang berkata, "Sebab Aku datang untuk memisahkan orang dari ayahnya, anak perempuan dari ibunya, menantu perempuan dari ibu mertuanya" (Matius 10:35; Lukas 12:53). Lalu, Matius menutup perkataan ini dengan kutipan dari Perjanjian Lama yang berbunyi ´musuh orang ialah orang-orang seisi rumahnya´ (Mikha 7:6).

Satu hal yang sudah pasti: Tuhan Yesus tidak menyokong pertentangan. Ia mengajar pengikut-Nya untuk jangan melawan atau membalas kalau mereka diserang atau diperlakukan tidak baik, "Berbahagialah orang yang membawa damai", kata-Nya, "karena mereka akan disebut anak-anak Allah" (Matius 5:9). Artinya, Allah ialah Allah Damai Sejahtera, sehingga orang yang mencari dan meneruskan damai mencerminkan sifat Allah. Ketika Ia melakukan kunjungan terakhir ke Yerusalem, berita yang Ia bawa menyangkut ´apa yang perlu untuk damai sejahtera´, dan Ia menangis karena kota itu menolak berita-Nya dan cenderung kepada jalan yang menuju kebinasaan (Lukas 19:41-44). Berita yang dikumandangkan pengikut-pengikut-Nya dalam nama-Nya setelah kepergian-Nya disebut ´Injil damai sejahtera´ (Efesus 6:15) atau ´berita perdamaian´ (2 Korintus 5:19). Disebut demikian bukan hanya sebagai ajaran doktrin, tetapi sebagai kenyataan yang dialami. Individu-individu dan kelompok-kelompok yang dahulunya saling berjauhan mengalami bagaimana mereka saling akur karena pengabdian yang sama kepada Kristus. Hal semacam ini bahkan dialami lebih awal dalam rangkaian pelayanan di Galilea. Kalau Simon orang Zelot dan Matius si pemungut cukai mampu hidup berdampingan sebagai dua rasul di antara dua belas rasul, tentunya rasul-rasul yang lain memandangnya sebagai mukjizat dari kasih karunia Allah.

Jadi, kalau Tuhan Yesus berkata bahwa Ia datang bukan untuk membawa damai melainkan pedang, yang Ia maksudkan ialah bahwa itu adalah akibat kedatangan-Nya, bukan karena itu menjadi tujuan kedatangan-Nya.

FacebookTwitterWhatsAppTelegram

Akan tetapi, ketika Tuhan Yesus berbicara tentang ketegangan dan konflik dalam keluarga, Ia mungkin berbicara berdasarkan pengalaman pribadi. Ada indikasi dalam kisah Injil bahwa beberapa anggota keluarga-Nya sendiri tidak bersimpati dengan pelayanan-Nya: orang-orang yang dalam suatu kesempatan berusaha untuk mengambil-Nya dengan paksa karena orang yang mengatai-ngatai ´Ia tidak waras lagi´ disebut ´sahabat-Nya´ dalam RSV tetapi lebih tepat ´kaum keluarga-Nya´ dalam NEB dan juga dalam terjemahan bahasa Indonesia (Markus 3:21). Sebab saudara-saudara-Nya sendiri tidak percaya kepada-Nya, demikian dikatakan dalam Yohanes 7:5. (Kalau orang bertanya mengapa saudara-saudara-Nya ini menduduki kursi-kursi kepemimpinan bersama para rasul dalam gereja mula-mula, maka jawabannya dengan pasti terdapat dalam pernyataan 1 Korintus 15:7, yaitu bahwa Tuhan Yesus yang bangkit menyatakan diri kepada Yakobus saudara-Nya.)

Jadi, kalau Tuhan Yesus berkata bahwa Ia datang bukan untuk membawa damai melainkan pedang, yang Ia maksudkan ialah bahwa itu adalah akibat kedatangan-Nya, bukan karena itu menjadi tujuan kedatangan-Nya. Kata-kata-Nya menjadi kenyataan dalam kehidupan gereja yang mula-mula. Dan, kebenaran kata-kata ini telah dibuktikan kemudian dalam sejarah pelayanan misi-misi Kristen. Waktu satu atau dua anggota keluarga atau golongan masyarakat lainnya menerima iman Kristen, maka hal ini selalu menimbulkan pertentangan dari anggota-anggota yang lain. Paulus, yang rupanya juga mengalami pertentangan semacam ini dalam keluarganya sebagai akibat pertobatannya, membuat perlengkapan bagi situasi semacam ini dalam hidup kekeluargaan para petobatnya. Ia tahu bahwa ketegangan bisa timbul bila seorang suami istri menjadi Kristen, sedang pasangannya tetap tidak percaya. Bila pasangan yang tidak percaya merasa berbahagia hidup bersama orang Kristen, itu baik. Seluruh keluarga dalam waktu yang tidak lama bisa menjadi Kristen. Akan tetapi, bila pasangan yang tidak percaya bersikeras untuk meninggalkan dan mengakhiri perkawinan, maka orang Kristen tidak boleh menggunakan kekerasan atau tindakan-tindakan legal, karena ´Allah memanggil kamu untuk hidup dalam damai sejahtera´ (1 Korintus 7:12-16).

Jadi, dalam kata-kata-Nya ini, Tuhan Yesus memperingatkan pengikut- pengikut-Nya bahwa kesetiaan mereka kepada-Nya bisa mengakibatkan konflik di rumah, bahkan pengusiran dari lingkungan keluarga. Adalah baik bahwa mereka diperingatkan sebelumnya, jadi mereka tidak bisa berkata, "Kami tidak pernah membayangkan bahwa kami harus membayar harga ini untuk mengikut Dia!"

Audio: Bukan Damai, Melainkan Pedang

Sumber: 

Sumber diambil dari:

Judul Buku : Ucapan Yesus yang Sulit
Judul Artikel : Bukan Damai, Melainkan Pedang
Penulis : F.F. Bruce
Penerjemah : -
Penerbit : Seminari Alkitab Asia Tenggara, Malang, 2001
Halaman : 141 - 143

Christ's Church and Our Calling

Editorial: 

Dear Reformed Netters,

Bertepatan dengan HARI REFORMASI GEREJA (31 Oktober 2000), maka e-Reformed menyajikan sebuah artikel yang sangat menarik tentang GEREJA, yang ditulis oleh Pdt. Dr. R. Dean Anderson.

Maaf, artikel ini memang dengan sengaja tidak diterjemahkan dalam bahasa Indonesia (untuk menghindarkan dari salah interpretasi).

Selamat merenungkan, dan selamat HARI REFORMASI GEREJA!

Yulia Oeniyati
Edisi: 
010/X/2000
Isi: 

"It is the duty of all believers, according to the Word of God, to separate from those who do not belong to the Church and to join this assembly (of God's true Church) wherever He has established it. They should do so even though the rulers and edicts of princes were against it, and death or physical punishment might follow." (Belgic Confession, Article 28)

That is not a small thing! It is important to ensure that one is at the correct church address. It is so important, according to the confession, that you will even have to risk death because of it. And this is not just idle talk, since at the time these words were written it often came to that. Every Sunday morning you and your family had to make a choice; either go to the Roman Catholic church and listen to a sermon from a priest, or go to the Reformed church. And in those days the Reformed church was strictly off limits. You could be dragged off to prison just for having Reformed literature in your house.

In the confession the issue is not the belief of the individual person in the congregation or in the church. The issue is not what a particular minister might happen to think. Rather, the issue is about the church being church. The confession holds that there are some churches which must be called "false". Now that word "false" sounds very strong. In this context it actually means nothing other than "illegitimate", i.e. church that Christ no longer recongnizes as a legitimate gathering of His sheep.

Is that possible? Is it true that Christ will sometimes refuse to recognize churches as legitimate gatherings? Many people don't think so. They say: A church always remains church of Christ. She is our mother - even if she becomes seriously ill. You don't abandon a sick mother, do you?

And yet the Reformed believe that it is necessary to leave a church that has so degenerated that it can no longer be accepted as legitimate. Just as our Confession states, it is the duty of every believer to leave any unlawful church and to join themselves to the lawful (=true) church.

PERSONAL FAITH

But back to our original question. is the address of the church truly as important as our confession makes out? Isn't it sufficient to have an upright personal faith and to belong to a reasonable local congregation?

A personal faith that comes from an upright heart is truly essential. I, myself, personally must learn to depend on Jesus Christ. I must learn to praise and thank Him for the forgiveness of my sins. Christ has paid the ultimate penalty for me. Christ, not I, was crucified for my sins. And, miracle of miracles, I learn that He has given me that personal faith, and regularly feeds it with His Word and spirit. There is then a sudden change from "me" to "God".

When we have received that living faith in our heart, we have a personal relationship with God. It cannot be otherwise. For then Christ lives in our hearts through his Spirit. Then the Holy Spirit is part of our lives. That's why the Bible warns us as believers: "do not grieve the Holy Spirit of God, in whom you were sealed for the day of redemption." (Eph. 4:30). The Spirit places God's mark on us. On the last day we may show that mark, "Look! This is a person for whom Christ has paid!"

But if I have such a personal relationship, through faith, then, surely, I wouldn't loose it just by going to another - what one might call a false or unlawful - church, would I? No, but that wasn't the question. I could pray to god in such a church too, and I could praise and thank him there. yes, but that wasn't the question either.

What is the question then? This: Do you sit in a gathering that Christ recognize as His church? You can go and sit anywhere and praise God. And Christ, if you have true faith, will continue to acknowledge you as one of His sheep. But does he acknowledge that gathering as His church? That is a completely different question.

What, then, is Christ church? Does't He say, "where two or three are gathered in my name, there am I in the midst of them" (Matt. 18:20)? Yes He does say that, but there He is not speaking about the church. In that passage He is speaking to His disciples and promises them that when they follow the procedure for discipline (Matt. 18:15-20) He will be with them. The "two or three" are sithnesses concerning the unforgiven sin of straying bother.

WHAT IS CHRIST'S CHURCH?

The confession correctly states that the church is the gathering of true believers, and a gathering that God wishes to establish in every local place. Just before His ascension into heaven the Lord Jesus gave His great missionary mandate to His disciples. They had to go into the whole world with the gospel. That was the beginning of the New Testament church. We read about the institution of these new churches in every place in the Book of Acts. That's where we see the apostles travelling, preaching, and instituting churches. How does a church become instituted? By establishing a gathering of believers over elders are placed who, in the name of Christ, feed this congregatoion (=gathering). Te elders bear the final responsibility for such a local congregation of church (cf. Heb. 13:17).

It is of such a local church that we are members. Each local church is a complete church of the Lord Jesus Christ, His body (1 Cor. 10:17; 12:12ff and especially v. 27).

HOW DOES CHRIST SPEAK ABOUT HIS ACKNOWLEDGEMENT OF THESE CHURCHES?

If you are a member of Christ's church, then you have also received responsibilities from Him. As a member of His church you must use your gifts for the upbuilding of this congregation, you must help ensure that He receives His rightful honour and that sin isn't tolerated there.

Christ rules over His local churches. We see a good example of this in Rev. 1-3. In Rev. 1:9-20 John sees a vision of the glorified Jesus walking in the middle of the seven golden lampstands, the seven churches of Asia Minor. In chapter two and three Christ writes letters to the seven congregations. Some of the congregations are comforted, some are warned. Of importance to our topic are warnings.

Take, for example, the congregation in Ephesus (Rev. 2:1-7). She had lost her first love (v.4). The Lord calls her to repentance. Then He says, "If not I will come to you and remove your lampstand from its place, unless you repent." (v.5).

To whom is Christ speacking? To the church/congregation as a whole.

What does it mean, that He would remove His lampstand? Then they would no longer be church of the Lord Jesus (cf. Red. 1:12-13, 20).

Sure, they would continue to come together and conduct worship services. They would still consider themselves to be a church of Jesus Christ. But Christ says, "I have removed my lampstand! I am no longer in your midst!"

Christ gives the same warning to the church at Laodicea. He reproves them for being neither hot nor cold. They have no zeal for the gospel. What does Christ say to them? "So, because you are lukewarm, and neither cold not hot, I will spew you out of my mouth." What does that mean? Christ will no longer acknowledge this church, this congregation.

Just imagine that you were a member of one of these congregations! Just imagine if your congregation received such a letter from the Lord Jesus Christ. What would happen? You would surely do your best to become actively involved in the congregation, but, well, if the majority of the congregation didn't make any changes - what then? At a certain moment, if the congregation as a whole did not repent, the Lord would activate His warning. He would no longer acknowledge this congregation as His own. If you want to remain true to Jesus you must now leave this congregation and join one that He does acknowledge as His church. The church you leave behind will, most likely, continue to call itself a church of Christ. Likely there will still be sheep of Christ left behind, sheep who have not yet seen that Jesus no longer acknowledges that congregation as His church. That would be a sad thing, and you would certainly do your best to convince these believers that Jesus wants to be served in a church which He recognizes, a church which remains true to His Word.

It is, of course, not always easy to determine that a church is no longer acknowledged by Christ. Jesus does not give direct revelation about htis. You will not receive a vision, or get a message from an angel. You must determine it for yourself, from what Christ has revealed about His church and His gospel in His Word. But if you notice that a church refuses to repent you cannot hold out until a new generation appears. The warnings for the churches of Ephesus and Laodicea were given to the congregations as they were at that time. Jesus warns them that if they do not repent he will spit them out of His mouth and remove His lampstand from them.

During the time of the New Testament you can already notice the beginnings of the church struggle. In his letters (in particular Galatians and 2 Corinthians), Paul speaks about the activities of false preachers and apostles who preach in various places and establish churches. He calls their preaching a false gospel and says that their followers are cursed (cf. Gal. 1:6-9). Even in the first century the choice of a church was not easy, but surely important!

OUR CHOICE OF CHURCH

When we look at churches around us such as the Roman Catholic Church or other churches which have become generally apostate then two things soon become clear. Firstly, there are still many sheep of Jesus Christ to be found there - people who are truly believers and who want to serve God with their whole life. Secondly, such churches have often become so tolerant or apostate that for years the gospel has been completely denied. Yes, there may still be ministers who preach the true gospel. But the persistent denial of cardinal doctrines such as the resurrection, of Christ's crucifixion for our sins is often quietly tolerated. Church discipline against those who teach heresy is such a situation unheard of because "doctrinal freedom" must be maintained. Even reasonably conservative congregations within a generally liberal denomination of churches are not free from the consequences of an organizational denial of Scripture. Local congregations will still be bound by the decisions of their liberal synods.

This article is not the place to expand upon the problems within such churches. But one point should be clear. if we pay close attention to what Jesus says about His churches in the New Testament then we cannot and may not acknowledge such churches as true churches of Christ. The warnings of Christ in His Word go unheeded for years and even for generations. There can be no other possibility but that Christ has acted on His warnings.

OUR RESPONSIBILITY

How does all this concern us? In the first place we are all responsible before Christ concerning the choice of church we make. If He has forgiven our sins by His crucifixion then He asks more from us. We are all also responsible to use all our gifts for the building up of that church which He acknowledges. This means that we may not lean back in our lazy chair and leave all of the concerns of the congregation over to others, but that we honestly ask ourselves how we can be of benefit in building and sustaining Christ's church in this place. Last, but certainly not least, is our responsibility toward those sheep who remain in a church that Christ no longer acknowledges. With great care, wisdom and love we must excercise our calling to convince such people to consider their church situation and to call them to become members of a church that Christ does recognize. We may not keep silent about this matter. The love for Christ, as well as the love for these brothers and sisters must stimulate each of us to activity in this matter. Do you have friends, acquaintances or even family in such churches? If you remain silent about their choice of church in order to "keep the peace" you rather show yourself to be love-less toward them. The love of Christ is a love that will put everything on the line in order to convince others to worship and thank Him in the manner He as asked for in His Word.

It may be that this means that you must study more about the doctrine of the church and some more recent church history. Then do not neglect to do so. Let us pray that our local churches become known, not as exclusive clubs with people who don't pay any attention to others, but as congregations that are actively busy with the Word of God, and always willing and ready to speak about it in the love of Christ - all in order to see to it that our Lord is honoured and worshipped. Let it be said of us - that's where you see the Spirit of God at work, that's where you find people who put the Word of God above all else. only God can work that in us, through His Word and Spirit. Let us direct our efforts towards Him.

Sumber: 

*) A version of this paper adapted to the Dutch situation can be found at:

http://katwijk.gkv.nl/anderson/pdfenglish/Christ_church.pdf

Reformasi

Editorial: 

Dear Pembaca ,

Berikut ini adalah artikel pertama yang kami kirimkan sejak kami berubah bentuk menjadi MILIS PUBLIKASI . Artikel yang berjudul "REFORMASI" ini kami sajikan dalam rangka memperingati Hari Reformasi Gereja. Selamat membaca dan Selamat Hari Reformasi!

TGBTG,
Owner dan Admin

Penulis: 
Johannes Geerhardus Vos
Edisi: 
001/X/1999
Isi: 
Reformasi

Reformasi

ECCLESIA REFORMATA REFORMANDA EST - Gereja yang telah mengalami reformasi tetap perlu direformasi. Hal ini merupakan konsekuensi dari fakta bahwa Alkitab adalah standar yang sempurna dan absolut, sedangkan gereja pada setiap titik dalam sejarahnya di dunia, masih tidak sempurna dan terlibat dalam kesalahan. Menurut Alkitab, reformasi gereja adalah suatu proses yang kontinyu dan berkesinambungan. Proses reformasi ini harus berlangsung terus sampai kesudahan dunia. Tidak ada satu titik pun di mana gereja boleh berhenti dan berkata, "Aku sudah sampai. Sampai di sini saja dan tidak dilanjutkan lagi!" Hanya gereja yang sudah menang di surga yang boleh berkata begitu.

... reformasi gereja adalah suatu proses yang kontinyu dan berkesinambungan.

Gereja

Dalam proses reformasi ini ada tahap-tahap historis tertentu dan tanda-tanda luar biasa yang menunjukkan kemajuan yang telah dicapai. Pengakuan Iman Westminster, sebagai contoh, menandai kemajuan yang benar dalam reformasi gereja sampai pada saat pengakuan itu diformulasikan. Kita tidak boleh menganggap bahwa proses ini telah lengkap dalam zaman kita, atau pada titik mana pun dalam sejarah gereja di dunia. Kita harus selalu melupakan perkara-perkara yang di belakang dan mengarahkan pandangan ke depan; kita harus selalu bergumul untuk menangkap hal-hal yang untuknya kita ditangkap dalam Kristus. Semua segi kehidupan gereja perlu direformasi sesuai Alkitab: doktrin, kebaktian, pemerintahan, disiplin, kegiatan misi, yayasan pendidikan, publikasi, dan kehidupan secara praktis. Reformasi selalu merupakan proses selangkah demi selangkah, dan memang perlu begitu. Kaum Zelot berusaha untuk mencapai segala sesuatu dalam satu lompatan, tetapi mereka hanya membenturkan kepala pada dinding batu. Allah bekerja melalui proses sejarah - proses yang bertahap, landai, berlangsung terus menerus dan kita harus menyesuaikan diri dengan cara Allah bekerja.

Semua segi kehidupan gereja perlu direformasi sesuai Alkitab:
doktrin, kebaktian, pemerintahan, disiplin, kegiatan misi, yayasan pendidikan, publikasi, dan kehidupan secara praktis.

Reformasi gereja yang sesuai dengan Alkitab membutuhkan suatu sikap periksa diri dan kritik diri pada pihak gereja. Yang diperlukan bukan hanya studi Alkitab secara mendalam, melebihi pencapaian-pencapaian masa lampau, tetapi dibutuhkan usaha periksa diri dan kritik diri pada gereja. Standar-standar gereja harus selalu tunduk pada pemeriksaan dan pemeriksaan ulang dalam terang Alkitab. Hal ini tersirat dalam pengakuan kita bahwa hanya Alkitab yang tidak dapat salah, maka segala sesuatu yang lain harus terus menerus diuji dan diuji-ulang oleh Alkitab. Bukan hanya standar-standar resmi dari gereja, tetapi kehidupannya, program-programnya, kegiatan-kegiatannya, harus tunduk pada kritik diri dan periksa diri berdasarkan Alkitab. Hal-hal ini harus selalu diuji dan diuji-ulang dalam terang firman Allah. Kritik diri pada pihak gereja seperti ini merupakan panggilan bagi kehidupan persekutuan, dan merupakan pasangan dari panggilan yang Allah berikan dalam Firman-Nya terhadap setiap individu untuk melakukan pemeriksaan diri.

... hanya Alkitab yang tidak dapat salah, maka segala sesuatu yang lain harus terus menerus diuji dan diuji-ulang oleh Alkitab.

Kritik diri pada pihak gereja seperti ini memang sulit. Perlu usaha, intelegensia, studi, pengorbanan, kerendahan hati dan penyangkalan diri yang sangat kuat, serta kejujuran absolut. Perlu kesetiaan pada Alkitab, ketaatan yang siap berjalan sejauh mana pun agar menjadi sesuai dengan firman Allah, suatu heroisme sejati dan kesetiaan absolut pada Alkitab. Kritik diri yang sedemikian itu pada pihak gereja dapat terasa memalukan dan bahkan sakit. Hal itu dapat berarti bahwa gereja, seperti orang Kristen dalam buku John BunyanPerjalanan Seorang Musafir, mendapati dirinya berada dalam jalan setapak di padang rumput, dan harus melangkah mundur dengan rendah hati dan dengan rasa sakit sampai kembali pada Jalan Besar milik Raja. Kritik diri yang sedemikian pada pihak gereja dapat berakibat hancurnya kepentingan-kepentingan khusus atau proyek-proyek khusus dari pribadi-pribadi atau kelompok-kelompok tertentu dalam gereja. Tindakan itu dapat menyingkapkan adanya hal-hal tertentu dalam standar, kehidupan dan program gereja. Tindakan itu dapat menyingkapkan adanya hal-hal tertentu dalam standar, kehidupan dan program gereja, yang tidak sungguh-sungguh sesuai dengan firman Allah, karena itu perlu dipertimbangkan kembali dan diharmoniskan dengan firman Allah. Karena hal-hal yang di atas atau oleh sebab-sebab yang mirip dengan di atas tadi maka kritik diri pada gereja seringkali diabaikan, bahkan ditentang dengan keras. Mereka yang menyerukan diadakannya reformasi itu atau yang mengusahakannya, akan cenderung dianggap sebagai ekstrimis, fanatik, kaum antusias, pemimpi, pembuat onar dan sejenisnya. Akan tetapi, dengan kritik diri yang seperti itulah maka reformasi-reformasi pada masa lampau telah terjadi. Orang-orang seperti Luther, Knox, Melvile, Cameron, dan Renwick hanya gentar pada penghakiman Allah dalam Firman-Nya. Mereka tidak gentar pada penghakiman dan sikap bermusuhan dari manusia. Apabila gereja sungguh-sungguh telah berani untuk melihat dirinya sendiri dalam cermin firman Allah, dalam ketulusan mutlak, maka gereja itu sedang berada pada puncak kekuatannya, dan sedang memancarkan pengaruhnya dalam dunia ini. Gereja itu sedang melangkah maju dalam hidup baru dan kekuatan baru. Pada pihak lain, jika gereja merasa segan atau menolak untuk melihat dirinya sendiri dengan penuh perhatian dalam cermin firman Allah, maka gereja itu telah menjadi lemah, mandeg, dekaden, tidak efektif dan tidak memiliki pengaruh. Kritik diri yang dilakukan secara terus-menerus oleh suatu denominasi berdasarkan Alkitab merupakan suatu tugas yang tersirat dan diakui dalam pengajaran kita. Akan tetapi, apakah hal ini sungguh-sungguh dipegang dengan serius? Adakah semangat yang berkobar-kobar, seberapa jauh keprihatinan kita...; saya bahkan mengatakan, seberapa jauh toleransi untuk hal itu pada masa ini?

Jika gereja merasa segan atau menolak untuk melihat dirinya sendiri dengan penuh perhatian dalam cermin firman Allah, maka gereja itu telah menjadi lemah, mandeg, dekaden, tidak efektif dan tidak memiliki pengaruh.

Facebook Twitter WhatsApp Telegram

Pada setiap gereja selalu terdapat tendensi untuk menganggap bahwa kehidupan dan kegiatan-kegiatan yang ada pada saat ini sebagai yang normal dan benar. Maka hal-hal yang sebenarnya hanya merupakan kebiasaan saja, dalam kenyataan dapat memilki kekuatan dan pengaruh sebagai sesuatu yang prinsip; sedangkan hal-hal yang prinsip malah diperlakukan seolah-olah hanya sekedar kebiasaan atau konsensus manusia, yang mempunyai otoritas hanya sebatas penggunaannya atau persetujuan orang banyak. Pengesahan dari kegunaan saat ini dianggap sebagai cukup untuk menetapkan sesuatu. Sebaliknya, tidak adanya penggunaan pada saat ini dianggap cukup untuk membuktikan bahwa sesuatu itu salah atau tidak tepat.

Stagnasi seperti ini, sikap yang menganggap status quo sebagai yang normal, berarti menutup pintu rapat-rapat terhadap kemajuan yang benar dalam reformasi gereja. Karena status quo selalu merupakan dosa. Selalu kurang dari tuntutan firman Allah. Selalu merupakan sesuatu yang kurang dari apa yang Allah sungguh-sungguh inginkan dari gereja. Karena status quo itu dosa, maka mungkin hal ini tidak diterima dengan kepuasan yang penuh, bahkan jauh dari penerimaan sebagai ideal dari gereja itu. Mengabsolutkan status quo adalah suatu dosa. status quo selalu perlu dipertobatkan. memandang status quo dengan rasa puas diri merupakan dosa terbesar dari gereja pada zaman kita ini - suatu dosa yang pasti mendukakan Roh Kudus, dan suatu dosa yang pasti menghalangi gereja dalam membuat kemajuan yang benar dan baik, dalam reformasi sesuai dengan Alkitab. Suatu gereja yang dikuasai oleh pandangan seperti itu tidak dapat sungguh-sungguh bergerak maju ke depan. Bahkan mungkin tergelincir mundur dalam ketidaksetiaan dan kemurtadan. Paling tidak gereja itu hanya bergerak dalam lingkaran yang tetap, selalu kembali lagi ke tempat semula.

Gereja-gereja di Amerika pada umumnya telah bergerak dalam suatu lingkaran yang tetap melalui sejarahnya pada masa lampau. Kita dapat juga mengatakan, mereka telah bergerak dalam lingkaran setan. Polanya adalah adanya kemerosotan diikuti oleh kebangunan rohani diikuti oleh kemerosotan dan seterusnya. Kemajuan yang sejati tidak dilakukan. Tampaknya, yang terbaik yang dapat dilakukan adalah, berhasil keluar dari satu sumur kemudian sumur berikutnya demikian seterusnya. Tidak ada hal yang lebih umum dalam gereja dari pada stagnasi yang seperti ini. Tidak ada hal yang lebih sulit daripada pemeriksaan yang sungguh-sungguh terhadap wajah gereja, struktur atau kegiatannya, dan direformasi dalam terang firman Allah.

Kemajuan yang benar berarti berdiri di atas landasan-landasan yang telah diletakkan pada masa yang lampau. Akan tetapi, kemajuan yang benar itu tidak berarti terikat dan dikendalikan oleh tangan mati dari kesalahan-kesalahan dan cacat-catat masa lampau. Hanya ada satu kendali yang benar bagi kemajuan yang sejati, dan itu adalah kendali dari Alkitab sendiri. Reformasi yang benar dari gereja adalah reformasi di atas dasar Alkitab, reformasi di dalam batas-batas Alkitab, bukan reformasi di luar batas Alkitab.

Apakah pejabat-pejabat resmi gereja, publikasi-publikasinya, yayasan-yayasannya, sungguh-sungguh merefleksikan pandangan yang ada di gereja itu? Ataukah mereka harus mengambil posisinya pada standar resmi dari gereja dan mempertahankan garis itu dalam berkonfrontasi dengan orang banyak? Ataukah mereka berani menjadi pioner dalam melakukan kritik diri dari denominasi itu berdasarkan Kitab Suci? Apakah mereka merintis jalan baru, maju ke depan masuk ke dalam daerah baru dalam terang firman Allah?

Itu tadi merupakan pertanyaan-pertanyaan yang sulit dan serius. Tendensinya adalah mengambil jalan pintas dan mengabaikannya. Pertanyaan-pertanyaan seperti itu jarang dihadapi. Kita lebih cenderung untuk menganggap bahwa status quo itu sebagai normal. Atau jika bukan status quo sekarang, maka pencapaian-pencapaian pada masa lampau dianggap sebagai normal. Jika kita dapat kembali kepada cara-cara melakukan segala sesuatu seperti "hari-hari baik pada masa lampau" dan mempertahankan standar itu, maka segala sesuatu akan lancar dan beres, demikian katanya. Akan tetapi, apakah benar akan terjadi seperti itu? Sudah di manakah kita sekarang? Sekarang ini tahun 1991. Apakah bisa dimaafkan kalau kita gagal untuk maju ke depan melampaui pendahulu-pendahulu kita dalam pemahaman Firman? Bagaimanakah kita bisa mengatakan bahwa reformasi gereja telah komplit dalam tahun 1560, dalam tahun 1638, atau bahkan dalam tahun 1950? Apa saja yang kita lakukan sejak itu? Apakah talenta kita sudah dikuburkan dalam kantong uang? Tidaklah sulit untuk mengakui adanya keburukan- keburukan dalam gereja yang membutuhkan koreksi. Akan tetapi, tendensinya adalah untuk berpendapat bahwa kita dapat kembali pada dasar yang baik dari satu atau dua generasi yang lampau, maka segala sesuatu akan menjadi seperti yang seharusnya. Apa lagi yang dapat diharapkan? Kita hanya dapat mempertahankan garis itu untuk waktu-waktu yang akan datang. Akan tetapi, itu berarti kita tidak melaksanakan tugas yang Allah berikan. Pendahulu-pendahulu kita melakukan reformasi gereja pada zamannya, Allah memanggil kita untuk melakukan reformasi pada zaman kita ini. Kita tidak boleh puas dengan kemenangan yang diperoleh itu, kita sendiri harus menghantam, dengan iman, berdasarkan pada firman Allah. Kita hidup dalam jaman pragmatis, suatu zaman yang tidak sabar pada kebenaran, dan umumnya hanya memperhatikan hasil praktis. Zaman kita menginginkan hasil dan dengan senang hati mau mempercayai bahwa buah ara dihasilkan oleh semak duri, jika mereka kira mereka melihat buah-buah ara itu (pohon ara merupakan pohon besar yang tidak berduri - Red.). Reformasi yang benar mencari kemuliaan Allah dan kebenaran-Nya lebih dari segala pertimbangan yang lain.

Allah memanggil kita untuk melakukan reformasi pada jaman kita ini

Saya mendengar adanya keberatan, ketika seseorang berusaha membawa beberapa hal dari gereja ke bawah pemeriksaan Alkitab, yaitu bahwa waktunya tidak tepat. "Mungkin engkau benar", demikian dikatakan oleh yang keberatan, "tetapi apakah sekarang ini merupakan waktu yang tepat untuk memunculkan permasalahan seperti itu?" Kita harus menyadari bahwa bagi kebenaran, waktu selalu tepat, kebenaran selalu tepat, kebenaran selalu pantas layak serta patut, dan jika menunggu waktu yang tepat untuk memunculkan kebenaran, maka waktu yang tepat itu mungkin tidak akan pernah datang. Waktu yang lebih baik itu mungkin tidak pernah datang. Selalu saja ada alasan-alasan yang bisa dikemukakan untuk tidak melaksanakan reformasi gereja sesuai dengan firman Allah.

Kita harus menyadari bahwa bagi kebenaran, waktu selalu tepat, kebenaran selalu tepat, kebenaran selalu pantas layak serta patut, dan jika menunggu waktu yang tepat untuk memuncul- kan kebenaran, maka waktu yang tepat itu mungkin tidak akan pernah datang.

Terang

Allah adalah Allah kebenaran. Dia adalah Terang, dan di dalam Dia sama sekali tidak ada kegelapan. Kristus adalah Raja dari Kerajaan kebenaran. Bagi tujuan inilah Dia dilahirkan, yaitu agar Dia dapat memberi kesaksian tentang kebenaran. Mereka yang berasal dari kebenaran mendengarkan suara-Nya. Sikap yang siap untuk menerima status quo sebagai kenormalan, merupakan salah satu penghalang besar pada jalan reformasi sejati dan kemajuan dalam gereja sekarang. Sikap ini merupakan dosa karena buta terhadap dosa yang sebenarnya dari status quo. Sikap ini gagal untuk menyadari bahwa status quo selalu perlu untuk ditobatkan, selalu perlu untuk diampuni dalam anugerah ilahi, dan selalu perlu untuk direformasi oleh gereja di atas bumi. Sikap ini gagal untuk menyadari kebenaran dari pernyataan Agustinus, yaitu bahwa setiap kebaikan yang kurang dari kebaikan tertinggi selalu mengandung unsur dosa; menerima status quo adalah dosa.

Pada dasarnya, penerimaan dengan sikap puas atas status quo sebagai sesuatu yang normal merupakan akibat dari suatu konsep yang salah tentang Allah, suatu konsep yang gagal untuk memperhitungkan kekudusan-Nya dan kemurnian-Nya; dan juga dari konsep yang salah tentang Alkitab, suatu konsep yang gagal untuk menyadari sifat absolut dari Alkitab sebagai standar gereja. Meletakkan kebenaran dan kehormatan Allah pada tempat yang tertinggi, di atas semua pertimbangan yang lain, apapun itu, memerlukan pengabdian moral yang besar. Hal ini benar bagi gereja seperti juga bagi individu, dan barangsiapa yang kehilangan nyawanya bagi Kristus akan mendapatkannya.

Audio: Reformasi

Sumber: 

Sumber diambil dari:

Judul Buku : Momentum
Judul Artikel : -
Penulis : Johannes Geerhardus Vos
Penerjemah : -
Penerbit : Lembaga Reformed Injili Indonesia
Halaman : -

Kejutan dari Seorang Skeptis

Editorial: 

Dear Reformed Netters,

Artikel yang saya kirimkan ke Anda ini sangat menarik untuk disimak. Kiranya dapat menjadi perenungan bagi kita menjelang perayaan Paskah tahun ini. Doa saya, kita semua semakin menghargai pentingnya kematian Kristus bagi iman keselamatan kita.

Selamat merayakan Hari Paskah 2008.

Redaksi, Yulia Oeniyati < yulia(at)in-christ.net >

Penulis: 

Lee Strobel

Edisi: 

096/II/2008

Tanggal: 

14-2-2008

Isi: 
KEJUTAN DARI SEORANG SKEPTIS

Karena menganggap diri seorang ateis, maka saya mengawali perjalanan spiritual saya dengan cara yang tidak biasa.

Saya minta pertolongan Tuhan.

Saya pikir-pikir, apa ruginya? Jika saya ternyata benar dan Tuhan sedang tidak ada di surga, maka saya hanya akan kehilangan waktu selama tiga puluh detik. Jika ternyata saya salah dan Tuhan menjawab saya, maka saya akan mendapat untung besar. Maka, saat sendirian di dalam kamar; pada 20 Januari 1980, saya panjatkan doa demikian ini:

"Tuhan, aku bahkan tidak percaya Engkau ada di sana, tetapi jika memang benar Engkau ada, aku ingin menemukan-Mu. Aku benar-benar ingin mengenal kebenaran-Mu. Maka jika Engkau memang ada, mohon nyatakan diri-Mu padaku."

Apa yang tidak saya ketahui pada waktu itu yaitu, doa sederhana ini melontarkan saya selama hampir dua tahun ke dalam petualangan pencarian yang berakhir dengan sebuah revolusi dalam hidup saya.

Berbekal pelatihan bidang hukum yang pernah saya ikuti, yang memberi saya pengetahuan mengenai bukti, juga latar belakang jurnalistik, yang memberi saya keterampilan-keterampilan dalam mengejar-ngejar fakta, saya pun mulai membaca berbagai macam buku dan mewawancarai banyak ahli. Saya sangat dipengaruhi oleh Josh McDowell melalui buku-bukunya. "More Than a Carpenter"[1] dan "Evidence That Demands a Verdict"[2], telah membuka mata saya pada kemungkinan bahwa seseorang bisa memiliki iman yang dapat dipertahankan secara intelektual.

Tentu saja, saya juga membaca Alkitab. Namun, terlebih dahulu saya sisihkan jauh-jauh pemikiran bahwa Alkitab itu benar-benar adalah firman, yang adalah ilham dari Tuhan. Sebaliknya, pada saat itu saya memandang Alkitab dengan sudut pandang yang tak terbantahkan -- sebagai suatu kumpulan dokumen masa lampau yang merekam kejadian- kejadian yang memiliki nilai historis.

Saya juga membaca tulisan-tulisan religius lainnya, termasuk Kitab Mormon, sebab saya rasa penting untuk memeriksa alternatif keyakinan rohani yang berbeda. Sebagian besar keyakinan itu mudah dibuyarkan. Sebagai contoh, Mormonisme dengan cepat runtuh di tengah penelitian saya setelah saya menemukan beberapa ketidaksesuaian yang tidak dapat ditolerir antara kesaksian-kesaksian sang pendiri, Joseph Smith, dengan penemuan-penemuan arkeologi modern. Berbeda dengan kekristenan, yang semakin saya teliti, semakin membangkitkan ketertarikan saya.

Saya gambarkan proses ini seolah-olah saya sedang merangkai suatu "jigsaw" (teka-teki bergambar) raksasa dalam benak saya. Tiap kali menemukan bukti atau jawaban, itu seperti menemukan letak potongan jigsaw yang tepat pada posisi yang semestinya. Saya tidak tahu seperti apa jadinya gambar akhir dari rangkaian jigsaw tersebut -- itu adalah suatu misteri -- tetapi setiap fakta yang dapat saya ungkap mengarah pada satu langkah ke depan untuk makin dekat pada solusinya.

JAWABAN BAGI SEORANG ATEIS

Tak lama kemudian, saya menemukan bahwa orang Kristen telah melakukan suatu kesalahan taktis. Agama-agama lain percaya pada berbagai dewa atau tuhan yang tak berwujud, tidak kelihatan, dan pemahaman itu sulit untuk diubah. Tetapi orang Kristen mendasarkan agama mereka pada hal- hal yang katanya adalah ajaran dan mukjizat dari sesosok Pribadi yang mereka klaim atau akui sebagai Orang yang secara historis adalah nyata -- Yesus Kristus -- yang menurut mereka, adalah Tuhan.

Saya rasa ini merupakan suatu kekeliruan yang besar sebab jika Yesus benar-benar hidup, Ia pasti meninggalkan bukti-bukti historis. Saya pun berpikir bahwa yang perlu saya lakukan adalah berusaha memastikan kebenaran historis tentang Yesus dan mungkin saja saya akan menemukan bahwa Dia adalah Orang yang baik, mungkin sangat bermoral dan seorang Guru yang sempurna, tetapi yang pasti, sama sekali tidak menyerupai Tuhan.

Saya memulainya dengan menanyakan pada diri saya sendiri pertanyaan pertama dari seorang wartawan yang baik: "Ada berapa pasang mata di sana?" "Mata" adalah istilah lain untuk saksi. Setiap orang tahu betapa kuatnya kesaksian saksi mata dalam menetapkan kejujuran suatu peristiwa. Percayalah, saya sudah melihat banyak terdakwa yang digiring ke penjara oleh saksi mata.

Maka saya ingin mengetahui, "Ada berapa banyak saksi mata yang menjumpai orang bernama Yesus ini? Berapa banyak yang mendengar-Nya saat Dia memberikan pengajaran-pengajaran? Berapa banyak yang melihat- Nya melakukan mukjizat-mukjizat? Berapa banyak yang benar-benar telah melihat-Nya setelah Dia, yang katanya bangkit dari kematian?"

Saya terkejut saat menemukan bahwa tidak hanya satu saksi mata yang ada di sana; melainkan ada banyak, dan Perjanjian Baru dengan jelas menyebutkan beberapa orang dari mereka. Sebagai contoh, ada Matius, Petrus, Yohanes, dan Yakobus -- mereka semua adalah saksi mata. Markus, seorang sejarawan, yang menulis berdasarkan wawancara langsung dengan Petrus sendiri; Lukas, seorang dokter yang menulis riwayat hidup Yesus berdasarkan kesaksian para saksi mata; dan juga Paulus, yang hidupnya berubah 180 derajat setelah dia berkata bahwa dirinya telah bertemu dengan Kristus yang telah bangkit kembali.

Petrus dengan teguh meyakinkan bahwa dia dengan teliti telah mencatat informasi yang diperolehnya secara langsung. "Kami tidak mengarang kisah-kisah yang kami ciptakan dengan cerdik saat kami mengatakan kepada Anda mengenai kuasa dan kedatangan dari Tuhan kita Yesus Kristus," tulisnya, "tetapi kami adalah saksi mata dari kebesaran- Nya."[3]

Yohanes berkata, dia telah menuliskan tentang hal-hal "yang telah kami dengar, yang telah kami lihat dengan mata kami, yang telah kami saksikan, dan yang telah kami raba dengan tangan kami."[4]

KESAKSIAN YANG DAPAT DIPERCAYA

Orang-orang ini tidak hanya menyaksikan secara langsung, tetapi McDowell dengan jelas menunjukkan, mereka telah berkhotbah tentang Yesus pada orang-orang yang hidup pada masa dan di daerah yang sama dengan Yesus sendiri. Hal ini sangat penting sebab jika para murid itu melebih-lebihkan atau hanya sekadar menulis ulang sejarah, maka para pendengar, yang terkadang memusuhi mereka, pasti akan mengetahui kebohongan itu dan menolak mereka. Tetapi sebaliknya, mereka dapat berbincang-bincang mengenai berbagai hal yang telah diketahui orang banyak dengan para pendengar tersebut.[5]

Sebagai contoh, tidak lama sesudah Yesus dibunuh, Petrus berkhotbah pada orang banyak di kota yang sama di mana penyaliban itu berlangsung. Banyak di antara mereka mungkin melihat Yesus dibunuh. Petrus memulainya dengan berkata: "Hai orang Israel, dengarlah perkataan ini: `Yang aku maksudkan, ialah Yesus dari Nazaret, seorang yang telah ditentukan Allah dan yang dinyatakan kepadamu dengan kekuatan-kekuatan dan mukjizat-mukjizat dan tanda-tanda yang dilakukan oleh Allah dengan perantaraan Dia di tengah-tengah kamu, seperti yang kamu tahu.`"[6]

Dengan kata lain, "Ayolah, kalian semua -- kamu sudah mengetahui apa yang Yesus lakukan. Kamu sendiri telah melihat hal-hal ini!" Lalu dia mengungkapkan bahwa Raja Daud telah mati dan dikuburkan dan kuburannya masih ada sampai hari ini, "Yesus inilah yang dibangkitkan Allah, dan tentang hal itu kami adalah saksi."[7]

Yang menarik adalah reaksi para pendengar. Mereka tidak berkata, "Kami tidak tahu apa yang kamu bicarakan!" Sebaliknya, mereka panik dan ingin tahu apa yang harus mereka lakukan. Pada hari itu juga, sekitar tiga ribu orang meminta pengampunan dan banyak lainnya juga turut serta -- sepertinya itu karena mereka mengetahui bahwa Petrus telah mengatakan hal yang sebenarnya.[8]

Saya pun bertanya pada diri sendiri, "Apakah kekristenan dapat tumbuh berakar dengan cepat karena memang benar tidak dapat dibantah jika para murid itu berkeliling menyebarkan perkataan yang telah diketahui oleh para pendengar mereka bahwa hal-hal itu dilebih-lebihkan atau bahkan palsu?"

Potongan-potongan jigsaw mulai tertata tepat pada tempatnya.

Satu bukti lagi yang ditawarkan orang Kristen pada saya -- namun saya tidak memercayainya -- yakni para murid Yesus pasti percaya pada apa yang telah mereka khotbahkan tentang Dia karena sepuluh dari sebelas orang murid memilih mengalami kematian yang mengerikan daripada menarik kembali kesaksian mereka bahwa Yesus adalah Anak Allah yang telah bangkit dari kematian. Beberapa orang lainnya disiksa hingga mati melalui penyaliban.

Awalnya saya tidak menyadari hal menarik ini. Saya bisa menunjukkan semua kelemahannya melalui sejarah, yakni ada orang-orang yang rela mati karena membela keyakinan mereka. Tetapi para murid itu berbeda, kata McDowell. Orang akan rela mati demi kepercayaan mereka jika telah yakin dengan kebenaran kepercayaan itu, tetapi orang tidak akan mau mati untuk kepercayaan jika tahu bahwa kepercayaan itu palsu.

Dengan kata lain, keseluruhan iman Kristen bergantung pada apakah Yesus Kristus benar-benar bangkit dari kematian.[9] Tidak ada kebangkitan, berarti tidak ada kekristenan. Para murid berkata bahwa mereka melihat Yesus setelah Dia dibangkitkan dari kematian. Mereka mengetahui apakah mereka berbohong atau tidak; hal itu tidak mungkin merupakan halusinasi atau kekeliruan. Dan jika mereka memang berbohong, akankah mereka dengan sepenuh hati rela mati demi hal yang mereka ketahui adalah palsu?

Seperti yang diamati oleh McDowell, tidak ada orang yang dengan sadar dan dengan sepenuh hati rela mati demi suatu kepalsuan.[10]

Fakta tunggal itu sangat memengaruhi saya, terlebih lagi ketika saya mengetahui apa yang terjadi pada para murid setelah penyaliban. Sejarah menunjukkan bahwa mereka muncul dan dengan terus terang menyatakan bahwa Yesus mengatasi dunia kematian. Tiba-tiba, orang- orang yang dahulunya penakut ini dipenuhi dengan keberanian, bersedia berkhotbah hingga mati bahwa Yesus adalah Anak Allah.

Apa yang mengubah mereka? Saya tidak mendapatkan penjelasan yang lebih masuk akal lagi selain bahwa para murid itu telah memeroleh pengalaman yang mengubah hidup mereka bersama dengan Kristus yang telah dibangkitkan kembali.

SEORANG SKEPTIS ABAD PERTAMA

Penyelidikan saya terutama sampai pada diri seorang murid bernama Thomas, sebab dia sama skeptisnya seperti saya. Saya rasa dia pasti dapat menjadi seorang wartawan terkenal. Thomas berkata dia tidak akan percaya bahwa Yesus telah kembali hidup kecuali jika dia bisa secara pribadi memeriksa luka-luka di tangan dan kaki Yesus.

Menurut catatan dalam Perjanjian Baru, Yesus muncul dan memanggil Thomas untuk memeriksa bukti bagi dirinya agar percaya, dan Thomas melihat bahwa luka-luka itu benar. Saya terpesona saat mengetahui bagaimana Thomas menghabiskan sisa hidupnya. Menurut sejarah, dia mengakhiri hidupnya dengan tetap menyatakan -- hingga ditikam sampai mati di India -- bahwa Yesus adalah Anak Allah yang telah bangkit kembali dari kematian. Baginya, bukti telah meyakinkan dirinya dengan sangat jelas.

Selain itu, adalah penting untuk membaca apa yang Thomas katakan setelah dia menjadi puas oleh bukti bahwa Yesus telah mengalahkan kematian. Thomas menyatakan: "Tuhanku dan Allahku."[11]

Selanjutnya, Yesus tidak menanggapinya dengan berkata, "Stop! Tunggu sebentar, Thom. Jangan menyembah aku. Kamu hanya boleh menyembah Tuhan, dan ingat, aku hanyalah seorang guru besar dan Manusia yang menjunjung tinggi nilai-nilai moral." Sebaliknya, Yesus menerima penyembahan Thomas.

Dengan demikian, tidak perlu lagi mencari kesalahan dari konsepsi populer bahwa Yesus tidak pernah mengklaim atau mengaku bahwa Dia adalah Allah. Selama bertahun-tahun, orang-orang yang skeptis atau tidak percaya telah bercerita kepada saya bahwa Yesus tidak pernah menganggap diri-Nya lebih dari sekadar manusia biasa dan bahwa Dia marah di dalam kuburan-Nya jika Dia mengetahui bahwa orang-orang menyembah diri-Nya. Tetapi ketika saya membaca Alkitab, saya menemukan bahwa Yesus menyatakan berulang kali -- baik melalui perkataan maupun perbuatan -- siapa diri-Nya sebenarnya.

Riwayat hidup Kristus yang paling tua menggambarkan bagaimana Dia ditanyai secara langsung oleh imam besar selama proses pengadilan: "Apakah Engkau Mesias, Anak dari Yang Terpuji?"[12] Yesus tidak ragu- ragu. Dua kata pertama yang diucapkan-Nya adalah: "Akulah Dia."[13]

Imam besar tahu apa yang Yesus katakan, karena itu dia dengan marah menyatakan pada pengadilan, "Kamu sudah mendengar hujatan-Nya terhadap Allah"[14] Hujat apa? Bahwa Yesus telah mengaku diri-Nya adalah Allah! Ini, setelah saya pelajari, adalah kejahatan yang membuat-Nya dihukum mati.

Ketika saya menjadi semakin yakin terhadap para saksi mata dalam Perjanjian Baru, saya tetap teringat pada seorang skeptis lain yang berbicara kepada saya bertahun-tahun yang lalu. Mereka mengklaim bahwa Perjanjian Baru tidak bisa dipercayai karena buku itu ditulis seratus tahun atau bahkan lebih setelah masa kehidupan Yesus. Mereka berkata bahwa mitos-mitos tentang Yesus telah tumbuh subur selama masa itu dan telah menyimpangkan kebenarannya tanpa disadari.

Tetapi ketika saya menguji fakta-fakta dengan objektif, saya mendapati bahwa penemuan-penemuan arkeologis terbaru telah memaksa para ahli untuk memberikan pernyataan bahwa masa penulisan Perjanjian Baru lebih awal dari pernyataan sebelumnya.

Dr. William Albright, seorang profesor terkenal dari Universitas John Hopkins dan mantan Direktur American School of Oriental Research in Jerusalem, berkata bahwa ia yakin berbagai buku dari Kitab Perjanjian Baru ditulis dalam masa lima puluh tahun setelah penyaliban dan sangat mungkin dalam dua puluh atau empat puluh lima tahun sesudah masa Yesus.[15] Ini berarti usia Perjanjian Baru sama tuanya dengan masa kehidupan para saksi mata, yang pasti akan memperdebatkan isinya jika penulisannya dibuat-buat.

Terlebih lagi, para ahli telah mempelajari mengenai waktu yang diperlukan bagi suatu legenda untuk berkembang pada masa lampau. Dan kesimpulan mereka yakni: Tidak ada waktu yang cukup, antara kematian Yesus dan penulisan Perjanjian Baru, bagi suatu legenda untuk dapat menyimpangkan kebenaran historis.[16]

Bahkan, saya kemudian mempelajari bahwa suatu pengakuan iman dari gereja mula-mula -- yang menyatakan bahwa Yesus mati untuk dosa-dosa kita, dan dibangkitkan kembali, serta muncul di hadapan banyak saksi - -telah ditelusuri ulang hingga tiga sampai delapan tahun setelah kematian Yesus. Pernyataan iman ini, yang dilaporkan oleh Rasul Paulus dalam 1 Korintus 15:3-7, ditulis berdasarkan kesaksian langsung dan merupakan suatu konfirmasi paling awal mengenai inti dari Injil.[17]

Sepotong demi sepotong, teka-teki jigsaw mental saya pun semakin menyatu.

KUASA NUBUATAN

Selanjutnya saya mengarah pada nubuatan-nubuatan Alkitab, wilayah di mana saya biasanya bersikap sangat sinis. Saya telah menulis banyak artikel selama bertahun-tahun mengenai ramalan-ramalan tentang masa depan -- salah satu dari kisah-kisah Tahun Baru yang menyibukkan semua reporter pemula -- dan saya mengetahui betapa sedikitnya ramalan- ramalan yang benar-benar terjadi. Sebagai contoh, setiap tahun orang- orang di Chicago tetap percaya bahwa tim Chicago Cubs pasti akan memenangkan kejuaraan dunia, dan hal itu belum pernah terjadi sepanjang hidup saya!

Meskipun demikian, semakin banyak saya menganalisa nubuatan-nubuatan dalam Perjanjian Lama, keyakinan saya menjadi semakin kuat bahwa nubuat-nubuat tersebut membentuk rangkaian bukti-bukti historis yang mengagumkan dalam mendukung klaim bahwa Yesus adalah Mesias dan Anak Allah.

Sebagai contoh, saya membaca Yesaya 53 di Perjanjian Lama dan menemukan hal yang sangat aneh mengenai gambaran bahwa Yesus disalibkan -- dan itu ditulis lebih dari tujuh ratus tahun sebelum penyaliban itu terjadi. Hal itu seperti upaya saya memprediksikan bahwa Cubs akan berhasil pada tahun tahun 2700-an! Semuanya, ada sekitar lima lusin nubuat utama mengenai sang Mesias, dan semakin dalam saya mempelajari nubuat-nubuat itu, makin banyak kesulitan yang saya temui untuk menjelaskannya.

Garis pertahanan pertama saya dalam menolak kekristenan adalah bahwa Yesus mungkin dengan sengaja telah mengatur riwayat hidup-Nya agar dapat menggenapi nubuatan-nubuatan tersebut sehingga Ia akan dikira Mesias yang telah lama ditunggu-tunggu kedatangan-Nya. Sebagai contoh, da1am Zakharia 9:9 diramalkan bahwa Mesias akan mengendarai seekor keledai memasuki kota Yerusalem. Mungkin ketika Yesus akan memasuki kota, Ia mengatakan pada para murid-Nya, "Pergi ambilkan Aku seekor keledai. Aku ingin mengelabuhi orang-orang di sini hingga berpikir Aku adalah Mesias karena Aku benar-benar ingin disiksa sampai mati!"

Tetapi argumentasi itu runtuh ketika saya membaca nubuat-nubuat tentang peristiwa-peristiwa yang tidak mungkin dapat diatur oleh Yesus, seperti tempat kelahiran-Nya, yang telah diramalkan oleh nabi Mikha tujuh ratus tahun sebelum Dia dilahirkan, juga silsilah keluarga-Nya, bagaimana kejadian kelahiran-Nya, bagaimana Ia dikhianati demi uang dalam jumlah tertentu, bagaimana Ia dibunuh, bagaimana tulang-tulang-Nya tetap utuh dan tidak ada yang dipatahkan (berbeda dengan kedua penjahat yang disalibkan bersama dengan Dia), bagaimana para prajurit mengundi pakaian-Nya, dan seterusnya.[18]

Garis pertahanan saya yang kedua adalah bahwa Yesus bukan satu-satunya orang kepada siapa nubuat-nubuat itu ditujukan. Mungkin saja beberapa orang dalam sejarah cocok dengan ramalan-ramalan tersebut, tetapi karena Yesus memunyai lebih banyak agen hubungan masyarakat yang baik, dengan demikian Dia menjadi yang paling diingat oleh setiap orang.

Tetapi setelah membaca sebuah buku karya Petrus Stoner, seorang profesor ilmu alam di Westmont College yang telah pensiun, keraguan tersebut pun tersingkap. Stoner dengan enam ratus siswanya telah melakukan perhitungan secara matematis bahwa hingga saat ini peluang kemungkinan bagi setiap orang hanya dapat memenuhi delapan nubuat Perjanjian Lama.[19] Peluang kemungkinan dalam hal ini, yaitu satu peluang dengan kemampuan sebesar sepuluh per tujuh belas. Itu adalah sebuah nominal dengan tujuh belas angka nol di belakangnya!

Untuk berusaha memahami jumlah yang sangat besar itu, saya melakukan beberapa penghitungan. Saya membayangkan seluruh dunia ditutup oleh ubin lantai berwarna putih berukuran satu setengah inci persegi -- setiap permukaan tanah di bumi -- dan hanya satu ubin yang dasarnya berwarna merah.

Selanjutnya seseorang diizinkan untuk mengembara seumur hidup di tujuh benua. Ia hanya boleh membungkuk sekali untuk mengambil satu potong ubin. Apakah aneh jika ternyata satu ubin yang diambil itu dasarnya berwarna merah? Hal yang sama anehnya adalah hanya ada peluang sebanyak delapan nubuat Perjanjian Lama yang dapat dipenuhi oleh setiap orang sepanjang sejarah!

Hal itu cukup mengesankan, akan tetapi berikutnya Stoner menganalisa empat puluh delapan nubuatan. Dia menyimpulkan bahwa hanya akan ada satu peluang dengan kekuatan sebesar sepuluh per 157 yang akan terjadi pada diri setiap orang sepanjang sejarah.[20] Itu adalah sebuah nominal dengan 157 angka nol di belakangnya!

Saya telah melakukan suatu riset dan mempelajari bahwa atom itu begitu kecilnya hingga diperlukan satu juta atom dibariskan agar sama dengan lebar dari selembar rambut manusia. Saya juga mewawancarai para ilmuwan mengenai perkiraan mereka akan jumlah atom yang ada di seluruh alam semesta.

Dan sementara hasilnya adalah jumlah yang amat sangat besar, saya simpulkan bahwa keanehan empat puluh delapan nubuat Perjanjian Lama berpeluang terjadi pada diri individu mana pun adalah sama seperti seseorang yang memilih secara acak satu atom yang telah ditentukan lebih dahulu di antara semua atom di dalam jutaan triliun triliun triliun triliun galaksi seukuran galaksi kita!

Yesus berkata Dia datang untuk menggenapi nubuat-nubuat tersebut. Ia berkata, "Yakni bahwa harus digenapi semua yang tertulis tentang Aku dalam kitab Taurat Musa dan kitab Nabi-nabi dan kitab Mazmur."[21] Saya pun mulai percaya bahwa semua nubuat itu digenapi -- hanya dalam Yesus Kristus.

Saya bertanya kepada diri saya sendiri, jika seseorang menawari saya suatu bisnis yang memiliki peluang rugi hanya sebesar sepuluh per 157, berapa banyak uang yang akan saya investasikan? Saya akan menaruh semua yang saya miliki untuk satu kesempatan -- pasti -- menang seperti itu! Dan saya pun mulai berpikir, "Dengan adanya semua keanehan tersebut, sepertinya saya perlu menginvestasikan hidup saya pada Kristus."

REALITAS DARI KEBANGKITAN

Karena merupakan hal yang sentral bagi kekristenan, saya pun menghabiskan cukup banyak waktu untuk meneliti bukti historis pada kebangkitan Yesus. Saya bukan orang skeptis pertama yang melakukannya. Ada banyak orang yang telah melakukan pengujian serupa dan kemudian menjadi orang Kristen.

Sebagai contoh, seorang wartawan sekaligus pengacara Inggris bernama Frank Morison yang ditugaskan untuk menulis buku yang menunjukkan bahwa kebangkitan adalah suatu mitos. Namun, setelah bersusah payah mempelajari bukti, dia menjadi seorang Kristen, dan berkata bahwa tidak ada keraguan bahwa kebangkitan memiliki "suatu dasar historis yang kuat dan mendalam"[22]. Buku tentang penyelidikan rohani yang akhirnya dia tulis, memberi saya suatu analisa seorang pengacara yang kritis mengenai kebangkitan.

Sudut pandang hukum lainnya datang dari Simon Greenleaf, seorang profesor cerdas yang mendapat penghargaan karena membantu Harvard Law School dalam meraih reputasi unggul bagi sekolah hukum tersebut. Greenleaf menulis salah satu dari risalah-risalah hukum Amerika terbaik yang pernah ditulis, dengan topik tentang apa yang mendasari pembuktian secara hukum.

Bahkan, Mahkamah Agung Amerika Serikat pun mengutip perkataannya. London Law Journal berkata bahwa Greenleaf mengetahui tentang hukum pembuktian jauh lebih banyak daripada "semua pengacara yang memenuhi pengadilan-pengadilan di Eropa".[23]

Greenleaf mengejek kebangkitan sampai seorang siswa menantangnya untuk membuktikannya sendiri. Secara metodis, dia menerapkan pengujian- pengujian secara hukum pembuktian dan menjadi yakin bahwa kebangkitan adalah suatu peristiwa historis yang nyata. Profesor berdarah Yahudi itu lalu menyerahkan hidupnya bagi Kristus.[24]

Secara ringkas, bukti dari kebangkitan adalah bahwa Yesus mati dibunuh dengan cara disalib dan ditikam dengan tombak; Ia telah dinyatakan mati oleh para ahli; Ia dibalut dengan kain kafan berisi tujuh puluh lima pon rempah-rempah; Ia dibaringkan di dalam sebuah gua makam; sebuah batu karang yang sangat besar digulingkan menutupi jalan masuk ke dalam makam itu (menurut satu catatan historis masa lampau, begitu besarnya batu itu hingga dua puluh orang pun tidak dapat memindahkannya); dan makam itu dijaga oleh para prajurit berdisiplin tinggi.

Lalu, tiga hari kemudian makam itu ditemui dalam keadaan kosong, dan para saksi mata mengaku hingga ajal mereka bahwa Yesus muncul di tengah-tengah mereka.

Siapa yang memunyai motif untuk mencuri tubuh Yesus? Para murid tidak akan menyembunyikannya hingga disiksa sampai mati karena berbohong mengenai hal itu. Para pemimpin Yahudi dan Romawi akan senang dan berpawai mempertontonkan tubuh Yesus menyusuri jalanan Yerusalem; sebab itu akan langsung mematikan kemashyuran agama baru yang mulai menanjak itu, yang telah sekian lama ingin mereka habisi.

Tetapi yang terjadi selanjutnya adalah selama empat puluh hari, Yesus muncul secara langsung sebanyak dua belas kali pada waktu yang berbeda-beda di hadapan lebih dari 515 orang -- menemui para skeptis seperti Thomas dan Yakobus, dan suatu waktu muncul di hadapan sekelompok orang, pada waktu lainnya menemui seseorang secara pribadi, suatu saat muncul di dalam rumah, di saat yang lain muncul di tempat terbuka pada siang hari. Ia berbincang-bincang dengan orang-orang dan bahkan makan bersama dengan mereka.

Beberapa tahun kemudian, ketika Rasul Paulus menyebutkan bahwa ada beberapa saksi mata kebangkitan Yesus, dia mencatat bahwa banyak di antara mereka masih hidup, seolah-olah ia tujukan kepada para skeptis abad pertama, "Pergi pastikan sendiri pada mereka jika kamu tidak percaya padaku."[25]

Bahkan, jika Anda mendatangi para saksi menanyai setiap orang yang benar-benar melihat Yesus yang dibangkitkan kembali, dan jika Anda melakukan uji silang terhadap tiap-tiap orang selama hanya lima belas menit, dan jika Anda lakukan hal ini siang dan malam selama 24 jam tanpa berhenti, Anda akan mendengarkan kesaksian para saksi langsung selama lebih dari lima hari yang melelahkan.

Dibandingkan dengan pengadilan-pengadilan yang saya liput, ini adalah banjir bukti. Lebih banyak lagi jigsaw yang terkunci tepat pada tempatnya.

MENGGALI KEBENARAN

Saya mengamati arkeologi dan ternyata bidang ini menegaskan catatan Alkitab dari waktu ke waktu. Terus terang, masih ada beberapa isu yang belum terungkap. Namun, seorang ahli arkeologi yang istimewa, Dr. Nelson Gleuck, berkata: "Dapat dikatakan dengan pasti bahwa tidak ada penemuan arkeologis yang berlawanan dengan referensi Alkitab. Bahkan, sejumlah penemuan arkeologis mengkonfirmasikan dengan sangat jelas atau sangat detail pernyataan-pernyataan historis yang ada dalam Alkitab."[26]

Saya sangat terpesona oleh kisah seorang arkeolog terbesar sepanjang sejarah, yakni Sir William Ramsay dari Universitas Oxford, Inggris. Dia adalah seorang ateis; bahkan, putra dari pasangan ateis. Dia menghabiskan dua puluh lima tahun untuk melakukan penggalian arkeologis demi membuktikan kesalahan Kitab Kisah Para Rasul, yang ditulis oleh Lukas, sejarawan yang juga menulis Injil dengan namanya {Injil Lukas).

Tetapi bukannya meragukan Kitab Lukas, penemuan-penemuan Ramsay justru mendukungnya. Akhirnya, ia menyimpulkan bahwa Lukas adalah salah satu sejarawan paling akurat yang pernah hidup. Dipacu oleh bukti-bukti arkeologis tersebut, Ramsay menjadi seorang Kristen.[27]

Saya pun berkata, "Baiklah, memang terbukti Perjanjian Baru dapat dipercaya berdasarkan fakta sejarah. Tetapi apakah ada bukti mengenai Yesus di luar Alkitab?"

Saya terkagum-kagum saat menemukan bahwa ada sekitar selusin penulis sejarah kuno non-Kristen yang mengutip catatan sejarah mengenai kehidupan Yesus, termasuk fakta bahwa Ia melakukan hal-hal yang ajaib, bahwa Ia dikenal sebagai seorang yang berbudi luhur, bahwa Ia disebut Mesias, bahwa Ia disalibkan, bahwa langit menjadi gelap saat Ia terpaku di kayu salib, bahwa para murid-Nya berkata Ia telah bangkit kembali dari dunia orang mati, dan bahwa mereka menyembah-Nya sebagai Tuhan.[28]

Sebenarnya, ini hanyalah suatu ringkasan singkat dari penyelidikan rohani saya, sebab saya telah menyelidiki secara mendalam terhadap lebih banyak detil dibanding dengan yang digambarkan di sini. Dan saya tidak menyarankan buku ini semata hanya sebagai latihan akademis murni. Ada banyak ungkapan emosi yang terlibat di dalamnya. Tetapi nampaknya, ke mana pun saya memandang, keandalan catatan Alkitab tentang kehidupan, kematian, serta kebangkitan Yesus Kristus tampak semakin nyata.

MEMECAHKAN TEKA-TEKI

Saya telah memilah-milah bukti selama satu tahun sembilan bulan hingga sepulang dari gereja pada Minggu, 8 November 1981. Saya sedang sendirian di dalam kamar tidur, dan saya berkesimpulan bahwa waktunya telah sampai pada suatu putusan.

Kekristenan belum mutlak terbukti. Jika itu memang terbukti, maka tidak akan ada ruang bagi iman. Tetapi jika memertimbangkan fakta- fakta yang ada, saya menarik kesimpulan bahwa bukti historis yang ada dengan jelas mendukung klaim-klaim tentang Kristus jauh melampaui setiap keraguan. Bahkan sebenarnya, berdasarkan pada apa yang telah saya pelajari, perlu lebih banyak iman agar tetap ateis daripada menjadi seorang Kristen!

Oleh karena itu, setelah saya meletakkan potongan terakhir dari jigsaw mental saya pada tempatnya, seolah-olah saya berhenti sejenak untuk melihat potongan gambar dari rangkaian potongan jigsaw yang secara sistematis telah saya satukan dalam benak saya selama hampir dua tahun.

Gambar itu adalah potret dari Yesus Kristus, Anak Allah.

Seperti halnya Thomas, seorang skeptis terdahulu, saya pun merespons hal ini dengan menyatakan: "Tuhanku dan Allahku!"

Setelah itu, saya menuju dapur, di mana Leslie sedang berdiri di samping Alison di depan bak pencucian. Putri kami berusia lima tahun pada saat itu, dan dengan berjinjit, untuk pertama kalinya ia hampir mampu menggapai kran dapur.

"Lihat, Ayah, lihat!" serunya. "Aku dapat meraihnya! Aku dapat meraihnya!"

"Ya Sayang, hebat sekali," kata saya sambil memeluk dirinya. Lalu saya berkata kepada Leslie, "Kamu tahu, seperti itulah yang kini kurasakan. Aku telah berusaha meraih seseorang dalam waktu yang lama, dan hari ini akhirnya aku mampu meraih-Nya."

Dia mengetahui apa yang sedang saya katakan. Dengan berlinangan air mata, kami berpelukan.

Dan selanjutnya, Leslie dan para sahabatnya berdoa bagi saya hampir setiap hari sepanjang perjalanan rohani saya. Sering kali, doa-doa Leslie terfokus pada ayat dari Perjanjian Lama ini:

"Kamu akan Kuberikan hati yang baru, dan roh yang baru dalam batinmu dan Aku akan menjauhkan dari hatimu hati yang keras dan Kuberikan hati yang taat."[29]

Puji syukur kepada Tuhan, sebab Dia setia pada janji-Nya itu.

Catatan Kaki:

  1. Josh McDowell, "More Than a Carpenter" (Wheaton, Ill.: Living Books, 1977).
  2. Josh McDowell, "Evidence That Demands a Verdict" (San Bernardino: Here`s Life, 1979).
  3. 2 Pet. 1:16
  4. 1 Yoh. 1:1
  5. Lihat Josh McDowell, "More Than a Carpenter", 51-53, untuk sebuah pembahasan akan topik ini.
  6. Kis. 2:22.
  7. Kis. 2:32
  8. Kis. 2:41
  9. 1 Kor. 15:14
  10. Poin ini dibahas oleh Josh McDowell dalam bukunya, "More Than Carpenter", 70-71.
  11. Yoh. 20:28
  12. Mar. 14:61
  13. Lihat Mar. 14:62
  14. Mar. 14:64
  15. Josh McDowell, "Evidence That Demands a Verdict", 62-63.
  16. A. N. Sherwin-White, "Roman Society and Roman Lazy in the New Testament" (Grand Rapids, Mich.: Baker, 1978), 186-93.
  17. Lihat J. P. Moreland, "Scaling the Secular City" (Grand Rapids, Mich.: Baker, 1987), 150-51.
  18. Josh McDowell, "Evidence That Demands a Verdict", 166.
  19. Peter W Stoner, "Science Speaks" (Chicago: Moody Press, 1969), 107.
  20. Ibid., 109.
  21. Luk. 24:44
  22. Frank Morison, "Who Moved the Stone?" (Grand Rapids, Mich.: Lamplighter, 1958. Reprint of 1938 edition. London: Faber & Faber, Ltd.), 193.
  23. Irwin H. Linton, "A Lawyer Examines the Bible" (Grand Rapids, Mich.: Baker, 1943), 36.
  24. Simon Greenleaf, "An Examination of the Testimony of the Four Evangelists by the Rules of Evidence Administered in the Courts of Justice" (Qersey City, NJ.: Frederick D. Linn & Co., 1881).
  25. Lihat 1 Kor. 15:6
  26. Henry M. Morris, "The Bible and Modern Science" (Chicago: Moody, 1968), 95.
  27. D. James Kennedy, "Why I Believe" (Dallas: Word, 1980), 33.
  28. Untuk ringkasan bukti dari Yesus di luar Alkitab, lihat Gary R. Habermas, "The Verdict History: Conclusive Evidence for the Life of Jesus" (Nashville: Nelson, 1988).
  29. Yeh. 36:26

Diambil dan diedit seperlunya dari:

Judul buku : Inside the Mind of Unchurched Harry and Mary
Judul artikel: Kejutan dari Seorang Skeptis
Penulis : Lee Strobel
Penerjemah : Jonathan Santoso
Penerbit : Majesty Books Publisher, Surabaya 2007
Halaman : 29 -- 42

Anatomi Kepercayaan Dan Iman: Sebuah Refleksi Teologis Dan Pastoral (2)

Editorial: 

Dear e-Reformed netters,

Artikel berikut ini adalah sambungan dari artikel yang diterbitkan di Edisi e-Reformed sebelumnya. Jika Anda belum menerima edisi sebelumnya tersebut, silakan menghubungi saya.

In Christ,
Yulia
< yulia(at)in-christ.net >

Penulis: 
Joseph Tong, Ph.D.
Edisi: 
082/II/2007
Isi: 

ANATOMI KEPERCAYAAN DAN IMAN: Sebuah Refleksi Teologis Dan Pastoral (1)

MAKNA DAN DAMPAK IMAN

Berbicara dari sudut pandang teologis, iman berarti komitmen total dan memercayakan diri dalam Kebenaran dan memiliki hidup persekutuan dengan Allah sejati yang Esa -- sebuah perpalingan ontologikal kembali kepada Sang Pencipta. Perpalingan kembali ini tidak boleh dimengerti dalam pola pikir struktur pantheistik atau panentheistik, perpalingan kembali ke asal, seperti dalam praktik-praktik kontemplatif para-religius, kembali kepada sifat ketuhanan di dalam. Tidak juga boleh dimengerti sebagai kemampuan mencapai Firman untuk menjadi seperti Tuhan, atau untuk menjadi Tuhan. Sebaliknya, ini adalah sebuah perpalingan kembali yang asasi kepada Allah dalam konteks keselamatan kristiani. Pengertian yang benar akan kekristenan adalah bahwa Kristus adalah Firman yang menjadi daging supaya kita menjadi manusia, bukan menjadi allah. Sewaktu kita kembali kepada Allah, kita menjadi anak-anak Allah. Iman kita di dalam Kristus menghasilkan kepastian dan jaminan di dalam diri kita dengan cara-cara berikut ini dalam pengertian akan realitas:

Kepastian akan Kebaikan dan Kesempurnaan Allah

Masalah kejahatan dalam filsafat hanya dapat dijelaskan dalam konteks iman kristiani, di mana iman menyediakan pembacaan dan interpretasi yang benar akan realitas secara keseluruhan. Tanpa iman dan kepercayaan kepada Firman Allah, tidak akan ada makna bagi keberadaan apa pun. Iman kita dalam Kristus memberikan jaminan kepada kita akan kepastian kebaikan, sekaligus meyakinkan bahwa kejahatan adalah kesia-siaan. Dalam kekristenan, kejahatan tidak memiliki keberadaan yang nyata. Sebenarnya, kejahatan bukanlah lawan dari kebaikan, tetapi ketiadaan atau miskinnya kebaikan. Karya dan tindakan dari Allah yang sempurna selalu baik. Kebaikan seperti itu adalah fondasi dari semua kebaikan. Oleh karena itu, dalam iman, apa yang kita miliki dan apa yang kita alami adalah baik sempurna. Kesempurnaan seperti itu menjadi lengkap dan menjadi subjek pujian dalam keselamatan di dalam Yesus Kristus bagi anak-anak-Nya yang ditebus.

Adalah benar bahwa kehidupan di dunia ini penuh kesulitan, penderitaan, dan tragedi. Akan tetapi, bagi orang beriman, hidup itu penuh dengan anugerah dan hal-hal yang menyenangkan. Sebagaimana terang menjadi lebih cemerlang dalam kegelapan, kebaikan menjadi lebih manis di tengah-tengah kepahitan, begitu pula hidup kita lebih bermakna di dalam kesulitan, kesedihan dan penderitaan. Bagi mereka yang memiliki iman, segala sesuatu bekerja bersama untuk mendatangkan kebaikan bagi mereka yang mengasihi Allah, yaitu mereka yang dipanggil oleh Allah (Roma 8:28). Dalam imanlah kita melihat keindahan ciptaan, pemeliharaan dan penebusan Allah.

Jaminan akan Makna dan Nilai yang Sejati

Dalam psikologi sosial dan ekonomi, nilai selalu mengikuti harga sedemikian rupa sehingga nilai dapat diciptakan oleh harga. Makna kemudian mengikuti. Oleh karena itu, selama seseorang berani untuk membayar harganya, walaupun mungkin tidak ada pasaran untuk sementara waktu, tetapi bila ia dapat bertahan cukup lama dan berani untuk melipatgandakannya dengan propaganda dan promosi yang baik, orang lain pastinya akan menerima nilai dalam harga tersebut, atau harga yang mereka bayar. Dalam perilaku seperti itu, harga menentukan pasar, dan lebih lanjut lagi, nilai dibentuk ketika harga dibayar. Manusia bahkan akan berpikir bahwa makna yang benar sejalan dengan harga. Walaupun kenyataannya tidak sesederhana itu, akan tetapi, seperti inilah tepatnya bagaimana struktur nilai dalam pola pikir modern berjalan pada saat ini. Kebanyakan orang tidak lagi tertarik dalam mencari makna dan nilai. Inilah penyebab utama dari kerusakan moral pada saat ini: Deskripsi yang murni dari manusia yang tidak mempunyai iman.

Secara teologis, maknalah yang menentukan nilai. Intisari dari makna tidak ditemukan dalam pembacaan dan interpretasi kenyataan, tetapi dalam relasi dan kesatuan antara makna tersebut dengan kebenaran dari kenyataan secara keseluruhan. Kebenaran adalah dasar dari semua makna. Sebenarnya, masalah kita bukanlah bahwa kita menyangkal kenyataan bahwa kebenaran ada, tetapi dalam asumsi kita bahwa kebenaran perlu dimengerti sebagai sesuatu yang nyata dan bermakna. Inilah tepatnya alasan kebanyakan orang menganggap pembacaan dan interpretasi kenyataan sebagai realitas dan kebenaran, meyakini bahwa tanpa pembacaan dan interpretasi, fakta, realitas dan kebenaran tidak memiliki makna dan oleh karena itu tidak memiliki nilai.

Asumsi seperti itu menegaskan bahwa kebenaran adalah murni keberadaan yang pasif. Ini adalah asumsi yang salah. Oleh karena pembacaan dan interpretasi harus dimulai dengan beberapa pendirian dan mengasumsikan dasar-dasar tertentu, yang tanpanya tidak mungkin ada komunikasi. Oleh sebab itu, dapat dicatat bahwa kebenaran tidaklah pasif. Sebaliknya kebenaran harus aktif. Seseorang yang membaca, memahami, dan menginterpretasikan, harus mengambil peran sebagai peran pembantu. Aktor utamanya, dalam hal ini, adalah Kebenaran itu sendiri atau pemberi Kebenaran. Iman hanyalah sebuah agen dalam proses tersebut.

Dalam teologi, kita menganggap iman adalah sesuatu yang dianugerahkan Allah oleh kemurahan-Nya di dalam hati manusia, yang memampukannya untuk membuat tanggapan yang sepatutnya pada saat kebenaran dinyatakan. Iman membuka pikiran manusia untuk menerima wahyu Allah dan berserah kepada Kebenaran, mengenal Kebenaran, menyatakan makna, menegaskan nilai dan mempertandingkan keberadaan kita. Secara sederhana, iman yang sejati membawa kita kepada pengertian yang jelas akan makna, merasakan nilainya, dan menikmati keberadaan kita. Tanpa iman, makna menghilang, nilai terlepas, dan keberadaan dipenuhi dengan kecemasan dan tekanan. Ini menjawab pertanyaan mengapa orang yang tidak beriman selalu hidup dalam kesia-siaan dan berkeluh tanpa harapan.

Kepastian akan Kenikmatan dari Keberadaan

Dalam penciptaan, keberadaan adalah sebuah keharusan ontological. Seperti itu, keberadaan menjadi tidak ada rasanya, tidak bermakna, membuat kita putus asa. Secara filosofis, selain Allah yang membuat keberadaan-Nya sendiri, segala sesuatu penuh keterbatasan. Oleh karena itu, jikalau tidak ada iman, tidak ada suatu apa pun dapat dinikmati. Keberadan tanpa iman menghasilkan ketidakberdayaan dan membawa keputusasaan, frustasi dan kebosanan. Iman membawa kita untuk merasakan kenikmatan dari kehidupan. Inilah tepatnya mengapa Paulus dapat berkata; Aku hidup oleh karena iman di dalam Anak Allah.

Bagi orang Kristen, karena kita percaya dalam Kristus dan mengambil bagian dalam sifat Allah, kita pastinya mengalami kebesaran dan kebaikan Allah, dan juga Allah sendiri, dalam keberadaan kita. Augustine pernah berkata, Allah memberikan segala sesuatu bagi kita untuk digunakan (uti) sehingga kita dapat menikmati (frui) Allah. Dalam pengertian seperti itu, walaupun kita harus melalui pencobaan-pencobaan Ayub, kita masih dapat bersukacita dalam penderitaan, seperti Ayub menyatakan bahwa: "Tuhan yang memberi, Tuhan juga yang mengambil. Terpujilah nama Tuhan." (Ayub 1:21). Oleh karena itu, sekalipun Ia membunuhku, aku akan tetap percaya kepada-Nya. Iman membawa kita untuk merasakan anugerah-Nya dan Diri-Nya sendiri, membuat kita tidak hanya bersuka dalam kehadiran Allah, tetapi juga bersuka di dalam Tuhan. (Ibrani 11:6; Roma 5:11).

Puncak Kepercayaan dan Iman dalam Tindakan

Bagi kebanyakan orang, iman adalah suatu alat untuk mencapai atau menegaskan anugerah Allah. Hal ini benar hanya dalam pandangan pengertian religius akan iman. Secara teologis, iman bukanlah suatu alat; melainkan iman adalah suatu keadaan hati dan jiwa sebagai kepercayaan dan komitmen yang total kepada Allah. Kata "fiducia" dalam teologi mengandung banyak makna yang dalam. Kadang kala disebut "fiducia cordis" sebagai hati dan inti dari iman. Dalam bagian penggunaannya sepanjang sejarah Gereja, kata itu tampaknya kehilangan maksud dan maknanya seiring berlalunya waktu. Gereja secara bertahap telah bergeser dari penekanannya pada aspek percaya seperti yang dituntut oleh objek yang kita percayai, kepada aspek-aspek percaya tertentu dari seseorang yang percaya. Bergeser dari penekanan teosentris kepada penekanan antroposentris, dari teologi ke antropologi.

Bagi manusia, perwujudan kepercayaan dan iman adalah tindakan dan perilaku yang baik, secara umum dikenal sebagai pembenaran di hadapan manusia dan dipuji oleh orang lain. Karena Allah tidak memerhatikan penampilan, Allah tidak perlu untuk mendasarkan pembenarannya pada perbuatan baik manusia. Oleh karena itu, walaupun iman selalu didukung oleh perbuatan baik, tetapi iman dalam ciri-cirinya sendiri adalah perbuatan baik dihadapan Allah, bukan di hadapan manusia. Inilah mengapa iman kadang-kadang disebut tindakan baik semata. (Lihat Lukas 12:8). Iman adalah tindakan kepada Allah dan di hadapan Allah. Inilah mengapa Allah membenarkan manusia karena imannya bukan perbuatannya. Dengan kata-kata biasa, karena iman adalah percaya dalam Allah, percaya adalah penyerahan diri yang total kepada Allah, seperti Paulus menyatakan bahwa kita dapat percaya pada-Nya dan juga menderita bagi-Nya. (Filipi 1:29).

Sisa makalah ini akan mendedikasikan dirinya pada penjelasan mengenai iman dalam arti "fiducia", dimana teologi Kristen menjelaskan lebih lanjut maknanya dalam istilah-istilah "iman yang takut" (apprehensio fiducialis); "iman inti atau hati yang percaya" (fiducia cordis), dan "kebaikan iman atau tindakan iman" (actus fidei).

Aspek-aspek yang Takut dari Iman

Apa yang kita maksud dengan iman yang takut adalah hasil dari tindakan dan pekerjaan yang mulia dari Roh Kudus, membuat manusia mampu mengamati dan memahami anugerah, karya, dan kehendak sempurna dari Allah dalam tindakan-Nya. Dengan kata lain, dalam iman yang takut, pikiran manusia ditangkap oleh Firman Allah. Karenanya, dia akan sepenuhnya mengerti dalam pengetahuan dan penyerahan kepada Allah dan Firman-Nya yang dinyatakan, dan dengan rela menerima penghakiman dan pengampunan-Nya.

Seperti Abraham, dia percaya apa yang telah Allah janjikan, dan Allah menganggap hal ini sebagai kebajikan-Nya. Inilah dasar dari iman kristiani, tantangan dan pencobaan yang utama yang dihadapi orang-orang Kristen saat ini. Pemazmur berkata, apabila dasar-dasar dihancurkan, apakah yang dapat dibuat oleh orang benar itu? (Mazmur 11:2). Inilah tepatnya dimana penyakit-penyakit Gereja modern dan teologi modern dihasilkan. Baru-baru ini, banyak usaha didedikasikan pada diskusi-diskusi dan rekonstruksi teologi kristiani, mengabaikan fakta bahwa kita telah meragukan dasar iman kita dan mencoba untuk menggantikan Allah dengan nama-nama yang lain. (Mazmur 16:4). Ini adalah sebuah tanda yang nyata akan kurangnya iman yang takut. Usaha seperti itu dianggap gagal, karena bibit kerusakan ditanam pada saat itu bahkan sebelum usaha itu memulai rekonstruksi.

Iman yang sejati memahami kehadiran Allah dan kebesaran Allah, bahkan sebuah pengertian akan membawa kita pada pengalaman dari Yusuf muda yang pernah berkata, "Bagaimana bisa aku melakukan dosa yang begitu besar terhadap Allah! Bahkan ketika tak seorangpun tahu!"

Iman Inti atau Hati yang Percaya

Kata "cordis fiducia" mengandung dua arti: 1) sebagai sebuah indikasi bahwa tempat iman adalah dalam hati manusia, dan 2) bahwa inti dari iman adalah ketika hati menyatu dengan iman mengarahkan diri pada Kebenaran. Hal yang terakhir menunjuk pada fakta bahwa iman senantiasa melampaui intelektual dan ia berada pada jiwa yakni bagian utama dari eksistensi manusia. "Cordis fiduca" menentukan religiusitas manusia dan hubungannya dengan Allah. Hal yang terakhir itu mengacu pada fakta bahwa jiwa memiliki kemampuan mengasihi, memerhatikan, dan melekatkan diri pada Allah dan firman-Nya.

Secara harafiah dapat dikatakan bahwa kemampuan mengasihi dan memberi penghargaan adalah dua hal yang berbeda. Kasih cenderung lebih nyata sedangkan penghargaan berbentuk konkret. Keduanya adalah tanda dari sebuah kondisi dari perasaan dan karya yang benar sebagai suatu ungkapan dari sikapnya terhadap obyek dari keyakinan dan kasihnya. Iman yang sejati mengungkapkan diri sendiri dalam hati dan lewat ucapan. Hati dan ucapan berjalan seiring memercayai dan mengakui bahwa Kristus adalah Tuhan (Rm. 10:9-10). Iman yang sejati lebih dari sekedar itu, ia tidak akan pernah malu pada injil Yesus Kristus (Rm. 1:16; Mrk. 8:38-39).

Dalam konteks pastoral, iman mengandung aspek mistik dan keajaiban. Iman membawa seseorang yang percaya dalam keberadaan tertawan, sehingga orang itu tidak dapat menahan diri untuk bersaksi di depan umum ataupun menolak dorongan untuk memproklamirkan nama Kristus dan memuliakan-Nya. Sesungguhnya, orang itu begitu bangga menjadi miliki Allah.

Dari zaman ke zaman, kita telah menyaksikan bahwa walaupun memercayai Yesus adalah hal spiritual dan pribadi, namun sejauh kaitannya dengan iman, sekali orang mengakui imannya pada Kristus (?). Dia tidak akan ragu untuk memproklamirkannya di depan umum sekalipun ia harus membayar harga dengan nyawanya sendiri. Bagi orang lain, seorang yang sudah percaya tidaklah perlu begitu offensif. Beberapa orang bahkan berpikir bahwa orang percaya meyakini dan berdoa secara diam-diam sendiri. Namun bagi orang percaya sejati, iman mereka membara sehingga mereka tidak memiliki pilihan lain selain melakukan sesuatu. Seperti Maria dari Betania, orang percaya yang sejati akan menghancurkan kendi minyak narwastu untuk mengurapi kaki Tuhan, meresikokan dirinya diserang oleh kritik tajam dan kecaman orang lain. Hal ini merupakan ekspresi dari penghargaan yang terbaik. Iman yang sejati tidaklah dapat diungkapkan sepenuhnya. Iman sejati dapat memperlihatkan dorongan yang dashyat, yang mampu memindahkan gunung dan membelah lautan. Iman sejati seperti api yang menghanguskan dan seperti air yang tiada henti menetes melubangi batu kerikil yang tebal. Semua hal ini merupakan penjelasan tentang iman, keyakinan yang dirasakan oleh hati.

Kebajikan atau Tindakan Iman

Sebagaimana kita diskusikan dalam tulisan ini, iman sejati tidaklah membutuhkan perbuatan untuk membuktikannya. Iman sejati sebaliknya merupakan perbuatan itu sendiri di hadapan Allah dan diterima oleh Allah. Teologi merujuk kebenaran ini sebagai kebajikan iman atau tindakan iman. Mengikuti Paulus, gereja tradisional menyakini iman, pengharapan, dan kasih sebagai tiga pilar utama dari keutamaan Kristen. Kebajikan iman, dipahami secara umum sebagai hal yang paling jelas di antara ketiganya. Sekalipun demikian, secara ontologis, iman sesungguhnya merupakan sebuah kesadaran diri yang jelas mengenai kehadiran ilahi yang menuntut sebuah ketertundukan total dan komitmen pada Allah dan firman-Nya. Penjelasan berikut ini memberikan gambaran mengenai tindakan iman sebagai kebajikan moral.

IMAN DALAM KOMITMEN

Komitmen merupakan sebuah tindakan sukarela alami dari seorang yang sudah diyakini oleh Kebenaran. Hal ini membawa kita pada beberapa pertanyaan teologis, sejauh pembahasan dalam konteks iman dan komitmen, apakah iman adalah hasil dari kemampuan subyektif manusia, "habitus fidei", ataukah hasil dari anugerah Allah, yang memampukan orang itu untuk secara total menyerahkan dirinya di hadapan Allah? Jika iman adalah inisiatif ilahi, maka apa yang seorang manusia lakukan hanyalah mempraktikkan hak istimewa yang diberikan oleh Allah saat ia berkonfrontasi dengan wahyu ilahi. Manusia tidaklah memiliki pilihan lain selain daripada respons yang sewajarnya kepada panggilan Allah. Berbicara dalam terang keyakinan Reformed, komitmen iman bukanlah usaha manusia, sebaliknya, iman adalah anugerah Allah. Dan dengan demikian, keutamaan iman merupakan pekerjaan Allah itu sendiri. Jelas tidak ada kontribusi manusia sama sekali. Oleh sebab itu tidak ada alasan bagi manusia untuk mengakui bahwa iman itu miliknya. Iman itu ada karena Allah bersedia tinggal di dalam manusia. Sebagaimana pepohonan dihanyutkan oleh banjir badang, demikianlah manusia disandera oleh Allah dan oleh kasih-Nya. Oleh sebab itu, komitmen penulis adalah agar kita dapat tinggal tenang seperti anak yang terlelap, sepenuhnya menyerahkan diri di atas pangkuan sang ibu. Dan hal ini merupakan tanda dari iman yang sejati yang membawa ucapan syukur dan pujian dalam diri kita. Orang yang memiliki iman tidaklah pernah menyombongkan diri, dia lebih memilih untuk berkomitmen total dan hanya bersedia berbicara hal yang besar mengenai Kristus yang tersalib (1Kor. 2:1-5).

IMAN DALAM KETERTUNDUKAN DAN KETAATAN

Iman dan ketaatan tidak dapat dipisahkan, keduanya merupakan ekspresi konkret dari keyakinan terhadap Kristus. Secara teologis, lawan dari iman bukanlah ketidakpercayaan, ataupun keragu-raguan melainkan kesombongan dan ketidaktaatan. Kejatuhan dari Adam dan Hawa, dan seluruh tokoh Alkitab merujuk pada fakta bahwa mereka terlalu sombong dan tidak taat. Alkitab menyatakan bahwa kesombongan mendahului kehancuran. Langkah pertama dari iman yang sejati adalah penyangkalan dan penyerahan diri dalam rangka mengikut Tuhan. Ketaatan dalam iman melibatkan hal berikut:

Pengetahuan akan Allah

Mengenal kedaulatan dan kemuliaan Allah. Keberadaan kita amat bergantung pada diri-Nya. Bagaimana kita dapat mempertanyakan Allah dan meragukan diri-Nya, dan firman-Nya? Pemazmur pernah mengatakan, "Aku kelu, tidak kubuka mulutku, sebab Engkau sendirilah yang bertindak" (Mzm. 39:10). Demikian juga kita mendengar pemilik kebun anggur berkata. "Tidakkah aku bebas mempergunakan milikku menurut kehendak hatiku? (Mat. 20:15) Apakah yang dapat kita lakukan selain berkata "Aku hanya hamba Allah, lakukanlah sebagaimana yang Engkau kehendaki." Ketika Anak Allah datang ke dunia ini, Dia sengaja mengosongkan diri dan merendahkan diri. Mengambil rupa seorang hamba, dan menjadi manusia. Saat menjadi seorang manusia, Ia merendahkan diri sedemikian rupa dan taat sampai mati bahkan sampai mati di kayu salib! (Fil. 2:6-8). Dia bahkan tetap taat saat menderita (Ibr. 5:8). Jika kita pernah mengenal Allah, mengapa kita tidak merendahkan diri dan secara penuh merendahkan diri kepada Tuan kita?

Pengetahuan akan Diri Sendiri

Dalam kenyataannya, kita sering membandingkan diri kita pada yang lain. Dengan berbuat demikian, kita akan terjebak di dalam kealpaan terhadap diri, posisi dan pendirian kita sendiri. Sesungguhnya, sebagian besar orang tidaklah puas terhadap hak istimewa yang mereka miliki. Hal ini merupakan hasil dari kealpaan kita terhadap fakta bahwa kita merupakan anggota keluarga sorgawi dan dunia (Ef. 3:15). Saat Petrus masih berpikir banyak mengenai nasib yang akan menimpa Yohanes, Yesus menjawab apa yang harus kamu lakukan adalah mengikuti Aku (Yoh. 21:22).

Sesungguhnya Allah telah menyediakan bagian dan piala bagi kita; Dia menjaga harta benda kita agar tetap aman. Sebagaimana Pemazmur mengungkapkan "Tali pengukur jatuh bagiku di tempat-tempat yang permai; ya milik pusakaku menyenangkan hatiku." (Mzm. 16:6-8). Oleh sebab itu, mari kita berdiam dan menenangkan diri dan ketahuilah bahwa ialah Allah (Mzm. 46:10). Mari kita dengar perkataan-Nya pada Daniel, "Tetapi engkau, pergilah sampai tiba akhir zaman, dan engkau akan beristirahat, dan akan bangkit untuk mendapatkan bagianmu pada kesudahan zaman" (Dan. 12:13). Tunduklah pada rencana dan pengaturan-Nya. Lakukan hal terbaik untuk tetap menaati-Nya. Karena Dialah bagian dari warisan dan piala kita (Mzm. 16:5). Jika Anda memiliki iman, akuilah dan puaslah dengan keadaanmu saat ini -- inilah tanda dari pengetahuan yang benar mengenai diri sendiri.

Pengetahuan akan Otoritas

Takut akan orang yang memiliki kuasa merupakan sebuah praktik yang wajar. Oleh sebab itu, otoritas dan kuasa telah menjadi tempat dimana orang mudah untuk menunjukkan ketaatan. Ketakutan jenis ini merupakan hasil dari ketidaktahuan akan otoritas yang sebenarnya. Ketaatan yang sejati menyerahkan diri pada otoritas yang tidak mengenal ketakutan. Otoritas itu adalah buah dari iman yang sejati. Di dalam otoritas seperti ini, kasih dimungkinkan untuk bertumbuh.

Kita percaya dan taat pada Kristus bukan karena kita takut pada-Nya namun karena kita terpaku oleh kedashyatan kasih Allah, dan oleh karenanya kita mengasihi Allah. Dalam konteks ini, ketaatan dan ketertundukan bukan lagi persoalan intelektual dan pemahaman sensasional, melainkan sebuah dorongan dari jiwa menuju pemenuhan. Oleh sebab itu, kita menjadikan hal menyenangkan hati Allah sebagai tujuan hidup kita (2Kor. 5:9). Sekalipun kita tidak pernah melihat Dia, kita mengasihi Dia. Dan sekalipun kita tidak melihat Dia saat ini, kita percaya pada-Nya dan hati kita dipenuhi oleh sukacita yang tidak dapat diungkapkan, karena kita telah menerima tujuan dari iman kita, yakni keselamatan dari jiwa ini (1Pet. 1:8-9). Klarifikasi dari pemahaman kita akan otoritas akan selalu menghasilkan ketaatan batiniah dalam diri kita.

IMAN DAN HAL MENGIKUT YESUS

Apa yang Kristus inginkan dari para pengikut-Nya adalah usaha menyangkal diri mereka sendiri, memikul salib dan mengikuti-Nya. Orang yang percaya pada Allah, akan mengikut Allah. Hal ini memerlukan iman. Yohanes, murid yang dikasihi Kristus menyatakan bahwa orang yang mengikut Kristus adalah mereka yang menaati firman-Nya, di mana kasih Allah sungguh sempurna berada dalam diri mereka ... sebab barangsiapa yang berkata ia hidup di dalam Dia haruslah ia melakukan apa yang Yesus lakukan (1Yoh. 2:5-6).

Pesan terakhir Kristus kepada para murid-Nya hampir sama dengan ungkapan di atas, Dia berkata: "sebab Aku telah memberikan suatu teladan kepada kamu, supaya kamu juga berbuat sama seperti yang telah Kuperbuat kepadamu. Aku berkata kepadamu: sesungguhnya seorang hamba tidaklah lebih tinggi dari pada tuannya, ataupun seorang utusan daripada dia yang mengutusnya. Jikalau kamu tahu semua ini, maka berbahagialah kamu, jika kamu melakukannya" (Yoh. 13:15-17). Mengikuti Kristus adalah salah satu karakteristik yang terpenting dari menjadi seorang Kristen. Jika iman didirikan di atas dasar Firman Allah, maka hasilnya adalah kasih terhadap Allah dan meneladani hidup Kristus. Dokumen dan warisan literatur pada masa Abad Pertengahan mengindikasikan bahwa para orang-orang kudus mewariskan praktik hidup yang meneladani Kristus. Mereka mengikut Tuhan secara konstan dan konsisten. Dibandingkan dengan hidup kita hari ini, patutlah kita menjadi malu, karena walaupun kita mengakui telah mengenal Kristus dan memproklamirkan nama-Nya, namun dalam hal ketertundukan dan penyerahan diri untuk mengikuti serta meneladani-Nya, kita masih jauh dari apa yang Tuhan harapkan.

KESIMPULAN

Penyederhanaan iman rupanya merupakan paradoks pada kenyataannya. Setelah kejatuhan manusia, tidak ada seorangpun memiliki iman. Kita telah jatuh di dalam perangkap kepercayaan, yakni ketidakpercayaan dan keraguan terhadap hal-hal yang benar dan dapat dipercaya. Inilah sebabnya sejarahwan dan filosof, Will Durant pernah berkata: "Agama datang dan pergi, namun ketakhayulan berlangsung selamanya." Dalam perjalanan sejarah umat manusia, ketakhayulan tampaknya selalu mendahului agama yang sejati. Oleh sebab itu cara terbaik untuk memperlakukan kepalsuan dan ketakhayulan ini bukanlah dengan kekuasaan, politik, ideologi, teori ataupun uang. Bahkan tidak dengan agama ataupun kepercayaan agama, melainkan melalui iman yang sejati -- yakni iman yang berakar dalam Firman Allah dan pemahaman yang benar mengenai Allah dan wahyu-Nya. Allah pernah berkata pada Yeremia: "Nabi yang beroleh mimpi, biarlah menceritakan mimpinya itu, dan nabi yang beroleh firman-Ku, biarlah menceritakan firman-Ku itu dengan benar! Apakah sangkut-paut jerami dengan gandum? Demikian Firman Tuhan. Bukankah firman-Ku seperti api, demikianlah firman Tuhan dan seperti palu yang menghancurkan bukit batu?" (Yer. 23:28-29).

Firman Tuhan adalah satu-satunya perisai yang paling ampuh untuk berhadapan dengan ketakhayulan dan keyakinan yang palsu. Biarkan kita membangun diri kita dengan iman yang paling suci dan berdoa di dalam Roh Kudus. Senantiasa berada di dalam lingkaran kasih Allah sementara kita menunggu belas kasihan Yesus Kristus yang akan membawa kita kepada hidup yang kekal (Yud. 20). Sebagaimana kita telah mengakhiri pertandingan yang baik, "aku telah mencapai garis akhir dan aku telah memelihara iman" (2Tim 4:7-8), oleh sebab itu mari kita senantiasa percaya dan dengan gembira menaati Dia. Menjadi orang yang taat dan menjadi manusia beriman yang kelak mendapat pujian dari Allah.

Sumber: 

Sumber diambil dari:

Judul Buku : Jurnal Teologi Stulos, Volume 4, Nomor 1, Juni 2005
Judul Artikel :Anatomi Kepercayaan dan Iman: Sebuah Refleksi
Teologis dan Pastoral
Penulis : Joseph Tong, Ph.D.
Penerjemah : -
Penerbit : Sekolah Tinggi Teologia Bandung
Halaman : 103 - 108

Anatomi Kepercayaan Dan Iman: Sebuah Refleksi Teologis Dan Pastoral (1)

Editorial: 

Dear e-Reformed netters,

Masyarakat Kristen saat ini telah dikacaukan dengan berbagai paham `positif thinking` yang sangat tidak alkitabiah, terutama melalui pengajaran-pengajaran dari teologia kemakmuran dan sejenisnya. Pernahkah Anda mendengar kata-kata seperti berikut ini, "jika Anda beriman, maka Anda akan sembuh" atau "jika Anda beriman maka Anda kaya". Jika ternyata Anda sudah berdoa dan tidak sembuh atau tidak kaya, maka itu tandanya Anda tidak beriman. Iman tak ubahnya dengan rasa percaya diri, karena itu untuk mendapatkan apa yang Anda inginkan Anda harus beriman lebih keras lagi. Ini adalah pengajaran yang tidak sesuai dengan Alkitab. Dari praktik-praktik pengajaran yang sesat seperti ini, tidak heran jika banyak masyarakat Kristen Indonesia yang memiliki kehidupan, cita-cita, dan pemikiran yang tidak jauh berbeda dengan orang-orang yang bukan pengikut Kristus. Betapa jauhnya orang mengerti tentang iman sebagaimana yang Alkitab maksudkan.

Iman bukan sesuatu yang diusahakan, tapi diterima. Iman juga bukan sesuatu yang menghasilkan keuntungan bagi manusia, tapi ketaatan dan kemuliaan bagi Allah. Lawan kata dari `iman` bukan `keragu-raguan` atau `ketidakyakinan`, tapi `ketidaktaatan` atau kesombongan. Bagaimana menjelaskannya?

Artikel yang saya baca beberapa waktu yang lalu dari Jurnal Teologi Stulos, yang ditulis oleh Dr. Joseph Tong, telah menggugah saya untuk mempelajari lebih dalam pengertian tentang iman. Saya sangat terkesan dan melihat iman seakan-akan seperti melihatnya dengan cara pandang yang baru, lain dari yang biasa saya lakukan. Sangat filosofis, karena itu Anda harus membacanya perlahan-lahan dan dikunyah satu persatu, kalau tidak Anda bisa tersedak alias mabok! Tapi percaya saya, `it`s worth reading`. Ada banyak pokok-pokok pemikiran penting yang perlu mendapat perhatian, khususnya bagi Anda yang dulunya merasa sudah mengerti tentang arti iman. Biarlah kita semua semakin diperkaya dengan kekayaan Firman-Nya, yaitu Firman yang hidup dan menghidupkan. Selamat menyimak.

In Christ,
Yulia
< yulia(at)in-christ.net >

Penulis: 
Joseph Tong, Ph.D.
Edisi: 
081/I/2007
Isi: 

Anatomi Kepercayaan dan Iman: Sebuah Refleksi Teologis dan Pastoral (1)

Pendahuluan

Pada umumnya, kepercayaan dan iman dimengerti sebagai hal yang identik. Secara harafiah, "kepercayaan" kurang lebih dianggap bersifat subjektif dan pribadi, sedangkan "iman" dianggap sebagai sesuatu yang condong obyektif, yaitu sebagai 'pengakuan kepercayaan di depan publik.' Namun, dalam konteks studi keagamaan, penggunaan dua kata dapat dipertukarkan dan menunjuk pada suatu keadaan khusus dalam diri seseorang, atau pendirian yang dimiliki seseorang, ketika menghadap suatu Pribadi yang kudus, yang mulia atau yang tak terpahami. Kepercayaan dan iman diperlakukan secara berbeda hanya ketika aspek-aspek khusus ingin ditekankan dalam wacana-wacana keagamaan atau teologis.

Sebenarnya, kata "iman" telah beberapa kali mengalami perubahan makna sepanjang zaman. Secara keagamaan, iman tentunya adalah pengetahuan akal dan hati yang mengindikasikan soal dasar dan menyeluruh dari jiwa dan pikiran manusia sebagai 'suatu keadaan dasar yang menentukan perilaku dan keberadaan manusia.' Berbeda dengan kepercayaan, iman bukan semata-mata masalah pribadi, atau hanyalah keputusan yang bersifat pribadi yang tidak berhubungan dengan yang lainnya. Sebenarnya, dalam teologi Kristen, baik kepercayaan maupun iman tidak dapat dianggap hal pribadi atau hasil dari pikiran, emosi atau keinginan pribadi; sebaliknya kepercayaan dan iman berasal dari Allah dan wahyu Allah. Itulah sebabnya dikatakan, "Walaupun kepercayaan adalah hasil dari pikiran, pendirian atau pengalaman religius dari komitmen pribadi, tetapi kepercayaan bukanlah semata-mata hal pribadi." Iman adalah tanggapan atau pernyataan tanggapan, ketika seseorang merenungkan Allah serta karya dan penyataan-Nya. Secara sederhana, sifat positif dari tanggapan seperti itu disebut "iman," sedangkan sifat negatifnya disebut "ketidakpercayaan" atau "kepercayaan jahat atau sesat."

Bible

Persoalannya menjadi lebih rumit pembahasannya ketika kita merenungkan atau menganalisis masalah tersebut secara teologis. Hal ini dikarenakan oleh kenyataan bahwa kepercayaan dan iman tidak hanya tentang pendirian, agama dan komitmen seseorang. Iman sebenarnya adalah jumlah keseluruhan dari pikiran, perilaku dan keberadaan seseorang, bahkan jaminan dan kepastian eksistensi seseorang. Inilah sebabnya mengapa penulis kitab Ibrani memberikan pernyataan yang membingungkan, tetapi meyakinkan itu, bahwa, "Iman adalah dasar dari segala sesuatu yang kita harapkan dan bukti dari segala sesuatu yang tidak kita lihat!" (Ibrani 11:1)

Makalah ini dimaksudkan untuk membahas di dalam kerangka filosofis, dengan menyajikan suatu refleksi anatomi yang positif, di dalam wacana teologis dan disertai kepedulian pastoral, tentang masalah tersebut. Tujuan utamanya adalah untuk menjelaskan secara terperinci unsur-unsur iman, hakikat, makna, konsekuensi dan dampak-dampak iman kepercayaan dalam kehidupan orang-orang yang memilikinya. Penulis berharap bahwa gereja akan memiliki pengertian yang lebih baik tentang Kebenaran yang dipercayakan kepada kita dalam konteks pastoral, sehingga kita dapat memegang teguh iman yang kita miliki dan lebih berbuah dan setia di dalam gereja, maupun di dalam masyarakat kita.

Penjelasan Mengenai Unsur-Unsur Iman

Secara Alkitabiah, Allah adalah satu-satunya sumber iman dan Firman-Nya adalah dasar iman kita. Tanpa Allah dan Firman Allah, tidak akan pernah ada iman, dan kita pun tidak membutuhkan iman. Sebagaimana hubungan antara Allah dan Firman-Nya, demikian pula seharusnya hubungan iman dengan Firman Tuhan. Iman selalu berkembang ketika Roh Allah bekerja dan manusia menanggapi secara kooperatif. Secara sederhana, iman tidak dapat datang dari manusia, atau atas inisiatif manusia, juga tidak dapat dilengkapi oleh manusia. Seperti yang pernah dikemukakan Paulus, "Iman timbul dari pendengaran, dan pendengaran oleh firman Kristus ...." "Sebab segala sesuatu adalah dari Dia, dan oleh Dia, dan kepada Dia: Bagi Dialah kemuliaan sampai selama-lamanya!" (Roma 10:17; 11:36). Allah ialah yang pertama memberi kita Firman-Nya, dan Roh Kudus yang bekerja dalam cara yang khusus untuk membuat kita berbalik kepada Allah dari berhala-berhala untuk melayani Allah yang hidup dan yang benar (1 Tesalonika 1:9).

Oleh karena itu, secara teologis, iman itu murni pemberian Allah. Adalah Allah, yang dalam kemurahan-Nya, menyatakan Firman-Nya kepada kita melalui wahyu, inkarnasi, pengilhaman dan penulisan Alkitab, dan penyataan, untuk membawa kita mendengar Firman-Nya dan menanggapi panggilan-Nya kepada pertobatan dan pengampunan dosa.

Namun, dari sudut pandang manusia, iman harus dimengerti sebagai tanggapan dan perilaku manusia yang sepantasnya serta aktual terhadap kehadiran Allah melalui penyajian Firman-Nya. Dalam teologi tradisional, Alkitab menggambarkan iman dalam 3 cara, yaitu, iman intelektual (noticia), iman perasaan (assensus), dan iman kehendak (fiducia); untuk mengindikasikan unsur-unsur intelektual, emosional dan kemauan dalam iman serta pengaruh-pengaruhnya pada keberadaan manusia, secara berurutan. Semua ini dihasilkan dari pekerjaan Roh Kudus melalui Firman dari penyajian Firman serta pernyataan-Nya. Firman itu membuka hati manusia dan memperbarui pikiran mereka agar mereka dapat mengenal Allah dan wahyu-Nya. Demikianlah, manusia mulai mengetahui kebodohan, kesia-siaan, kebandelan dan kegelapan dari keberadaannya yang mula-mula. Di bawah penerangan Allah, pikiran kita mulai menyadari dan merasakan kesedihan yang mendalam akan kehidupan kita yang berdosa, kemudian dengan rela dan senang menyetujui teguran dari Roh, selagi hati kita tersayat dan berbalik kepada Allah (lihat Kisah Para Rasul 2:37). Akhirnya, kita dapat dengan bahagia memercayakan diri kepada Allah dan Firman-Nya, dan menerima penghakiman-Nya tanpa syarat, untuk kemudian menerima anugerah pengampunan-Nya menuju regenerasi untuk memasuki kerajaan dari Anak-Nya yang terkasih (Kolose 1:13).

Sebenarnya, baik iman intelektual maupun iman perasaan adalah keadaan pikiran dalam alam intelektual dan emosional. Secara berurutan keduanya disebut "pengetahuan intelektual" dan "pengetahuan indrawi. Keduanya disebut "iman yang sementara," karena keduanya dibatasi oleh hal-hal fisik dan eksistensial atau pengalaman. Karena fakta bahwa iman yang sementara berserah kepada bukti-bukti faktual dan fisik, maka iman sementara itu rentan untuk berubah dan menghilang dalam ruang dan waktu. Tidak diragukan, iman intelektual dan iman indra memiliki kepastian faktual; namun keduanya bersifat sementara sehingga tidak bertahan lama. Inilah tepatnya, alasan mengapa kebanyakan gereja tradisional menemukan dirinya mengalami kesulitan untuk menerima gerakan Karismatik dan pekerjaannya di dalam gereja.

Sejauh berbicara mengenai iman, pengetahuan intelektual dan pengetahuan indera memerlukan keputusan yang berkemauan dan komitmen untuk menyelesaikan bagiannya. Keduanya membutuhkan penanaman Firman untuk membangun kepenuhannya untuk dapat disebut "iman yang sejati."

Dalam teologi, komitmen yang berkemauan disebut "fiducia", atau 'mempercayakan diri' (trust). Dalam konteks ini, keimanan yang memercayakan diri adalah suatu bentuk yang sama sekali berbeda dari iman. Iman yang memercayakan diri tidak hanya peduli tentang kemauan, pilihan, keputusan, komitmen dan tindakan semata-mata. Sebenarnya, iman yang memercayakan diri untuk dinilai oleh obyek iman, yang merupakan sasaran iman, bukan oleh iman itu sendiri. Yang dipercaya, dan bukan yang memercayai, yang menentukan kepastiannya, maknanya dan nilai dari iman yang memercayakan diri itu. Dengan perkataan lain, dalam iman yang memercayakan diri, fokusnya bukan hanya kepada keputusan dan tindakan iman yang memercayakan diri itu saja; melainkan haruslah pada apa yang seseorang percayai dan siapa yang dia percayai. Dalam doktrin kristiani, orang Kristen mempunyai dua objek iman yang memercayakan diri itu, yakni: Kebenaran atau Firman Allah dan Allah sendiri. Yang pertama disebut "iman berpreposisi" atau "iman doktrinal," sedangkan yang kemudian disebut "iman relasional" atau "iman yang hidup," yakni isi kebenaran atau isi kehidupan dari iman. Secara sederhana, itu berarti mengetahui apa yang engkau percayai dan siapa yang engkau percayai; dan mau mati bagi imanmu, seperti halnya mau hidup baginya (atau bagi-Nya) pada saat situasi mengharuskannya.

Walaupun orang-orang setia tidak takut mati; tetapi mereka lebih suka hidup bagi iman mereka. Dilaporkan, ketika Uni Soviet yang dulu terpecah, banyak pejabat-pejabat tingkat tinggi melakukan bunuh diri. Alasannya antara lain, adalah: bahwa mereka memiliki iman dalam komunisme dan percaya bahwa ada sesuatu yang layak untuk ditebus dengan kematian, tetapi sekarang mereka tidak menemukan sesuatu yang layak untuk dijalani dalam kehidupan. Sementara kematian memang memberi kesaksian pada sesuatu yang dipercayai seseorang, tetapi ketika ia menemukan bahwa hidup tidak menyatakan kebenaran, apa gunanya lagi hidup baginya? Sejauh berbicara mengenai Kebenaran, ketika seseorang berkomitmen pada ideologi yang tidak benar, mungkin akan ada banyak alasan yang layak untuk mati baginya, karena kematian mengakhiri segala hal secara tidak dapat dikembalikan lagi, tetapi tidak ada satupun alasan untuk hidup baginya, karena untuk hidup terus adalah suatu penantian yang tidak ada akhirnya dan sia-sia.

Signifikansi iman Kristen yang sangat menonjol adalah, bahwa iman Kristen memiliki Kebenaran sebagai presuposisinya; juga memiliki Kristus yang hidup, Sang Juru Selamat, sebagai dasar hidup dan relasi bagi imannya. Dalam konteks seperti itu, iman percaya membuat seorang percaya tidak hanya rela mati bagi apa yang diyakininya, tetapi juga membuatnya mampu untuk terus menjalani apa yang diyakininya dalam kehidupan. Karena Ia hidup, maka kita hidup, dan kita akan melayani-Nya dengan gembira (Yohanes 14:19, 12:24-26). Karena memiliki iman yang mempercayakan diri seperti ini, kita dapat berseru seperti Paulus, "Karena bagiku hidup adalah Kristus ..." dan "... hidupku yang kuhidupi sekarang di dalam daging, adalah hidup oleh iman dalam Anak Allah yang telah mengasihi aku dan menyerahkan diri-Nya untuk aku." (Filipi 1:21; Galatia 2:20).

Intisari Iman - Firman Allah

dalam iman yang memercayakan diri, fokusnya bukan hanya kepada keputusan dan tindakan iman yang memercayakan diri itu saja; melainkan haruslah pada apa yang seseorang percayai dan siapa yang dia percayai.
  1. Facebook
  2. Twitter
  3. WhatsApp
  4. Telegram

Analisis filosofis menghasilkan fakta bahwa segala sesuatu yang memiliki makna kekal atau nilai kekal harus memiliki hubungan langsung dengan Kebenaran. Manusia tidak dapat hidup tanpa iman. Ini adalah akibat fakta bahwa Allah telah membebankan kekekalan pada manusia (Pengkhotbah 3:10). Jiwa yang kekal menjadi pemacu yang tidak ada akhirnya, mendorong manusia untuk mengejar apa yang kekal dan abadi -- Kebenaran. Kita semua tahu bahwa manifestasi-manifestasi kebenaran yang luar biasa di dalam dunia fisik adalah fakta-fakta yang konkrit. Kita juga pasti tahu bahwa manifestasi-manifestasi konkret/pengaktualisasian kebenaran itu (fakta-fakta) belum tentu Kebenaran itu sendiri. Namun demikian, kita tetap tidak henti-hentinya mencari fakta-fakta, seolah-olah kebenaran adalah jumlah keseluruhan dari fakta-fakta. Meskipun ini tidak jelas, kita tetap rela dan bahkan terus-menerus menderita begitu banyak untuk pengejaran yang demikian sia-sia. Mengambil dalil kerangka struktur pengertian dari Kant, pengejaran terus-menerus yang seperti itu dengan jelas mengindikasikan kita yakin bahwa Kebenaran betul-betul ada. Kita bahkan rela mendedikasikan diri kita pada pengejarannya yang tiada akhir dan dengan gembira menyerahkan diri kita di bawahnya.

Dalam pandangan kristiani, kebenaran tidak hanya bersandar pada Allah yang kekal semata; kebenaran juga bersandar pada wahyu yang Allah telah berikan kepada manusia. Inilah alasan bagi kita untuk mengatakan bahwa intisari dari iman bukanlah pada fakta-fakta, atau keyakinan seseorang, ataupun pada kepercayaan diri seseorang atas fakta-fakta semacam itu, tetapi pada Firman Allah yang diwahyukan. Karena Firman berasal dari Allah yang kekal, Firman adalah saksi-Nya. Firman itu telah menjadi daging dalam Kristus dan tinggal di antara kita. Firman itu dinyatakan dan dipelihara oleh gereja yang telah ditebus Kristus. Untuk alasan ini, teologi menjadikan Gereja sebagai pelindung iman, sebagai yang memiliki simpanan iman. Alkitab menyebut gereja sebagai tiang penopang dan dasar dari Kebenaran. (1 Timotius 3:15).

Seseorang yang berada di dalam Gereja tidak akan hanya memiliki iman terhadap Injil (fides evangelica) untuk menjadi anak Allah; ia akan terpelihara dengan baik dalam Firman Allah dan bertambah dalam iman dan berkepenuhannya. Oleh karena itu, iman yang sejati tidak hanya dimulai oleh Firman, iman yang sejati juga harus ditanam di tanah yang subur: Gereja. Iman yang sejati perlu dilestarikan dan dipelihara dalam persekutuan yang penuh kasih dari orang-orang pilihan Allah. Dalam konteks ini, Roh Kudus akan menyucikan kita dan memurnikan iman kita dengan Firman-Nya untuk membuat kita berbuah. Inilah tujuan utama teologi pastoral dan pelayanan.

(Bersambung)

Audio: Anatomi Kepercayaan dan Iman (1)

Sumber: 

Sumber diambil dari:

Judul Buku : Jurnal Teologi Stulos, Volume 4, Nomor 1, Juni 2005
Judul Artikel :Anatomi Kepercayaan dan Iman: Sebuah
Refleksi Teologis dan Pastoral
Penulis : Joseph Tong, Ph.D.
Penerjemah : -
Penerbit : Sekolah Tinggi Teologia Bandung
Halaman : 103-108

Perspektif Kristen Tentang Ekonomi (1)

Editorial: 

Dear e-Reformed netters,

Artikel yang saya kirim ini cukup panjang, karena itu saya akan persingkat prakatanya dengan menyimpulkan bahwa orang Kristen yang dekat dengan Tuhan dapat dilihat dari pertanggungjawaban sikapnya terhadap uang. Nah, selamat membaca, kiranya bisa menjadi bahan perenungan untuk bulan ini. Nantikan sambungan artikel yang ditulis oleh Paul Hidayat ini di edisi e-Reformed mendatang.

In Christ,
Yulia
< yulia@in-christ.net >

Penulis: 
Paul Hidayat
Edisi: 
075/VI/2006
Isi: 

PERSPEKTIF KRISTEN TENTANG EKONOMI (1)

Peristiwa yang belum lama ini menimpa Indonesia dan kawasan Asia Timur dalam bidang ekonomi dan politik, tepat bila dinilai sebagai pengukuhan kebenaran firman yang diucapkan Tuhan Yesus dalam perumpamaan-Nya "dua macam dasar" (Mat. 7:24-27). Perumpamaan Tuhan Yesus yang diambil dari fakta hidup sehari-hari itu jelas mengandung "common sense" yang berlaku bukan saja bagi pembangunan kehidupan spiritual tetapi juga bagi seluruh aspek kehidupan termasuk pembangunan kehidupan sosial ekonomi-politik. Bila kehidupan sosial- ekonomi-politik tidak dibangun atas dasar-dasar yang kokoh yaitu prinsip-prinsip keadilan, kejujuran, kerja keras dan cerdas, pelaksanaan hukum secara benar, pencerdasan bangsa, sikap hemat, dlsb., maka hal-hal yang berhasil dibangun betapa pun megahnya ternyata hanya berdiri di atas dasar-dasar yang rapuh.

Kebangkrutan ekonomi dan kejatuhan kepemimpinan politik belum lama ini adalah akibat dari diabaikannya prasyarat-prasyarat tersebut. Penjarahan dan perusakan yang belum lama ini terjadi di berbagai kota kita, betapapun dengan pedih dan marah kita menyikapinya, hanya mungkin terjadi di dalam kondisi di mana para penguasa dan pengusaha lebih dulu telah menjarahi kalangan bawah dan membangun kegemilangan di atas kehancuran banyak pihak. Prinsip yang sama pun berlaku juga untuk lingkup lebih luas. Lautan api yang melahap ratusan ribu hektar hutan-hutan di Kalimantan, Sumatera; perikliman dunia yang beberapa tahun terakhir ini menjadi kacau; malapetaka El Nino yang mungkin sekali akan berkelanjutan dengan datangnya La Nina; semua kemungkinan besar diakibatkan oleh kebijakan dan perilaku ekonomi-politik yang memperkosa prinsip-prinsip ekologis. Badai memang menyukai negeri tempat orang menabur angin.

Tak terduga bahwa ekonomi Asia akan goncang, ekonomi Indonesia akan runtuh. Sejak tahun 1970-an ketika seluruh dunia mengalami lesu darah ekonomi, pertumbuhan ekonomi Asia Timur justru deras mencengangkan. Hong Kong, Taiwan, Singapura, Korea Selatan, disusul Thailand, Indonesia, Malaysia, menjadi naga-naga ekonomi mengikuti kiprah Jepang, sang naga ekonomi besar. Sampai dengan kwartal ketiga tahun 1997, Indonesia mampu mencapai tingkat pertumbuhan antara 6,4 sampai 7% secara berkesinambungan. Selama kurun waktu tersebut, tiap RAPBN selalu mencerminkan gairah pertumbuhan yang tak habis-habis. Karena keberhasilan itulah, Indonesia beroleh reputasi internasional. Indonesia begitu yakin akan segera memasuki "era lepas landas", berkiprah besar dalam era pasar bebas Asia dan berikutnya dunia. Keyakinan ini dipompakan setelah berhasil menjadi negara berswasembada pangan, meningkatkan pendapatan per kapita sampai 18 kali dalam kurun waktu 30 tahun, dari US $ 60 di tahun 1966 menjadi US $ 1100 di tahun 1996, menyebabkan persentase penduduk yang berada di bawah garis kemiskinan merosot drastis dari 60% menjadi hanya 11% dari total penduduk, berkembang dari negara pertanian menjadi negara industri bahkan tak kepalang tanggung memasuki sektor industri pesawat dirgantara. Ditambah dengan sediaan cadangan devisa yang dianggap cukup dan tingkat inflasi di bawah dua digit, para pemimpin beranggapan bahwa fundamental ekonomi Indonesia sangat baik.

Tetapi bangunan ekonomi megah tersebut ternyata menjulang di atas dasar-dasar yang rapuh dan menggunakan bahan-bahan konstruksi yang keropos. Komentar Paul Krugman yang semula dianggap menyakitkan dan tidak benar namun kemudian ternyata benar bahwa mukjizat ekonomi Asia hanya mitos belaka, justru seharusnya lebih dipertajam dengan 2pernyataan bahwa yang kita alami sekarang adalah kutuk dari membangun mukjizat palsu dalam bidang ekonomi (the curse of fake economic miracle). Tingkah laku yang menyebabkan keruntuhan ekonomi itu adalah hal-hal yang melanggar prinsip moral dan etika. Kebangunan ekonomi Asia terutama didorong oleh faktor suntikan modal asing, upah kerja yang rendah, penggunaan pinjaman asing berbunga rendah bukan untuk produksi tetapi untuk prestise (mega proyek, property yang sering dianggap seperti milik sendiri), sementara sistem ekonominya tidak sehat dan berbiaya tinggi, pelaku manufakturnya tidak andal, teknologinya kepalang tanggung, mentalitas budayanya bapakisme dan wawasan hidupnya tentang realita dan waktu bersifat mistis melihat hidup sebagai roda pedati menghasilkan sikap hidup nrimo.

Ketika imbas gempa moneter di Thailand, bergerak ke Indonesia, mulailah rentetan keruntuhan ekonomi Indonesia. Nilai rupiah terhadap dolar terbanting berulang kali, menjadi tidak sampai seperempatnya dari nilai rupiah pada kwartal ketiga tahun 1997. Harga-harga membubung tinggi, bank-bank bertumbangan, perusahaan-perusahaan hancur, PHK melonjak, jumlah pengangguran meningkat menjadi sekitar 20 juta orang, harga saham anjlok, hutang luar negeri menjadi membengkak hitungannya dalam rupiah dan tidak terbayar, BBM dinaikkan, harga- harga melangit. Hal-hal tadi dan masih banyak lagi lainnya menjadi terowongan gelap yang di dalamnya keruntuhan ekonomi Indonesia terjun bebas belum lagi menyentuh dasar. Ketika tulisan ini disusun, empat bulan pertama 1998 inflasi sudah mendekati 45% (diramalkan akan sekitar 85% tahun 1998) dan tingkat pertumbuhan melorot terus dari 0%, ke -5% dan belakangan diramalkan lagi akan -20%. Tiba-tiba bagaikan mimpi buruk di siang bolong, seluruh Indonesia jatuh miskin. Tingkat pendapatan per kapita anjlok menjadi setara dengan penduduk Zambia. 2Yang sudah miskin makin jatuh ke bawah, yang sempat mencicipi kenikmatan hidup kelas menengah harus kembali lagi paling tidak ke kelas menengah bawah, yang kaya bahkan konglomerat pun jatuh miskin karena andaikan seluruh aset yang dimiliki dijual pun tetap tidak memadai untuk membayar hutang-hutang luar negeri. Dan karena banyak negara tetangga lain sedang menelan pil pahit yang sama, ratusan ribu TKI mulai dipulangkan ke tanah air, membuat masukan devisa menipis dan masalah bertambah seiring bertambahnya pengangguran. "Berkat" dari ekspor yang diharapkan, akibat melorotnya nilai rupiah, ternyata tidak terjadi, sebab harga-harga bahan baku yang harus diimport tidak mungkin lagi dapat dijangkau. Penyakit ekonomi yang dialami Indonesia kini sudah menjadi gejala komplikasi penyakit yang parah: depresiasi rupiah, kenaikan harga-harga, inflasi, kebangkrutan perusahaan dan perbankan, PHK, tingkat pengangguran bertambah, kerawanan politik, ketidakpercayaan investor asing, semua ini membuat perekonomian Indonesia makin terus terpuruk.

Mengapa dengan fundamental ekonomi yang kuat dan sehat itu, ekonomi Indonesia goncang dan hancur juga? Mengapa naga ini kini mendadak berubah menjadi cacing belaka? Lalu ramai-ramai orang membuat berbagai macam analisis. Karena tidak jujur, tidak mawas diri, kambing-kambing hitam pun dicari. "Soros sampai Sosro" (menggunakan permainan kata Wimar Witoelar, Kompas, 23 Nov. 1997, hlm. 2) yaitu para spekulan manca negara dan dalam negeri dituduh sebagai penyebab semua masalah ekonomi ini. Baru sesudah masalah ekonomi ini berubah menjadi masalah politik, krisis moneter berubah menjadi krisis kepercayaan, ramai- ramai; orang meneriakkan pengakuan bahwa penyebab semuanya adalah dilanggarnya prinsip-prinsip moral. Fondasi bangunan ekonomi Indonsia itu ternyata bernama korupsi dan kolusi, lalu bahan-bahan konstruksi yang dipakai untuk mengisi sistem perekonomian Indonesia adalah nepotisme dan koncoisme. Beramai-ramai pula orang menyerukan perlunya reformasi di segala bidang. Semoga saja ramai-ramainya teriakan dan tudingan ini bukan sekadar latah, gejala lain dari sakit yang entah sudah stadium ke berapa diidap bangsa kita.

Kegagalan Gereja

Seharusnya gereja di Indonesia mengaku jujur bahwa problem ekonomi di Indonesia ini tidak lepas juga dari andil kegagalan Gereja, teolog dan umat Kristen di Indonesia dalam menaati kebenaran firman Tuhan. Gereja gagal memberikan pengajaran yang jelas dan benar tentang implikasi- implikasi kebenaran Alkitab ke dalam dunia ekonomi, tentang prinsip- prinsip etika ekonomi dan moral bisnis, baik kepada warganya maupun menyuarakannya sebagai wawasan dan sikap Kristen tentang ekonomi kepada dunia luas. Sebaliknya Gereja sendiri malah cenderung membuat kesalahan fatal memahami berita keselamatan dari Allah dalam simbol- simbol moneter (Albert Widjaja, "Perspektif Ekonomi-Teologis: Peran serta Kekristenan dalam Perkembangan Ekonomi di Era Globalisasi Bagian I," hlm. 8). Kebanyakan gereja yang "maju" adalah gereja-gereja yang bersemangat mengabarkan injil kemakmuran dan kesehatan, gereja-gereja yang pandai memanfaatkan teknik, metode dan alat-alat canggih yang sama seperti dikembangkan dalam teknik-teknik marketing. Kebanyakan teori tentang kemajuan pertumbuhan gereja menggunakan ukuran-ukuran kuantitatif dan bukan perilaku pertobatan sampai ke segi-segi kehidupan ekonomi. Sebaliknya dari menyuarakan pesan kenabian dan mengemban gaya hidup prihatin yang konsisten dengan firman Tuhan, gereja sekadar membeo mengikuti berbagai suara dan aspirasi yang dunia ini canangkan.

Para hamba Tuhan atau teolog pun terbagi ke dalam dua kutub. Yang rohani sempit tidak paham tentang apa yang sebenarnya terjadi dalam dunia ekonomi-politik. Lalu mereka menyampaikan pesan-pesan surgawi yang tidak kontekstual dengan kenyataan dan pergumulan hidup sehari- hari. Akibatnya, di gereja orang bertingkah rohani, di dunia orang kembali ke sifat asalnya yang sama dengan orang dunia yang tidak kenal Tuhan: serakah, takut berbuat benar, licik, menghalalkan segala cara, dll. Yang duniawi luas tidak lagi memercayai kebenaran-kebenaran rohani seperti yang dinyatakan firman Allah, meski berupaya tetap punya peran dalam dunia ini. Namun karena prinsip, landasan berpikir, dan sumber wibawa yang diandalkan tidak beda dengan yang dipahami orang dunia, usaha mereka menjadi sia-sia. Situasi itu terjadi sebab kebanyakan sekolah-sekolah teologi tidak mampu mengembangkan pola pendidikan yang solid berdasarkan komitmen pada kebenaran Alkitab dan yang jernih menarik implikasi-implikasi teologis kebenaran tersebut ke segala aspek kehidupan.

Tidak heran bila para warga gereja yang dibesarkan dalam suasana kehidupan gereja yang notabene sama memberhalakan mamon dan sama sekularnya dengan dunia ini pun meneruskan itu dalam perilaku bisnis dan kerja mereka. Tidak banyak Kristen yang memiliki prinsip berani membayar harga untuk tidak membayar suap demi melicinkan tender, misalnya. Tidak banyak Kristen yang tidak main tempel penguasa untuk beroleh kemudahan sehingga benar-benar mencapai kemajuan bisnis karena cara-cara yang fair dan benar. Bila tiap kali berurusan dengan aparat pemerintah ketika mengurus KTP, IMB, paspor, pajak, tilang, dlsb. kita selalu siap dengan salam tempel; bila budaya dusta (baca: tidak transparan), suap, sogok, korupsi, kolusi, koncoisme sama biasanya kita lakukan dalam berbagai urusan; bila para pendeta sendiri mengartikan perannya bukan sebagai panggilan tetapi sebagai karir atau profesi; bila gereja sendiri pecah karena hal-hal seperti perebutan aset, penggelapan, ketidakjujuran; tidak heran bila dunia ekonomi kita kini terpuruk dan dunia politik kita terancam hal yang sama.

Kiranya kealpaan gereja selama ini tidak kita teruskan dalam keterlenaan seterusnya. Momentum kini, ketika orang menyadari perlunya reformasi dan pentingnya mentalitas, sikap kerja, etika ekonomi, moral bisnis, justru harus diisi dengan pertobatan gereja dan pribadi Kristen dari dosa-dosa ekonomi yang selama ini telah kita buat, baik terhadap Allah maupun terhadap sesama kita. Kita yang mengaku telah mengalami kuasa transformasi Allah atas hidup kita seharusnya konsisten mengajarkan prinsip-prinsip kehidupan ekonomi dan moral bisnis yang Alkitabiah agar boleh terjadi penghayatan dan pewartaan yang memberi arah yang benar dalam momentum reformasi ini. Inilah kesempatan untuk gereja menyatakan kebenaran ekonomi Allah (oikonomia tou Theou = tugas penyelenggaraan kasih karunia Allah, Ef. 3:2) yang meliputi seluruh kehidupan secara lengkap dan utuh. Tulisan ini ingin menelusuri ajaran Alkitab tentang isu-isu ekonomi, mempelajari implikasi ekonomis dari beberapa prinsip teologis Kristen, membandingkannya dengan berbagai pandangan tentang isu-isu ekonomi yang dianut orang, meneropong berbagai permasalahan yang relevan dalam bidang ekonomi dan mencoba menarik petunjuk-petunjuk prinsipil praktis bagi kehidupan ekonomi kita masa kini.

Alkitab tentang Isu-isu Ekonomi

Di awal upaya menemukan petunjuk dan prinsip ekonomi dalam Alkitab, kita harus berhadapan dulu dengan berbagai pertanyaan kritis. Ada tiga keberatan yang sering diajukan orang. Pertama, mungkinkah menarik prinsip-prinsip universal dan permanen dari Alkitab yang lahir di tengah kultur yang zaman dan lokasinya berbeda jauh dari dunia dan negara kita kini? Kedua, tepatkah menarik kesimpulan-kesimpulan tentang prinsip-prinsip ekonomi dari suatu kitab yang pada hakikatnya adalah kitab peribadahan? Ketiga, bagaimana mungkin memberlakukan bagian-bagian Alkitab yang berbicara tentang berbagai isu ekonomi, bila kebanyakan isi Alkitab itu terdapat dalam Perjanjian Lama yang tidak memisahkan kehidupan bernegara dari kehidupan beragama (baca: teokrasi), padahal kita tidak hidup dalam negara yang teokratis. Seiring dengan itu, ada keberatan terhadap diberlakukannya prinsip- prinsip etis ekonomi dalam Perjanjian Baru kepada konteks masyarakat luas karena anggapan bahwa ajaran-ajaran itu hanya bisa diberlakukan di antara umat tebusan Allah dan tidak di antara orang- orang yang belum ditebus.

Terhadap keberatan pertama dapat kita ingat bahwa memang ada perbedaan dan kesenjangan budaya/zaman antara dunia Alkitab dan dunia modern masa kini. Namun justru pengambilan prinsip tersebut bisa terjadi karena mempertimbangkan dan bukan mengabaikan adanya kesenjangan itu. Dengan demikian keberatan tentang kesenjangan budaya ini sebenarnya dapat dijawab melalui usaha-usaha penafsiran Alkitab yang teliti mempertimbangkan perbedaan konteks zaman dan budaya Alkitab dengan konteks zaman dan budaya kita kini.

Terhadap keberatan kedua, kita akui bahwa Alkitab memang bukan buku teks ekonomi, juga bukan buku teks ilmu-ilmu lain, bahkan bukan pula buku teks dogma dan teologi. Dengan mengatakan demikian artinya kita menyadari bahwa Alkitab tidak berisikan uraian deskriptif, analitis, dan sistematis tentang hal-hal tadi seperti yang kita temukan dalam buku-buku sumber pelajaran. Namun mengatakan demikian tidak harus berarti bahwa kita tidak dapat melakukan abstraksi untuk menemukan pola-pola wawasan dan petunjuk-petunjuk prinsipil tentang berbagai segi kehidupan di dunia ini dari dalam isi Alkitab. Bila dari Alkitab kita dapat menarik prinsip-prinsip dogmatis, seyogianya tentang hal- hal yang mencakup segi ekonomi kehidupan manusia pun dapat kita simpulkan dari firman Allah ini sebab Alkitab adalah firman Allah dalam kata-kata manusia, yaitu kata-kata yang lahir untuk dan dari dalam pergumulan-pergumulan nyata kehidupan dengan berbagai aspeknya. Seperti halnya ketika Allah bersabda, Allah tidak saja membentangkan diri-Nya kepada manusia tetapi juga membentangkan bagaimana adanya dan bagaimana harusnya manusia, demikianlah isi Alkitab adalah sekaligus prinsip-prinsip spiritual teologis yang mewujud nyata di dalam segi- segi kehidupan sosial, ekonomi, budaya, politis, pendidikan, dlsb. Oleh karena kita tidak hendak mengambil model-model sistem ekonomi secara rinci yang berasal dari situasi masyarakat nomad dan agraris, melainkan prinsip-prinsip dasar etika ekonomi dan moral bisnis, tentunya keberatan tadi tidak tepat.

Keberatan terakhir dapat kita sanggah dengan mengingat bahwa sebagian besar prinsip-prinsip yang Tuhan nyatakan juga diberlakukan (baca: dikaruniakan) Tuhan atas bangsa-bangsa lain dan orang bukan Kristen pada umumnya. Hal mana dapat kita lihat dari teguran-teguran para nabi seperti Yesaya kepada bangsa-bangsa sekitar Israel. Dengan mengingat bahwa di dalam penyataan dan anugerah umum Allah bekerja juga di dalam seluruh umat manusia, memberikan nurani, kerinduan moral, kepekaan etis dan agamawi, serta kekuatan kehendak untuk memperjuangkan hal-hal yang indah, tertib, dan benar, maka menyuarakan dan memberlakukan prinsip-prinsip wahyu ke dalam masyarakat luas adalah tindakan nyata dari keyakinan bahwa Allah bekerja serasi dalam penyataan umum maupun penyataan khusus. Dengan demikian keberatan ketiga ini pun pada intinya telah teratasi.

Singkat kata, di balik keberatan-keberatan itu terdapat awal dan akhir berwawasan yang harus kita tentang sebagai orang beriman yaitu menyingkirkan Allah dari realitas ekonomi. Justru kebobrokan ekonomi- politik yang sedang kita derita kini adalah akibat dari orang-orang yang berpola pikir dan bertingkah laku memberontak menolak Allah dari percaturan bisnis dan kehidupan ekonomi. Apabila Kristen dan gereja ingin berkontribusi nyata menyebabkan reformasi ekonomi berarah benar, maka haruslah kita mulai dari pemikiran alkitabiah.

Apa kata Alkitab tentang isu-isu ekonomi? Kita akan terkejut atas fakta bahwa Alkitab begitu banyak berbicara tentang isu-isu ekonomi. Dari kisah yang sedang kita siap untuk masuki, penciptaan, kejatuhan, perjanjian dengan Nuh, perjanjian dengan Abraham, keluaran dari Mesir, pemberian Sepuluh Hukum, kitab-kitab hikmat, kitab-kitab para rabi, ajaran Tuhan Yesus, gaya hidup jemaat mula-mula, ajaran para rasul, kita temui banyak sekali bahan untuk menyimpulkan prinsip-prinsip ekonomi.

Kisah penciptaan (Kej. 1-2) adalah fondasi di atas mana seluruh realitas ciptaan berdiri dan di dalam terangnya realitas harus kita pahami. Apa yang dipaparkan dalam kisah penciptaan, apabila dibandingkan dengan pandangan dan sikap bangsa-bangsa purba di Timur Tengah, adalah sesuatu yang radikal. Di dalamnya kita menjumpai suatu visi ekonomi sebagai implikasi dari kebenaran-kebenaran teologis yang Allah tanamkan dalam umat-Nya. Di tengah pengilahian alam dan benda yang tidak memungkinkan perlakuan objektif eksploratif terhadap alam serta tidak menumbuhkan visi ekonomi, umat Tuhan justru diajar untuk melihat adanya perbedaan ontologis antara Allah dan segenap ciptaan, juga adanya kesamaan dan ketidaksamaan antara manusia dan alam serta makhluk-makhluk lainnya. Terhadap Allah yang menciptakan manusia dan yang menamai manusia, manusia menyapa Allah dengan "Engkau". Terhadap alam, manusia ditempatkan Allah sebagai wakil-Nya yang bertanggung jawab untuk mengelola dan memelihara alam demi kemuliaan Allah dan demi kebaikan manusia dan segenap ciptaan. Di dalam pemahaman demikian, logis bertumbuh sikap ilmiah sebab manusia melihat alam sebagai sesuatu yang boleh diusahakan, ditaklukkan, dan dikelola melalui keahlian, teknologi, institusi untuk membangun peradaban.

Umat Tuhan diajar untuk menerima alam sebagai hal yang baik adanya karena demikianlah keadaannya sebagai ciptaan Tuhan, dan karena itu kita boleh menerima dan memanfaatkan semuanya itu dalam semangat syukur kepada Allah. Di dalam tindakan Adam memberi nama kepada binatang-binatang, terlihat sekaligus posisi Adam yang lebih tinggi daripada binatang dan ciptaan lainnya, tetapi juga sikap Adam yang menghargai, memelihara dan bukan merusak ciptaan-ciptaan Tuhan itu.

Kisah penciptaan memberi kita prinsip ekonomi bahwa hanya Allah yang patut disembah dan dilayani oleh segenap hidup manusia, bahwa manusia diberi makna hidup yang sangat mulia oleh Allah, bahwa panggilan hidup manusia sebagai gambar Allah yang mulia itu adalah menjadi hamba Allah, bahwa alam dan segenap potensinya boleh diterima dan dikelola dengan penuh syukur oleh manusia, dan bahwa kekayaan alam atau pun kekayaan hasil dari tindak kreatif manusia mengelola alam itu bukan milik mutlak manusia tetapi Allah, sehingga tidak boleh diberi tempat mutlak di dalam keberadaan manusia. Tidak ada tempat bagi kehidupan ekonomi yang egosentris, yang serakah, atau yang kebalikannya yaitu merendahkan benda dalam hidup bertarak, atau sikap tidak ilmiah yang melumpuhkan kehidupan ekonomi karena pantang menjamah alam dan materi yang dianggap suci ilahi.

Sayang sekali visi ekonomi yang sedemikian gemilang itu dirusakkan manusia dalam Kejatuhan kita di dalam Adam dan Hawa ke dalam dosa (Kej. 3). Manusia menerima aspirasi sesat, yaitu ingin menyamai Allah. Kisah kejatuhan ini bukan sekadar peristiwa sejarah tetapi pembedahan radikal dan peringatan untuk seluruh umat manusia. Dosa berarti menarik diri dari Allah, menjadikan diri "allah" bagi diri sendiri, membuat norma kita sendiri tentang apa yang baik dan apa yang jahat. Kejatuhan pada hakikatnya adalah daya yang berbalik membelokkan visi ekonomi penciptaan. Ekonomi Allah yang kini diganti oleh ekonomi manusia, berbalik menjadi mukjizat palsu penuh kutuk. Kerja bukan lagi tanggung jawab yang menyukakan tetapi membuat orang berjerih payah, bumi yang tadinya menjadi sumber penopang hidup berubah mengeluarkan onak duri, dan manusia sendiri yang tadinya makhluk ciptaan mulia sejak itu tinggal debu yang kembali kepada debu saja. Ekonomi manusia itu hanyalah kerajaan yang meluncur menuju kehancuran dan maut. Namun, puji Tuhan bahwa anugerah Tuhan menahan dampak kutuk dosa itu. Meski mengeluarkan onak duri, bumi masih juga mampu menumbuhkan padi yang memberi manusia beras untuk dimakan. Janji benih perempuan yang akan meremukkan kepala si penipu menunjukkan bahwa bumi kini bukan lagi firdaus, namun bukan juga neraka, tetapi adalah arena peperangan rohani yang akan ditebus dan dimenangkan oleh Sang Pengemban Janji itu.

Berturut-turut kita melihat akibat-akibat buruk dari ekonomi manusia (Kej. 4 dan 6). Diawali oleh konflik halus antara Adam dan Hawa, diikuti oleh pembantaian Habel oleh Kain, pembangunan kota penuh aspirasi jumawa manusia (Kain menamai kota itu dengan nama putranya) yang berpuncak pada pemberontakan masal manusia melawan Allah via menara Babel. Ketika Allah menindak manusia dan membuat perjanjian dengan orang pilihan-Nya yaitu Nuh, tampak beberapa hal. Pertama, Allah memperbarui perjanjian-Nya akan mempertahankan bumi dengan berbagai potensi baik yang telah diciptakan-Nya diawal zaman. Kedua, Allah menegaskan ulang wibawa manusia atas alam. Ketiga, meski manusia berkuasa atas binatang namun kini ditandai oleh takut manusia akan binatang buas dan penumpahan darah binatang untuk menopang hidup manusia. Dari ketiga hal ini jelaslah bahwa providensia Allah adalah upaya Allah untuk merombak ekonomi manusia agar berbalik arah kembali ke Ekonomi Allah. Namun providensia adalah sesuatu yang transisional dan temporal yang menantikan kedatangan transformasi total di dalam tindakan Allah dalam kepenuhan waktu.

Kitab Keluaran bukan saja sangat hakiki bagi eksistensi umat Allah Perjanjian Lama tetapi juga sangat fundamental bagi pemahaman kita agar lebih matang tentang visi ekonomi. Kitab Keluaran mengungkapkan kesetiaan Allah untuk mengembalikan manusia kepada Ekonomi Allah. Dosa bukan saja masalah individual tetapi juga masalah institusional. Allah memihak umat-Nya, melepaskan mereka dari perbudakan kejam rejim Firaun. Bila sebelumnya Allah meneguhkan kebaikan bumi ini bagi manusia, dalam Kitab Keluaran Allah memulihkan institusi demi kebaikan umat-Nya dengan menciptakan suatu umat perjanjian yang dianugerahi hukum-hukum kemerdekaan. Bagaimana kemerdekaan hidup individu dan sosial itu harus dihargai dan diisi kini dinyatakan Allah di dalam Sepuluh Hukum (Kel. 20), di dalam hukum-hukum ibadah di Kitab Imamat, di dalam aturan-aturan tentang bagaimana umat Allah harus memperlakukan sesamanya, pekerja-pekerjanya, institusi-institusi hukum dan peradilannya, tanah, binatang-binatang dan harta miliknya, hari kerja dan hari istirahatnya, hutang piutang, dlsb. Kita dapat membaca perhatian Allah yang sedemikian teliti yang mengatur berbagai aspek kehidupan ekonomi manusia agar umat Allah boleh mencerminkan Ekonomi Allah itu dalam Imamat 25, Ulangan 15, Ulangan 25, dll. Pelajaran yang dapat kita jadikan prinsip di sini adalah bahwa kemilikan, kerja, hidup sangat berharga karena berasal dari Allah. Karena itu manusia yang merdeka adalah manusia yang menghormati Allah, menghormati kemilikan dirinya dan sesamanya, mengisi hidup berekonomi dalam suasana syukur dan penuh sikap murah hati. Visi ekonomi Keluaran bukan visi sosialisme atau kapitalisme, tetapi visi ekonomi yang kudus sebagai akibat menghargai kepemilikan mutlak Allah, mensyukuri setiap pemberian Allah dalam sikap penatalayanan, dan ekonomi yang bergerak maju di dalam keadilan, kebenaran, kesucian, kebersyukuran, kepedulian, kemurahan hati, kejuangan ibadah, dan kesemarakan anugerah.

Pada intinya para nabi dan para penulis hikmat juga mengumandangkan visi Ekonomi Ilahi. Sebelum pembuangan, umat Allah kembali berbalik ke visi ekonomi yang berporoskan pada pemberontakan melawan Allah. Kisah Pembuangan adalah kebalikan total dari Kisah Keluaran. Oleh karena berpaling dari Allah kepada berhala-berhala yang intinya adalah memperilah alam dan materi, pada giliran berikutnya umat Tuhan mengalami kemerosotan dalam berbagai aspek hidup. Oleh karena budak- budak yang telah dimerdekakan Allah menjadi umat itu memperbudak sesamanya sendiri (lihat Amos), Allah membuang mereka kembali ke dalam perbudakan. Realisasi dosa manusia itu tampak dalam tingkah laku dan tindakan ekonomi yang menyimpang. Pengalaman ekonomi memang bisa menjadi salah satu ukuran apakah umat di dalam berkat Ekonomi Allah atau kutuk yang dijatuhkan Allah ke atas ekonomi manusia. Hukuman Allah dicanangkan bukan atas kesukaan menikmati kekayaan, tetapi atas kehidupan yang bergelimang dosa dan nafsu yang tidak mencerminkan dengan benar kegemilangan hidup dalam prinsip dominasi yang benar seperti yang Allah inginkan. Apabila kini segelintir orang mengartikan kelimpahan materi dan kesehatan sebagai fakta-fakta berkat Allah, sikap itu sebenarnya ada benarnya. Logikanya adalah, ketaatan kepada kehendak Allah berarti menempatkan diri serasi dengan Allah sumber segala berkat, kesehatan, kemakmuran, kelimpahan hidup. Inisiatif Allah memberikan perjanjian dan menganugerahi berkat-berkat rohani dan jasmani tidak berarti bahwa manusia tinggal pasif saja. Sebaliknya perjanjian dan anugerah justru membangkitkan umat yang tahu bersyukur, taat, berkarya nyata. Dengan demikian, kondisi spiritual terukur objektif di dalam yang material, asalkan tidak kita lepaskan fakta bahwa visi nabi-nabi ini beranjak dari visi ekonomi Kejadian dan Keluaran.

Bagaimana dengan visi ekonomi Tuhan Yesus? Di satu pihak kita mengakui fakta bahwa Yesus lahir dalam kandang miskin di suatu keluarga sederhana. Kita juga mengakui bahwa Yesus banyak berbicara kritis terhadap para penguasa kaya yang hidupnya dan hidup ekonominya dalam dosa. Jadi dapat dimengerti bila sebagian orang beranggapan bahwa Yesus menganjurkan pemahaman ekonomi yang mendekati paham sosialisme. Kesimpulan ini gegabah karena tidak teliti mempertimbangkan banyak faktor dari hidup dan ajaran Yesus. Ia memang dibesarkan dalam sebuah keluarga sederhana. Dibandingkan dengan inkarnasi-Nya dari keberadaan Ilahi-Nya menjadi manusia, tepatlah Paulus menyatakan bahwa Ia telah menjadi miskin (2Kor. 8:9). Yang Paulus maksudkan itu ialah tindakan Yesus menjembatani sedemikian luasnya bentangan antara Allah dan manusia melalui inkarnasi dan kematian-Nya. Namun itu tidak berarti bahwa Ia dibesarkan dalam sebuah keluarga miskin. Yusuf adalah seorang tukang kayu, berarti tergolong kelas pekerja yang relatif berekonomi cukup baik zaman itu. Yesus pun tidak menolak disokong oleh beberapa perempuan berharta, bergaul dengan orang-orang berharta, tidak segan diejek sebagai pelahap dan peminum (Luk. 7:34,35), memiliki pengikut dari kalangan menengah dan atas seperti Petrus, Andreas, atau Filipus yang memiliki usaha penangkapan ikan, Zakheus, Maria dan Marta, dlsb. Tentu saja Yesus melawan perolehan kekayaan dari usaha memutarbalikkan tujuan ibadah (Yoh. 2:13-25).

Ada kesamaan antara sikap dan ajaran Yesus dengan prinsip-prinsip ekonomi yang telah kita pelajari sebelum ini. Bila Yesus mengajarkan para pengikut-Nya untuk tidak kehilangan kesukaan hidup karena harta (Luk. 6:24-25;18:24-25) dan mendorong hidup yang murah hati (Luk. 18:22), itu disebabkan Yesus menerima ajaran Taurat tentang kepemilikan mutlak Allah atas harta dan tanggung jawab penatalayanan manusia atas hartanya. Namun yang radikal ialah Yesus menyatakan bahwa di dalam diri-Nya, yaitu hidup, ajaran dan karya-karya-Nya seluruh maksud Allah dan segala kuasa di langit dan di bumi bertumpu dan beroperasi, mewujudkan Ekonomi Allah dalam penciptaan suatu umat baru. Umat Perjanjian Baru itu adalah bagian dari Kerajaan Allah, orang- orang yang menikmati berlakunya pemerintahan Allah yang memerdekakan, yang membuat mereka menikmati hidup seutuhnya sepenuhnya, mensyukuri setiap pemberian Allah dalam sikap murah hati, menatalayan, dan karena itu tidak terikat melainkan merdeka. Di dalam Yesus, Ekonomi Allah memungkinkan ekonomi manusia tidak menjadi perhambaan materi, pemberhalaan hartabenda, perbudakan keserakahan, melainkan merdeka penuh syukur, kesemarakan yang saling menumbuhkan dan yang menyukakan hati Allah. Itulah kehidupan ekonomi yang berkualitas penuh harkat sejati karena diporosi oleh Ekonomi Allah.

Suasana koinonia itulah yang kita saksikan dalam kehidupan gereja purba yang juga menjadi inti pengajaran surat-surat rasuli. Kehidupan gereja purba bukanlah komunisme ala Kristen melainkan pewujudnyataan visi Ekonomi Allah di dalam kehidupan umat. Tindakan koinonia di Kisah Para Rasul 7 dan pengiriman bantuan oleh jemaat-jemaat Makedonia ke jemaat Yerusalem lebih dari sekadar simpati membagi-bagi sembako kepada pihak miskin. Tindakan itu adalah tindakan merdeka merayakan tindakan pembebasan, penebusan, pembenaran, pemulihan, pendamaian, penyelamatan, pengayaan, pengutuhan yang Allah selaku Sang Liberator telah aktakan di dalam diri Yesus Kristus, dan yang telah mengikutsertakan umat kepunyaan-Nya sebagai koliberator (baca rekan sekerja-Nya dalam karya penyelamatan-Nya) bagi sesamanya. Lihat gema prinsip-prinsip ini dalam nasihat Paulus agar jemaat bekerja (1Tes. 4:10-11; 2Tes. 3:10), tentang bahaya mencintai uang (2Tim. 3:2), agar orang kaya menjadi kaya dalam kemurahan hati (1Tim. 6:17-19), dan peringatan Yakobus terhadap orang-orang yang mengejar kekayaan (Yak. 2:1-7; 4:13-5:6). Dan ke arah Yerusalem baru yang tanpa cacat cela, oleh oikonomia tou Theou (Ekonomi Allah atau penyelenggaraan kasih karunia Allah) itulah kita semua sedang berarak mengikuti Yesus.

Dari menelusuri drama-drama besar Alkitabiah ini dapat kita tarik kesimpulan awal berikut tentang prinsip-prinsip ekonomi.

  1. Penyataan Allah secara khusus dan penyataan Allah secara umum perlu dilihat sebagai dua kekuatan harmonis berdampak ekonomi, keduanya terang terpercaya bagi pola pikir dan pengambilan keputusan ekonomi manusia.
  2. Allah adalah Pencipta-Pemelihara-Penebus, sumber dan pemilik mutlak dari segala karunia yang manusia nikmati dalam hidup ini. Hanya Allah boleh menerima kepercayaan, ketaatan, dan ketergantungan mutlak manusia.
  3. Manusia diciptakan Allah sebagai wakil Allah, dilimpahi berbagai kemungkinan dan potensi untuk menikmati kebaikan-kebaikan Allah, menggunakan wibawa-Nya dengan penuh tanggung jawab, mengembangkan segenap aspek hidup, ekonomi-sosial-politis dalam semangat syukur dan menatalayan. Harta benda adalah berkat Allah.
  4. Harta benda baik adanya, patut disyukuri, namun bukan yang terpenting dalam hidup, tidak tepat dijadikan andalan dan orientasi hidup, bukan ukuran mutlak tentang kerohanian. Kita hanya pemilik kedua di bawah kepemilikan mutlak Allah yang menciptakan dan mengadakan semua itu demi kebaikan kita
  5. .

  6. Dosa adalah pemutarbalikkan prinsip-prinsip ekonomi tadi, mendatangkan berbagai kutuk yang merusak dan menghancurkan. Wawasan ekonomi yang materialistis, egosentris, kompetitif tak terkendali, sekuler, tidak mensyukuri dan memuliakan Allah, menyingkirkan etika dan moral dari ekonomi dan bisnis, adalah akibat dari kerusakan manusia dalam dosa. Reformasi terhadap kondisi jahat itu dapat terjadi bila manusia pada umumnya kembali kepada prinsip-prinsip yang Tuhan telah nyatakan dalam hati nurani dan prinsip keluhuran hidup dengan pertolongan Allah dan bila manusia Kristen konsisten memberlakukan prinsip etika Kristennya.

Sepanjang sejarah manusia, dari Perjanjian ke Perjanjian sampai puncaknya dalam Sang Penggenap Perjanjian, Allah menyelenggarakan Ekonomi-Nya yang beranugerah, memerdekakan, memanusiawikan. Visi Ekonomi Allah dalam Perjanjian Lama digenapi dalam Ekonomi hidup- ajaran-karya penebusan Yesus Kristus. Gereja Tuhan sebagai pengejawantahan Ekonomi Baru dari Allah itu patut menghayati penuh, membagi dan memberitakan kebenaran Injil berdampak holistik itu bagi sesamanya pada segala tempat dan segala zaman.

Sumber: 

Sumber diambil dari:

Judul Buku : Hidup dalam Ritme Allah
Judul Artikel : -
Penulis : Paul Hidayat
Penerjemah : -
Penerbit : Persekutuan Pembaca Alkitab, Jakarta 2005
Halaman : 107 - 123

Siapakah Kristus Yang Naik Ke Surga?

Editorial: 

Dear e-Reformed netters,

Meskipun Hari Kenaikan Tuhan Yesus sudah berlalu seminggu y.l. namun gaung pesan yang muncul dari peristiwa kenaikan tersebut tidak akan pernah berlalu dari muka bumi ini sebelum kedatangan Tuhan Yesus kembali yang kedua kalinya. Oleh karena itu mari kita camkan baik-baik pesan penting yang diberikan Kristus sebelum Ia naik ke surga.

Kiranya artikel dari khotbah Pdt. Stephen Tong ini menolong kita melihat dengan jelas makna kenaikan Tuhan Yesus Kristus ke surga, karena itulah yang menjadi misi kita orang-orang Kristen selama masih diijinkan Tuhan hidup di dunia ini. Selamat menyimak.

In Christ,
Yulia
< yulia@in-christ.net >

Penulis: 
Pdt. Dr. Stephen Tong
Edisi: 
074/V/2006
Isi: 

Artikel ini disarikan dari khotbah Pdt. Dr. Stephen Tong di GRII Jakarta.

Dalam Mazmur 24:7-10, kita membaca mengenai adanya pintu kekekalan yang dibuka menyambut seorang pemenang untuk selama-lamanya. Di Vatikan, di dalam Gereja Basilica of Saint Peter, ada pintu yang hanya boleh dibuka satu kali dalam 50 tahun. Pada waktu mereka membuka pintu itu, kadang-kadang mereka membaca ayat ini. Mereka menganggap itu merupakan suatu upacara yang agung sekali. Sebenarnya pintu itu tidak mempunyai makna yang terlalu berarti bila dibandingkan dengan ayat- ayat yang tercantum di sini.

"Semua pintu gerbang, terbukalah!" Untuk siapa pintu yang kekal dibuka? "Untuk raja yang pernah berperang di dalam medan peperangan." Siapakah raja yang pernah menang perang di medan peperangan? "Yaitu yang diutus oleh Yehovah, yang menjadi Tuhan di atas segala sesuatu."

"Angkatlah kepalamu, hai pintu-pintu gerbang, dan terangkatlah kamu, hai pintu-pintu yang berabad-abad, supaya masuk Raja Kemuliaan!" Siapakah dia itu Raja Kemuliaan? "Tuhan semesta alam, Dialah raja semesta alam, Dia Raja Kemuliaan."

Tapi Dia pernah datang, pernah dicobai, pernah diberi kesempatan untuk berjuang dan bertarung dengan kuasa-kuasa kejahatan. Iblis berusaha meremukkan dan menjatuhkan Dia. Tetapi Dia naik ke surga. Ini membuktikan bahwa Dialah Raja yang mulia, Raja yang menang, Raja yang pernah bertempur di dalam medan pertempuran rohani menggantikan engkau dan saya.

"Hai pintu gerbang, gerbang yang mulia, pintu yang kekal, bukalah! Angkatlah kepalamu, bukalah pintumu menyambut Yesus Kristus sebagai yang menang!"

Di dalam Pengakuan Iman Rasuli tertulis, "Dia naik ke surga, duduk di sebelah kanan Allah Bapa". Bagian ini jangan dimengerti sebagai suatu lokasi atau semacam pengertian secara tata ruang. Jikalau Yesus betul- betul berada di sebelah kanan, berarti ada lokasinya. Bukankah ini juga berarti bahwa Bapa berada di sebelah kiri Yesus? Jikalau Bapa berada di kiri, lalu Yesus di kanan, yang mana yang lebih besar? Yang kanan atau yang kiri? Lalu, di manakah Roh Kudus? Bila demikian, hal ini akan mengaburkan arti rohaninya. Padahal pengertian tempat seperti itu mempunyai arti rohani yang jauh lebih dalam.

Di dalam pemikiran Kitab Suci, tempat kanan mempunyai tiga arti.

Arti pertama, Yesus Kristus adalah orang yang sudah diterima dengan sukacita oleh Tuhan Allah. Ini adalah delighted decision. Suatu tempat yang diterima dengan baik, suatu tempat yang diberikan karena yang memberi begitu senang kepada Dia. Kristus adalah Anak kesayangan Bapa. "Dengarlah Dia! Dengarlah Anak yang Aku suka ini."

Arti kedua, tempat sebelah kanan berarti tempat pemenang. Setelah orang yang bertempur dalam medan peperangan pulang, ia diberikan tempat di sebelah kanan oleh raja. Jenderal yang menang, jenderal yang begitu penting, duduk di sebelah kanan. Yesus Kristus menjadi pemenang di dalam medan peperangan. Itu sebabnya Ia duduk di sebelah kanan Bapa.

Ketiga, tempat kanan berarti tempat penguasa. Tuhan memberikan kekuatan, kuasa, dan mandat yang melampaui apapun di bumi kepada-Nya. Itulah kuasa yang diberikan kepada Yesus Kristus.

Puji Tuhan! "Angkatlah kepalamu, hai pintu-pintu gerbang! Dan terangkatlah kamu, hai pintu-pintu yang berabad-abad, supaya masuk Raja Kemuliaan. Siapakah Dia, Raja Kemuliaan itu?" Itulah Tuhan semesta alam, Dialah Raja Kemuliaan

Bagian kedua diambil dari Matius 28:18, dst. Yesus Kristus bukan saja seorang pemenang, tapi Dia naik ke surga. Sewaktu naik ke surga, Dia memberikan suatu amanat yang paling agung kepada semua orang yang mengikuti Dia.

Pada zaman reformasi, orang-orang reformasi, khususnya yang berada di Jenewa, menganggap amanat agung hanya diberikan kepada rasul-rasul pada waktu itu. Ini merupakan suatu kelemahan besar yang mengakibatkan kira-kira selama dua abad orang-orang reformasi, orang-orang Lutheran, hanya mengerjakan penggembalaan di Eropa. Mereka tidak mengutus orang keluar untuk mengabarkan Injil. Karena kesalahtanggapan itu, akhirnya gereja menjadi lemah dalam penginjilan.

Lambat laun Tuhan membangkitkan orang-orang untuk membawa kita kembali kepada visi yang benar, bahwa penginjilan itu bukan tugas gereja mula- mula saja. Penginjilan bukan sudah tidak ada, tetapi ada pada setiap zaman. Para rasul dan para nabi memang sudah tidak ada. Namun, fungsi- fungsi kerasulan dan kenabian masih tetap ada. Jadi, yang diutus mewakili Tuhan untuk berbicara adalah fungsi yang masih berada dalam segala zaman. Maka kita juga harus menegaskan hal ini. Pengertian tentang kesadaran semacam ini akan mengubah dan menggugat kembali tugas kita terhadap dunia ini.

Yesus berkata, "Pergilah ke seluruh dunia dan jadikan segala bangsa murid-Ku." Ini merupakan suatu penanaman visi, semacam pikiran yang begitu besar kepada gereja. Bila suatu zaman tidak memiliki visi, maka zaman itu akan penuh dengan kekacauan. Gereja yang sudah kehilangan ketajaman dalam melihat visi akan menjadi tidak berdaya, tidak dinamis lagi. Namun, bila visi itu kembali dipertajam dan menggugah hati manusia, mau tidak mau gereja akan menjadi militan dan dinamis di dalam pelayanan.

Begitu banyak orang Kristen yang malas, yang imannya kendur, yang hidup rohaninya begitu sembarangan dan etikanya begitu tidak bertanggung jawab karena sudah kehilangan ketajaman dan keinsyafan tentang visi dan mandat dari Tuhan! Tetapi puji Tuhan! Yesus bukan memberikan suatu khotbah dan amanat yang agung itu kepada mereka di tempat sembarangan. Mereka naik ke gunung dan di atas gunung itu Yesus mengutus mereka.

Pada waktu naik ke atas bukit, berada di tempat yang tinggi, kita akan melihat suatu dataran yang lebih besar. Kita akan mempunyai pemandangan yang jauh lebih luas dan di situ Tuhan membentuk suatu pemikiran atau semacam wawasan yang luas bagi orang-orang yang mau mengabarkan Injil. Barangsiapa yang tidak mempunyai hati yang luas, yang tidak mempunyai pandangan rohani dengan wawasan yang luas, tidak mungkin mempunyai penginjilan yang kekuatannya lebih besar daripada pelayanan yang lain. Di sini kita melihat, gereja harus kembali mengikuti teladan dan menaati perintah Yesus Kristus.

Kenaikan Kristus ke surga bukan hanya merupakan suatu catatan sejarah, tetapi juga suatu amanat. Dia pergi dan tugas-Nya dikerjakan oleh engkau dan saya. Barangsiapa merayakan hari kenaikan Kristus, dia juga harus mengingat pesan Yesus sebelum Ia pergi.

Pesannya adalah "Pergilah ke seluruh dunia, jadikan segala bangsa murid-Ku. Apa yang Aku katakan kepadamu ajarkanlah mereka, supaya mereka menjalankannya dan engkau yang mengabarkan Injil akan Kusertai, sampai kesudahan, sampai selama-lamanya."

Selanjutnya, kita akan melihat apa yang dikaitkan dengan kenaikan Yesus ke surga. Dalam Yohanes 16:7-8, tertera suatu perjanjian yang lebih penting lagi. Jikalau Yesus Kristus, yang sudah memberikan perintah untuk pergi mengabarkan Injil ke seluruh dunia hanya membiarkan pengikut-pengikut-Nya dengan keadaan yang begitu sulit, dengan penganiayaan-penganiayaan yang kejam, yang ganas dan tidak berperikemanusiaan, bukankah Ia adalah Tuhan yang meletakkan kewajiban dan pergi melarikan diri? Tetapi bukanlah demikian. Alkitab mengatakan, "Aku pergi justru berfaedah besar bagimu. Aku pergi untuk kamu karena jikalau Aku tidak pergi Roh Kudus tidak turun." Di sini Yesus Kristus mengaitkan kenaikkan-Nya ke surga dengan rencana yang berkesinambungan di dalam konsistensi pikiran Tuhan Allah yang kekal.

Allah bukanlah Allah yang tidak berprogram. Allah adalah Allah yang mempunyai program yang tertinggi. Allah adalah Allah yang mempunyai cara berorganisasi dan mempunyai cara pemikiran dan jadwal yang paling tepat. Itu sebabnya Tuhan berkata, "Jikalau Aku tidak pergi, tidak ada faedahnya bagimu. Tetapi jikalau Aku pergi, kepergian-Ku akan mendatangkan keuntungan bagimu, sebab setelah Aku pergi, Roh Kudus akan dikirim turun dan menyertai serta menjadi penghibur bagimu."

Siapakah Kristus yang naik ke surga? Kristus yang naik ke surga adalah Kristus, Raja pemenang. Siapakah Kristus yang naik ke surga? Kristus yang naik ke surga adalah Kristus, yang mengutus kita mengabarkan Injil ke seluruh dunia. Siapakah Kristus yang naik ke surga? Kristus yang naik ke surga adalah Kristus, yang bersama dengan Bapa mengutus Roh Kudus menjadi pendamping bagi gereja.

Jikalau kita melihat abad pertama, kita mengetahui bahwa orang Kristen bukan saja minoritas. Orang Kristen berada di kalangan bawah. Kebanyakan yang menjadi orang Kristen adalah budak, nelayan, orang miskin, orang di pasar, dan sedikit sekali pejabat-pejabat tinggi, konglomerat, atau orang-orang penting di dalam masyarakat yang beriman kepada Yesus Kristus. Dari antara 12 murid Yesus, kita melihat begitu banyak nelayan yang dipanggil. Pengaruh mereka mulai dari grass-root, mulai dari lapisan yang paling bawah sekali.

Yesus menjadi teman dari pemungut cukai, dari orang-orang berdosa. Ia menerima orang-orang yang dibuang oleh masyarakat.

Melalui kira-kira 300 tahun, kita melihat pengaruh kekristenan sudah mengakibatkan Raja Konstantin akhirnya harus berlutut di hadapan Yesus dan mengakui Dia sebagai Tuhan. Di sini kita melihat di dalam 300 tahun permulaan itu, gereja mengalami penganiayaan, pengucilan, pembunuhan, dan penyiksaan. Begitu banyak martir yang mati mengalirkan darah, mati syahid bagi kepercayaan dan iman kekristenan yang mereka yakini.

Siapakah yang memberikan kekuatan? Bagaimana mereka bisa bertahan bila tidak ada penolong yang setiap saat berada dengan mereka, yang mempunyai kuasa ilahi, yang berada di tengah-tengah mereka? Siapakah Penolong itu? Dialah Roh Kudus.

Maka Yesus berkata, "Aku harus pergi. Aku pergi, maka Dia akan datang. Aku pergi dan bersama dengan Bapa mengirim Roh Kudus agar turun ke atas kamu. Roh Kudus turun ke atas kamu, maka kamu akan berkuasa." Berkuasa atas apa? Berkuasa atas penderitaan, penganiayaan, dan segala kesulitan sehingga engkau dapat tetap memegang imanmu.

Sebagaimana dalam Perjanjian Lama, umumnya masyarakat saat ini memahami kuasa Allah melalui pertolongan dan kelancaran hidup serta pemberian berkat secara materi atau jasmani. Tetapi kuasa yang kita lihat dalam Perjanjian Baru setelah Kristus naik justru sama sekali terbalik. Kalau Tuhan berkuasa, kenapa tidak menyembuhkan saya? Kalau Tuhan berkuasa kenapa tidak menyertai? Kalau Tuhan berkuasa, kenapa situasi politik dan situasi ekonomi begitu jelek? Kalau Tuhan berkuasa, mengapa Nero saja bisa menganiaya rasul? Bisa memaku mati Petrus secara terbalik? Di mana kuasa Tuhan?

Kekristenan justru memahami kuasa dari kerajaan Tuhan secara antitesis. Di dalam penganiayaan, di dalam kesulitan, di dalam desakan, di dalam kesempitan, di dalam segala sesuatu: kesulitan, sengsara, penderitaan politik, ekonomi dan apa pun juga, iman orang Kristen tidak berkompromi. Orang Kristen tidak menyerah kepada musuh. Itulah kuasa Roh Kudus.

Saya sangat takut kalau gereja sudah menjadi sangat kaya. Saya sangat takut kalau hamba Tuhan sudah beroleh segala kelonggaran sehingga tidak lagi bersandar kepada Tuhan. Padahal melalui kemiskinan dan kesulitanlah iman kita memiliki kesempatan untuk dilatih agar memiliki suatu kekayaan rohani. Sebaliknya, saat kita sudah mempunyai segala sesuatu, kita menjadi sangat miskin di dalam iman.

Tuhan berkata, "Aku pergi dan Aku mengirim Roh Kudus. Roh Kudus mendampingi engkau, saat engkau diutus ke dalam dunia sebagai utusan Tuhan."

Saya minta maaf jikalau saya harus memakai suatu kalimat, bahwa itulah pengutusan yang paling kejam dalam sejarah. Jangan heran kalau ada orang Kristen yang dibunuh. Jangan heran kalau gereja dianiaya. Jangan heran kalau kadang-kadang kita dibiarkan miskin dan sulit luar biasa. Jangan mengomel apalagi heran karena itu cara pengutusan dari Tuhan. "Aku mengutus engkau seperti domba di tengah-tengah kawanan serigala!" Bukankah itu hal yang paling kejam? Coba Saudara bayangkan, seekor domba yang dikelilingi oleh kawanan serigala yang begitu kejam. Serigala yang mempunyai gigi begitu tajam, sifat yang begitu keras, kelompok yang begitu banyak kawannya. Itulah namanya utusan Tuhan. "Aku mengutus engkau seperti domba di tengah-tengah serigala."

Itu sebabnya saya minta maaf kalau saya katakan pengutusan Tuhan adalah pengutusan yang kejam. Tetapi tidak menjadi soal, jikalau domba itu mengerti bahwa Roh Kudus sedang diutus untuk menyertainya. "Aku pergi supaya Roh Kudus turun!" Inilah sudut ketiga yang kita lihat dari kenaikkan Yesus ke surga.

Siapakah Dia yang naik ke surga? Dia Raja yang menang di dalam pertempuran rohani. Siapakah Dia yang naik ke surga? Dia adalah Tuhan yang memberikan mandat kepada kita, amanat yang paling agung: mengabarkan Injil ke seluruh dunia. Siapakah Yesus yang naik ke surga? Dia adalah yang mengutus Roh Kudus yang menjadi parakletos, menjadi penghibur, pendamping untuk kita.

Keempat, kita membaca dalam Ibrani 4:14-16. Bagian ini menyatakan bahwa kita memiliki seorang Imam Besar yang sudah melintasi segala langit. Yesus naik ke surga bukan berarti menghilang dari bumi ini setelah kurang lebih 33 tahun berada di dunia. Atau seperti yang dikatakan oleh doketisme, keberadaan-Nya hanya suatu dokaio saja. Dia hanya dibayang-bayangkan pernah datang ke dunia, lalu hilang. Setelah pergi, Ia naik ke surga dan melintasi segala langit. Ini merupakan suatu ajaran yang begitu besar.

Pada hari kenaikan ini, saya merenungkan, terus merenungkan kenaikan Yesus Kristus. Lalu saya berkata, "Puji Tuhan! Agama lain tak pernah mempunyai seorang pendiri, tak pernah mempunyai seorang penghulu agama yang datang dari sana ke sini, dan juga tidak pernah ada yang dari sini ke sana dengan melintasi segala langit, kecuali Yesus Kristus." Mereka hanya membayangkan adanya satu allah. Allah, yang belum pernah datang ke dunia. Allah, yang katanya mencipta, menyelamatkan dan mengampuni, satu-satunya yang rahmani, rahimi. Tapi allah yang mereka bayangkan berbeda dengan Yesus Kristus yang adalah Allah yang pernah meninjau sendiri, datang sendiri, menyelamatkan kita, hidup di tengah- tengah kita, yang dengan mulut-Nya memakai bahasa manusia untuk memberikan pengajaran yang terindah di dalam sejarah kepada kita, lalu pergi setelah menyelesaikan tugas-Nya.

Sewaktu mengenang Kristus, kita mengenang Allah yang pernah datang. Wujud-Nya begitu konkrit. Hubungan-Nya dengan manusia juga begitu intim. Dalam bagian Firman ini dikatakan suatu kalimat yang begitu menyentuh. Kita bukan mempunyai seorang Imam yang tidak mengerti segala kelemahan kita. Saya percaya di dalam hidup setiap orang, sedalam-dalamnya ada keluhan kesusahan hidup dalam dunia. Baik orang kaya maupun orang miskin, orang sukses maupun orang yang penuh dengan kegagalan, baik engkau yang kelihatan mempunyai materi yang begitu besar, begitu banyak, atau mereka yang selalu mengejar hanya untuk menyambung hidup saja.

Setiap orang mempunyai keluhan akan hal yang begitu sulit. Namun, siapakah yang sungguh-sungguh dapat mengerti setiap orang? Suami ingin dimengerti oleh isteri. Tapi justru isteri ingin dimengerti oleh suami! Kekuatan kita untuk mengerti dan kemampuan kita untuk mau mengerti dibandingkan dengan kebutuhan kita untuk dimengerti, selalu tidak seimbang.

Adakah yang mengerti? Ada! Yesus Kristus mengerti segalanya. Dia pernah datang. Dia pernah dilahirkan di tempat binatang. Dia pernah diejek oleh bangsanya sendiri. Dia pernah seorang diri mengalami puasa 40 hari dan dicobai oleh iblis. Dia pernah menanggung berat. Dia pernah menderita, berkorban emosi, berkorban perasaan. Yesus Kristus mengerti segala kelemahan kita. Dia mengerti karena Dia sama seperti kita. Dia merasakan segala pengalaman kita. Sebaliknya sama seperti kita, Ia telah dicobai tetapi tidak berbuat dosa.

Yesus yang telah naik ke surga menjadi Imam Besar. Imam Besar inilah yang membawa kesulitan kita kepada Allah yang sulit kita capai. Ia juga membawa anugerah dari Allah kepada kita, anugerah yang tidak layak kita terima. Inilah pekerjaan Imam. Imam yang berada di antara yang hidup dan yang mati. Imam yang berada di antara yang tidak kelihatan dan yang kelihatan. Imam yang berada di antara Allah dan manusia. Kristuslah pengantara yang menjalankan tugas imam sekaligus sebagai korban. Inilah perbedaan imam dalam sejarah orang Yahudi dengan Imam yang paling besar, Yesus Kristus, bagi gereja-Nya. Imam- imam yang lain tidak menjadi korban. Mereka mempersembahkan korban, namun mereka sendiri bukan korban. Hanya Yesus yang bertindak sebagai Imam Besar sekaligus korban.

Dengan bahasanya, manusia tidak akan sanggup untuk mengungkapkan keagungan dan kebesaran cinta kasih Tuhan yang adalah Imam Besar sekaligus korban. Ia mempersembahkan diri dengan roh-Nya yang kekal dan darah-Nya yang suci yang tak bercacat cela untuk membersihkan dan menjadikan kita milik-Nya yang dilayakkan untuk berdamai dengan Tuhan Allah. Inilah Imam kita. Dan inilah bagian keempat yang kita lihat.

Selanjutnya, dalam Ibrani 7:24-25 kita melihat bahwa Yesus Kristus mempunyai pekerjaan lain setelah naik ke surga. Dalam ayat 26, dikatakan bahwa Yesus Kristus mempunyai tingkatan tertinggi sebagai pengantara untuk berdoa syafaat bagi setiap kita. Dalam pasal 7 ayat 27-28, serta pasal 9 ayat 27-28 terlihat bahwa Dialah yang menanggung dosa kita dan yang menjadi pengantara yang berdoa syafaat bagi setiap orang yang percaya kepada-Nya.

Siapakah Kristus? Dia pemenang, bukan? Siapakah Kristus? Dia pengutus, bukan? Siapakah Kristus? Dia yang memberikan Roh Kudus kepada kita. Siapakah Kristus? Dia yang berdoa bagi kita dengan pengertian karena Ia sendiri pernah datang ke dalam dunia ini. Tidak hanya itu, Yesus adalah Tuhan yang kembali ke surga untuk menyiapkan tempat bagi kita.

Dalam Injil Yohanes 14:1-4 Yesus berkata, "Aku pergi untuk menyediakan tempat bagimu. Jikalau Aku tidak pergi tidak ada yang menyediakan tempat bagimu dan jikalau Aku sudah menyediakan tempat bagimu Aku pasti akan datang kembali lagi. Di mana Aku ada di sana pun engkau akan berada."

Adakah penghiburan yang lebih besar dari ini? Tidak ada. Adakah seorang Juruselamat seperti Kristus? Tidak ada. Dialah satu-satunya dan Dialah yang paling sempurna di dalam menyediakan segala sesuatu bagi umat-Nya. "Di jalan itu Aku pergi. Jalan satu-satunya dan engkau tahu juga."

Pada waktu Filipus bertanya kepada Dia, "Hai Guru, tunjukkan jalan itu kepada kami," maka Yesus Kristus dengan menggelengkan kepala bertanya, "Sudah sekian lama engkau mengikut Aku, engkau masih belum tahu di mana jalan itu? Sesungguhnya Aku berkata kepadamu: `Akulah jalan, Akulah kebenaran, dan Akulah hidup.`"

Saya melihat ketiga butir ini sebagai suatu gambaran tentang seluruh dunia, yaitu di dalam filsafat, kebudayaan agama, dan kebijaksanaan, yang terkristalisasi di dalam dunia mental manusia.

"Akulah jalan, Akulah kebenaran." Mengapa Yesus mengatakan: "Akulah jalan"? Karena semua agama mencari jalan. Itulah yang dibutuhkan oleh orang di Timur. "Akulah kebenaran." Mengapa Yesus menyatakan kebenaran diidentikkan dengan diri-Nya? Karena manusia di Barat yang mencari filsafat ingin mengetahui kebenaran dan Yesus mengisi kebutuhan itu. Pada waktu Yesus mengatakan: "Akulah jalan", Ia sedang menunjukkan kepada orang Timur yang mau mendapatkan jalan di dalam agama. Ia berkata, "The way is not there. The way you are seeking is not in religion, but in Me, in My life."

Yesus telah mengajak dunia Timur dan Barat untuk menerima kesimpulan- Nya, "Akulah hidup yang tidak ada pada agama-agama, tidak ada pada filsafat-filsafat dan sistem epistemologi dunia." Semua pendiri agama akhirnya mati di tengah usahanya mencari jalan. Para filsuf juga akhirnya mati di tengah usahanya mencari kebenaran. Dan Kristus akhirnya berkata, "Di manakah jalan itu? Akulah jalan itu. Di manakah kebenaran itu? Akulah kebenaran itu. Dan Akulah hidup."

Inilah satu-satunya solusi. The only solution, the only answer, for seeking the truth in way thru philosophy, religion, culture, and human wisdom concluded only in Jesus Christ, the truth revelation of God in human form. Puji Tuhan! Dialah pernyataan Allah yang berbentuk manusia, yang telah menyimpulkan segala sesuatu yang sedang digumuli dan dicari agama maupun filsafat.

Paul Tillich, seorang teolog besar mengatakan, munculnya Yesus di dalam sejarah harus menghentikan usaha semua agama dalam mencari apa pun yang paling berharga yang mereka inginkan. The revelation of Christ, the appearance of Christ in history is to cease off the effort of seeking truth and way in religions. Puji Tuhan!

"Akulah jalan. Dan jalan itu bukan dari sini ke sana melainkan dari sana ke sini. Akulah yang menghampiri manusia."

Manusia tidak akan pernah dapat menghampiri takhta Allah dengan usaha dan kekuatannya sendiri. Allah yang suci dan kekal tidak akan dapat dijangkau oleh manusia yang berdosa dan terbatas. Bagaimana mungkin sesuatu yang terbatas, yang dicipta, yang bisa rusak dapat menghampiri Tuhan yang tak terbatas dan kekal? Hal ini hanya mungkin bila Allah, dari takhta yang tidak terbatas, yang kekal, yang tidak bisa rusak, rela turun, lalu pergi kembali untuk menjadi jaminan kita.

Kalau agama-agama lain hanyalah one way traffic in human effort, jalan yang hanya satu arah dari usaha manusia, kekristenan percaya kepada suatu sistem keselamatan berupa two way traffic which initiative from God and assured in the term of God. Kita percaya pada sistem dua jalur, dari sana telah ke sini, yang membawa kita dari sini ke sana, yang dijamin di dalam segala kekuatan yang kekal di dalam takhta Tuhan. Puji Tuhan!

"Aku pergi untuk menyediakan tempat bagimu. Aku pergi untuk mempersiapkan segala sesuatu bagimu dan Aku akan datang kembali untuk menyambut engkau sebagai seorang mempelai lelaki yang akan menyambut mempelai perempuan." Gereja harus siap sedia. Gereja harus senantiasa mempersiapkan diri dengan tidak menodai, tidak mencemari tubuh Kristus. Gereja harus bersiap untuk menjadi mempelai perempuan Kristus yang akan bersatu di dalam cinta kasih yang paling inti yang digambarkan dalam hubungan suami isteri.

Ia yang akan datang kembali telah menyediakan tempat bagi kita. Ia berkata, "Di mana Aku berada, di situ engkau berada."

Bagian terakhir ialah Kisah Para Rasul 1:9-11. "Hai orang Galilea, mengapa engkau melihat seperti ini? Ingatlah, Yesus yang kau lihat diangkat ke surga, akan datang dengan cara yang sama, kembali ke dalam dunia ini."

Seluruh Kitab Suci mempunyai suatu konsistensi, mempunyai suatu hubungan organis yang begitu erat, sehingga tidak bisa dipisah- pisahkan sembarangan, kecuali oleh mereka yang sengaja atau mereka yang tidak mengerti. Di dalamnya kita melihat rencana Allah yang sudah terbentuk begitu sempurna. Yesus Kristus naik ke surga bukan karena Ia melarikan diri. Ia tidak menyembunyikan diri. Ia pergi dengan tugas. Ia pergi dengan rencana Allah yang sudah ditetapkan dan itu bukan titik yang terakhir. Itu merupakan suatu janji bahwa suatu hari kelak Ia akan datang kembali dengan cara yang sama, kembali ke dalam dunia.

Saya membayangkan orang-orang Galilea seperti Petrus dan Yohanes yang sudah terbiasa didampingi oleh Yesus, yang bila ada kesulitan langsung beralih kepada Yesus dan bertanya, "Bagaimanakah Tuhan? Bagaimanakah cara-Mu menangani kesulitan ini, Guru?" Mereka sudah terbiasa disertai, ditolong, dan berada bersama dengan Yesus Kristus. Sekarang, untuk pertama kali dalam hidupnya, mereka sadar bahwa Yesus tidak selamanya berada di samping mereka. Yesus harus pergi dan mereka harus menghadapi dunia secara faktual, menghadapi dunia ini dengan segala sesuatu yang tidak terlalu bersahabat dengan orang Kristen. "Akan bagaimana perlakuan Herodes terhadap kita? Akan bagaimana Pilatus terhadap kita? Dan bagaimana prinsip Kaisar dan politikus-politikus Romawi? Dan jika berganti gubernur yang lain, akan bagaimana? Kami tidak tahu."

Mereka hanya tahu Yesus pergi. "Lalu, hanya mimpikah 3 1/2 tahun yang lampau itu? Janji kosongkah itu? Hanya menjadi catatan sejarahkah itu semua? Ataukah kedatangan-Nya itu suatu kesempatan yang belum pernah ada dalam sejarah sehingga kami dapat menikmatinya? Kalau Tuhan sudah pernah turun, kenapa pergi lagi? Kalau Dia sudah menyertai, kenapa naik lagi? Setelah naik lalu bagaimana?"

Kenaikan Yesus Kristus memaksa mereka untuk memikirkan pertangungjawaban iman dan respon mereka terhadap kalimat nubuat yang pernah diucapkan Yesus. Mereka harus memberikan semacam tantangan kepada setiap orang percaya. Mereka harus mempertanggungjawabkan tentang bagaimana meresponi, mengimani, dan mengaplikasikan setiap kalimat nubuat yang pernah diucapkan Yesus saat Ia ada di dunia.

Kadang-kadang saat papa dan mama ada kita tidak menghargai mereka. Saat Tuhan memanggil mereka pulang, barulah kita sadar dan kalang kabut. Sekarang kita harus menghadapi kenyataan bagaimana hidup di dalam dunia ini. Baru kita ditantang untuk berpikir kembali, "Apa yang pernah papa katakan dulu kalau menghadapi orang yang begini?" Sekarang kita mulai mengingat-ingat. Sama persis dengan keadaan sewaktu Yesus naik ke surga.

Waktu naik ke surga Yesus berkata, "Aku akan mengirim Roh Kudus untuk kembali mengingatkan perkataan-perkataan yang sudah pernah Aku katakan kepadamu."

Itu sebabnya kita ditantang untuk berespon, bertanggung jawab, dan berdikari. Gereja ditantang untuk menjadi wakil Tuhan di dunia dengan memuliakan Tuhan, merefleksikan segala moral kesucian, keadilan, cinta kasih Allah dari zaman ke zaman. Inilah tugas gereja.

"Hai orang Galilea, untuk apa melihat terus ke awan? Mengapa melihat terus ke langit? Yesus yang pernah beserta denganmu, yang pernah kau saksikan pelayanan-Nya, sekarang sudah naik ke surga dan akan datang kembali."

Setelah membaca enam bagian Kitab Suci yang begitu penting ini, dan jikalau kita sungguh-sungguh menunggu dan mengharapkan Yesus Kristus datang kembali, maka ada dua hal penting yang harus kita kerjakan.

Pertama, kita harus mengabarkan Injil kepada sesama. Tidak ada jalan lain. Ini merupakan keikhlasan orang yang menantikan kedatangan Yesus Kristus. Jikalau Injil ini dikabarkan ke seluruh dunia, maka hari itu akan tiba. Berarti sebelum Injil dikabarkan kepada segala bangsa, segala suku, segala sudut, Kristus tidak akan kembali.

Saya betul-betul salut, sedalam-dalamnya dari dalam hati saya, kepada orang-orang di Wiclyffe Bible Translation Association. Mereka berada di lembaga Alkitab yang khusus menerjemahkan Alkitab ke dalam bahasa- bahasa yang terpencil di daerah-daerah yang dilupakan oleh manusia. Mereka pergi ke tempat yang begitu terpelosok, begitu dalam, begitu sulit dicapai. Saya salut melihat mereka.

Saya berdoa dan mengajak kita semua supaya menjadikan gereja kita sebagai gereja yang mau mendukung penginjilan, gereja yang menghasilkan penginjil, gereja yang mengerti makna Injil, dan gereja yang mau melibatkan diri ke dalam penginjilan misi seluruh dunia. Bila kita menunggu kedatangan-Nya dengan hati yang sungguh-sungguh ikhlas haruslah kita tunjukkan dengan menunjang dan melibatkan diri ke dalam penginjilan.

"Hai orang-orang Galilea, mengapa melihat seperti ini? Mengapa terus menengadah ke langit? Memang Yesus sudah naik, tapi tugasmu bukan memandang Dia, tetapi pergi ke dunia mengabarkan Injil!"

Kedua, orang yang sungguh-sungguh menanti kedatangan Yesus Kristus adalah orang yang menjaga hidup di dalam kesucian. Hidup di dalam kesucian berarti kita terus memelihara diri kita supaya pada waktu Ia datang kembali kita sudah siap, boleh menerima dan diterima oleh-Nya. Barangsiapa yang menaruh pengharapan seperti ini kepada-Nya, biarlah ia membersihkan dirinya! Ini adalah perintah dari Yohanes di dalam 1Yohanes 3. Barangsiapa yang menaruh pengharapan kepada kedatangan Kristus biarlah ia menjaga dirinya, memelihara kesucian dan menunggu di dalam doa akan kedatangan Yesus Kristus.

Terakhir kita akan melihat ayat terakhir dari seluruh Kitab Suci, yaitu dalam Wahyu 22:20-21. Ayat terakhir dalam Kitab Suci Perjanjian Lama, diakhiri dengan kutukan. Ayat terakhir dalam Kitab Suci Perjanjian Baru, diakhiri dengan berkat.

Siapakah Ia, yang dalam ayat 20 berfirman dan memberi kesaksian tentang semuanya? Jadi, Yesus Kristus berkata, "Ya, Aku datang segera. Aku akan datang kembali secepat mungkin." "Amin. Datanglah Tuhan Yesus." Atau terjemahan lain: "Oh Yesus, aku mengharapkan Engkau datang!" Yesus berkata, "Ya, Aku datang segera." Gereja menjawab, "Amin. Kami menunggu kedatangan-Mu."

Dengan mengingat kenaikan-Nya ke surga, kita kembali menyadari bahwa Ialah pemenang, pemberi Roh Kudus, sekaligus pendoa syafaat yang mengerti kesengsaraan kita. Ia pula yang menyediakan tempat di surga yang akan datang kembali bagi kita. Kita pun bersedia menanti kedatangan Tuhan kedua kalinya. Kiranya Tuhan memberkati kita masing- masing di dalam hidup kita sebagai orang Kristen di dunia.(EL)

Sumber: 

Sumber diambil dari:

Judul Buku : Momentum, 40, Triwulan II/1999
Judul Artikel : -
Penulis : Pdt. Dr. Stephen Tong
Penerjemah : -
Penerbit : Lembaga Reformed Injili Indonesia
Halaman : 3 - 13

Mengenal Yesus Kristus

Editorial: 

Dear e-Reformed Netters,

Kali ini saya akan menjumpai Anda dalam suasana PASKAH. Oleh karena itu saya pilihkan satu artikel yang pas yang saya kutip dari buku hasil seminar dari Pdt. Stephen Tong, yang berjudul: SIAPAKAH KRISTUS?

Jika orang bertanya kepada Anda, "ceritakan kepada saya, siapakah Kristus?" Apakah jawaban Anda? Ada banyak orang Kristen yang mengenal Kristus hanya sebatas dalam pengertian kognitif saja. Ibarat burung beo yang pandai menirukan apa yang diajarkan tuannya. Bagaimana dengan Anda? Pdt. Stephen Tong menyinggung satu fakta yang ironis, bahwa jika kita dapat mendengar jawaban-jawaban yang diberikan oleh orang-orang Kristen di Indonesia tentang siapakah Kristus, maka kita akan mengetahui betapa simpang-siurnya kekristenan pada zaman ini.

Melalui peristiwa perayaan PASKAH, marilah kita mengambil waktu untuk merenungkan pertanyaan ini: siapakah Kristus menurut Anda? Apakah Anda mengenal Kristus secara pribadi, ataukah masih sebatas menurut apa kata orang? Mengenal Kristus menurut apa yang orang lain katakan tentu tidak sama dengan jika Anda mengenal-Nya sendiri secara pribadi. Pengenalan pribadi melibatkan bukan hanya pikiran, tapi juga emosi, yang kemudian tentu akan melahirkan satu tindakan yang nyata. Nah, kiranya artikel berikut ini dapat menjadi pengantar akan perenungan Anda tentang siapakah Kristus.

Selamat Hari PASKAH 2006.

In Christ,
Yulia
< yulia@in-christ.net >

Penulis: 
Pdt. Dr. Stephen Tong
Edisi: 
072/III/2006
Isi: 

Secara lahiriah, Yesus tidak berbeda dengan manusia lainnya. Ia dilahirkan oleh seorang perempuan, dibesarkan di desa, dan berkata- kata dalam bahasa manusia. Ia tidak memiliki hal yang begitu hebat sehingga kita harus memikirkan Dia sedalam-dalamnya. Namun, selain menjadi batu sandungan bagi banyak orang, kemanusiaan Yesus ini juga menimbulkan daya tarik dan tanda tanya yang mengagumkan sekaligus memusingkan banyak orang.

Jika kita berbicara dan berpikir tentang Kristus, maka kita harus kembali pada satu waktu di mana Kristus menuntut manusia memberikan penilaian tentang diri-Nya. Yesus bertanya kepada murid-murid-Nya, "Menurut orang-orang, siapakah Aku?" Kalimat ini merupakan kalimat yang sering kita tanyakan kepada diri kita sendiri. Setiap orang juga pasti pernah mempunyai pertanyaan seperti itu dalam dirinya. Dalam pertanyaan "siapakah saya?" terkandung tiga pertanyaan kecil.

  1. SIAPA YANG BERTANYA?

    Pertanyaan ini menimbulkan satu kesulitan karena adanya percampuran subjek dengan objek. Saat kita menanyakan siapakah diri kita, ada sesuatu yang tidak bisa dianalisa dengan jelas karena yang bertanya adalah yang ditanya; yang ingin mengetahui adalah yang ingin diketahui; yang diketahui adalah yang tidak diketahui dan yang ingin mengetahui sedang menanyakan tentang apa yang sedang diketahuinya. Ini merupakan suatu pertanyaan yang tidak mungkin dibereskan oleh manusia itu sendiri. Pada waktu Tuhan Yesus menanyakan hal tersebut, Ia bukan menanyakan hal itu kepada diri-Nya sendiri, tetapi kepada pengikut- pengikut-Nya yang sudah sekian lama melihat penyataan Kristus. Dialah yang memberikan penyataan kepada manusia dan diri-Nyalah yang dinyatakan. Dialah pewahyu sekaligus inti dari wahyu tersebut, yang mewahyukan diri-Nya kepada manusia.

    Waktu murid-murid-Nya secara mendadak menerima pertanyaan ini, mau tidak mau mereka harus mempertanggungjawabkan pemikiran mereka tentang Kristus. Momen seperti ini tidak bisa diciptakan manusia, tetapi diberikan oleh Tuhan. Sebagai orang Kristen, apakah setelah mendengar khotbah bertahun-tahun, membaca Kitab Suci, dibaptiskan dan menjadi orang Kristen sekian lama, kita sudah dapat menjawab pertanyaan tentang siapakah Kristus? Siapakah Dia?

    Murid-murid Yesus mulai memberikan evaluasi tentang Kristus kepada Dia yang menuntut evaluasi. Dari gudang pikiran mereka, mulailah timbul jawaban-jawaban; mereka mulai memikirkan kembali tentang siapakah Kristus. Ada yang menjawab bahwa Dia adalah seorang nabi; seorang nabi yang besar; yang lain menjawab bahwa Dia adalah Yeremia[1]. Yesus dinilai sebagai Yeremia karena dalam zaman yang sedang dilanda kesedihan, Ia mempunyai tangisan dan perasaan yang sama dengan seluruh zaman. Yang lain menjawab bahwa Ia adalah Yohanes Pembaptis yang bangkit dari kematian. Orang-orang itu menganggap bahwa kuasa Tuhan yang begitu besar dinyatakan-Nya dengan membangkitkan Yohanes Pembaptis yang sudah dibunuh oleh Raja Herodes. Dan Yohanes Pembaptis yang bangkit kembali itu adalah Yesus. Yang lain lagi menjawab bahwa Yesus adalah nabi yang pernah disebutkan Musa "barangsiapa yang mendengarkan Dia, akan hidup, tetapi barangsiapa tidak mendengarkan Dia akan binasa".

    Semua penilaian zaman itu diberikan kepada Yesus Kristus dalam waktu tidak lebih dari tiga setengah tahun. Yesus telah melakukan begitu banyak hal. Ia menyembuhkan, mengajar, dan membuktikan bahwa Dialah Allah yang berkuasa yang diutus ke dunia. Lalu pada waktu semua sudah memberikan penilaian-penilaiannya, Yesus tidak menanggapi apa-apa, tapi Ia mendorong lagi dengan satu kalimat, "Menurutmu, siapakah Aku?"[2] Pertanyaan ini penting karena bila kita memiliki pengenalan pribadi tentang Kristus berdasarkan firman Tuhan, barulah kita mempunyai kekuatan yang cukup untuk bersaksi bagi Dia. Apakah Kristus itu sekadar dokter yang paling mujarab? Apakah Kristus itu hakim yang keras? Mak comblang yang mencarikan jodoh bagi orang-orang muda? Ahli sulap yang membuat Anda kaya? Apakah Kristus itu sekadar pemuas emosi yang kita peroleh melalui kebaktian-kebaktian doa dan puji-pujian? Jika Anda mengetahui jawaban-jawaban yang diberikan oleh orang-orang Kristen di Indonesia, maka Anda akan mengetahui betapa simpang-siurnya kekristenan pada zaman ini.

  2. KEPADA SIAPA PERTANYAAN ITU DIAJUKAN?

    Pernahkah Anda memikirkan dengan baik tentang siapakah Kristus? Apakah artinya mengikut Kristus? Apakah artinya menjadi orang Kristen? Bukankah di Indonesia ada lebih banyak orang yang bukan Kristen daripada orang Kristen? Bukankah ada banyak agama-agama lain di Indonesia? Mengapa Anda menjadi orang Kristen? Yesus tidak menolak ataupun menghina jawaban dari dunia akademis tentang siapakah diri- Nya. Ia tahu apakah Anda memiliki penilaian-penilaian yang bersifat otoritatif. Tetapi Ia menuntut Anda secara pribadi untuk berakar, mempunyai iman yang sungguh-sungguh, dan mengenal-Nya dengan benar. Pada waktu Yesus menantang dengan pertanyaan demikian, maka seolah- olah semua murid-Nya tidak mempunyai jawaban. Tetapi ada satu murid yang menjawab dengan tegas, "Engkaulah Mesias, Anak Allah yang hidup." Kalimat ini keluar dari mulut Petrus. Inilah suatu pengakuan iman pertama dalam sejarah gereja. Petruslah orang pertama yang mengaku tentang siapakah Yesus di hadapan orang banyak. Tidaklah mudah bagi Petrus untuk menyimpulkan dan mengatakan pengertiannya tentang siapakah Kristus. Ia bukanlah orang yang memiliki latar belakang pendidikan yang tinggi, juga bukan pengikut dari ahli-ahli Taurat yang belajar Perjanjian Lama dengan ketat, tapi dia hanyalah seorang nelayan. Seorang rakyat jelata yang mendengar bahwa seorang nabi telah muncul. Jadi selain menangkap ikan, Petrus juga mengikuti dan mendengarkan khotbah-khotbah Yohanes Pembaptis. Rupanya Petrus memperhatikan bahwa Yohanes Pembaptis membawa berita yang berfokuskan pada firman Allah, yaitu tentang kedatangan Kristus. Kedatangan Kristus adalah sumber pengharapan bangsa Israel sehingga mereka berdoa siang malam memohon kedatangan Mesias.

    Konsep bangsa Israel tentang Kristus pada masa itu adalah konsep yang sudah dibatasi oleh persepsi selektif. Pada waktu Petrus mengikut Yohanes Pembaptis, ia melihat perbedaan antara Yohanes dengan para ahli Taurat dan yang lainnya yang juga mengajarkan tentang kedatangan Kristus yang pertama. Ahli-ahli Taurat dan orang-orang Farisi juga belajar tentang Kristus yang akan datang. Tetapi pada waktu mengajarkan tentang Kristus, pengajaran mereka dibatasi oleh persepsi selektif yang begitu sempit dan subjektif. Mereka tidak mau mengenal Allah melalui apa yang sudah diberikan Allah. Mereka tidak mau mengenal Kristus melalui wahyu yang sudah diberikan mengenai Dia. Mereka hanya memilih bagian-bagian yang cocok dengan apa yang mereka inginkan. Pada zaman sekarang juga ada begitu banyak orang yang tidak mau mengenal Kristus yang tersalib, tapi hanya mau Kristus yang menyembuhkan; mereka tidak mau mengenal Kristus yang menderita tetapi hanya mau Kristus yang memberikan kekayaan.

    Orang Yahudi terdampar dan dibuang oleh Tuhan karena mereka tidak mencapai fokus Kristologi dari seluruh Kitab Suci. Di dalam Perjanjian Lama Allah sudah berjanji bahwa Kristus akan datang, lahir di kota Bethlehem, dijual seharga 30 keping perak, menderita, dipaku di atas kayu salib, bahkan kedua tangan dan kaki-Nya akan ditusuk tanpa satu tulang pun dari tubuh-Nya yang akan patah. Semua ditulis dengan begitu jelas. Lalu pada aspek yang lain Alkitab menulis juga bahwa Kristus akan menjadi Raja, dan seluruh kuasa akan berada di atas bahu-Nya dan kuasa-Nya lebih besar daripada siapa pun. Dia akan melenyapkan kuasa musuh, membangun kembali kerajaan Israel, membalas dendam kepada mereka yang menginjak-injak kehormatan bani Israel; Kristus yang menang, yang memberikan keadilan, menegakkan satu sistem dan ordo politik dan militer yang baru di dalam dunia.

    Pada waktu ahli-ahli Taurat dan orang-orang Farisi mempelajari Perjanjian Lama, mereka mempelajarinya dengan satu persepsi selektif[3] yang sudah menjadi kaku dan keras dalam hati mereka sehingga mereka menilai nubuat-nubuat mengenai Kristus yang dihina, dipaku dan tidak memiliki kemuliaan lahiriah sebagai hal-hal yang tidak benar. Mereka berdoa memohon kedatangan Kristus yang membalas dendam kepada orang- orang Romawi yang menjajah bangsa Yahudi serta yang akan mencuci noda sejarah bangsa Israel yang dijajah. Orang-orang Yahudi umumnya memohonkan kedatangan Kristus yang akan membawa bangsa Yahudi ke dalam zaman keemasan yang dulu pernah mereka capai dalam masa pemerintahan Daud. Doa-doa mereka dipengaruhi oleh persepsi selektif atas Kristologi yang sudah dicemarkan oleh keinginan dunia dan tidak lagi berfokus kepada Kristus dan salib-Nya.

    Petrus adalah murid dari Yohanes Pembaptis sebelum ia mengenal Yesus. Ia tidak tertarik oleh kedatangan Mesias seperti yang diajarkan oleh ahli-ahli Taurat dengan persepsi selektifnya yang subjektif. Tetapi ia tertarik dengan pengajaran Kristologi yang benar, yang lengkap, menyeluruh, dan harmonis.

    Pada waktu Adam makan buah pohon pengetahuan yang baik dan yang jahat, maka Allah membunuh binatang-binatang dan mengajarkan kepada Adam bahwa tanpa ada pengaliran darah, tidak ada pengampunan bagi manusia. Yohanes Pembaptis melihat dengan jelas bahwa Yesus Kristus adalah Domba Allah yang dijanjikan itu, yang menjadi korban pengganti manusia. Yohanes menyerukan, "Lihatlah anak Domba Allah yang menghapus dosa dunia!" Jadi semua khotbah yang muluk-muluk dan yang sudah diseleksi oleh para ahli tidak masuk ke telinga Petrus; khotbah yang berfokus kepada Kristus yang akan mati mengganti dosa umat manusia langsung masuk ke dalam hati dan pikiran Petrus. Itulah sebabnya pada waktu Yesus Kristus menanyakan tentang siapakah diri-Nya, Petrus langsung menjawab dengan tepat, "Engkaulah Kristus, Anak Allah yang hidup!" Pengakuan iman yang akurat dan dinamis yang pertama di dalam sejarah telah diucapkannya.

    Hari itu Yesus langsung menjawab Petrus dengan satu kalimat, "Berbahagialah engkau Simon bin Yunus, karena apa yang kamu katakan itu bukan berasal dari manusia tetapi dari Bapa-Ku yang ada di surga." Yesus tidak pernah meremehkan doktrin-doktrin yang benar yang membuat Anda menyatakan pengakuan iman yang sungguh-sungguh berasal dari pengenalan yang benar yang merupakan sari dan kristalisasi tentang Dia. Bukan saja tidak meremehkan bahkan Kristus mengonfirmasikan bahwa hal itu bukan berasal dari manusia, tetapi dari Allah. Pada saat itu juga Kristus memberikan wahyu selanjutnya yang kedua yaitu mulai berdirinya gereja.

  3. BERTANYA TENTANG APA?

    Sekarang marilah kita memperhatikan beberapa hal berikut ini.

    Gereja yang tidak mempunyai pengakuan iman tidak seharusnya berdiri sebagai gereja. Tidak seharusnya gereja berdiri hanya karena membawa orang beramai-ramai ikut kebaktian, tetapi tidak tahu apa yang akan didirikan. Kristus tak pernah mengatakan sebelumnya tentang ekklesia sampai Petrus mengeluarkan pengakuan iman yang benar itu. Gereja harus mempunyai pengakuan iman yang berfokus kepada Kristus. Jikalau gereja tidak mengaku Kristus sebagai Tuhan dan Juruselamat, namun hanya berfokus kepada-Nya sebagai sumber kepercayaan, maka gereja itu pada suatu hari harus menutup pintunya sendiri. Bukankah pada saat ini begitu banyak orang mengakui Yesus? Tetapi sebagai apakah Yesus itu diakui? Sebagai pembagi rotikah? Sebagai pemberi berkatkah? Sumber anugerahkah? Tabibkah? Atau satu-satunya Juruselamat yang diutus Allah ke dalam dunia?

    Pada waktu Petrus mengatakan, "Engkaulah Mesias, Anak Allah yang hidup!" kita dapat memahami hal itu dalam pengertian sejarah dan suprasejarah yang difokuskan menjadi satu. Sepanjang sejarah, Kristus adalah yang dinanti-nantikan oleh umat manusia sepanjang zaman. Berarti pada titik kedatangan Kristus, apa yang diharapkan manusia dari zaman ke zaman sudah konkrit. Titik kedatangan Kristus juga berkait dengan kekekalan. Kristus yang datang ke dalam sejarah adalah Kristus yang berada dalam kekekalan yang melampaui sejarah. Pengharapan ini adalah suatu pengharapan sejati seluruh umat manusia, bukan hanya pengharapan dari bangsa Israel saja. Kekekalan dan kesementaraan hanya mempunyai satu titik kontak yaitu inkarnasi. Kita semua berada di dalam dunia yang bersifat sementara sedangkan Allah berada di surga yang bersifat kekal. Agama-agama lain begitu takut dan gentar kepada Allah karena mereka mengetahui bahwa yang sementara tidak mungkin mencapai yang kekal, tetapi yang kekal itu mungkin memberikan kemurahan kepada manusia. Namun, kemurahan itu belum dipastikan sehingga mereka hanya dapat berkata, "Mudah-mudahan dapat tempat yang baik di sisi Tuhan." Hal ini terjadi karena titik kontak itu tidak ada. Mengakui adanya Allah tidak berarti bahwa manusia pasti menikmati keberadaan-Nya. Tidak mengakui adanya Allah, tidak berarti bahwa manusia bisa meniadakan keberadaan-Nya. Mengakui adanya Allah dengan menikmati keberadaan Allah itu sama sekali berbeda.Perbedaannya terletak pada adanya titik kontak antara yang sementara dan yang kekal itu. Dan Kristus berada di titik kontak itu.

    Manusia dicipta di tengah-tengah dua wilayah yaitu wilayah yang kelihatan dan wilayah yang tidak kelihatan. Dalam wilayah yang kelihatan, manusia harus menerima segala sesuatu yang meneruskan keberadaannya di dalam alam materi, alam yang lebih rendah dari manusia itu sendiri. Tuhan Yesus berkata, "Manusia hidup bukan hanya bersandarkan roti saja, melainkan kepada setiap perkataan yang keluar dari mulut Allah." Wilayah kedua, adalah wilayah yang tidak bisa dilihat oleh manusia. Jadi, Allah mencipta dan menempatkan manusia untuk hidup sekaligus dalam dua dunia yang bersifat berbeda secara kualitas. Kaum komunis yang hanya mengakui keberadaan dunia materi akhirnya akan hancur sendiri. Demikian pula orang-orang yang hanya mengakui dunia spiritual seperti penganut-penganut ajaran mistik, akan hidup menjadi schizoprenis sehingga terlepas dari kebutuhan dan kesaksian sebagai wakil Tuhan di dalam dunia materi. Di dalam dunia materi yang tercampur dengan dunia spiritual ini, mau tidak mau kita harus mengakui terputusnya hubungan antara manusia dengan dunia yang tidak kelihatan sebagai akibat dosa. Hal ini tercantum dalam kitab Yes. 59:1,2. Dosa merupakan pemisah antara kita dan Pencipta dan Sumber hidup kita.

    Orang bisa menjadi kaya tanpa merasa sejahtera. Orang bisa mempunyai banyak uang tanpa mempunyai pengharapan. Orang boleh mempunyai kenikmatan dunia sebanyak mungkin, tapi tidak akan mempunyai kepuasan hidup sebab manusia sudah terpisah dari Allah. Manusia berusaha mencari titik kontak antara kesementaraan dan kekekalan, dan mereka mencarinya di dalam dirinya sendiri, di dalam agama, di dalam nabi-nabi dan pengajar-pengajar yang akhirnya juga mati dengan sendirinya. Ketidakmungkinan merajalela sehingga manusia mati dalam kekecewaan dan keputusasaan tanpa memiliki pengharapan apa pun. Mereka mati dan tidak tahu mau ke mana. Karena Tuhan mengasihi manusia, Ia menurunkan satu titik kontak; titik kontak ini bersumber dari atas ke bawah dan mengakibatkan inkarnasi. Inkarnasi berarti Tuhan menjadi daging; Tuhan yang tidak kelihatan sekarang bisa dilihat; Allah menyatakan diri dalam tubuh dan hidup sebagai manusia. Inilah fokus dari Kristologi.

    Melalui iman Petrus sudah mencapai pengertian yang jelas tentang pertemuan dua dunia, antara yang kekal dan yang sementara. Inilah kristalisasi iman Kristen yang benar. Kalau kita mempunyai pengenalan Kristologi seperti ini, kita tidak akan terjerumus seperti orang yang tidak mengenal Kristus. Kalau orang lain mengenal Kristus hanya sebagai pengubah moral, sosiolog yang besar, revolusionis dalam politik, pemimpin agama yang paling jenius, maka semua itu menjadi nihil pada akhirnya. Petrus berkata, "You are The Christ, The Son of The Living God." Istilah "are" berarti istilah yang menunjukkan kejadian yang terjadi sekarang, secara nyata dan jelas. Dengan kedatangan Kristus, kita tidak perlu lagi kembali kepada satu pengharapan yang hari depannya tidak diketahui dengan pasti, yang secara abstrak ditunggu-tunggu oleh orang-orang yang tidak mengenal Yesus Kristus. Kata "The Son of The Living God", menunjukkan bahwa Yesus berasal dari dunia yang tidak kelihatan, dunia kekekalan dan sekarang Ia ada dan berwujud dalam dunia yang kelihatan, dunia sejarah. Inilah berkat terbesar di mana manusia boleh bertemu dengan Tuhan yang begitu prihatin kepada umat manusia.

    Sebenarnya, sebelum Petrus mengatakan hal itu, ada perkataan yang mirip yang keluar dari mulut seorang bernama Simeon kepada Yesus Kristus, kira-kira tiga puluh tahun sebelumnya. Simeon yang saat itu menggendong Yesus Kristus yang masih bayi, berkata, "Ya Allah, lepaskanlah kini hamba-Mu ke dalam damai karena hari ini dengan mataku sendiri, aku sudah melihat keselamatan yang dari pada-Mu." Kalimat itu merupakan kalimat yang agung karena sudah diurapi oleh Roh Kudus dan keluar dari bibir seseorang dengan begitu tepat, "Aku sudah melihat keselamatan yang dari pada-Mu."

    Keberadaan Kristus dalam sejarah merupakan suatu realisasi dari keselamatan yang dikaruniakan kepada manusia. Maka Tuhan Yesus berkata, "Di atas batu karang ini Aku akan mendirikan gereja-Ku dan alam maut tidak akan menguasainya." Apakah artinya istilah batu karang? Orang-orang Katolik mengatakan bahwa istilah itu dikenakan kepada Petrus. Pengertian semacam ini tidak benar karena jika demikian, maka seluruh pemberitaan Kitab Suci harus mengubah arahnya karena seluruh Kitab Suci tidak pernah menyebut bahwa gereja didirikan di atas Petrus. Satu ayat pun tidak ada yang menunjang kalimat dari pengakuan iman Katolik tentang hal ini.

    Kitab Suci mengatakan bahwa gereja didirikan di atas nabi dan rasul, dan bentuk kata yang digunakan adalah bentuk yang jamak, bukan tunggal, nabi-nabi dan rasul-rasul, bukan hanya di atas Petrus. Istilah nabi-nabi dan rasul-rasul merupakan istilah yang menerangkan bahwa nabi-nabi mewakili Perjanjian Lama dan rasul-rasul mewakili Perjanjian Baru. Firman Tuhan dalam Perjanjian Lama dan dalam Perjanjian Baru itulah yang menjadi fondasi berdirinya gereja. Tapi inipun belum mencapai finalnya karena Alkitab mengatakan bahwa gereja didirikan di atas Batu Karang yang tidak pernah berubah. Siapakah Dia? Dialah Yesus Kristus. Gereja didirikan di atas para nabi dan para rasul. Ini berarti bahwa gereja yang benar, berdiri di atas kepercayaan pada Perjanjian Lama dan Perjanjian Baru; dan isi Perjanjian Lama dan Perjanjian Baru difokuskan kepada Kristus. Tuhan tidak mengatakan bahwa Petruslah satu-satunya yang menjadi fondasi didirikannya gereja; tak pernah demikian. Kita menolak penafsiran demikian, tapi kita menerima kesaksian Kitab Suci yang mengatakan bahwa Petrus adalah nama baru yang diberikan Tuhan Yesus kepadanya. Yesus adalah Kristus di dalam sejarah dan Anak Allah dalam supra- sejarah. Iman menjelajah kedua wilayah, terlepas dari dunia yang kelihatan. Kita juga menikmati sekaligus dunia yang tidak kelihatan karena kita berada di dalam Kristus.

Catatan kaki:

  1. Yeremia adalah seorang nabi yang penuh dengan perasaan cinta kasih kepada orang-orang yang perlu dikasihani dan ia juga penuh dengan kesedihan dan prihatin. Jadi mereka berpendapat bahwa Yesus adalah orang penuh dengan prihatin dan penuh dengan belas kasihan. Di dalam Kitab Suci dicatat ada sepuluh kali Yesus "jatuh hati oleh belas kasihan" (compassion); Dia sehati dengan mereka yang menangis, dengan mereka yang membutuhkan, dengan mereka yang sedih.

  2. Saya sangat tertarik dengan pertanyaan ini karena ada begitu banyak pemuda-pemudi yang belajar Kristologi, belajar tentang Tuhan, tetapi tidak belajar dari Tuhan sendiri melainkan belajar dari orang-orang lain tentang Tuhan. Cara mereka menerangkan Tuhan adalah dengan mengutip pandangan Kristus menurut Karl Barth, Emille Brunner, Rudolf Bultmann, Jurgen Moltmann, Wolfhart Panennberg, dsb. Tetapi jika ditanya tentang Kristus berdasarkan pengertian pribadi mereka, ternyata mereka melarikan diri dari tanggung jawab kepercayaan mereka.

  3. Tukang parkir tidak memperhatikan suara apa pun yang masuk ke telinganya selain dari bunyi mobil yang baru distarter. Setiap suara yang masuk ke telinga disaringnya. Tapi hanya suara mobil yang baru distarter yang membuatnya bereaksi untuk menagih uang parkir. Konsep penyaringan seperti itulah yang kita sebut sebagai persepsi selektif.

Sumber: 

Bahan di atas diambil dan diedit dari sumber:

Judul Buku : Siapakah Kristus? Sifat dan Karya Kristus
Judul Artikel : -
Penulis : Pdt. Dr. Stephen Tong
Penerjemah : -
Penerbit : Lembaga Reformed Injili Indonesia, Jakarta, 2002
Halaman : 11 - 21

Kematian Kristus

Editorial: 

Dear e-Reformed netters,

Senang sekali bisa berjumpa Anda lagi. Posting saya kali ini ingin saya pakai untuk mempersiapkan kita semua dalam menyambut perayaan hari penting umat Kristen, yaitu PASKAH, hari kematian Kristus. Namun sebelum Anda membacanya, saya ingin minta maaf terlebih dahulu, khususnya kepada para pembaca e-Reformed yang memiliki keyakinan pada Doktrin Penebusan Universal, yaitu doktrin yang percaya bahwa Kristus mati untuk semua orang. Tiga artikel pendek yang diambil dari bukunya John Owen ini akan menjelaskan tentang beberapa masalah dari Doktrin Penebusan Universal.

Saya perkirakan, sebagian besar umat Kristen di Indonesia lebih mempercayai/menyukai Doktrin Penebusan Universal dibandingkan dengan Doktrin Pilihan. Selain lebih mudah dinalar, Doktrin Penebusan Universal juga dirasa lebih manusiawi. Namun demikian, kebenaran yang kita pegang seharusnya berdiri di atas Kebenaran yang sejati, bukan di atas penalaran dan perasaan manusia. Oleh karena itu, saya ingin mengajak Anda untuk meninjau kembali kebenaran tentang "untuk siapa Kristus mati" dengan meneliti kebenaran Alkitab. Artikel-artikel John Owen yang saya kutipkan dari bukunya "The Death of Death in the Death of Christ" ini saya pikir dapat menolong kita untuk melihat secara teliti apa yang sebenarnya Alkitab katakan tentang tujuan kematian Kristus.

Salah satu ayat yang sering dipakai untuk mendukung Doktrin Penebusan Universal adalah Yohanes 3:16. Ayat ini banyak ditafsirkan dengan cara yang tidak sesuai dengan maksud penulisan bahasa aslinya. Artikel ketiga yang saya sajikan di sini akan membahas secara khusus tentang penafsiran ayat tersebut. Nah, supaya Anda tidak semakin penasaran, silakan simak posting saya di bawah ini.

Selamat membaca dan merenungkan.

In Christ,
Yulia
< yulia@in-christ.net >

Penulis: 
John Owen
Edisi: 
71/II/2006
Isi: 
Artikel 1: JAWABAN TERHADAP EMPAT ALASAN UMUM YANG SERING DIPAKAI OLEH DOKTRIN PENEBUSAN UNIVERSAL
Artikel 2: PENJELASAN PENDAHULUAN MENGENAI AYAT-AYAT YANG MENGGUNAKAN KATA "DUNIA"
Artikel 3: STUDI TERPERINCI MENGENAI YOHANES 3:16

JAWABAN TERHADAP EMPAT ALASAN UMUM YANG SERING DIPAKAI OLEH DOKTRIN PENEBUSAN UNIVERSAL

Alasan 1.
Terdapat ayat-ayat Alkitab yang berbicara mengenai apa yang dicapai Kristus melalui kematian-Nya dengan istilah-istilah yang sangat umum dan tidak jelas. Oleh karena itu timbul pendapat bahwa kematian-Nya bukanlah bagi tujuan tertentu atau terbatas.

Sebagai contoh, Alkitab berbicara mengenai nilai kematian Kristus yang tak terbatas. Di mana dikatakan mengenai pengucuran "darah Anak-Nya sendiri" (Kis. 20:28). Kematian Kristus dikatakan sebagai suatu persembahan "tanpa cacat" yang dipersembahkan oleh "Roh yang kekal" (Ibr. 9:14). Darah Kristus dikatakan "mahal", lebih mahal dari perak atau emas (lPtr. 1:18). Jika kematian Anak Allah memiliki nilai yang begitu nyata dan tak terbatas, mungkinkah itu tidak cukup untuk menebus semua manusia?

Kita tidak menyangkal bahwa kematian Kristus adalah pembayaran yang cukup untuk menebus semua manusia. Apa yang kita tekankan ialah Alkitab menyatakan dengan jelas bahwa kematian Kristus tidak dimaksudkan untuk menjadi tebusan bagi setiap manusia. Sebagian orang mungkin keberatan: Jika Kristus tidak mati untuk semua manusia, maka tidak ada gunanya untuk memberitakan Injil kepada semua orang, seperti yang diperintahkan kepada kita (Mat. 28:19). Saya menjawab:

  1. Terdapat sejumlah orang yang akan diselamatkan dari setiap bangsa. Hal ini tidak dapat terlaksana tanpa pengabaran Injil kepada seluruh bangsa.
  2. Karena sekarang tidak ada lagi perlakuan khusus untuk Bangsa Yahudi, maka Injil harus diberitakan kepada semua bangsa tanpa pembedaan.
  3. Panggilan kepada manusia untuk percaya, pertama-tama bukanlah panggilan untuk percaya bahwa Kristus telah mati secara khusus bagi mereka, tetapi panggilan untuk percaya bahwa di luar Kristus tidak ada yang dapat membawa keselamatan.
  4. Para Pendeta tidak pernah dapat mengetahui siapa di antara jemaatnya yang adalah orang-orang pilihan Allah. Karena itu, mereka harus memanggil semuanya untuk percaya, dan meyakinkan bahwa semua yang percaya akan diselamatkan karena kematian Kristus cukup untuk menyelamatkan setiap orang yang percaya.

Pembahasan tersebut seharusnya sudah cukup untuk menjelaskan bahwa Injil harus diberitakan kepada semua orang, meskipun tidak semua orang diselamatkan.

(Uraian panjang lebar penggunaan istilah-istilah "dunia" dan "semua manusia" akan di bahas di dua artikel selanjutnya)

Alasan 2.
Alkitab terkadang memberikan kesan bahwa sebagian orang yang untuknya Kristus mati tidak benar-benar diselamatkan. Hal ini berarti bahwa Kristus pasti telah mati untuk semua orang, tetapi hanya beberapa orang saja yang berhasil memenuhi syarat-syarat yang ditentukan.

Kita perlu memahami bahwa Alkitab sering menggambarkan manusia dengan penampilan luarnya dan bukan keadaan sebenarnya di dalam dirinya. Contohnya, Yerusalem disebut "kota kudus" (Mat. 27:53). Bukan berarti kita harus berpikir bahwa Yerusalem sungguh-sungguh kudus.

Demikian juga, Alkitab seringkali menggambarkan orang-orang sebagai "kudus" atau "orang-orang suci" atau bahkan sebagai "pilihan" karena mereka secara lahiriah berkaitan dengan komunitas orang percaya. Paulus berkata mengenai orang-orang percaya di Filipi: "Memang sudah sepatutnya aku berpikir demikian akan kamu semua" (Fil. 1:7). Dari perkataan tersebut, tidak dapat disimpulkan bahwa semua penerima surat Paulus adalah orang percaya. Paulus menilai mereka berdasarkan pengenalan terbaik yang dimilikinya mengenai mereka. Jadi jika beberapa orang gagal diselamatkan, kita tidak boleh mengatakan bahwa Allah berniat untuk menyelamatkan semua tetapi hanya beberapa yang terjangkau. Barangsiapa gagal, sebenarnya tidak pernah sungguh-sungguh menjadi orang percaya, meskipun dari luar tampak seperti orang percaya.

Alasan 3.
Alkitab terkadang mengesankan bahwa keselamatan ditawarkan secara umum kepada semua orang, asal saja mereka mau percaya akan diselamatkan. Dengan demikian, disimpulkan bahwa Kristus pasti mati untuk semua orang.

Dalam Alkitab, memang iman dan keselamatan selalu berkaitan. Orang yang percaya akan diselamatkan. Tetapi ini tidak lebih dari berarti bahwa semua orang percaya pasti akan diselamatkan. Ini tidak berarti bahwa Allah bermaksud untuk menyelamatkan semua orang jika mereka mau percaya. Alasannya:

  1. Kenyataan Allah tidak menawarkan hidup kekal pada semua manusia. Sebagian besar umat manusia tidak pernah mendengar Injil.
  2. Perintah umum Allah tidak memberitahukan kita akan maksud-maksud khusus-Nya. Secara umum, Allah memerintahkan manusia untuk taat kepada-Nya. Tetapi dalam contoh kasus Firaun, maksud Allah berbeda dengan perintah-Nya, karena Ia mengeraskan hati Firaun (Kel. 4:21), sementara itu juga memerintahkannya untuk taat.
  3. Janji Injil mengajarkan kepada kita hubungan yang tak terpisahkan antara iman dan keselamatan. Tetapi ini tidak berarti Allah menghendaki semua orang bertobat dan percaya, karena jika demikian mengapa ada pemilihan ilahi? Jika Ia bermaksud menyelamatkan semua orang, mengapa hanya memilih sebagian? Dan bagaimanapun juga, jika Ia bermaksud untuk menyelamatkan semua orang, mengapa Ia gagal untuk mencapai maksud-Nya? (Tidak ada gunanya untuk berpendapat bahwa Ia gagal karena manusia tidak mau percaya; Ia seharusnya sudah mengetahui sebelumnya bahwa mereka tidak akan percaya; lalu mengapa Ia merencanakan sesuatu yang Ia sudah tahu tidak akan terlaksana?)

Juga fakta bahwa orang percaya dan yang tidak percaya hidup campur bersama, dan para pendeta tidak dapat memastikan siapa yang dipilih dan siapa yang tidak dipilih Allah, berarti ia harus berkhotbah secara umum bagi semua orang. Ini tidak berarti bahwa janji Injil diperuntukkan bagi semua orang secara umum, melainkan ia hanya dikabarkan kepada semua orang. Karena Kristus hanya diterima berdasarkan iman, dan iman merupakan pemberian Allah bagi mereka yang dikehendaki-Nya, maka jelas bahwa Ia tidak mungkin merencanakan keselamatan mereka yang tidak diberi-Nya iman.

Alasan 4.
Jika Kristus tidak mati untuk semua orang, bukankah seruan Alkitab kepada semua orang bahwa mereka harus percaya tidak ada gunanya?

Perlu dipahami bahwa iman yang dibicarakan dalam Alkitab memiliki berbagai tahap pertumbuhan dan urutan penggunaan yang logis. Kita tidak boleh berpikir seruan Alkitab untuk percaya secara pasti akan menjadikan setiap orang percaya Kristus mati untuknya secara khusus. Ada hal-hal lain yang dipercayai, yang dapat diterima oleh semua manusia. Tak seorang pun yang diperintahkan untuk mempercayai sesuatu yang tidak memiliki cukup bukti. Sebagai contoh:

  1. Hal pertama yang harus dipercayai oleh manusia adalah bahwa mereka tidak dapat menyelamatkan diri mereka sendiri, karena mereka adalah orang berdosa. Setiap manusia mempunyai bukti mengenai hal ini di dalam dirinya sebagaimana yang ditunjukkan Paulus dalam Roma 1-3. Berapa banyak orang yang tidak mau mempercayai hal ini meskipun mereka mempunyai banyak bukti untuknya!
  2. Injil memanggil orang-orang berdosa untuk percaya bahwa Allah telah menyediakan jalan keselamatan melalui Yesus Kristus. Berjuta-juta orang telah mendengarnya tetapi menolak untuk menerima hal itu meskipun ada banyak bukti untuknya.
  3. Injil memanggil orang-orang berdosa untuk percaya bahwa tidak ada Juruselamat yang lain selain Yesus Kristus. Hal ini merupakan hal yang paling ditolak orang Yahudi. Mereka malah menganggap Kristus sebagai musuh Allah!

Panggilan umum ini dilakukan bukan karena Kristus mati untuk semua orang, tetapi karena kebenaran-kebenaran ini merupakan bukti untuk semua orang. Dan hanya setelah penjelasan ini diberikan, orang baru dipanggil untuk percaya bahwa Yesus mati untuknya secara khusus. Sebagian orang telah memperhatikan bahwa Pengakuan Iman Rasuli (Ringkasan kuno agama Kristen) menempatkan frasa "pengampunan dosa dan hidup yang kekal" di bagian akhir. Hal ini mengisyaratkan bahwa sebelum kita sampai pada pengampunan dosa dan hidup yang kekal, ada hal-hal lain yang harus dipercayai dulu; dan telah ada banyak bukti bagi hal itu.


PENJELASAN PENDAHULUAN MENGENAI AYAT-AYAT YANG MENGGUNAKAN KATA "DUNIA"

Sebenarnya saya enggan untuk menyebutkan pasal-pasal Alkitab yang telah digunakan untuk mendukung pendapat bahwa Kristus mati untuk semua manusia. Bukan karena ayat-ayat tersebut sulit saya jelaskan, tetapi karena saya tidak ingin menyinggung ketidakbenaran ini. Saya menduga bahwa ayat-ayat tersebut telah disampaikan kepada para pembaca oleh mereka yang meyakini kesalahan tersebut. Jadi sekarang saya harus memberikan jawaban kepada Anda untuk menjawab mereka.

Jangan terbawa oleh kelogisan kata-kata semata. Ingatlah selalu apa yang menjadi garis besar pengajaran Alkitab, dan jangan pernah menafsirkan satu ayat bertentangan dengan garis besar tersebut. Sebagai contoh, kata "dunia" dalam suatu ayat dapat diartikan berdasarkan ayat-ayat di sekitarnya; ada 5 penggunaan yang berbeda dari kata "dunia":

  1. Alam semesta atau bumi sebagai tempat tinggal

  2. [Ayub 34:13
    Matius 13:38
    Kisah Para Rasul 17:24
    Efesus 1:4
    dan banyak ayat lainnya]

  3. Penduduk dunia:

  4. Semua orang tanpa terkecuali
    [Roma 3:6
    Semua tanpa perbedaan
    Yohanes 7:4
    Banyak orang Kebanyakan orang
    Matius 18:7
    Kerajaan Roma
    Roma 1:8
    Orang-orang yang baik
    Lukas 2:1
    Yohanes 6:33
    Orang-orang yang jahat
    Yohanes 14:17
    dan banyak ayat lainnya]

  5. Dunia sebagai sistim yang rusak

  6. [Galatia 6:14]
    dan banyak ayat lainnya

  7. Pemerintahan manusia

  8. [Yohanes 18:36
    dan banyak ayat lainnya]

  9. Kerajaan setan

  10. [Yohanes 14:30
    dan banyak ayat lainnya]

Sebagian orang mungkin mengajukan keberatan bahwa sebuah kata harus selalu mempunyai makna yang sama di manapun letaknya dalam Alkitab. Saya menjawab: Hal itu tidak benar, karena ada beberapa bagian di mana Alkitab menggunakan arti yang berbeda untuk kata yang sama dalam kalimat yang sama. Dalam Mat. 8:22, kata "mati" yang pertama berarti kematian rohani dan yang kedua berarti kematian jasmani. Dalam Yoh 1:10, kata "dunia" yang pertama berarti bumi tempat tinggal, sedangkan yang kedua berarti planet bumi, dan ketiga berarti sebagian manusia di atas bumi.

Demikianlah, jika kata "dunia" kadangkala digunakan untuk mengartikan sebagian manusia, maka kata ini tidak boleh dipaksakan harus selalu berarti semua manusia. Dan ada beberapa bagian di mana kata tersebut secara jelas tidak mengacu pada semua manusia.

Lukas 2:1 - "seluruh dunia". Ini jelas mengacu pada Kerajaan Romawi. Tidak mungkin mengacu pada setiap orang di dunia.

Yohanes 1:10 - "dunia tidak mengenal-Nya". Tetapi sebagian manusia mengenal-Nya. Oleh karena itu kata "dunia" di sini tidak dapat diartikan setiap orang.

Yohanes 8:26 - "Kukatakan kepada dunia". Tetapi hanya beberapa orang Yahudi yang mendengarNya berbicara. Kata "dunia" tidak dapat diartikan setiap orang.

Yohanes 12:19 - "seluruh dunia datang mengikuti Dia". Ini hanya dapat diartikan sebagian besar bangsa Yahudi datang mengikuti Dia. Tidak dapat diartikan setiap orang.

1 Yohanes 5:19 - "seluruh dunia". Tetapi ada banyak orang percaya dalam dunia ini yang tidak berada dalam kuasa si jahat. Kata "dunia" tidak dapat diartikan setiap orang.

Jadi secara umum kata "dunia" hanya mengacu pada sebagian orang di dunia. Saya tidak tahu mengapa kata tersebut diartikan lain pada bagian-bagian di atas dalam hubungannya dengan keselamatan.

Setelah pengamatan-pengamatan umum ini, marilah kita melihat beberapa ayat Alkitab yang menggunakan istilah "dunia", antara lain Yoh. 1:29; 3:16; 4:42; 6:51; 2Kor. 5:19 dan 1 Yoh. 2:2. Dengan menggunakan ayat- ayat tersebut, beberapa orang berpendapat:

  1. Dunia meliputi semua dan setiap manusia.
  2. Kristus dikatakan mati untuk dunia.
  3. Jadi Kristus mati untuk semua dan setiap manusia.

Logika semacam ini salah karena kata "dunia" digunakan dalam dua pengertian yang berbeda. Dalam pernyataan pertama, "dunia" mengacu pada bumi sebagai planet. Dalam pernyataan kedua, kata ini mengacu pada orang-orang di dalam dunia. Tidak ada titik temu di antara kedua pernyataan tersebut. Jadi kesimpulan yang dihasilkan juga salah (kecuali Anda ingin mengatakan bahwa Kristus mati untuk planet bumi).

Beberapa orang berusaha untuk merumuskan kembali argumen tersebut secara demikian:

  1. Di dalam beberapa bagian Alkitab, "dunia" mengacu pada semua dan setiap manusia.
  2. Kristus dikatakan mati untuk dunia.
  3. Jadi Kristus mati untuk semua dan setiap manusia.

Argumen ini juga salah, karena Anda tidak dapat menarik suatu kesimpulan umum jika pernyataan pertama hanya mengacu pada makna sempit dari sebuah kata atau frasa, seperti kata "beberapa bagian". Juga saya harus menegaskan bahwa pada banyak bagian, kematian Kristus hanya dikaitkan pada "domba-domba-Nya" atau "jemaat-Nya".

Jadi argumentasi tersebut harus ditulis ulang, seperti ini:

  1. Pada beberapa bagian Alkitab kata "dunia" berarti semua dan setiap manusia.
  2. Pada beberapa bagian Alkitab, Kristus dikatakan mati untuk seluruh dunia.
  3. Jadi Kristus mati untuk semua dan setiap manusia.

Jelas bagi siapa pun, argumentasi ini tampak menggelikan! Harus ditunjukkan bahwa "beberapa bagian" dari pernyataan pertama adalah sama dengan "beberapa bagian" pada pernyataan kedua. Bila tidak, argumentasi tersebut tidak membuktikan apa-apa. Dan dalam kasus apapun, sebuah kesimpulan umum tidak dapat diambil dari pernyataan pertama yang terbatas, seperti yang telah kita lihat sebelumnya.

Jadi sebagai pembukaan, saya kira saya telah memaparkan kesalahan dari argumen-argumen yang didasarkan pada penggunaan kata "dunia". Saya berani mengatakan bahwa argumen-argumen lemah tersebut tidak pernah dipakai oleh orang-orang yang berpikir baik-baik! Tinggalkanlah argumen-argumen itu, marilah kita kembali kepada Alkitab itu sendiri.


STUDI TERPERINCI MENGENAI YOHANES 3:16

Ayat ini sering dipakai untuk mengajarkan bahwa:

"mengasihi" =
  1. Allah mempunyai kerinduan alamiah bagi kebaikan dari
"dunia" =
  1. seluruh umat manusia dari segala suku bangsa di segala tempat dan waktu, sehingga
"memberikan" =
  1. Ia memberikan Anak-Nya untuk mati, bukan untuk secara aktual menyelamatkan orang-orang tertentu, tetapi
"Barangsiapa" =
  1. supaya setiap orang yang memiliki kemampuan alamiah untuk percaya
"beroleh" =
  1. dengan demikian dapat beroleh hidup yang kekal.

Seharusnya, kita memahami ayat tersebut sebagai berikut:

"mengasihi" =
  1. Allah mempunyai kasih yang begitu khusus dan agung sehingga Ia menghendaki
"dunia" =
  1. Semua umat-Nya yang berasal dari segala suku bangsa pasti akan diselamatkan
"memberikan" =
  1. dengan menetapkan Anak-Nya menjadi Juruselamat yang berdaulat untuk menyelamatkan semua orang pilihan-Nya
"Barangsiapa" =
  1. Ia memastikan bahwa semua orang percaya [umat pilihan-Nya], siapa pun juga, dan hanya mereka
"beroleh" =
  1. yang sungguh-sungguh memiliki semua hal mulia yang disediakan-Nya untuk mereka.

Ada tiga hal yang harus dipelajari dengan hati-hati di sini.
Pertama, kasih Allah;
kedua, penerima kasih Allah, yang di sini disebut sebagai "dunia";
ketiga, maksud dari kasih Allah, yaitu supaya orang-orang percaya "tidak binasa".

  1. Penting untuk dipahami di sini bahwa tidak ada suatu ketidaksempurnaan apa pun yang dapat dikatakan mengenai Allah.

  2. Pekerjaan-Nya adalah sempurna. Tetapi jika dikatakan bahwa Ia mempunyai kerinduan alamiah untuk menyelamatkan semua orang, maka kegagalan bagi semua orang untuk diselamatkan mengesankan bahwa keinginan-Nya lemah, dan kebahagiaan-Nya tidak lengkap.

    Demikian juga, tidak ada bagian Alkitab yang mengajarkan kerinduan alamiah Allah bagi "kebaikan" (baca: keselamatan - ed.) semua orang. Sebaliknya, justru dikatakan bahwa Allah secara bebas dan berdaulat menyatakan belas kasihan kepada siapa Ia ingin menaruh belas kasih- Nya. Kasih-Nya merupakan tindakan bebas dari kehendak-Nya, bukan sebuah emosi yang muncul di dalam diri-Nya karena keadaan kita yang menderita. (Jika penderitaanlah yang menimbulkan keinginan alamiah Allah untuk menolong maka Ia harus berbelaskasih pada Iblis dan orang- orang terkutuk!)

    Kasih yang digambarkan di sini adalah tindakan khusus dan berdaulat dari kehendak Allah, dan diarahkan secara khusus kepada orang-orang percaya. Kata-kata "begitu" dan "supaya" menekankan pada tindakan luar biasa dari kasih ini, dan tujuan yang jelas bagi penyelamatan orang- orang percaya dari kebinasaan. Oleh karena itu, kasih ini tidak mungkin merupakan perasaan kasih-sayang yang umum terhadap semua orang yang sebagian darinya akan binasa.

    Ayat-ayat Alkitab yang lain juga membenarkan bahwa kasih Allah ini merupakan sebuah tindakan agung, yang ditujukan secara khusus bagi orang-orang percaya, contohnya Rm. 5:8 atau 1 Yoh. 4:9-10. Orang tidak akan berbicara mengenai kecenderungan alamiah bagi kebaikan semua orang dengan ayat-ayat yang begitu tegas seperti ini.

    Adalah jelas bahwa Allah menginginkan kebaikan bagi mereka yang Ia kasihi .... [Kasih yang khusus] inilah yang menyebabkan Ia memberikan Kristus, dan semua hal lain yang mereka butuhkan. "Ia, yang tidak menyayangkan Anak-Nya sendiri, tetapi yang menyerahkan-Nya bagi kita semua, bagaimanakah mungkin Ia tidak mengaruniakan segala sesuatu kepada kita bersama-sama dengan Dia?" (Rm. 8:32). Karena itu, kasih Allah yang khusus ini hanya mungkin dialami oleh orang-orang yang kepadanya diberikan anugerah dan kemuliaan.

    Sekarang Anda harus menentukan; mungkinkah kasih Allah, yang telah memberikan Anak-Nya ini dimengerti sebagai sebuah keinginan baik Allah yang bersifat umum kepada semua orang? Tidakkah ini lebih merupakan kasih Allah yang khusus untuk orang-orang percaya pilihan-Nya?

  3. Selanjutnya, kita akan menyelidiki siapakah penerima kasih Allah, yang disebut "dunia" itu.

  4. Sebagian orang mengatakan: ini pasti berarti semua dan setiap manusia. Saya tidak mengerti bagaimana bisa berarti demikian. Di depan, kita telah diperlihatkan pengertian-pengertian yang berbeda dari kata "dunia" dalam Alkitab. Dan dalam Yoh. 3:16, kasih disebutkan di bagian awal, dan tujuan kasih itu di bagian akhir, tidak mungkin sesuai dengan pengertian "semua dan setiap manusia" yang oleh sebagian orang diselipkan pada kata "dunia" di tengah-tengah ayat ini!

    Bagi kita, kata "dunia" ini dipahami sebagai orang-orang pilihan Allah yang tersebar di seluruh dunia dari antara segala bangsa. Bukan sebagai anugerah khusus Allah yang ditujukan hanya bagi orang Yahudi saja. Pengertiannya adalah, "Allah, begitu mengasihi orang-orang pilihan-Nya yang ada di seluruh dunia, sehingga Ia memberikan Anak-Nya dengan tujuan supaya oleh-Nya orang-orang percaya dapat diselamatkan". Ada beberapa alasan untuk mendukung pandangan ini.

    Sifat kasih Allah, sebagaimana yang telah kita bahas di sini, tidak mungkin dapat dipikirkan sebagai pemberian kepada semua dan setiap manusia. Kata "dunia", dalam ayat ini harus mengacu pada suatu dunia yang menerima hidup kekal. Hal ini ditegaskan oleh ayat berikutnya - Yoh. 3:17 - di mana, untuk ketiga kalinya kata "dunia" disebutkan. Dikatakan bahwa tujuan Allah dalam mengirimkan Kristus adalah "supaya dunia diselamatkan". Jika "dunia" di sini diartikan selain orang-orang percaya yang dipilih, maka Allah telah gagal mencapai tujuannya, kita tidak dapat membenarkan penjelasan seperti ini.

    Dalam kenyataannya, bukan hal yang aneh kalau orang percaya disebut dengan istilah-istilah semacam "dunia", "seluruh manusia", "seluruh bangsa" dan "seluruh keluarga di atas bumi". Sebagai contoh, dalam Yoh. 4:42, Kristus dikatakan sebagai Juruselamat dunia. Juruselamat orang yang tidak diselamatkan akan merupakan suatu pertentangan istilah. Jadi, mereka yang disebut di sini sebagai "dunia" harus merupakan mereka yang diselamatkan.

    Ada beberapa alasan mengapa orang-orang percaya disebut "dunia". Alasannya adalah untuk membedakan mereka dari malaikat-malaikat; untuk menolak orang-orang Yahudi sombong yang menganggap hanya mereka yang merupakan umat Allah; untuk mengajarkan perbedaan antara Kovenan Lama yang dibuat dengan satu bangsa, dengan Kovenan Baru - di mana seluruh bagian dunia dijadikan taat kepada Kristus; dan untuk memperlihatkan kondisi orang percaya sebenarnya, sebagai ciptaan yang hidup di atas bumi, di dalam dunia.

    Jika tetap bersikeras bahwa kata "dunia" di sini mempunyai pengertian seluruh dan setiap manusia sebagai penerima kasih Allah, maka mengapa Allah tidak menyatakan Yesus kepada setiap orang yang begitu Ia kasihi? Sungguh aneh, jika dikatakan Allah memberikan Anak-Nya kepada mereka, namun Ia tidak pernah memberitahu mereka mengenai kasih-Nya - berjuta-juta orang tidak pernah mendengar berita Injil! Bagaimana mungkin Ia dikatakan mengasihi setiap manusia [dalam arti khusus], jika ketetapan-Nya ini tidak diketahui oleh setiap orang?

    Akhirnya, kata "dunia" tidak mungkin berarti seluruh dan setiap manusia kecuali Anda siap untuk menerima bahwa:

    Kasih Allah kepada sebagian orang adalah sia-sia,
    karena mereka binasa.
    Kristus diberikan kepada berjuta-juta orang yang tidak pernah
    mengenal-Nya.
    Kristus diberikan kepada berjuta-juta orang yang tidak
    dapat mempercayai-Nya.
    Allah merubah kasih-Nya, dengan mengabaikan mereka yang binasa (atau
    sebaliknya, Ia tetap mengasihi mereka dalam neraka).
    Allah gagal untuk memberikan segala sesuatu kepada orang-orang yang
    baginya Ia telah memberikan Kristus.
    Allah sebelumnya tidak mengetahui siapa yang akan percaya dan
    diselamatkan.

    Kemustahilan-kemustahilan semacam ini tidak dapat kita terima; Kata "dunia" hanya berarti orang-orang pilihan yang tersebar di seluruh dunia.

  5. Cara supaya orang pilihan Allah menerima hidup yang ada di dalam Anak-Nya adalah dengan percaya. Dikatakan "Setiap orang yang percaya tidak akan binasa".[*]
  6. Jika dikatakan bahwa Kristus mati untuk seluruh dan setiap manusia, dan kita tahu bahwa hanya orang-orang percaya saja yang akan diselamatkan, lalu apa perbedaan antara orang-orang percaya dengan orang-orang yang tidak percaya? Mereka tidak mungkin membuat perbedaan itu sendiri (lihat 1Kor. 4:7). Maka pasti Allah yang membuat perbedaan antara mereka. Tetapi jika Allah yang membuat mereka berbeda, maka bagaimana mungkin Ia dapat memberikan Kristus kepada mereka semua?

    Ayat tersebut menyatakan maksud Allah bahwa orang-orang percaya akan diselamatkan. Hal itu berarti bahwa Allah tidak memberikan Anak-Nya untuk mereka yang tidak percaya. Bagaimana mungkin Ia memberikan Anak- Nya bagi orang-orang yang kepadanya Ia tidak berikan anugerah untuk percaya?

    Sekarang silakan pembaca menimbang semua ini, pertama-tama dan khususnya, mengenai kasih Allah, dan dengan serius menanyakan apakah mungkin itu merupakan kasih kepada semua orang, yang membiarkan kebinasaan begitu banyak orang yang dikasihi-Nya? Ataukah kasih ini lebih baik dimengerti sebagai kasih yang unik dan khusus dari Bapa untuk anak-anak-Nya yang percaya, yang menjamin masa depan mereka? Maka Anda akan mendapatkan jawaban mengenai apakah Alkitab mengajarkan bahwa Kristus mati sebagai tebusan umum - tidak berguna bagi sebagian orang yang seharusnya telah ditebus - atau sebagai penebusan khusus yang berlaku bagi setiap orang percaya secara berkemenangan. Dan ingatlah ayat ini, Yoh. 3:16, yang begitu sering digunakan untuk mendukung pendapat bahwa Kristus mati untuk setiap manusia - meskipun, seperti yang telah saya jelaskan, sangat tidak sesuai dengan pendapat demikian!

Ket. [*]:
Tidak ada gunanya mendukung penebusan universal dengan berpendapat bahwa "barangsiapa" berarti "setiap orang", secara tidak definit.

  1. Bentuk kata Yunaninya sebenarnya adalah "setiap orang percaya".
  2. Mengusulkan "setiap orang" berarti menyangkal bahwa kasih Allah diberikan secara merata kepada setiap orang! Jika hanya sebagian yang diperkenan-Nya - "barangsiapa", maka Allah tidak mungkin mengasihi semua manusia secara merata. Namun bagaimanapun juga tampak jelas bahwa Ia lebih mengasihi sebagian "barangsiapa" dari yang lainnya.

Sumber: 

Bahan di atas dikutip dari sumber:

Judul buku : Kematian yang Menghidupkan
Penulis : John Owen
Penerbit : Momentum, Surabaya, 2001
Halaman :95 - 114

Firman Menjadi Daging (2)

Editorial: 

Dear e-Reformed Netters,

Berikut ini adalah lanjutan dari artikel bulan lalu. Semoga menjadi berkat. Selamat menyimak.

In Christ,
Yulia Oeniyati
< yulia@in-christ.net >

Penulis: 
Paul David Tripp
Edisi: 
070/I/2006
Isi: 

SUMBER YANG TEPAT UNTUK MENGHADAPI PERGUMULAN

Apa yang telah diberikan Firman kepada kita sehingga kita dapat berbicara dengan standar Allah dan menurut rancangan-Nya? Dalam doa singkat di Efesus (1:15-23), Paulus memakai empat kata yang dinamis untuk menyatakan sumber-sumber daya yang menjadi milik kita karena karya penebusan Kristus.

Kata yang pertama adalah harapan. Di dalam Sang Firman kita menemukan harapan bagi perkataan kita. Harapan ini bukan keinginan dalam mimpi atau pengharapan yang tidak berdasar. Tidak, harapan yang alkitabiah tidak kurang dari suatu pengharapan penuh keyakinan akan hasil yang pasti. Di dalam Dia kita dapat menang dalam perang dengan kata-kata. Kita tidak perlu berkompromi dengan komunikasi yang penuh dengan kegetiran, kemarahan, perusakan, dan usaha memecah belah. Kita boleh memiliki standar yang tinggi dan menentukan target yang tinggi, bukan karena siapa kita ini, tetapi karena apa yang telah Dia lakukan. Oleh karena itu, kita menolak status quo, kita menolak membiarkan kesinisan yang ditimbulkan oleh keputusasaan merambat dan menyebabkan kita menyerah di dalam pergumulan. Tidak, kita hidup dan berbicara dengan iman dan keberanian, kita percaya bahwa sesuatu yang lebih baik dapat dicapai karena apa yang telah Dia lakukan.

Sebagai istri, Anda tidak boleh membiarkan diri Anda percaya bahwa komunikasi di dalam pernikahan Anda tidak akan pernah membaik. Dalam Sang Firman ada harapan. Sebagai suami, Anda tidak boleh menyerah pada kemarahan Anda dan kata-kata yang dicetuskan oleh kemarahan itu. Ada harapan. Sebagai seorang teman, Anda tidak boleh menolak berbicara di saat Anda terluka, dengan mengira itu tidak apa-apa. Ada harapan. Sebagai orang tua, Anda harus percaya bahwa Anda dapat melayani anak- anak Anda sekalipun Anda sendiri terluka dan terkuras, karena Sang Firman telah datang, dan bersama-Nya juga, ada harapan. Pembaca, tanyakanlah pada diri Anda, "Apakah komunikasi saya mengalir dari keyakinan saya akan karya Firman yang memberikan sumber kekuatan?"

Apa yang menjadi harapan kita untuk berbicara dengan sikap saleh ketika anak remaja yang membangkang menolak kita? Apa yang menjadi harapan kita untuk berbicara seperti yang dirancang oleh Allah kepada suami yang menjauh, istri yang kritis, teman Kristen yang getir, atau tetangga yang suka bertengkar? Dari mana kita mendapatkan kekuatan untuk berbicara dengan benar kepada majikan yang keras, penuntut, dan tidak berterima kasih, atau kepada anak-anak yang mementingkan diri sendiri dan terus mengeluh? Harapan apa yang kita miliki untuk komunikasi yang utuh ketika kita memulai pembicaraan yang sulit dalam keadaan lelah dan patah semangat? Apa yang akan kita lakukan ketika kita bergumul dengan kegetiran kita sendiri, ketika kita marah, atau bergumul dengan keinginan mengikuti jalan kita sendiri? Apa yang akan menolong kita ketika tuduhan kepada kita tidak benar, ketika kita merasa tidak dihargai, tidak diperhatikan, atau kebaikan kita dianggap sudah menjadi kewajiban kita? Apa yang menjadi harapan kita untuk berbicara dengan cara yang menunjukkan karya Allah dalam diri kita dan bukannya menurut keinginan dari sifat dosa kita? Harapan kita satu- satunya adalah Sang Firman. Karya-Nya bagi kita mengubah sama sekali cara yang dapat kita pakai untuk menanggapi pergumulan kata-kata kita.

Anda mengetahui bagaimana cara kerjanya. Kebanyakan dari komunikasi kita sehari-hari tidak ditata atau ditulis. Kita terus-menerus hanyut ke dalam saat-saat yang bukan merupakan bagian dari agenda kita untuk hari itu.

Misalnya anak laki-laki saya datang kepada saya pada Kamis malam jam 10:30 dan berkata, "Papa, saya harus menyerahkan tugas pelajaran sains besok dan ada beberapa hal yang saya butuhkan." Ingat, dia telah mendapat tugas ini selama berminggu-minggu! Sambil mencoba menjaga ketenangan, saya menanyakan apa yang dia butuhkan. "Oh, saya memerlukan sedikit papan untuk poster," dia mengatakan dengan ragu- ragu. "Itu masih lumayan," saya berpikir. "Kita dapat menyatukan karton-karton yang ada di rumah." "Ada lagi?" saya bertanya. Dia berkata, "Oh, mungkin saya perlu beberapa spidol." Saya dapat merasakan tingkat kemarahan saya meningkat, tetapi saya berdalih bahwa kita mungkin dapat menuangkan air ke dalam beberapa spidol kering yang ada di rumah untuk menyelesaikan satu proyek lagi. Sekali lagi saya bertanya, "Ada lagi yang lain?" Dengan suara yang ketakutan dia berkata, "Dua belas anak ayam." Saya tidak dapat mempercayai apa yang saya dengar! Saya merasakan wajah saya merah padam. "Tentu saja, saya akan pergi ke toko ayam 24 jam dan membeli selusin yang segar!"

Dalam sekejap mata perang ini berkecamuk -- bukan, bukan antara anak laki-laki saya dan saya, tetapi di dalam hati saya. Saya marah dan frustrasi. Saya sudah lelah dengan ranjau-ranjau kesulitan yang tidak terduga. Dengan menghantamnya dengan kata-kata, saya dapat dengan berkuasa membuat kedudukan menjadi seri. Saya ingin mengatakan kepadanya betapa bodohnya dia dan bahwa dia gila kalau dia pikir saya akan membantunya. Saya ingin mengatakan kepadanya bahwa di zaman saya, saya tidak pernah menunda-nunda tugas. Banyak sekali yang ingin saya katakan, dan pada saat itu, sebaiknya saya mempunyai harapan yang memampukan saya untuk melawan semua yang ingin saya lakukan secara naluriah!

Jika perang berkecamuk di dalam hati kita pada momen-momen kecil dan biasa, betapa hebatnya perang ini akan hadir pada momen-momen yang menyakitkan dalam pernikahan, momen-momen yang mengecewakan sebagai orang tua, dan kegagalan yang mengecewakan di dalam tubuh Kristus! Kebanyakan dari momen-momen ini tidak dapat dihindarkan, tetapi Anda akan menghadapinya dengan cara yang sama sekali berbeda jika Anda percaya bahwa karena karya Firman, ada harapan bagi kita. Tiga kata berikut yang dipakai Paulus untuk melukiskan harapan itu.

SEGALA SESUATU YANG KITA PERLUKAN

Kata kedua yang dipakai Paulus dalam Efesus 1:15-23 untuk menunjukkan manfaat dari karya Sang Firman pada saat ini adalah kekayaan. Paulus mengatakan tentang "betapa kayanya kemuliaan di dalam Kristus". Apa yang dia sampaikan di sini? Petrus menangkapnya dengan baik ketika dia mengatakan bahwa "kuasa ilahi-Nya telah menganugerahkan kepada kita segala sesuatu yang berguna untuk hidup yang saleh" (2Petrus 1:3). Bukan hanya banyak, melainkan segala sesuatu yang berguna. Perhatikan kata-kata itu di sini. Kata kerja di dalam ayat Alkitab ini ("telah menganugerahkan") memakai bentuk waktu perfektif, yang menunjukkan suatu tindakan di masa lalu dengan akibat yang terus berlangsung hingga ke masa yang akan datang. Artinya, Kristus telah memasukkan segala sesuatu yang saya perlukan ke dalam perbendaharaan saya. Mungkin Anda bertanya, "Untuk apa?" Petrus mengatakan, "Untuk hidup yang saleh." Kepada saya telah dianugerahkan bukan hanya segala sesuatu yang saya perlukan untuk hidup yang kekal, melainkan juga segala sesuatu yang saya perlukan untuk menjalankan kehidupan yang saleh sejak saya diselamatkan sampai Allah membawa saya pulang kepada Dia!

Biarlah kuasa dari kata-kata ini diserap. Tuhan tidak akan pernah membiarkan Anda di dalam suatu keadaan tanpa memberikan semua yang Anda butuhkan untuk melaksanakan panggilan-Nya bagi Anda.

Misalnya, Anda adalah seorang istri yang berada dalam pembicaraan yang sangat sulit dengan suami Anda. Untuk saat seperti ini sudah ada kekayaan di dalam perbendaharaan Anda. Mungkin Anda adalah pekerja yang bergumul menghadapi majikan yang sangat kritis. Segala sesuatu yang Anda butuhkan untuk berbicara dengan saleh telah diberikan. Sebagai orang tua, Anda menghadapi satu hari lagi dimana anak remaja Anda membangkang dan tidak hormat. Tuhan telah memberikan semua kekayaan yang Anda perlukan untuk melewati luka dan kemarahan Anda sendiri, serta untuk berfungsi sebagai alat-Nya. Firman telah datang dan di dalam tangan-Nya ada kekayaan yang mulia. Karunia-Nya adalah satu-satunya alat yang dapat menjinakkan lidah manusia!

Hal ketiga di dalam daftar sumber daya yang diberikan Paulus adalah kuasa. Paulus mengatakan, "Betapa hebat kuasa-Nya bagi kita yang percaya" (Efesus 1:19). Karena karya Sang Firman, kita mempunyai kuasa untuk menang dari perang yang menjadi penyebab pergumulan kita dengan kata-kata. Kita tidak bergumul dalam komunikasi hanya karena kita kekurangan ketrampilan atau kata-kata. Masalah kita adalah ketidakberdayaan. Masalah kita adalah ketidakmampuan. Itulah sebabnya Yakobus mengajukan pertanyaan retorika, siapa yang dapat menjinakkan lidah? Jawaban Alkitab yang terbaik untuk pertanyaan ini adalah tidak seorang pun di dunia ini yang mampu! Tetapi Kristus telah datang, dengan menunjukkan kuasa-Nya dalam pelayanan-Nya, menjalankan kuasa- Nya terhadap kejahatan di atas salib, dan memberkati umat-Nya dengan kuasa di dalam pribadi Roh Kudus yang berdiam di dalam mereka. Paulus mengatakan bahwa Allah, yang dapat melakukan jauh lebih banyak daripada yang kita doakan atau pikirkan, sedang bekerja dengan kuasa- Nya di dalam kita (lihat Efesus 3:20).

Perhatikan ini sebentar. Allah tidak mengeluarkan serangkaian perintah agung dan tinggi, kemudian duduk bersandar untuk melihat apakah kita mentaatinya. Tidak, Dia memahami bahwa dosa kita telah membuat kita tidak berdaya, dan bahwa kita tidak akan mengetahui apa yang kita perlu ketahui dan tidak dapat melakukan apa yang perlu kita lakukan tanpa Dia. Oleh sebab itu Dia telah membebaskan kita dan masuk ke dalam diri kita dengan Roh-Nya. Kuasa-Nya yang tidak terbayangkan ada di dalam kita! Dan bukan hanya di dalam, kuasa-Nya sedang bekerja! Paulus mengatakan bahwa kita telah diberikan kuasa yang hanya dapat dibandingkan dengan kuasa yang telah membangkitkan Kristus dari kematian.

Ini mengubah segala sesuatu. Sang Firman telah menjadikan kita tempat tinggal-Nya sehingga kita mempunyai kuasa untuk berbicara seperti yang telah dirancang-Nya. Di dalam Dia apa yang tidak mungkin menjadi mungkin. Perang dapat dimenangkan. Lidah dapat dijinakkan sehingga bukan lagi menjadi alat kejahatan, melainkan penghasil kebaikan.

Apa yang membuat buku ini berbeda dari buku komunikasi yang lain bukanlah besarnya perbendaharaan hikmat dan pengalaman dari penulis buku. Tetapi hanya satu: Injil. Injil mengubah sama sekali cara kita memahami dan melakukan perang dengan kata-kata yang merupakan bagian terbesar dari pegumulan manusia.

Injil menghindarkan kita dari model komunikasi kekuatan independen yang mengasumsikan bahwa masalah kita dapat diselesaikan dengan pemahaman dan ketrampilan yang benar. Injil memaksa kita untuk menghadapi ketidakmampuan kita. Injil juga menghindarkan kita dari model komunikasi lemah dan tidak mampu yang membuat kita melihat target Tuhan dan mengatakan, "Kalau saja kita sanggup!" Di dalam Kristus kita merangkul ketidakmampuan dan kemampuan. Firman datang dan memenuhi kita dengan kuasa-Nya karena kita begitu lemah. Tetapi di dalam Kristus, kita yang dulunya tidak sanggup berdiri, sekarang sanggup berdiri!

Terapkan ini ke dalam dunia pembicaraan Anda. Kuasa telah diberikan. Ia tinggal di dalam Anda oleh Roh dan menjangkau sampai kelemahan komunikasi Anda yang terdalam. Hai, istri, Anda menyangkal Injil jika Anda melihat suami Anda lalu berkata kepada diri Anda sendiri, "Untuk apa lagi? Dia tidak dapat berubah." Hai, suami, Anda menyangkal Injil dengan membela diri dan merasa benar sendiri ketika istri Anda mencoba berbicara kepada Anda tentang dosa di dalam percakapan Anda. Hai, orang tua, Anda menyangkal Injil ketika Anda membiarkan komunikasi Anda dengan anak Anda dikuasai oleh emosi dan keinginan yang tidak terkendalikan. Karena Firman telah datang dan telah memberikan kepada kita kuasa-Nya, kita dapat melangkah maju dengan penuh keberanian, percaya bahwa kita akan berkembang dalam dunia pembicaraan kita.

Karena kehadiran Roh Allah yang tinggal di dalam kita, ada harapan bahwa lidah dapat melakukan kebaikan yang telah ditentukan Allah. Tidak ada yang dapat mengatakan bahwa kita terlalu lemah ("Kalau saja saya lebih beriman" atau "Kalau saja saya sedikit lebih berani atau "Kalau saja saya dapat memikirkan hal yang tepat untuk dikatakan"). Tidak seorang pun di antara kita yang dapat menyalahkan kepribadian kita ("Saya orangnya terbuka" atau "Saya sangat pemalu" atau "Maaf, saya bukan orang yang mudah bangun pagi"). Tidak seorang pun dari kita yang dapat menyalahkan masa lalu kita ("Saya tidak pernah diberikan contoh komunikasi yang baik" atau "Saya selalu diajarkan untuk melawan" atau "Orang tua saya tidak pernah sungguh-sungguh memakai waktu untuk mengajar kami"). Tidak seorang pun dari kita yang boleh menyalahkan orang-orang di sekeliling kita ("Kalau saja saya mempunyai anak-anak yang lebih penurut" atau "Kalau saja suami saya lebih mengasihi dan lebih perhatian, maka saya akan ..." atau "Kalau saja istriku tidak selalu mengkritik saya" atau "Kalau saja majikan saya lebih menghargai apa yang saya lakukan bagi dia setiap hari"). Tidak seorang pun di antara kita yang boleh menyalahkan situasi kita sekarang ini ("Kalau saja saya mempunyai lebih banyak waktu" atau "Kalau saja pekerjaan saya tidak begitu banyak menuntut saya").

Benar, kita hidup dengan orang berdosa, jadwal kita padat, banyak di antara kita dibesarkan di lingkungan yang negatif, dan kita semua telah diberikan kepribadian yang berbeda yang membantu dan menghambat kita dalam berbagai cara. Tetapi ini yang penting: Allah telah memberikan kita Roh-Nya, bukan sekalipun, melainkan oleh karena kenyataan ini. Roh Kudus diberikan agar kita dapat melakukan kehendak Allah sekalipun kita adalah orang berdosa di dunia yang berdosa, sehingga hidup dan kuasa-Nya dapat menutupi semua akibat dosa kita sendiri dan dosa orang lain terhadap kita, sehingga kita benar-benar dapat melakukan kehendak Allah! Kuasa-Nya tidaklah jauh atau terlelap, tetapi sedang bekerja di dalam kita! Kita dapat berbicara menurut standar Allah dan menurut rancangan-Nya karena Dia hidup di dalam kita dengan kuasa yang aktif.

PEMERINTAHAN KRISTUS YANG PERSONAL DAN YANG MENEBUS

Kata terakhir yang merangkum sumber daya yang telah dikaruniakan kepada kita di dalam Kristus adalah kendali. Paulus mengatakan bahwa Kristus adalah "Kepala dari segala yang ada. Jemaat yang adalah tubuh- Nya" (Efesus 1:22-23). Tidak ada situasi yang akan kita hadapi yang tidak dikendalikan oleh Kristus. Kehidupan kita tidak berada di luar kendali. Kristus secara hati-hati mengaturnya demi kebaikan kita dan kemuliaan-Nya.

Konsep tentang pengepalaan dan kendali Kristus secara tepat masuk ke dalam komunikasi kita yang paling bermasalah. Sering kata-kata kita menunjukkan suatu usaha untuk mengendalikan segala sesuatu demi kepentingan kita. Kita didorong oleh suatu perasaan pribadi tentang apa yang kita inginkan atau apa yang kita anggap baik, sehingga kita berbicara dengan cara yang menjamin bahwa kita akan mendapatkannya. Kita membela diri, menuduh, menimbulkan rasa bersalah, memanipulasi, merasionalisasi, bertengkar, mendesak, memohon, atau mengancam, semuanya dengan tujuan mengendalikan seseorang atau suatu situasi.

Adakalanya kita melakukannya karena rasa takut. Rasanya sungguh seolah-olah kehidupan kita sedang berguling di luar kendali kita. Memang kelihatannya orang-orang di sekeliling kita sedang menghambat apa yang kelihatannya paling baik. Kelihatannya tepat bagi kita untuk mengambil kendali, kalau tidak, apa yang akan terjadi? Tetapi pembicaraan yang didorong rasa takut melupakan salah satu janji paling berharga dari Injil: bahwa Kristus sekarang ini, pada saat ini, sedang mengendalikan segala sesuatu bagi kebaikan kita secara khusus sebagai anak-anak Allah. Mungkin saya tidak selalu melihat tangan-Nya dan saya tidak selalu melihat kebaikan yang Dia lakukan, tetapi Dia tetap aktif dan memegang kendali. Komunikasi yang mencoba untuk mencari keamanan pribadi dengan mengambil kendali telah melupakan salah satu karunia paling manis dari Firman, yaitu kendali Allah atas segala sesuatu bagi anak-anak-Nya.

Cara lain untuk mengatakan hal ini adalah bahwa kata-kata kita sering menunjukkan bahwa kita tidak begitu percaya kepada Tuhan karena kita mencoba menjadi Dia. Kita mencoba melakukan dengan kata-kata kita apa yang hanya dapat dilakukan-Nya.

Sebagai contoh, seorang ayah tidak seharusnya begitu takut pada apa yang akan terjadi pada anaknya sampai-sampai dia mencoba melakukan dengan kata-katanya apa yang hanya dapat dilakukan Allah dengan anugerah-Nya, "Kalau ini adalah hal terakhir yang akan saya lakukan, saya akan membuat kamu, menghormati saya" (ancaman). "Pikirkan semua kerja keras kami, pikirkan semua uang yang kami keluarkan, pikirkan semua waktu yang kami tanamkan -- apakah ini ucapan terima kasih yang kami dapatkan?" (rasa bersalah). "Ingat mobil yang kamu minta untuk ulang tahunmu? Kalau kamu ____, kita tidak tahu -- mungkin kamu akan memegang kuncinya" (manipulasi). Dalam masing-masing contoh, pembicara mencoba memutar hati anaknya dengan sejenis alat verbal.

Tetapi usaha untuk mengendalikan dengan kata-kata tidak selalu muncul dari rasa takut. Usaha ini sering juga timbul dari keangkuhan. Sebagai orang berdosa, kita cenderung mementingkan diri sendiri. Kita cenderung bergumul dengan rasa puas diri dan memasuki setiap keadaan penuh dengan keinginan kita sendiri.

Ketika saya bangun pagi, sering sekali orang pertama yang saya pikirkan adalah saya! Saya sudah dipenuhi dengan keinginan saya sendiri, membayangkan di dalam pikiran saya seperti apa hari itu jadinya. Ketika saya duduk di kantor dan telepon berbunyi, saya sering berpikir, "Apa lagi?" karena takut kalau-kalau seseorang akan mengganggu rencana saya. Ketika saya pulang sambil mengemudikan mobil di malam hari, saya sering memimpikan seperti apa malam itu, mengkuatirkan bencana apa yang akan dibawa orang lain ke dalam rumah yang akan merusak mimpi saya. Kata-kata kita sering menunjukkan betapa kita berfokus pada diri sendiri dan betapa inginnya kita mendapatkan apa yang kita inginkan dari orang lain.

"Tidak dapatkah saya menikmati kedamaian satu malam saja!" teriak seorang ayah kepada anaknya yang datang meminta bantuannya untuk proyek yang perlu waktu semalam suntuk. "Saya rasa kamu tidak sungguh- sungguh mencintai saya!" kata seorang istri kepada suaminya yang keluar dengan bergegas karena sudah terlambat dan sekarang menjadi marah dan frustrasi pula. Kata-kata si istri terfokus pada diri sendiri, dikatakan pada waktu yang tidak tepat, dan tidak mempedulikan kebutuhan suaminya. "Kalau saya tidak tinggal di sini, separuh dari persoalan saya akan selesai!" gerutu seorang remaja yang ditegur karena sikapnya yang buruk. Karena didorong oleh keinginannya, dia balik menyerang orang tuanya yang kelihatan selalu menghambatnya.

Injil membahas pergumulan ini juga. Kristus memanggil kita untuk suatu agenda yang lebih tinggi daripada kesenangan kita sendiri. Kristus mengendalikan segala sesuatu bagi kita, tetapi pengendalian-Nya bukan dilakukan demi kesenangan kita. Kita dipanggil untuk mentaati Kristus agar kita menjadi kudus dan supaya kekudusan kita memberikan kemuliaan kepada-Nya.

Sang Firman telah datang dan telah membawa ke dalam dunia kita pengendalian yang mulia, menyeluruh, setia, dan menebus. Pembicaraan kita harus bersumber pada kedamaian yang kita temukan di dalam pengendalian-Nya.

Sumber daya yang tersedia dalam Kristus merupakan satu-satunya harapan kita agar kata-kata kita dapat diucapkan sesuai dengan standar-Nya dan menurut rancangan-Nya. Di dalam Firman kita menemukan harapan ketika segala sesuatu sepertinya tidak ada harapan, kita menemukan kekayaan ketika kita merasa miskin, kita menemukan kuasa ketika kita melihat kelemahan kita, dan kita menemukan pengendalian ketika segala sesuatu di sekeliling kita kelihatannya di luar kendali.

INJIL DAN PEMBICARAAN ANDA

Pembicaraan yang utuh dari tubuh Kristus di rumah, gereja, atau tempat kerja berakar pada kenyataan Injil yang mulia. Firman telah datang dan membawa beserta-Nya segala sesuatu yang kita butuhkan untuk melalui kehidupan dengan pembicaraan yang saleh. Karena Dia telah datang, kita dapat mempunyai harapan bahwa kata-kata kita akan mengikuti pola dari Sang Pembicara Agung dan bukan mengikuti si Pendusta Besar itu. Firman telah datang untuk membebaskan kita dari kerusakan besar yang ditimbulkan kejatuhan, dimana karunia komunikasi yang luar biasa menjadi dunia kesusahan yang mengerikan. Kristus telah datang untuk menjinakkan apa yang tidak akan pernah dijinakkan manusia. Dia telah datang untuk memakai apa yang kelihatannya tidak dapat dipakai bagi tujuan-Nya. Dia telah datang untuk memberikan kepada kita kekayaan yang mulia dan kuasa yang tidak terimbangi sehingga lidah kita dapat dipakai sebagai alat kebenaran-Nya. Dunia pembicaraan kita tidak perlu menjadi dunia kesulitan karena satu alasan yang andal ini: Firman telah datang.

PENDALAMAN DAN PENERAPAN PRIBADI: KRISTUS DAN PEMBICARAAN ANDA

Ujilah pembicaraan Anda dengan orang lain minggu ini. Apakah pembicaraan Anda dibangun di atas fondasi kokoh yang telah Kristus dirikan bagi kita? Contohnya:

  1. Apakah Anda dengan rendah hati mengakui ketidakmampuan Anda dan memohon pertolongan Tuhan sebelum tiba waktunya untuk melakukan komunikasi yang penting?

  2. Dalam hubungan Anda yang penting, apakah Anda mencoba melakukan dengan kata-kata hal yang hanya dapat dilakukan Tuhan dengan anugerah dan kuasa-Nya?

  3. Apakah Anda menjadi korban keputusasaan sehingga Anda tidak mau berbicara ketika kata-kata Anda dibutuhkan atau menyerah pada pola pembicaraan yang berdosa?

  4. Apakah Anda mau mengakui kelemahan Anda dalam komunikasi, mengenal adanya tema yang timbul berulang-ulang, mengaku pada Tuhan dan orang-orang yang telah Anda sakiti, dan berkomitmen pada pola pembicaraan yang baru? (Semua ini didasarkan pada merangkul janji Kristus bahwa kekuatan-Nya disempurnakan di dalam kelemahan kita.)

  5. Apakah Anda mampu memikirkan dengan rendah hati apa yang ditunjukkan orang lain sebagai dosa dalam pembicaraan Anda? Ataukah Anda menyangkal, merasionalisasi, menyerang balik, mencari kambing hitam, atau bersenang-senang di dalam kegagalan Anda?

  6. Apakah Anda bersyukur kepada Tuhan setiap hari atas karunia-Nya, dan harapan yang diberikan sehingga Anda dapat berbicara dengan memberkati orang lain dan memuliakan-Nya?

Bacalah Efesus 1:15-23. Mintalah Tuhan untuk membuka mata Anda terhadap kebaikan yang mulia dari karya Kristus dan harapan yang diberikan bagi kata-kata Anda. Mintalah agar Dia menunjukkan kepada Anda di mana perubahan dibutuhkan dan melangkahlah dengan iman. Terakhir, tinggallah di dalam kenyataan akan apa yang dikatakan Yohanes tentang Firman itu: "Karena dari kepenuhan-Nya kita semua telah menerima kasih karunia demi kasih karunia" (Yohanes 1:16), dan percaya bahwa aliran anugerah-Nya yang terus menerus mengalir dapat mengubah dunia pembicaraan Anda secara radikal.

Sumber: 

Bahan di atas dikutip dari sumber:

Judul buku : War of Words
Penulis : Paul David Tripp
Penerbit : Momentum, Surabaya, 2004
Halaman : 53 - 66

Firman Menjadi Daging (1)

Editorial: 

Dear e-Reformed Netters,

Akhirnya, kita sampai dipenghujung tahun. Tahun 2006 sudah siap menanti kedatangan kita semua. Apakah tahun 2006 akan lebih baik dari tahun 2005? atau sebaliknya apakah akan lebih buruk? "Hanya Tuhan dan Anda yang tahu ...." Mungkin Anda akan bertanya, "Kalau Tuhan saya percaya pasti tahu, tapi apakah kita tahu? Hmmm ....

Menjelang tahun baru ada sebagian orang yang memiliki kebiasaan untuk membuat "resolusi tahun baru". Apakah Anda termasuk orang yang demikian? Di dalam resolusi ini, biasanya orang akan membuat janji- janji untuk melakukan sesuatu yang baik, yang bermakna, yang memberi kemajuan ... dll, pokoknya yang baik-baik, dengan harapan tahun di depan nati kita bisa mewujudkannya. Nah ... pernahkah Anda membuat resolusi agar tahun depan bisa lebih berhati-hati dalam berbicara?

Kelihatannya sepele, ya ... tapi ini seperti "musuh dalam selimut", sangat berbahaya. Apalagi kalau kita melihat ke belakang dan menyadari betapa banyaknya "kecelakaan" yang terjadi gara-gara mulut kita yang kurang bijaksana atau kurang bisa mengontrol diri sehingga menghancurkan hubungan dengan rekan kerja, teman dekat, bahkan dengan anggota-anggota keluarga yang kita cintai, terutama istri atau suami atau anak. Lalu terjadilah "sesal kemudian tak berguna", karena sudah terlanjur, minta maaf pun sering tidak menolong. Tentu kecelakaan "perang mulut" yang terjadi bukan sesuatu yang disengaja atau direncanakan, tapi herannya hal-hal seperti ini terjadi begitu saja, dan tiba-tiba yang kita alami adalah "shock" karena melihat hasilnya yang tak terduga dan sangat menyakitkan, bukan dari satu pihak, tapi dari dua belah pihak, sama-sama sedih dan menyesal. Tapi sayangnya "nasi sudah menjadi bubur". Yang tinggal hanya kemampuan berandai- andai, "Seandainya aku tahu akan begini, nggak bakal aku ngomong gitu tadi ..." atau "kenapa cuman omongan yang sepele gitu aja bisa bikin 'perang', andaikan aku tadi tutup mulut, mungkin ...."

Buku menarik yang saya baca beberapa waktu yang lalu, dengan judul yang sangat provokatif "War of Words", menolong saya melihat masalah komunikasi ini dari sudut pandang kebenaran Firman Tuhan. Wah ... sangat bagus sampai saya ingin sekali mensharingkan hal ini dengan Anda semua. Nah, selamat menikmati posting saya untuk menyambut Tahun Baru 2006 ini. Kiranya dapat menolong kita semua untuk bisa melihat masalah hidup kita yang sangat sensitif ini (khususnya dalam hal dosa lidah) dengan lebih jelas dan lebih mendasar.

Tak lupa, sekali lagi saya mengucapkan: Selamat Tahun Baru!

In Christ,
Yulia Oen
< yulia@in-christ.net >

Penulis: 
Paul David Tripp
Edisi: 
069/XII/2005
Isi: 
"Firman itu telah menjadi manusia, dan diam di antara kita."
(Yohanes 1:14)

SAYA telah menikah selama lebih dari seperempat abad. Allah telah memberikan kepada saya seorang istri yang saleh yang karakternya lebih baik dari pada saya. Luella dan saya menikmati hubungan yang indah dalam berbagai hal. Kami dibesarkan dalam keluarga Kristen dimana kami diajarkan kebenaran sejak kecil. Kami berdua mengenal Kristus ketika masih anak-anak dan dididik di perguruan tinggi Kristen. Kami telah mempergunakan waktu kami untuk pelayanan dan telah diberkati dengan pengajaran alkitabiah yang baik. Kami telah bekerja keras untuk mengikuti rancangan Kristus bagi pernikahan kami.

Kami menghabiskan waktu bersama-sama setiap minggu di luar rumah untuk membicarakan hal-hal yang perlu didiskusikan. Selama bertahun-tahun kami telah mencoba untuk mengadakan ibadah keluarga setiap hari. Namun, saya mengakui bahwa sekalipun dengan semuanya itu, sampai saat saya mempersiapkan buku ini, kami tidak bebas dari kesulitan dalam komunikasi kami. Saya tidak mengatakan bahwa kami menjerit dan berteriak. Kami tidak selalu marah-marah dan bersitegang urat leher satu sama lain. Tetapi kami tidak perlu melihat terlalu jauh untuk menemukan dosa dalam percakapan kami. Dosa itu mungkin adalah perkataan yang diucapkan terburu-buru dan tanpa pikir panjang, kata- kata kekesalan, tuduhan yang terlalu cepat, tuntutan atau komentar yang mementingkan diri sendiri, kalimat "Kan sudah saya bilang," sementara yang diperlukan sebenarnya adalah kata-kata penghiburan dan pemberi semangat. Dosa itu mungkin juga berupa jawaban yang tidak sabar, saat-saat mengorek detail yang tidak perlu, komentar yang bernada membenarkan diri atau mengasihani diri, atau situasi dimana dosa masa lalu diungkit kembali.

Sekalipun dengan semua ajaran Alkitab yang telah kami terima, dengan semua komitmen pribadi dan usaha-usaha praktis kami, dengan semua permohonan pengampunan kami dan doa kami meminta pertolongan, sebagai pasangan kami masih bermasalah dengan percakapan kami. Begitulah besarnya kebutuhan kami! Begitulah dalamnya persoalan kami!

KECENDERUNGAN KITA UNTUK LUPA

Ketika saya mengunjungi toko buku Kristen, kadang saya merasa heran apakah kita telah melupakan persoalan kita yang sesungguhnya. Apakah kita benar-benar merasa bahwa kita bisa menyelesaikan persoalan komunikasi yang kronis dengan pengertian manusia dan teknik yang pintar? Apakah kita telah melupakan bahwa masalah komunikasi menunjukkan masalah yang jauh lebih mendalam dan tingkatan yang lebih mendasar? Jika kita tidak mengatasi masalah yang lebih mendalam ini, kita tidak akan pernah menyelesaikan permasalahan komunikasi kita sehari-hari. Jika yang kita perlukan hanyalah pengetahuan dan ketrampilan, Luella dan saya sudah menyelesaikan persoalan pembicaraan kami jauh sebelumnya. Tetapi kami membutuhkan sesuatu yang lebih mendalam daripada teknik, ketrampilan, dan pengetahuan. Kebutuhan yang mendalam ini ditunjukkan setiap hari ketika kami berkomunikasi.

Baru-baru ini saya memperhatikan dua anak laki-laki saya yang sedang bertengkar. Ini bukan sesuatu yang baru; usia mereka terpaut dua tahun dan telah sering bertengkar. Sebenarnya, pertengkaran ini adalah pertengkaran yang telah sering mereka alami sebelumnya. Tetapi, sekali ini pertengkaran mereka menarik perhatian saya. Kata-kata mereka penuh dengan tuduhan. Nada bicara mereka penuh kemarahan. Tidak ada di antara mereka yang berhenti untuk mendengarkan pada saat berondongan perkataan mereka meningkat dan volume suara mereka meninggi. Tidak begitu lama kemudian mereka telah meninggalkan masalah yang mereka hadapi dan saling melemparkan luka masa lalu. Mereka berdua berbicara dengan penuh rasa sakit, frustrasi dan kemarahan, ketidaksabaran dan kecemburuan. Mereka tidak berbicara untuk menyelesaikan persoalan atau mendengar untuk memahami. Kata-kata mereka hanyalah senjata dalam peperangan. Masing-masing dari mereka ingin membungkam lawannya dan menang. Kalimat-kalimat mereka penuh dengan "kamu selalu" dan "kamu tidak pernah". Mereka berdua berdiri di sana, terbungkus oleh jubah perasaan benar sendiri, merasa cukup beralasan untuk menuduh yang lain. Dan sekalipun mereka terus mengeluarkan keluhan mereka, mereka berdua mengkomunikasikan keyakinan mereka bahwa mereka hanya sedang membuang-buang waktu. Mereka merasa yakin bahwa lawannya tidak akan pernah "memahaminya".

Ketika saya mendengarkan itu, dua pikiran muncul dan menarik perhatian saya. Yang PERTAMA adalah bahwa saya tidak ingin mengatasi "perang" ini sebagai hal pertama di pagi hari. Tetapi pikiran yang KEDUA lebih teologis dan lebih mencengkeram. Saya menyadari bahwa saya tidak pernah mengajar kedua anak laki-laki saya bagaimana bertengkar dan berkelahi. Saya tidak pernah mengajar mereka bagaimana melukai satu sama lain dengan kata-kata. Saya tidak pernah mengkuliahi mereka tentang saat yang tepat untuk melemparkan catatan kesalahan pada orang lain. Saya tidak pernah mencoba mengajari mereka ketrampilan menuduh dan mengutuk. Tetapi anak-anak saya berduel dengan percaya diri dan trampil. Mereka memiliki bakat yang alamiah untuk memakai kata-kata persis seperti apa yang diinginkan hati mereka yang marah.

Ketika saya mulai campur tangan, hati saya penuh dengan kesedihan. Saya dapat menghentikan pertengkaran itu, tetapi saya tidak dapat mengubah apa yang benar-benar membutuhkan perubahan. Lagi pula, saya menyadari sepenuhnya bahwa apa yang perlu diubah di dalam diri mereka masih perlu diubah di dalam diri saya! Di rumah kami, jarang ada beberapa jam (apalagi sehari penuh) yang berlalu tanpa konflik dalam bentuk apa pun! (Dan, percaya atau tidak, kami memiliki keluarga yang lumayan baik.) Betapa dalamnya kebutuhan kami! Saya berbicara kepada anak-anak saya pagi itu dengan air mata, karena sekali itu saya lebih dikuasai oleh beratnya kebutuhan rohani kami daripada oleh frustrasi saya yang timbul karena pertengkaran kecil yang harus diselesaikan.

Mungkin Anda sedang berpikir apakah anak-anak saya akan mendapat manfaat dengan mempelajari teknik komunikasi yang lebih baik atau kejelian untuk mengenal tempat dan momen yang lebih baik. Tidak diragukan lagi mereka akan mendapat manfaatnya. Tetapi, perang perkataan pagi itu lebih dalam lagi sifatnya. Yang ditunjukkan adalah kebutuhan rohani yang mendalam, yang tidak dapat dipuaskan dengan beberapa prinsip komunikasi yang baik.

KEDATANGAN SANG FIRMAN

Bagaimana Allah, Sang Pembicara Agung, memenuhi kebutuhan kita dalam bidang ini? Dia tidak menuntut kita untuk mencapai standar-Nya dengan kekuatan kita. Tidak, Dia mengutus Anak-Nya, Sang Firman, untuk menjadi daging, lalu hidup sebagai manusia dan menjadi yang paling mulia dari seluruh wahyu Allah kepada kita! Firman itu telah menjadi daging. Dengarkanlah perkataan Yohanes.

Pada mulanya adalah Firman; Firman itu bersama-sama dengan Allah dan Firman itu adalah Allah. Ia pada mulanya bersama-sama dengan Allah.

Segala sesuatu dijadikan oleh Dia dan tanpa Dia tidak ada suatu pun yang telah jadi dari segala yang telah dijadikan. Dalam Dia ada hidup dan hidup itu adalah terang manusia. Terang itu bercahaya di dalam kegelapan dan kegelapan itu tidak menguasainya ...

Ia telah ada di dalam dunia dan dunia dijadikan oleh-Nya, tetapi dunia tidak mengenal-Nya. Ia datang kepada milik kepunyaan-Nya, tetapi orang-orang kepunyaan-Nya itu tidak menerima-Nya. Tetapi semua orang yang menerima-Nya diberi-Nya kuasa supaya menjadi anak-anak Allah, yaitu mereka yang percaya dalam nama-Nya; orang- orang yang diperanakkan bukan dari darah atau dari daging, bukan pula secara jasmani oleh keinginan seorang laki-laki, melainkan dari Allah.

Firman itu telah menjadi manusia, dan diam di antara kita, dan kita telah melihat kemuliaan-Nya, yaitu kemuliaan yang diberikan kepada-Nya sebagai Anak Tunggal Bapa, penuh kasih karunia dan kebenaran.

... Karena dari kepenuhan-Nya kita semua telah menerima kasih karunia demi kasih karunia; sebab hukum Taurat diberikan oleh Musa, tetapi kasih karunia dan kebenaran datang oleh Yesus Kristus. Tidak seorang pun yang pernah melihat Allah; tetapi Anak Tunggal Allah, yang ada di pangkuan Bapa, Dialah yang menyatakan- Nya. (Yohanes 1:1-5, 10-14, 16-18)

Renungkanlah. Allah yang menciptakan perkataan dan menciptakan dunia ini dengan berfirman, Allah yang memakai perkataan manusia untuk menyatakan diri-Nya kepada umat-Nya sepanjang zaman, datang ke dunia- Nya sebagai Firman, kepada manusia yang telah meninggalkan-Nya. Dia bukan hanya Pemberita kebenaran, Dia adalah Kebenaran, dan hanya di dalam Dia ada harapan bagi kita. Hanya di dalam Firman kita menemukan harapan untuk membereskan perang dengan kata-kata dan kembali berbicara menurut contoh dan rancangan Pencipta kita. Firman itu telah menjadi daging karena tidak ada jalan lain untuk mengoreksi kerusakan di dalam diri kita.

Kenyataan bahwa Firman datang dalam daging memberi tahu kita akan sesuatu yang sangat penting mengenai kesulitan kita dalam hal pembicaraan: Persoalan kita pada dasarnya bukan persoalan ketidaktahuan atau tidak adanya ketrampilan. Ingatlah perkataan Yakobus: "Semua jenis binatang liar, burung-burung, serta binatang- binatang menjalar dan binatang-binatang laut dapat dijinakkan dan telah dijinakkan oleh sifat manusia, tetapi tidak seorang pun yang berkuasa menjinakkan lidah; ia adalah sesuatu yang buas, yang tak terkuasai, dan penuh racun yang mematikan" (Yakobus 3:7-8). Maksud Yakobus adalah bahwa masalah komunikasi kita tidak dapat diselesaikan dengan cara manusia yang lazim. Perubahan pada lokasi, situasi, pendidikan, pelatihan, dan pengulangan, atau sifat dari hubungannya tidak akan menyelesaikan masalah. Lidah itu tidak dapat dijinakkan secara manusiawi! Ia adalah sesuatu yang berkuasa, buas, dan tidak terkuasai yang membuat kita semua kebingungan.

PERANG DI BALIK PERANG DENGAN KATA-KATA

Di sini ada satu pengamatan alkitabiah yang mendasar yang perlu kita kemukakan: Firman tidak akan datang ke dunia kita kalau pergumulan kita pada dasarnya adalah pergumulan darah dan daging. Masalah kata- kata kita adalah masalah kerohanian yang sangat kental, masalah hati manusia. Mungkin Anda adalah seorang istri yang sangat dilukai oleh cara suami Anda berkomunikasi dengan Anda. Atau, mungkin Anda adalah seorang remaja, dan sulit untuk tidak merasa terkutuk oleh cara orangtua berbicara kepada Anda. Mungkin Anda adalah seorang suami yang merasa getir karena kurangnya penghormatan yang diberikan oleh keluarga kepada Anda. Masing-masing kita pernah secara pribadi dilukai oleh kata-kata orang lain, dan masing-masing kita pernah mengucapkan kata-kata yang telah menyengat orang lain. Oleh sebab itu, penting bagi kita untuk mengakui bahwa perang dengan kata-kata sebenarnya adalah buah dari perang yang lebih besar dan lebih mendasar. Perang ini adalah perang dari segala perang; ini adalah masalah kehidupan. Paulus menunjuk kepada perang ini di Efesus 6:12 ketika dia mengatakan, "Karena perjuangan kita bukanlah melawan darah dan daging, tetapi melawan pemerintah-pemerintah, melawan penguasa-penguasa, melawan penghulu-penghulu dunia yang gelap ini, melawan roh-roh jahat di udara."

Di Efesus 4 Paulus berbicara panjang lebar tentang percakapan di dalam tubuh Kristus. Dia menyerukan, "Hendaklah kamu selalu rendah hati, lemah lembut, dan sabar. Tunjukkanlah kasihmu dalam hal saling membantu. Dan berusahalah memelihara kesatuan Roh oleh ikatan damai sejahtera ... dengan teguh berpegang kepada kebenaran di dalam kasih ... buanglah dusta dan berkatalah benar seorang kepada yang lain, karena kita adalah sesama anggota." Dia mengatakan, "Apabila kamu menjadi marah, janganlah kamu berbuat dosa: janganlah matahari terbenam, sebelum padam amarahmu." Dia memberi dorongan kepada kita, "Janganlah ada perkataan kotor keluar dari mulutmu, tetapi pakailah perkataan yang baik untuk membangun." Dia mengatakan, "Segala kepahitan, kegeraman, kemarahan, pertikaian dan fitnah hendaklah dibuang dari antara kamu, demikian juga segala kejahatan, hendaklah kamu ramah seorang terhadap lain, penuh kasih mesra dan saling mengampuni, sebagaimana Allah di dalam Kristus telah mengampuni kamu." Dalam Efesus 5 dan 6, Paulus menerapkan prinsip-prinsip ini kepada gereja, rumah tangga, dan dunia di luar.

Anda tidak dapat membaca apa yang telah dikatakan Paulus tanpa merasa terkesan oleh kedalaman dan jangkauan dari perintah-perintah ini. Mungkin ketika Anda membaca, Anda berpikir, Paulus, Anda pasti bercanda! Pembicaraan yang selalu rendah hati dan lemah lembut di rumah kami? Tidak mungkin! Komunikasi yang bebas dari segala kemarahan dan kejahatan? Itu akan menjadi hari yang penuh keajaiban! Namun, ini adalah seruan Paulus kepada kita. Dan perintah-perintah ini dimaksudkan untuk menolong ki�a.

Anda berkata, "Perintah-perintah ini tidak membantu saya -- malahan meninggalkan saya dalam keadaan putus harapan!" Tetapi, mungkin ini adalah masalahnya. Ketika Anda menghadapi standar Allah yang tinggi bagi kata-kata kita dan melihat betapa jauhnya kejatuhan kita dari standar itu, Anda dibuat untuk mengakui dua hal yang merupakan fokus dari bab ini. Pertama-tama, Anda dan saya segera dihadapkan dengan kenyataan bahwa kita menghadapi masalah yang menyedihkan dalam komunikasi kita, masalah yang jauh lebih mendasar daripada ketrampilan, teknik, dan perbendaharaan kata. Fakta kedua berasal dari yang pertama: Oleh karena kebutuhan kita lebih mendalam daripada teknik, kita memerlukan lebih daripada sekadar kelas latihan atau seperangkat ketrampilan yang baru. Kita memerlukan pertolongan yang hanya dapat diberikan Yesus, Firman yang hidup dan Penebus kita.

Oleh sebab itu, ketika usaha terbaik kita untuk memenangkan perang dengan kata-kata gagal, kita menjumpai harapan terbesar. Tetapi, bukan di dalam diri atau potensi kita, melainkan di dalam diri Sang Firman dan penyertaan-Nya, kuasa-Nya, dan janji-Nya. Karena Kristus telah datang untuk hidup, mati, dan dibangkitkan bagi kita, ada harapan bagi kita untuk berbicara menurut rancangan Allah.

KEHIDUPAN ADALAH PEPERANGAN

Dengan demikian, kata-kata Paulus di Efesus 6:12 adalah paling praktis. Ketika Paulus menulis tentang peperangan rohani di akhir surat ini, dia tidak mengganti topik; tetapi merangkum apa yang telah dia katakan sebelumnya (termasuk apa yang telah dia katakan tentang komunikasi). Paulus sangat antusias agar kita menyadari bahwa kehidupan adalah peperangan, bukan dengan orang lain, melainkan dengan roh-roh jahat di udara!

Kehidupan adalah peperangan. Suatu konflik yang dramatis sedang berlangsung antara kekuatan dari Sang Pembicara Agung dan Penipu Besar. Sementara Allah mencoba memperdalam akar kita di dalam kehidupan, damai sejahtera, dan kebenaran-Nya, Iblis mencoba mencabut kita dari semua itu dengan rencana yang menipu, dusta yang pintar, dan jebakan yang jahat. Seperti semua peperangan, peperangan ini juga untuk merebut kendali. Ini adalah peperangan untuk merebut hati kita. Dan jika peperangan rohani ini tidak terjadi, maka tidak akan ada perang dengan kata-kata.

Ini memperkuat pemahaman kita akan Injil, yaitu tentang mengapa Yesus perlu datang. Yesus, Firman yang hidup, datang sebagai Wahyu dan Penebus sehingga kita memiliki apa yang kita perlukan untuk teguh berdiri di tengah-tengah konflik. Pada diri kita sendiri, kita tidak sanggup melawan "roh-roh jahat di udara" ini. Maka Kristus datang, bukan hanya sebagai Firman, melainkan juga sebagai Adam kedua. Adam pertama mewakili kita semua, dan ketika dia menghadapi Iblis, dia percaya kepada dustanya, menyerah kepada jebakannya, dan jatuh ke dalam dosa. Kristus harus datang sebagai Adam kedua, kembali sebagai Wakil kita untuk menghadapi Iblis. Oleh sebab itu, sebelum memulai pelayanan-Nya kepada orang banyak, Kristus menghadapi musuh-Nya. Tiga kali Dia dicobai dengan dusta dan jebakan yang sama. Tiga kali Dia menaklukkan Iblis, menunjukkan kuasa-Nya terhadap kekuatan jahat dan mencapai kemenangan besar bagi kita (lihat Matius 4:1-11, 12:22-29; Roma 5:12-21).

Melalui karya-Nya, Kristus memberi kita kuasa dan membekali kita untuk peperangan ini, sehingga ketika datang hari yang jahat, kita mampu berdiri teguh dan tidak ada sesuatu apa pun yang menggeser kita dari kehidupan yang untuknya Dia memanggil kita. Kehidupan ini mencakup berbicara dengan cara yang layak bagi Injil. Kemenangan Yesus memberi kita kemampuan untuk hidup damai dengan-Nya dan dengan sesama.

Ini memberi kita pandangan yang sama sekali berbeda tentang rebutan memakai kamar mandi atau siapa yang menghabiskan sereal yang paling disenangi keluarga. Masalah pada momen-momen seperti ini melampaui masalah yang tampak di permukaan, seperti terlalu banyak orang, terlalu sedikit kamar mandi, dan terlalu banyak kotak sereal yang kosong. Kita adalah masalahnya dalam setiap keadaan itu. Dan sangat penting bahwa kita tidak mengecilkan masalah kita (dengan mengatakan bahwa momen-momen ini tidak penting) atau menjadi pesimis (dengan mengatakan bahwa tidak ada harapan untuk berubah). Momen-momen kecil ini penting, karena di situlah kita hidup setiap hari. Namun ada harapan untuk perubahan besar karena Yesus Kristus, Firman itu, Penebus itu, telah memberi kita setiap sumber daya yang kita perlukan untuk berbicara sebagaimana layaknya.

(Redaksi: Lanjutan dari artikel di atas akan dikirimkan pada pengiriman e-Reformed edisi berikutnya.)

Sumber: 

Bahan di atas dikutip dari sumber:

Judul buku : War of Words
Penulis : Paul David Tripp
Penerbit : Momentum, Surabaya, 2004
Halaman : 43 - 53

Kristus adalah Semua ...

Editorial: 

Dear e-Reformed netters,

Tak terasa bulan Desember telah kita masuki dan sebentar lagi seluruh umat Kristen di seluruh dunia akan merayakan Hari Kelahiran Kristus di dunia, yang terjadi 2000 tahun yang lalu. Memang tidak ada sesuatu yang "magic" ketika kita merayakan hari lahir Kristus, bahkan tanggal kelahiran-Nya pun kemungkinan besar bukan tanggal 25 dan bukan bulan Desember.... Namun, ada sesuatu yang sangat amat penting tentang Kristus sehingga hari kelahiran-Nya perlu dirayakan dan menjadi tonggak iman bagi umat Kristen, tidak peduli tanggal berapa dan bulan apa Ia dilahirkan.

Banyak orang Kristen mungkin hanya mengenal dan mengagungkan Kristus karena kelahiran-Nya yang ajaib sebagai Juruselamat. Rasa sukacita muncul ketika kita menyebut Nama-Nya, khususnya pada hari Natal. Tapi banyakkah di antara kita yang memiliki rasa hormat yang tinggi kepada Kristus, bukan hanya karena Dia adalah Juruselamat, tetapi juga karena Dia adalah Pencipta, Pemelihara, Raja dan Hakim yang Mahatinggi, Tuhan yang memiliki seluruh alam semesta ini, serta pusat dari segala sesuatu di dalam hidup kita dan di luar hidup kita? Sejauh manakah kita telah mengagungkan Kristus?

Perayaan Natal sesungguhnya adalah peristiwa sangat penting bagi orang Kristen. Tapi mengapa orang Kristen sering gagal menangkap makna Natal? Apakah karena Natal sekarang ini terlalu banyak dibungkus dengan berbagai keramaian acara yang meniru dunia "showbiz" dan juga makan-makan dan dekorasi yang mengalihkan perhatian kita justru pada hal-hal yang serba non-esensial?

Kita gagal menangkap makna Natal karena kita gagal meletakkan Kristus sebagai pusat dari segala-galanya. Oleh karena itu, marilah pada perayaan Natal tahun ini, kita memberikan hormat yang setinggi- tingginya kepada Kristus, karena "Kristus adalah segala-galanya..." (BIS, Kol. 3:11). Artikel yang Anda akan baca di bawah ini kiranya dapat menolong kita semua memahami betapa luar biasanya Kristus, dan biarlah kita merayakan Natal dengan pikiran yang benar tentang Dia yang Mahatinggi sehingga kita tidak kehilangan esensi dari perayaan Natal yang sesungguhnya; sehingga kita juga tidak kehilangan esensi dari hidup Kristen yang sesungguhnya.

"Barangsiapa tidak menghormati Anak, ia juga tidak menghormati Bapa, yang mengutus Dia" (Yoh. 5:23).

Pada kesempatan ini, saya juga ingin mengucapkan "Selamat Hari Natal" kepada para sahabat dan pembaca e-Reformed semua! Biarlah segala kemuliaan adalah bagi Dia, Raja di atas segala raja.

In Christ,
Yulia
< yulia@in-christ.net >

Penulis: 
J.C. Ryle
Edisi: 
068/XI/2005
Isi: 
"Kristus adalah semua dan di dalam segala sesuatu"
(Kol. 3:11b)

Kata-kata dalam pernyataan ini sedikit, ringkas, dan cepat selesai bila diucapkan. Tetapi kata-kata ini penuh makna bagi orang percaya sejati. Kata-kata ini merupakan dasar dan intisari dari Kekristenan. Jika kita memahaminya dalam hati kita, maka kita boleh yakin bahwa iman kita sedang memimpin kita ke arah yang benar. Itulah sebabnya saya ingin membahas pernyataan yang luar biasa ini. Barangsiapa mengejar kekudusan tidak akan mengalami kemajuan, kecuali Kristus diberi tempat yang benar dalam pikiran mereka.

  1. Marilah kita memahami bahwa Kristus ada di dalam keseluruhan pikiran Allah mengenai manusia
    1. Ada suatu masa ketika dunia ini tidak ada. Tidak ada gunung- gunung, lautan, dan bintang-bintang. Tidak ada makhluk hidup, tidak ada manusia. Di mana Kristus saat itu? Saat itu Kristus ada bersama-sama dengan Allah dan Ia adalah Allah dan setara dengan Allah (Yoh. 1:1; Flp. 2:6). Yesus berbicara tentang kemuliaan yang Ia miliki sebelum dunia ada, "Ya Bapa, permuliakanlah Aku ... dengan kemuliaan yang Kumiliki di hadirat-Mu sebelum dunia ada" (Yoh. 17:5). Dan bahkan saat itu pun Kristus adalah Juruselamat -- Petrus menulis bahwa kita ditebus "... dengan darah yang mahal, yaitu darah Kristus yang sama seperti darah anak domba yang tak bernoda dan tak bercacat. Ia telah dipilih sebelum dunia dijadikan" (1Ptr. 1:19-20).

    2. Ada suatu masa ketika dunia diciptakan dalam bentuknya yang sekarang ini. Matahari, bulan, bintang, laut, daratan, dan semua makhluk diciptakan - dan yang terakhir dari semuanya ialah Adam, manusia pertama, yang dibentuk dari debu tanah. Di mana Kristus saat itu? Bacalah apa yang dikatakan Alkitab: "Segala sesuatu dijadikan oleh Dia dan tanpa Dia tidak ada suatu pun yang telah jadi dari segala yang telah dijadikan" (Yoh. 1:3). Dan di kemudian hari Paulus menulis, "Karena di dalam Dialah telah diciptakan segala sesuatu, yang ada di sorga dan yang ada di bumi" (Kol. 1:16). Ibrani 1:10 berbunyi, "Pada mulanya, ya Tuhan, Engkau telah meletakkan dasar bumi, dan langit adalah buatan tangan-Mu." Oleh sebab itu, apakah Anda heran kalau Tuhan senantiasa mengajarkan pelajaran-pelajaran yang diambil dari dunia alam? Ketika berbicara tentang domba, ikan, burung, gandum, pohon ara, dan pokok anggur, Ia sedang berbicara tentang benda-benda yang telah Ia ciptakan sendiri!

    3. Ada suatu hari ketika dosa masuk ke dalam dunia melalui ketidaktaatan Adam dan Hawa. Mereka kehilangan natur kudus yang mereka miliki pada saat mereka diciptakan. Mereka kehilangan persahabatan dan dukungan Allah, dan menjadi pendosa-pendosa yang rusak dan tidak berdaya. Dosa mereka menjadi penghalang antara mereka sendiri dan Bapa sorgawi mereka. Jika Ia memperlakukan mereka sesuai dengan apa yang patut mereka terima maka tidak ada yang bisa diharapkan oleh manusia keturunan mereka kecuali maut dan neraka kekal. Di mana Kristus saat itu?

      Pada hari itu juga Kristus dinyatakan sebagai satu-satunya pengharapan keselamatan bagi orang-orang berdosa. Allah berkata kepada ular itu, "Aku akan mengadakan permusuhan antara engkau dan perempuan ini, antara keturunanmu dan keturunannya; keturunannya akan meremukkan kepalamu, dan engkau akan meremukkan tumitnya" (Kej. 3:15). Dengan kata lain, seorang Juruselamat yang dilahirkan dari seorang perempuan akan mengalahkan Iblis. Tidak pernah ada nama lain yang dikenal yang melakukan hal ini selain nama Yesus Kristus.

    4. Ada suatu masa ketika bangsa-bangsa di bumi tidak mengindahkan Allah. Bangsa-bangsa Mesir, Siria, Persia, Yunani, dan Romawi, semuanya tenggelam dalam dunia takhayul dan penyembahan berhala. Para penyair, sejarawan, dan filsuf, semuanya menunjukkan bahwa dengan segenap kekuatan intelektual mereka, mereka tidak dapat menemukan Allah yang sejati. "Dunia, dalam hikmat Allah, tidak mengenal Allah oleh hikmatnya" (1Kor. 1:21). Kecuali sebagian orang Yahudi, seluruh dunia mati secara rohani dalam kebebalan dan dosa. Apa yang dilakukan Kristus saat itu?

      Ia meninggalkan kemuliaan kekal yang Ia miliki bersama Allah Bapa dan datang ke dunia yang durhaka ini untuk menyediakan jalan keselamatan bagi para pendosa semacam itu. Ia mengambil bagi diri-Nya natur manusiawi kita dan dilahirkan sebagai manusia. Sebagai manusia, Ia melakukan kehendak Bapa-Nya dengan sempurna, dan inilah yang seharusnya kita lakukan tetapi tidak mampu kita lakukan karena dosa kita. Di atas salib Ia menanggung murka Allah yang seharusnya kita tanggung. Dan dengan demikian, Ia membawa ke dalam dunia kebenaran-Nya sendiri, yang melaluinya sekarang Ia dapat menebus orang-orang berdosa. "Yesus, yang telah diserahkan karena pelanggaran kita dan dibangkitkan karena pembenaran kita" (Rm. 4:25). Ia naik ke sorga supaya kembali bersama-sama dengan Bapa-Nya, dan dari sana Ia sekarang menganugerahkan keselamatan kepada semua orang yang mau datang kepada-Nya dalam penyerahan diri yang sederhana dan penuh iman.

    5. Akan tiba saatnya ketika dosa akan disingkirkan dari dunia ini. Akan ada langit dan bumi yang baru. "Seluruh bumi penuh dengan pengenalan akan TUHAN, seperti air laut yang menutupi dasarnya" (Yes. 11:9). Dan di mana Kristus saat itu? Apa yang akan Ia kerjakan? Ia akan menjadi Raja! Ia akan datang kembali dengan kuasa dan kemuliaan besar dan dunia akan menjadi kerajaan-Nya. Di hadapan-Nya semua lutut akan bertelut dan semua lidah akan mengaku bahwa Ia adalah Tuhan. Kerajaan-Nya akan menjadi kerajaan yang kekal, yang tidak akan pernah berlalu atau dihancurkan. Seluruh bumi akan menjadi milik-Nya! Lihat apa yang dikatakan Alkitab sehubungan dengan masa yang menakjubkan ini: Mazmur 2:8; Daniel 7:14; Matius 24:30; Filipi 2:10-11; Wahyu 11:15.

    6. Akan tiba saatnya ketika seluruh umat manusia akan dihakimi. Laut akan menyerahkan orang-orang mati yang ada di dalamnya, maut dan kerajaan maut akan menyerahkan orang-orang mati yang ada di dalamnya; dan mereka akan dihakimi masing-masing menurut perbuatannya. Dan di mana Kristus saat itu? Kristus sendiri akan menjadi Hakim! "Kita semua harus menghadap takhta pengadilan Kristus, supaya setiap orang memperoleh apa yang patut diterimanya, sesuai dengan yang dilakukannya dalam hidupnya ini, baik ataupun jahat" (2Kor. 5:10).

      Sesungguhnya kita melakukan yang baik jika kita memikirkan perkara-perkara ini. Barangsiapa berpikiran remeh tentang Kristus, ia berpikiran sangat berbeda dengan Allah Bapa! Dalam keseluruhan pikiran Allah tentang masalah-masalah dunia ini dan manusia di dalamnya, Kristus diberi tempat terhormat. Berpikiran remeh tentang-Nya berarti menghina Pribadi yang sangat dijunjung tinggi oleh Allah. Tidak mengherankan jika kita membaca, "Barangsiapa tidak menghormati Anak, ia juga tidak menghormati Bapa, yang mengutus Dia" (Yoh. 5:23).

  2. Marilah kita memahami bahwa Kristus ada di dalam semua kitab yang membentuk Alkitab

    Kristus ditemukan di dalam semua kitab Perjanjian Lama dan Perjanjian Baru - kurang jelas dalam kitab-kitab permulaan, lebih jelas dalam kitab-kitab yang di tengah, dan secara lengkap dalam kitab-kitab yang terakhir - namun secara nyata dan terus terang Ia ditemukan di mana-mana. Pengorbanan Kristus di atas salib dan kerajaan-Nya adalah hal-hal yang harus kita ingat bila membaca bagian mana pun dari Kitab Suci. Dialah yang menjadi kunci untuk memahami banyak bagian yang sukar di dalam Alkitab. Mari saya tunjukkan kepada Anda apa yang saya maksud:

    1. Pengorbanan dan penyaliban Kristuslah yang digambarkan dalam korban-korban binatang sembelihan di Perjanjian Lama. Korban- korban itu menunjukkan bagaimana korban pengganti bagi orang berdosa dapat menghapuskan dosa melalui penumpahan darah; "tanpa penumpahan darah tidak ada pengampunan" (Ibr. 9:22). Ingatlah juga perkataan Yesus yang penting, "Inilah darah-Ku, darah perjanjian, yang ditumpahkan bagi banyak orang untuk pengampunan dosa" (Mat. 26:28).

    2. Pengorbanan Kristuslah yang digambarkan Habel ketika ia mempersembahkan korban yang lebih baik daripada Kain, saudaranya (Kej. 4). Dalam mempersembahkan seekor binatang dari kawanan ternak gembalaannya sebagai pengganti dirinya sendiri, Habel menunjukkan bahwa ia memahami bahwasanya tanpa penumpahan darah tidak ada pengampunan.

    3. Kristuslah yang dinubuatkan Henokh selama merajalelanya kejahatan dahsyat manusia sebelum air bah pada zaman Nuh, ketika ia berkata, "Sesungguhnya Tuhan datang dengan beribu-ribu orang kudus-Nya, hendak menghakimi semua orang" (Yud. 1:14-15).

    4. Kristuslah yang dipikirkan Abraham ketika ia mempercayai janji Allah bahwa melalui salah satu keturunannya semua bangsa akan diberkati. Seperti yang Tuhan Yesus katakan kepada orang-orang Yahudi, "Abraham bapamu bersukacita bahwa ia akan melihat hari- Ku dan ia telah melihatnya dan ia bersukacita" (Yoh. 8:56).

    5. Kristuslah yang dibicarakan Yakub kepada anak-anaknya ketika menjelang ajal ia menubuatkan, "Tongkat kerajaan tidak akan beranjak dari Yehuda ataupun lambang pemerintahan dari antara kakinya, sampai dia datang yang berhak atasnya, maka kepadanya akan takluk bangsa-bangsa" (Kej. 49:10).

    6. Semua upacara yang berkaitan dengan hukum Taurat yang Allah berikan kepada bangsa Israel dirancang untuk mengajar mereka tentang karya Kristus, Mesias yang akan datang itu. Korban- korban pagi dan petang, penumpahan darah yang terus-menerus, perabot kemah suci, imam besar, pasah (Passover), hari pendamaian, kambing Azazel - semua ini adalah gambaran tentang Kristus dan karya-Nya.

    7. Semua mujizat yang setiap hari terjadi di hadapan bangsa Israel di padang gurun ketika mereka meninggalkan Mesir adalah gambaran tentang karya Kristus. Tiang awan dan tiang api yang menuntun, manna dari sorga, air dari gunung batu, ular tembaga yang bila dipandang akan menghindarkan orang dari kematian akibat gigitan ular-ular tedung berbisa - semua ini dan banyak yang lain dimaksudkan untuk mengajarkan tentang natur pelayanan Kristus (1Kor. 10:4).

    8. Kristuslah yang dicontohkan dalam diri para hakim, karena mereka diangkat agar menjadi juruselamat bagi orang-orang yang dalam kesesakan.

    9. Kristuslah yang digambarkan dalam diri Daud. Daud dipilih menjadi raja padahal hanya sedikit orang yang menyegani dan menghormatinya; ia dihina dan dianiaya oleh banyak orang dari bangsanya sendiri, namun pada akhirnya ia menjadi raja besar dan penuh kemenangan - semua ini mengingatkan kita pada Kristus.

    10. Kristuslah yang dibicarakan semua nabi, mulai dari Yesaya sampai Maleakhi. Kadang-kadang mereka berbicara tentang penderitaan- Nya, kadang-kadang kemuliaan-Nya. Kadang-kadang mereka diilhami untuk berbicara tentang kedatangan-Nya yang pertama dalam kerendahan hati, kadang-kadang tentang kemuliaan kedatangan-Nya yang kedua. Kadangkala mereka melihat kedua kedatangan-Nya dan membicarakannya seolah-olah keduanya itu satu, tetapi Kristuslah yang selalu ada dalam pikiran mereka.

    11. Perjanjian Baru penuh dengan Kristus. Kitab-kitab Injil berbicara tentang kehidupan-Nya di tengah-tengah umat-Nya; Kisah Para Rasul berbicara tentang Kristus yang diberitakan oleh orang-orang percaya mula-mula; Surat-surat para rasul memberikan penjelasan yang teliti tentang pengajaran-pengajaran Kristus, kitab Wahyu menjelaskan tentang akhir dari semuanya, ke mana Kristus akan membawa segala sesuatu.

      Kapan saja Anda mempelajari Alkitab, saya mendesak Anda untuk mengingat bahwa Kristus adalah semua dan di dalam segala sesuatu!

  3. Marilah kita memahami bahwa Kristus ada di dalam semua pengalaman religius semua orang Kristen sejati

    Dengan mengatakan ini saya tidak bermaksud untuk mengatakan bahwa kebenaran-kebenaran Alkitab lainnya seperti doktrin Trinitas, doktrin pemilihan Allah Bapa atas umat-Nya, atau doktrin Roh Kudus yang menguduskan umat Allah tidak penting. Saya sungguh yakin bahwa saat sampai di sorga setiap orang percaya akan memuji dan memegahkan tiga Pribadi dalam diri Allah, yakni Bapa, Anak, dan Roh Kudus.

    Walaupun begitu, saya melihat bukti yang jelas dalam Kitab Suci bahwa Allah memaksudkan agar Kristus khususnya menangani masalah penyelamatan manusia. Kelahiran dan kematian-Nya adalah dasar dari keselamatan yang sepenuhnya. Kristus adalah jalan dan pintu yang melaluinya semua orang percaya harus datang kepada Allah. Paulus menulis kepada orang percaya di Kolose, "Seluruh kepenuhan Allah berkenan diam di dalam Dia [Kristus]" (Kol. 1:19). Matahari memiliki arti bagi langit kita, begitu pula Kristus bagi Kekristenan.

    1. Kristus adalah semua dalam pembenaran orang berdosa di hadapan Allah. Bagaimanakah kita dapat diterima di hadapan Allah? Bukan karena apa pun yang pernah kita lakukan! Kita semua bersalah dalam hal melanggar hukum-hukum Allah. Jadi, bagaimana kita dapat mendekati Allah? Kita bisa datang kepada-Nya hanya dalam nama Yesus, sembari menyatakan bahwa Ia mati bagi orang-orang durhaka dan bahwa kita mempercayai-Nya. Nama Kristus adalah satu-satunya nama, satu-satunya jasa yang melaluinya siapa saja dapat mencapai sorga.

      Jangan pernah kita lupa bahwa Kristus harus menjadi semua bagi siapa pun yang ingin dibenarkan di hadapan Allah. Kita harus puas dengan pergi ke sorga sebagai pengemis-pengemis rohani, yang hanya mengandalkan kasih karunia Allah dan karunia keselamatan-Nya untuk semua orang yang beriman hanya kepada Kristus.

    2. Kristus adalah semua dalam pengudusan orang percaya. Jangan salah mengerti saya bila saya mengatakan hal ini. Saya tidak bermaksud mengecilkan pekerjaan Roh Kudus yang berdiam di dalam diri orang-orang percaya. Tetapi yang saya maksudkan ialah bahwa tidak seorang pun dapat menjadi kudus jika mereka tidak datang terlebih dahulu kepada Kristus dan dipersatukan dengan-Nya oleh iman. Yesus sendiri berkata, "Di luar Aku kamu tidak dapat berbuat apa-apa" (Yoh. 15:5). Tidak seorang pun dapat bertumbuh dalam kekudusan kecuali mereka menjadi satu dengan Kristus.

    3. Kristus adalah semua dalam memberikan penghiburan bagi orang- orang percaya dalam kehidupan ini. Orang percaya mempunyai dukacita mereka sendiri sama seperti orang lain. Mereka mempunyai tubuh yang sama lemahnya seperti orang lain. Mereka mempunyai natur yang sensitif, barangkali lebih sensitif daripada banyak orang lainnya. Mereka harus menanggung kesedihan karena kematian, melawan pola pikir dunia, menjalani kehidupan yang tak bercela. Mereka kerap dianiaya, dan sama seperti orang lainnya, mereka harus mati. Tetapi orang-orang Kristen semacam ini mempunyai suatu penghiburan yang besar; "dalam Kristus ada nasihat, ada penghiburan kasih" (Flp. 2:1). Kristus adalah sahabat yang lebih dekat daripada seorang saudara kandung; hanya Dia yang dapat menghibur umat-Nya. Bagaimana orang percaya menanggung kesusahan-kesusahan hidup kelihatan luar biasa, tetapi alasan di balik semuanya itu adalah bahwa Kristus memberi penghiburan yang luar biasa.

    4. Kristus adalah semua dalam pengharapan orang Kristen tentang masa depan. Hampir semua orang mempunyai harapan-harapan pribadi untuk masa depan. Tetapi kebanyakan harapan itu tidak mempunyai dasar yang kuat. Orang yang tidak percaya tidak mempunyai kepastian tentang harapan di masa depan. Harapan orang Kristen untuk masa depan didasarkan pada fakta bahwa Yesus Kristus akan datang kembali - datang kembali untuk mengumpulkan semua keluarga-Nya agar mereka bersama-sama dengan Dia untuk selamanya. Oleh karenanya, orang percaya mampu menunggu masa depan mereka dengan sabar. Mereka dapat menanggung berbagai kesukaran tanpa bersungut-sungut sebab mereka sedang menunggu kedatangan Tuhan kembali dengan pengetahuan yang pasti.

      Sekarang orang percaya dapat menjadi moderat dalam segala perkara sebab mereka tahu bahwa harta mereka ada di sorga, hal- hal yang terbaik bagi mereka masih akan datang! Dunia ini bukan tempat perhentian kita, melainkan sebuah hotel. Hotel bukan rumah. Kristus akan datang, sorga akan datang - dan itu sudah cukup. "Hanya pada Allah saja kiranya aku tenang, sebab dari pada-Nyalah harapanku" (Mzm. 62:6).

  4. Marilah kita memahami bahwa Kristus adalah semua di sorga

    Tidak mudah untuk berbicara tentang pokok bahasan ini, karena saya tidak bisa bicara banyak tentang suatu dunia yang tidak terlihat dan tidak dikenal, seperti sorga! Tetapi inilah yang saya tahu, bahwa semua orang yang mencapai sorga akan menemukan bahwa di sana pun Kristus adalah semua.

    Seperti mezbah di Kemah Suci dan Bait Allah di Perjanjian Lama, luka-luka Kristus yang disalib akan menjadi objek puji-pujian yang besar di sorga. Di tengah-tengah takhta Allah akan ada Dia yang menyerupai "Anak Domba seperti telah disembelih" (Why. 5:6). Nyanyian semua penghuni sorga adalah, "Anak Domba yang disembelih itu layak untuk menerima kuasa, dan kekayaan, dan hikmat, dan kekuatan, dan hormat, dan kemuliaan, dan puji-pujian!" (Why. 5:12).

    Kehadiran Kristus di sorga adalah semua. Kita akan melihat wajah- Nya, mendengar suara-Nya, dan berbicara dengan-Nya seperti sahabat dengan sahabat. Kehadiran-Nya akan memuaskan semua kebutuhan kita. Melayani Tuhan Yesus Kristus akan menjadi pekerjaan abadi bagi penghuni sorga. Pada akhirnya, orang-orang percaya akan dapat bekerja bagi-Nya tanpa gangguan dan melayani Dia tanpa merasa lelah.

    Betapa sorga akan menjadi tempat yang manis dan mulia bagi mereka yang telah mengasihi Tuhan Yesus selagi mereka masih berada di bumi. Tetapi yang menyedihkan adalah ada banyak orang yang berbicara tentang kepergian menuju sorga bila mereka meninggal, tetapi tidak mempunyai hubungan yang benar dengan Kristus. Di dunia, mereka tidak menghormati-Nya, jadi apa yang akan mereka lakukan di sorga? Di dunia, mereka tidak mempunyai persekutuan dengan-Nya, jadi apa yang akan mereka lakukan di sorga? Di dunia, mereka tidak menikmati perkara-perkara rohani, jadi bagaimana mereka bisa mendapatkan sukacita di sorga?

Saya harap saya telah mulai menunjukkan kepada Anda betapa dalamnya makna yang ada dalam frasa "Kristus adalah semua." Ada lebih banyak lagi yang semestinya bisa saya katakan. Misalnya, Kristus seharusnya adalah semua dalam kehidupan dan ibadah semua gereja Kristen. Upacara- upacara yang semarak, gedung-gedung yang indah, jajaran hamba Tuhan yang profesional, semua ini tidak ada artinya jika Tuhan Yesus tidak diberi penghormatan yang tertinggi. Gereja di mana Kristus bukan semua hanyalah menjadi kerangka yang mati.

Saya dapat menegaskan bahwa Kristus seharusnya adalah semua dalam pengajaran seluruh pelayanan Kristiani. Para pengkhotbah dan guru Kristen harus menjadi duta-duta yang membawa berita tentang Anak Allah kepada dunia yang tidak percaya, dan jika mereka mengajar orang untuk memikirkan lebih banyak hal yang lain selain Anak Allah, maka mereka tidak cocok menjadi pengkhotbah dan guru Kristen. Allah tidak akan pernah menghormati suatu pelayanan yang tidak mengajarkan bahwa Kristus adalah semua.

Saya pun dapat menunjukkan betapa Alkitab tampaknya menghabiskan bahasa dalam menggambarkan semua pelayanan Tuhan Yesus yang beraneka ragam. Imam Besar, Pengantara, Penebus, Juruselamat, Pembuka Jalan, Jaminan, Panglima, Sang Amin, Yang Mahakuasa, Allah yang Perkasa, Penasihat - semua ini dan masih banyak lagi adalah sebutan yang diberikan kepada Kristus dalam Kitab Suci. Cara-cara yang menggambarkan kepenuhan Kristus ini kelihatannya hampir tidak ada habis-habisnya!

Apakah Kristus adalah semua bagi Anda, hai pembaca? Jika tidak, maka belajarlah dari apa yang telah saya katakan di sini bahwa iman kepercayaan tanpa Kristus itu sama sekali tidak ada gunanya. Apakah Kristus adalah semua bagi Anda? Jika tidak, maka belajarlah dari apa yang telah saya katakan di sini bahwa sama sekali tidak ada gunanya untuk berusaha menambahkan apa pun pada apa yang telah Kristus kerjakan bagi keselamatan orang-orang berdosa. Anda jangan pernah berpikir bahwa keselamatan ialah oleh Kristus ditambah dengan sesuatu yang telah Anda kerjakan. Hal itu berarti mengubah rencana keselamatan Allah yang di dalamnya Kristus adalah semua.

Apakah Kristus adalah segala bagi Anda? Jika tidak, maka langsunglah berhubungan dengan Kristus sekarang! Hanya memandang sekoci penyelamat tidak akan menyelamatkan pelaut yang mengalami karam kapal, kecuali ia benar-benar masuk ke dalamnya. Hanya memandang roti tidak akan menyelamatkan orang dari kelaparan kecuali ia sungguh-sungguh memakannya. Demikian juga, yang akan menyelamatkan Anda bukan pengetahuan tentang Kristus, atau bahkan kepercayaan Anda bahwa Ia seorang Juruselamat, tetapi harus ada transaksi yang sebenarnya antara Anda dan Dia, yaitu dengan sengaja Anda mengikatkan diri kepada-Nya. Anda harus dapat berkata, "Kristus adalah Juruselamat saya, karena saya telah datang kepada-Nya dengan rasa percaya dan iman dan telah mengambil Dia sebagai milik saya."

Martin Luther berkata, "Ternyata dalam Kekristenan banyak digunakan kata ganti milik. Ambillah kata "ku" (my) dari saya, maka Anda telah mengambil Allah-ku!" Marilah kita hidup bergantung pada Kristus. Marilah kita hidup bersama Kristus. Marilah kita hidup mengarah pada Kristus. Dengan berbuat demikian, kita akan mencapai damai sejahtera yang besar dan membuktikan bahwa "tanpa kekudusan tidak seorang pun akan melihat Tuhan" (Ibr. 12:14).

Sumber: 

Sumber diambil dari:

Judul Buku : Aspek-aspek Kekudusan
Judul Artikel : -
Penulis : J.C. Ryle
Penerjemah : -
Penerbit : Momentum, Surabaya, 2003
Halaman : 149 - 160

Sola Fides Justificate

Editorial: 

Dear e-Reformed netters,

Di tengah-tengah gencarnya arus pengajaran gereja yang hanya menggembar-gemborkan tentang "berkat-berkat" Tuhan, mari kita duduk diam untuk merenungkan, apakah inti iman Kristen sebenarnya?

Sangat disayangkan banyak gereja, termasuk jemaatnya, yang saat ini terlena dalam penyesatan zaman. Secara perlahan tapi pasti, pijakan gereja beralih dari "Batu Karang" yang teguh dan keras, kepada pijakan yang lebih empuk dan enak, yaitu kenikmatan dunia yang terselubung dalam pameran karunia-karunia rohani dan berkat-berkat rohani.

Alangkah enaknya mendengar khotbah-khotbah yang menghibur bahwa pada dasarnya manusia itu baik dan berharga, bahwa dosa itu hal yang kecil yang bisa diatasi cukup dengan meminta doa dari para pengkhotbah terkenal, dan sekarang kita berhak hidup dengan sebebas-bebasnya menikmati semua berkat-berkat Tuhan?

Kapan terakhir kali Anda mendengar khotbah pendeta gereja Anda yang membuka borok-borok hati kita yang penuh kenajisan dan dosa-dosa yang tersembunyi? Kapan terakhir kali Anda mendengar bahwa manusia pada dasarnya adalah durhaka dan patut dimurkai Allah? Kapan Anda mendengar khotbah yang mengatakan bahwa Anda tidak lagi memiliki hak atas hidup Anda, tetapi Kristus?

Apa yang sebenarnya menjadi inti iman Kristen kita? Bukankah pada kasih Allah yang besar sehingga manusia yang seharusnya dibuang ke dalam hukuman kekal, sekarang mendapat anugerah pengampunan dosa dalam Yesus Kristus? Bahwa hidup yang dulu bagi diri sendiri, sekarang hidup hanya bagi Dia dan kesukaan Dia?

Tepat tanggal 31 Oktober ini umat Kristen akan memperingati hari yang sangat bersejarah bagi gereja, yaitu Hari Reformasi Gereja. Untuk itu saya hadirkan sebuah artikel tulisan Pak Paul Hidayat, ketua Persekutuan Pembaca Alkitab (PPA), yang sangat bagus untuk kita renungkan bersama. Saya harap menjadi berkat bagi kita semua.

In Christ,
Yulia
< yulia@in-christ.net >

Penulis: 
Paul Hidayat
Edisi: 
067/X/2005
Isi: 

Pertanyaan: "Bagaimanakah Anda dibenarkan di hadapan Allah?" Jawab: "Hanya oleh iman yang sejati kepada Yesus Kristus sehingga, walaupun setahu hati saya mengemukakan tuduhan, bahwa saya berdosa sekali terhadap segala Firman Allah, dan tidak ada yang saya taati, dan bahwa saya masih tetap cenderung kepada segala macam kejahatan, namun Allah, dengan tak ada jasa barang apapun dari pihak saya, tetapi semata-mata karena anugerah saja, memberikan dan menghitungkan kepada saya penggantian dan pelunasan yang sempurna, kebenaran dan kesucian dari Kristus, seolah-olah saya belum pernah berdosa atau berbuat dosa, bahkan seolah-olah saya sendirilah mengerjakan, jikalah saya menerima kebajikan itu dengan hati yang percaya."

(Katekismus Heidelberg: Pertanyaan 60)

Bulan Oktober bagi orang Kristen Protestan adalah bulan bersejarah. Bila bangsa kita memperingati Hari Kesaktian Pancasila tiap 1 Oktober, gereja-gereja Protestan memperingati Hari Reformasi, yaitu hari kemenangan Firman Injil kebenaran tiap tanggal 31 Oktober. Di hari itulah, pada tahun 1517, Martin Luther dengan berani telah menempelkan 95 pernyataan teologis yang tanpa dimaksudkannya semula telah mengobarkan api reformasi. Reformasi adalah suatu revolusi teologis dan spiritual. Bila kita membandingkannya dengan revolusi Copernicus yang menemukan tempat di bumi sesungguhnya sebagai satelit matahari; Reformasi mengakui kedudukan manusia sesungguhnya yang harus bergantung penuh pada kemurahan dan anugerah Allah.

Pergumulan Martin Luther

Sesudah beralih studi dari hukum ke teologi karena suatu peristiwa dramatis yang hampir merenggut nyawanya, Martin Luther banyak dibimbing oleh seorang profesor teologi dari ordo Agustinian bernama Johann Staupitz. Meskipun Luther adalah seorang biarawan yang taat, namun ia banyak bergumul tentang dosa-dosanya. Dalam terang Roma 1:17 yang diartikannya sebagai pernyataan keadilan Allah, dia hanya mampu melihat dirinya sebagai orang yang tidak mungkin mencapai standar kebenaran Allah. Dia hanyalah seorang berdosa yang harus dimurkai Allah.

Sesuai dengan ajaran gereja pada waktu itu, Luther berusaha memperoleh anugerah Allah dengan berdoa, berpuasa, berjaga dalam doa semalam suntuk, melakukan berbagai perbuatan kebajikan. Namun, dalam tulisan-tulisannya terbaca bahwa pada saat yang sama jiwanya tetap merana, seolah sedang menenggak hukuman kekal Allah.

Karena itu, berulangkali ia menjumpai mentor teologis dan spiritualnya: Johann Staupitz, mengakui dosa-dosanya. Seringkali ia memerlukan waktu berjam-jam, mengakui dosa di hadapan Staupitz. Yang diakuinya itu kebanyakan adalah hal-hal yang timbul dalam hati dan angan-angannya. Seringkali sesudah satu sesi pengakuan dosa selesai, ia kembali lagi kepada Staupitz untuk mengakui hal yang teringat dan belum diakuinya. Itu sebabnya pada suatu kesempatan Staupitz mengatakan demikian: "Saudara Martin, jika begitu banyak hal yang ingin kauakui, mengapa tidak kau buat sesuatu yang nyata yang memang patut untuk diakui? Bunuhlah ayah atau ibumu. Berzinahlah. Jangan lagi bolak-balik ke sini hanya mengakui dosa-dosa yang hanya merupakan angan-angan dan semu belaka!"

Ucapan itu tentu tidak dimaksudkan Staupitz secara harafiah. Namun, ucapan itu membuat Martin Luther menggumuli dosa bukan saja secara pribadi, melainkan juga secara teologis, dalam kadar sangat dalam yang mungkin tak seorang pun pernah menggumulinya sedalam itu. Pada saat itu ajaran gereja menganggap dosa sebagai penyimpangan, atau penyakit, atau kelemahan. Dengan kata lain, dosa adalah ketidakberdayaan moral. Padahal, ajaran gereja saat itu juga mengatakan bahwa secara kodrati manusia masih memiliki kemampuan budi pekerti, intelektual, moral yang baik yang dapat dikembangkan untuk mengupayakan anugerah Allah. Jelas dua posisi teologis yang bertentangan ini yang membuat orang semacam Luther mengalami frustrasi yang berat. Tambahan, ajaran tentang anugerah pun tidak memberinya jalan keluar. Allah memang memberikan pengampunan aktual, yaitu mengampuni dosa-dosa aktual. Tetapi anugerah pengampunan dosa-dosa aktual itu harus dilengkapi dengan anugerah untuk dosa-dosa habitual yang ditanamkan ke dalam manusia untuk mengubah kecenderungan hatinya. Anugerah habitual itu harus diusahakan. Jelas semakin berat saja tindihan di hati Luther. Bagaimana mungkin orang yang dibuat tidak berdaya oleh dosa berupaya untuk beroleh anugerah dengan usahanya sendiri?

Puncak kegelapan jiwa Luther dialaminya ketika ia menyadari bahwa dosa bukan saja kelemahan, tetapi yang ada di hatinya itu juga diinginkannya sebab itu adalah sifat berontak dirinya yang terdalam melawan kehendak Allah. Dalam kegelapan itu, Luther membuat suatu pernyataan penting: "Jika ada orang yang sungguh merasakan besarnya dosanya, ia tidak mungkin lagi sesaat pun melanjutkan hidupnya. Alangkah besar dan berkuasanya dosa!"

Terang Firman Tuhan

Selain dibimbing oleh Staupitz dan banyak membaca buku-buku rohani, terang yang mengenyahkan kegelapan hatinya itu terbit ketika ia mulai menafsirkan Kitab Mazmur dan kemudian Kitab Roma. Dalam perspektif Mazmur, dilihatnya bahwa Daud beroleh anugerah dan pengampunan bukan karena usahanya untuk mengubah kondisi hidupnya, melainkan karena Allah tidak memperhitungkan dosa-dosanya itu kepadanya. Pembenaran bukan seperti pernyataan dokter yang memeriksa pasiennya dan menemukan bahwa kondisi pasien itu sehat-sehat saja. Pembenaran lebih tepat diumpamakan sebagai pernyataan seorang hakim yang menyatakan seorang terdakwa bebas dari hukuman karena dinyatakan tidak bersalah. Pernyataan Allah yang membebaskan seseorang dari salah itu tidak didasarkan atas usaha atau kondisi manusia, tetapi atas hidup dan karya Yesus Kristus yang diimani oleh orang bersangkutan.

Itu sebabnya, reformasi dikenal dengan slogan-slogan teologis penting: Sola Gratia, Sola Fide, Sola Scriptura. Keselamatan hanya karena iman berdasarkan anugerah semata. Kebenaran penting yang membangkitkan kehidupan penuh syukur dan bebas untuk hidup benar itu dialami karena Martin Luther mempersilakan Allah berbicara kepadanya melalui Alkitab. Di dasar terdalam semua prinsip penting itu adalah Kristus saja: Solo Christo!

Iman yang hidup

Reformasi meletakkan anugerah Allah dalam Yesus Kristus sebagai pusat pengharapan untuk manusia. Tetapi, pemberian Allah yang tanpa syarat itu yang berkhasiat untuk menyelamatkan siapa saja, hanya akan bermanfaat bagi orang yang beriman kepada Kristus.

Luther melihat iman sesuai yang Firman Allah ajarkan. Tidak cukup beriman bahwa Kristus untuk Petrus, untuk Paulus, dan lain sebagainya. Tidak cukup beriman tentang fakta-fakta sejarah kehidupan dan perbuatan Yesus Kristus. Iman itu harus merupakan langkah yang melaluinya seseorang percaya masuk dalam relasi yang hidup: "Kristus untukku, untuk kita": Christo pro me, pro nobis! Iman yang merupakan uluran tangan menyambut uluran tangan Allah itu harus bersifat fiducia, sikap mempercayakan diri penuh terhadap janji-janji Allah dalam Firman Injil dan pada realitas sifat Allah yang membuat janji- janji-Nya patut dipercayai. Luther juga melihat iman seumpama tindakan seorang wanita menerima cincin pernikahan dari suaminya, suatu ungkapan komitmen dan persekutuan hidup timbal-balik yang dinamis.

Bebas untuk Allah

Luther melihat dengan jelas bahwa di dalam dirinya sendiri manusia sejati (dalam tulisannya: The Freedom of a Christian), ia merdeka dari murka Allah. Kemerdekaan itu memungkinkan orang tidak lagi hidup di sekitar poros keakuannya yang berdosa, tetapi di sekitar poros anugerah Allah dalam Yesus Kristus, suatu hidup yang penuh dengan kegembiraan karena keselamatan, penuh dengan suasana syukur yang pada waktu berikutnya mendorong orang untuk mempersembahkan seluruh hidupnya bagi Tuhan.

Prinsip-prinsip penting reformasi ini patut kita hayati ulang secara segar dari waktu ke waktu, dari generasi ke generasi. Kehidupan Kristen adalah kehidupan yang direguk dalam suasana iman. Orang benar akan hidup dari iman kepada iman. Hanya bila kita sudah mengalami anugerah Allah yang membenarkan diri kita, kita dimungkinkan hidup bagi Allah, bebas bagi Dia. Bahkan, iman dan semua perbuatan baik kita pun adalah akibat dari bekerjanya anugerah Allah itu dalam diri kita.

Sumber: 

Bahan di atas diambil dari sumber:

Judul buku : Menerbangi Terowongan Cahaya
Penulis : Paul Hidayat
Penerbit : PPA, Jakarta, 2002
Hal : 29 - 33

Kitab Suci: Perkataan Manusia, Mitos atau Firman Tuhan?

Editorial: 

Dear e-Reformed netters,

Senang bisa berjumpa lagi di awal bulan Oktober ini.

Posting saya kali ini adalah artikel yang saya ambil dari salah satu situs dari orang Malaysia, tepatnya sebuah blog, milik "bobjots".

Seperti biasanya, Pdt. Dr. Stephen Tong tidak menulis sendiri tulisan -tulisannya, tapi ini adalah transkrip dari seminarnya atau khotbahnya. Namun metode apapun yang dipakai untuk menyajikan artikel ini tidaklah mengubah kualitas isinya, yang padat berisi.

Salah satu serangan yang paling gencar ditujukan untuk menjatuhkan orang Kristen adalah mencari kelemahan Alkitab; baik dari keabsahan isinya ataupun dari keautentikan penulisannya. Tulisan di bawah ini seperti amunisi yang siap dipakai manakala serangan dari musuh datang dengan tiba-tiba. Isinya yang sangat jelas dan to the point, membuat pembacanya menyadari bahwa penulisnya bukanlah orang baru, tapi orang yang sudah lama berkecimpung dan menguasai obyek sasaran itu. Pengetahuannya yang sangat luas menolong kita memahami bahwa dia tahu persis apa yang sedang ia bicarakan dan menyadari betul pergumulan apa yang sedang dihadapi pembaca/pendengarnya.

Nah, kalau Anda penasaran ingin mengetahui apa yang dimaksudkan, silakan membaca tulisan beliau di bawah ini dengan teliti.

In Christ,
Yulia
< yulia@in-christ.net >

Penulis: 
Rev. Dr. Stephen Tong
Edisi: 
066/IX/2005
Isi: 

Jika Kitab Suci bukan Firman Tuhan, lalu perkataan siapakah yang terdapat didalamnya? Kita hanya dapat membuat dua perkiraan, yang satu Kitab Suci adalah perkataan manusia dan yang lain Kitab Suci adalah perkataan setan.

Apakah Kitab Suci merupakan Firman Tuhan? Kita perlu mempertimbangkan beberapa faktor di bawah ini untuk menjawab pertanyaan tersebut.

Kitab Suci ditulis oleh para pengarang dari berbagai masa. Namun demikian tema dan isi utamanya mengandung pemikiran yang sama.

Kitab Suci ditulis oleh kurang lebih 40 pengarang yang berbeda, masing-masing memiliki latar belakang yang sangat berbeda. Diantaranya terdapat raja-raja seperti Daud dan Salomo, orang biasa seperti Petrus seorang nelayan, atau Amos seorang penggembala. Ada juga ahli militer seperti Joshua dan seorang dokter seperti Lukas. Mereka semua berasal dari waktu dan generasi yang berbeda, sehingga tidak ada kemungkinan bagi mereka untuk bekerja sama dalam menulis Kitab Suci. Meskipun demikian, semua hal yang telah mereka tulis menunjukkan arah dan tema yang sama, yaitu rencana keselamatan dari Tuhan bagi manusia yang berdosa melalui kasih Kristus. Tema yang telah melampaui sejarah ini menggambarkan kehendak Allah yang abadi dan merupakan faktor pemersatu yang ditemukan dalam Kitab Suci.

Bila Anda membuat perbandingan antara Kitab Suci dan sistem teoritis lain yang dibuat manusia, maka Anda akan menemukan bahwa tak satu pun sistem teoritis buatan manusia dapat mempertahankan tema aslinya setelah berpindah tangan melalui 40 pengarang dengan rentang waktu 1600 tahun.

Dari kesatuan Kitab Suci, maka kita dapat diyakinkan bahwa Kitab Suci ditulis oleh Tuhan yang menciptakan dunia, Tuhan yang melampui sejarah, yang telah menggerakkan orang-orang sepanjang sejarah untuk menulis Firman-Nya bagi umat manusia.

Kitab Suci atau kitab tabu?
Apakah Kitab Suci benar-benar suci? Jika demikian, mengapa dalam Kitab Suci terdapat cerita inses tentang Yehuda yang tidur dengan menantu perempuannya? Inikah Kitab Suci ataukah ini kitab tabu? Bayangkan saja ada dua cermin di hadapan Anda, yang satu kotor dan yang satu bersih. Semakin kotor cermin di hadapan Anda, semakin kurang jelas bayangan yang dipantulkan. Sebaliknya, semakin jernih cerminnya, semakin jelas pula bayangan yang dipantulkan. Demikian pula Kitab Suci seperti cermin. Melalui Kitab Suci Allah ingin kita melihat betapa merosotnya umat manusia setelah jatuh dalam dosa dan itulah sifat dosa yang sebenarnya.

Tuhan memerintahkan Musa menuliskan 10 Perintah Allah, salah satunya berbunyi, "Jangan membunuh!". Musa pernah membunuh satu orang sebelumnya. Sehingga merupakan hal yang manusiawi jika Musa mungkin ingin menutupi perbuatannya agar reputasinya tidak tercemar. Namun inilah Firman Tuhan, Tuhan ingin Musa menulisnya. Sehingga tidak ada kesempatan bagi Musa untuk bernegosiasi. Daud adalah orang yang dekat dengan Tuhan, namun ia juga membunuh seseorang sehingga Daud dapat mengambil istri orang tersebut menjadi selirnya. Kejadian ini ditulis dengan jelas dan tepat. Hal ini terjadi sebab Allah yang Kudus ingin menyatakan kemerosotan manusia melalui Firman-Nya.

Apakah ramalan dalam Kitab Suci terpenuhi?
Sebelum kelahiran Yesus Kristus, Kitab Suci telah menubuatkan bahwa Dia akan lahir di Bethlehem. Tidak hanya itu, Kitab Suci juga menubuatkan bahwa dalam kematian-Nya, Ia akan dikuburkan dalam sebuah gua milik orang kaya, bahwa Ia akan disalibkan pada kayu salib, bahwa tangan dan kaki-Nya akan dipaku. Yang lebih menakjubkan, Kitab Suci juga menubuatkan bahwa tak satu pun tulang-Nya yang patah. Dua penjahat yang ikut disalibkan bersama-Nya, kakinya dipatahkan, namun Yesus tidak mengalaminya.

Tidak hanya itu, Kitab Suci juga menubuatkan kejadian-kejadian yang berubah di dunia ini. Misalnya pelabuhan Mediteranian kuno seperti Tirus dan Sidon telah dinubuatkan akan menjadi dua desa kecil yang lemah dimana para nelayan akan menebarkan jalanya. Meskipun Babilonia memiliki benteng kota yang kuat, namun demikian kota ini dinubuatkan akan tertutup pasir dan burung-burung akan bersarang di kota yang telah ditinggalkan tersebut. Semua nubuatan ini tampaknya tidak mungkin, namun semuanya ini benar-benar terjadi. Masih banyak lagi contoh-contoh nubuatan tentang dunia yang dapat ditemukan dalam Kitab Suci.

Yesus pun menubuatkan dalam Kitab Suci bahwa sebelum kedatangan-Nya yang kedua kali, akan ada kelaparan dan gempa bumi. Sejak abad 14, banyak gempa bumi yang terjadi. Abad 19, gempa bumi yang terjadi lebih banyak apabila dibandingkan dengan gabungan gempa bumi yang terjadi pada abad 17 dan 18. Pada 60 tahun pertama dalam abad 20 jumlah total gempa bumi yang terjadi melampaui jumlah gempa yang terjadi pada abad 19,18, dan 17. Hal ini membuat kita percaya bahwa Yesus akan segera datang.

Apakah Kitab Suci adalah buku paling sempurna di dunia?
Kitab Suci bukanlah buku yang dibuat dari potongan-potongan kejadian dalam sejarah, atau satu koleksi artikel-artikel yang dipilih secara acak. Dilihat dari perspektif struktur sejarahnya dan kelengkapan isinya, Kitab Suci memang buku yang paling sempurna di dunia. Kitab Suci memiliki struktur yang paling baik di antara buku-buku yang ada, selain itu isinya telah memberikan sumbangan besar terhadap hidup dan iman manusia.

Banyak orang yang percaya bahwa Yesus hanyalah seorang petani biasa yang tidak memiliki pendidikan yang tinggi. Namun jika kita menganalisa dengan lebih teliti seperti khotbah di gunung, Doa Bapa kami, kita akan menemukan bahwa dari awal sampai akhir, struktur keseluruhan Kitab Suci sangat sempurna sehingga Anda tidak dapat menemukan kesalahan didalamnya.

Sepanjang sejarah manusia, ada banyak orang yang memiliki talenta kepekaan yang kuat dalam struktur, seperti Johan Sebastian Bach. Jika Anda mencoba melihat karyanya yang berjudul `Johannes Passion`, `Mattheus Passion`, `B Minor Mass` atau `Bradenburg Concertos`, dan menganalisanya dengan komputer, Anda akan dapat melihat betapa harmonisnya karya-karya tersebut dan tak satu pun not di dalamnya yang salah tempat. Hal ini disebabkan karena Allah memberikan otak yang sangat khusus kepada Bach. Saat Bach membuat komposisi karya-karyanya, pikirannya sangat cermat sehingga tak satu pun not yang dapat dipindah dengan mudah. Bach memiliki satu proses berpikir yang hampir sempurna, dan dia benar-benar seorang musikus kreatif yang jenius. Jika pada abad 20 ini kita menikmati musiknya, maka kita hanya dapat berpikir bahwa orang sehebat dia pernah ada dalam sejarah kita.

Namun demikian, Bach hanyalah seorang individu, satu kesatuan yang lengkap. Bandingkanlah dengan Kitab Suci yang ditulis oleh 40 pengarang. Bagaimana bisa 40 pengarang ini tidak memiliki perbedaan pendapat tentang apa yang mereka tulis dari awal hingga akhir? Musa menulis 10 Firman Tuhan di padang gurun, Lukas menulis `Kitab Lukas` di zaman kerajaan Roma, dan Raja Daud menulis Mazmur di zaman Israel kuno. Dengan latar belakang sejarah dan proses berpikir yang berbeda, mereka menulis buku yang paling sempurna di dunia tentang iman, penyembahan, dan moral. Tak ada buku yang dapat diperbandingkan dengan Kitab Suci.

Apakah Kitab Suci ketinggalan zaman bagi orang-orang modern?
Meskipun Kitab Suci memiliki keterbatasan sejarah, namun aspek yang luar biasa dari Kitab Suci adalah kualitasnya telah teruji melalui waktu. Inilah sebabnya Allah dapat membawa Anda dalam sukacita yang kekal saat Anda membaca Kitab Suci. Dalam filsafat Cina dikatakan status tertinggi dari manusia adalah kesatuan antara manusia dan surga. Status inilah yang ingin dicapai Confusius, tetapi ia tidak dapat mencapainya. Dengan bimbingan Roh Kudus, Anda dapat bersekutu dengan Bapa di surga melalui Kitab Suci.

Kualitas Kitab Suci yang abadi meyakinkan kita bahwa tidak masalah bagaimana kita memperoleh kemajuan, Kitab Suci tak akan pernah lekang dimakan waktu. Kata-kata Mao Tze Tong dulu dipuja-puja, tetapi sekarang sudah menjadi masa lalu. Bahkan jika kita sendiri telah tertinggal jauh oleh kemajuan teknologi, Kitab Suci tidak pernah menjadi barang antik. Kitab Suci adalah buku yang selalu baru.

Best-seller dunia.
Kitab Suci merupakan Firman Tuhan karena Kitab Suci memiliki kualitas yang tak dapat dipenuhi oleh buku-buku lain. Itulah sebabnya mengapa Kitab Suci dikatakan universal. Kitab Suci adalah Kitab pertama yang bersifat universal. Hal ini disebabkan karena Kitab Suci berisi pesan bagi seluruh umat manusia. Tuhan mengasihi umat manusia di seluruh dunia. Setelah Yesus bangkit dari mati, Ia memerintahkan murid-murid- Nya "Pergilah ke seluruh dunia, beritakanlah Injil kepada segala makhluk" (Markus 16:15). Ketika Yesus lahir, Malaikat berkata, "Jangan takut, sebab sesungguhnya aku memberitakan kepadamu kesukaan besar untuk seluruh bangsa" (Lukas 2:10). Apakah ada buku lain di dunia ini yang terjual sebanyak Kitab Suci, atau memiliki pembaca sebanyak Kitab Suci? Reader`s Digest, majalah yang paling laris di dunia, telah diterjemahkan ke dalam 17 bahasa dan memiliki lebih dari 28 juta pembaca yang tersebar di seluruh penjuru dunia. Namun demikian, bila dibandingkan dengan Reader`s Digest, Kitab Suci diterjemahkan ke dalam lebih dari seribu bahasa dan merupakan buku yang paling laris dengan jumlah pembaca yang paling besar.

Apakah Kitab Suci merupakan buku terbaik bagi sumber inspirasi etika dan budaya?
Kitab Suci merupakan buku yang dapat memberikan inspirasi terbesar bagi pemikiran etika dan budaya. Tak ada buku lain yang dapat menstimulasi kebudayaan manusia sedemikian rupa sebaik Kitab Suci. Kitab Suci tidak hanya memberi inspirasi bagi para penulis, tetapi juga menjadi sumber utama bagi etika dan dasar hukum di berbagai negara. Dalam ruang konferensi dari gedung Konggres, di Washington D.C., tersimpan patung-patung untuk memperingati para ahli di masa lalu. Sebelah kanan atas mimbar tempat Presiden dan Juru Bicara kepresidenan berpidato, Anda akan menemukan tanda mengenai kesukaan terhadap Musa. Mengapa Musa begitu penting? Ini karena hukum Musa menjadi dasar hukum utama di dunia. Hukum Musa adalah dasar bagi etika. Tak ada buku yang dapat mempengaruhi kebudayaan dan kebijaksanaan manusia seperti Kitab Suci. Jika Anda mencoba meneliti bagaimana Kitab Suci mempengaruhi para musikus-musikus dunia, mungkin Anda tak akan pernah mampu menyelesaikan penelitian Anda walaupun Anda telah menghabiskan seluruh hidup Anda untuk melakukan hal ini. Seniman-seniman besar zaman Renaisans seperti Michelangello, Correggio, Leonardo da Vinci, Raphael dan Andrea Palladio, semuanya mendapat inspirasi dari Kitab Suci. Banyak orang dalam bidang-bidang lain termasuk dalam bidang sastra, arsitektur, lukis, musik dan filsafat mendapat inspirasi dari Kitab Suci. Benarlah bila Kitab Suci merupakan sumber inspirasi yang tak pernah habis.

Jika Anda membuka Kitab Suci dan membacanya, Anda akan merasakan bahwa apa yang tertulis dalam Kitab Suci tersebut tidak masuk akal; ini bukan mitos. Isi Kitab Suci di luar pemahaman manusia dan melampaui budaya-budaya yang ada di dunia ini. Kitab Suci ditulis oleh tangan manusia, seperti halnya pidato presiden yang ditulis oleh sekretarisnya. Jika Anda membacanya dengan penuh kerendahan hati, Anda akan tahu bahwa Kitab Suci bukanlah buku biasa. Kitab Suci adalah Firman Allah, yang menyatakan pada seluruh manusia tentang Kasih Kristus dan harapan bagi semua umat manusia.

Sumber: 

Sumber diambil dari:

Judul Buku : -
Judul Artikel : -
Penulis : -
Penerjemah : -
Penerbit : http://www.bobjots.org/archives/001283.php
Halaman : -

Bimbingan dan Rencana Allah (2)

Editorial: 

Dear e-Reformed netters,

Berikut ini adalah Bagian (2) dari posting bulan lalu. Selamat menyimak.

P.S. Bagi Anda yang belum/tidak mendapatkan Bagian (1) dari artikel ini, silakan berkunjung ke arsip Publikasi e-Reformed di alamat:

==> http://www.sabda.org/publikasi/reformed/064/>

In Christ,
Yulia
in-christ.net>

Penulis: 
James C. Petty
Edisi: 
065/VIII/2005
Isi: 

Providensi Allah dalam Keselamatan dan Penghakiman

Di sini kita memasuki area providensi yang paling kudus. Kita akan segera dijadikan rendah hati oleh ketakjuban dan kedahsyatan dari bagian Kitab Suci yang akan kita baca. Jika kita mendekati perikop klasik Alkitab yang berkaitan dengan "predestinasi" dan meyakini pernyataannya yang paling gamblang, maka sangatlah jelas bahwa orang percaya bisa menjadi percaya karena mereka dipilih oleh Allah. Kita memilih Dia karena Dia memilih kita. Berikut adalah beberapa ayat yang mengajarkan hal itu:

"Dalam kasih Ia telah menentukan kita dari semula oleh Yesus Kristus untuk menjadi anak-anak-Nya, sesuai dengan kerelaan kehendak-Nya." (Efesus 1:5)

"Bukan kamu yang memilih Aku, tetapi Akulah yang memilih kamu ... supaya kamu pergi dan menghasilkan buah, dan buahmu itu tetap." (Yohanes 15:16)

"Semua yang diberikan Bapa kepada-Ku akan datang kepada-Ku, dan barangsiapa datang kepada-Ku, ia tidak akan Kubuang.... Dan inilah kehendak Dia yang telah mengutus Aku, yaitu supaya dari semua yang telah diberikan-Nya kepada-Ku jangan ada yang hilang, tetapi supaya Kubangkitkan pada akhir zaman." (Yohanes 6:37,39)

Di ayat-ayat ini Yesus menyatakan bahwa Allah memberi-Nya sekelompok orang tertentu untuk diselamatkan, dan masing-masing dari mereka akan sungguh-sungguh diselamatkan. Perhatikan bagaimana Yesus menyeimbangkan ajaran-Nya dengan mengatakan bahwa setiap orang yang datang kepada-Nya menginginkan keselamatan akan menemukannya. Ia tidak akan menolak seorang pun. Keselamatan ini bersifat pribadi dan eksklusif, tetapi sekaligus terbuka bagi semua orang. Di sini kembali kita perhatikan paradoks agung itu, yang tercipta oleh cara Allah yang bertingkat dan misterius (bagi kita), memerintah atas ciptaan-Nya. Ia memiliki rencana yang kekal dan tidak mungkin berubah, yang tidak dapat digagalkan oleh apa pun juga, namun Allah dapat menciptakan dunia dengan martabat dan tanggung jawab yang sesungguhnya.

Cara Allah merencanakan dan menggenapi keselamatan untuk umat pilihan- Nya ini tercatat dalam Roma 8:28-30, yang berbunyi demikian:

"Kita tahu sekarang, bahwa Allah turut bekerja dalam segala sesuatu untuk mendatangkan kebaikan bagi mereka yang mengasihi Dia, yaitu bagi mereka yang terpanggil sesuai dengan rencana Allah. Sebab semua orang yang dipilih-Nya dari semula, mereka juga ditentukan-Nya dari semula untuk menjadi serupa dengan gambaran Anak-Nya, supaya Ia, Anak-Nya itu, menjadi yang sulung di antara banyak saudara. Dan mereka yang ditentukan-Nya dari semula, mereka itu juga dipanggil- Nya. Dan mereka yang dipanggil-Nya, mereka itu juga dibenarkan-Nya. Dan mereka yang dibenarkan-Nya, mereka itu juga dipermuliakan-Nya."

Seluruh garis waktu keselamatan kita -- sejak sebelum penciptaan hingga pemuliaan berjalan sesuai "rencana Allah". Setiap orang yang dipilih-Nya (bdk. Roma 11:2, yaitu Allah tidak menolak umat-Nya yang dipilih-Nya) telah ditentukan, dan setiap orang yang ditentukan akhirnya dipermuliakan. Tidak ada orang yang dapat menyimpang dari sistem ini.

Kitab Roma lebih jauh menyatakan bahwa bahkan mereka yang tidak pernah bertobat dan yang dihakimi karena kebencian mereka terhadap Allah, juga berbuat demikian sesuai rencana Allah, yang telah ditetapkan sebelum penciptaan.

Roma 9:11 berbicara tentang anak-anak Ribka (Yakub dan Esau), "Sebab waktu anak-anak itu belum dilahirkan dan belum melakukan yang baik atau yang jahat, supaya rencana Allah tentang pemilihan-Nya diteguhkan, bukan berdasarkan perbuatan, tetapi berdasarkan panggilan- Nya dikatakan kepada Ribka: `Anak yang tua akan menjadi hamba anak yang muda,` ... Aku mengasihi Yakub, tetapi membenci Esau." Paulus kemudian menjelaskan maksud kebenaran ini di ayat 16: "Jadi hal itu tidak tergantung pada kehendak orang atau usaha orang, tetapi kepada kemurahan hati Allah."

Paulus tidak menyatakan pokok-pokok filsafat yang dapat dipakai oleh pikiran-pikiran yang kreatif sesuka mereka. Tidak, ia menyingkapkan tirai yang ada di ruang tahta Allah supaya kita dapat melihat bahwa keselamatan kita adalah karena anugerah semata, bersumber di dalam kasih Allah yang murni dan pribadi. Sekali lagi, yang dapat kita kerjakan hanyalah menyembah.

Sementara kita merasa begitu sulit untuk mencerna obat keras yang menyembuhkan kesombongan manusia ini, doktrin ini tidak akan terlalu menyulitkan bila kita memakainya di dalam tujuan pastoral yang memang menjadi maksud diwahyukannya kebenaran ini. Saya harus kembali berkata bahwa kebenaran-kebenaran teologis, tidak peduli betapa alkitabiahnya, harus dipakai secara alkitabiah. Kebenaran-kebenaran ini bukan peluru yang dapat kita tembakkan ke semua arah, melainkan hanya kepada arah yang dinyatakan dalam Alkitab.

Misalnya, kita tidak dapat memakai hak Allah untuk memilih sebagai alasan untuk menyangkal tanggung jawab manusia atau untuk meyakinkan diri bahwa usaha kita menginjili atau berdoa bagi orang-orang yang belum percaya tidak ada gunanya. Sebaliknya, predestinasi dan pengendalian Allah memberi harapan bahwa Allah akan bertindak. Karena itu, kita berdoa agar Allah menyelamatkan mereka. Allah dapat menyelamatkan atau menghukum dengan adil, dan Ia memiliki otoritas dan kuasa untuk melakukan keduanya.

Paulus menampilkan sikap yang benar tentang para kerabat Yahudinya yang belum diselamatkan.

"Aku mengatakan kebenaran dalam Kristus, aku tidak berdusta. Suara hatiku turut bersaksi dalam Roh Kudus, bahwa aku sangat berdukacita dan selalu bersedih hati. Bahkan aku mau terkutuk dan terpisah dari Kristus demi saudara-saudaraku, kaum sebangsaku secara jasmani. Sebab mereka adalah orang Israel." (Roma 9:1-4)

Paulus memahami pergumulan kita dan menyuarakan kesedihan yang kita rasakan saat memikirkan kesesatan orang-orang yang kita kasihi. Tetapi ia menanggapi kerinduannya akan keselamatan mereka dengan memberitakan Injil tanpa gentar kepada saudara sebangsanya di tiap kota, dan dengan berdoa agar mereka diselamatkan (Roma 10:1).

Rencana dan kehendak Allah yang dilaksanakan dalam providensi merupakan realitas yang sangat besar dan tidak terlihat aktif setiap menit untuk melindungi, membimbing, dan menentukan aliran nasib kita. Jika kita ada di dalam Kristus, kita memiliki hak untuk mempercayakan diri kepada kehendak Allah yang kekal dan tidak berubah, yang menopang hidup kita sehari-hari. Anda berada dalam keharmonisan yang tidak terlihat dengan rencana Allah atas hidup Anda. Tidak ada Rencana B, C, atau D. Yang ada hanya apa yang Allah tetapkan dalam rencana-Nya, dan tindakan kita yang harus dipertanggungjawabkan. Dalam kedaulatan-Nya yang misterius (bagi kita), keduanya menjadi satu.

Kristus menawarkan keamanan yang tidak terbayangkan bagi siapa pun yang ingin datang kepada-Nya untuk beroleh keselamatan. Kebenaran bahwa Kristus dapat menawarkan pilihan kepada ciptaan mana pun yang menginginkannya rasanya merupakan "hal yang terlalu muluk untuk bisa dianggap sebagai kenyataan" bagi pikiran manusia yang merasa dirinya mandiri. Kristus dapat menawarkan pilihan dan kasih Allah yang dari kekal hingga kekal kepada orang-orang yang datang kepada-Nya dan meminta hal itu. Mungkin Injil adalah satu-satunya hal yang sungguh- sungguh "terlalu muluk untuk bisa dianggap sebagai kenyataan" di alam semesta ini, tetapi toh Injil tetap merupakan kenyataan. Sekali lagi, tidak seorang pun dapat membayangkan bagaimana Allah melakukan hal tersebut, namun Allah benar-benar melakukannya. Kita hanya dapat menarik nafas melihat kebesaran dan keluarbiasaan Allah dalam menyatakan kuasa dan kemurahan-Nya.

Pengetahuan yang Beracun?

Anda mungkin seperti saya di bulan-bulan pertama saya di seminari. Saya marah dan meremehkan pemikiran bahwa saya tidak bisa memahami pengaturan Allah atas kebaikan dan kejahatan. Saya menuntut, "Bagaimana Anda bisa mempercayai Allah Alkitab tanpa memahami hal ini? Bagaimana Anda bisa tahu bahwa kekristenan benar jika Anda tidak dapat memeriksanya?" Banyak orang rindu untuk bisa mengetahui seperti Allah mengetahui, tetapi saya menuntut untuk mengetahuinya.

Itulah godaan yang dialami Adam dan Hawa di taman Eden (Kejadian 3:5). Tetapi inilah esensi kuasa dan kekuatan Allah yang memampukan diri-Nya untuk menetapkan dan mengetahui setiap peristiwa yang akan terjadi di surga dan alam semesta. Pengetahuan akan masa depan seperti ini tidak diberikan kepada kita demi kebaikan kita sendiri. Ada sejumlah alasan mengapa kita akan mendapatkan masalah bila kita memiliki pengetahuan semacam itu.

PERTAMA, pengetahuan Allah mencakup segalanya. Pengetahuan itu menciptakan dan meliputi gerakan setiap partikel atom sejak awal penciptaan. Bahkan, Daud mengakui bahwa pikiran Allah tentang dirinya saja lebih banyak dari pasir yang ada di tepi laut (Mazmur 139:7), yang mungkin ratusan juta jumlahnya. Singkat kata, rencana Allah dalam memerintah dunia jauh melampaui tingkatan kita -- baik dalam kerumitan maupun kuantitas informasinya. Sebagai misal, ketika Allah menjelaskan apa sebenarnya relasi antara teori kuantum dan gravitasi, Ia bahkan tidak mungkin menemukan satu orang ilmuwan di bumi yang dapat memahaminya. Bahkan, kata gravitasi dan kuantum bisa begitu dangkal dan sama sekali tidak berguna. Bahkan, pemahaman kita mengenai proses- proses yang telah Allah jadikan begitu jelas tetapi seperti lelucon primitif. Contohnya, para ilmuwan telah mempelajari bentuk kehidupan yang paling sederhana selama ratusan tahun, dan meskipun kita memiliki begitu banyak contoh kehidupan "primitif", kita tetap belum mampu menghasilkan bentuk kehidupan yang paling sederhana sekalipun. Pertanyaan Allah kepada Ayub mengenai alam (psl. 38-42) menantang Ayub hingga ia meminta Allah berhenti bertanya.

Tetapi, kita dapat bertanya apakah kita setidaknya bisa memiliki sebagian kecil saja dari sketsa rencana Allah yang begitu luas atas hidup kita. Hal ini membawa kita kepada alasan KEDUA mengapa kita tidak dapat mengetahui rencana Allah. Informasi itu akan merusak kita. Hal itu terlalu beracun untuk bisa kita tangani. Mari saya jelaskan.

Misalnya, kita mungkin berpikir bahwa akan sangat menentramkan hati bila kita dapat melihat daftar orang yang Allah pilih untuk menerima hidup kekal. Kita ingin memastikan apakah kita termasuk di dalam daftar, atau justru tidak terdaftar, sehingga kita bisa berhenti berusaha dan mulai bersantai, makan, minum, dan bergembira sepanjang sisa waktu yang kita miliki. Tetapi, mengetahui dengan pasti pengetahuan Allah bahwa kita akan diselamatkan, tidak peduli apa yang kita lakukan atau percayai, akan merusak kita sehingga tidak lagi dapat dikenali sebagai orang Kristen. Pengetahuan itu akan menjadi racun bagi perjalanan kekristenan kita.

Saya pernah mengkonseling sepasang suami istri Kristen yang secara menyedihkan berusaha menghujat Roh Kudus agar mereka bisa memastikan kebinasaan mereka. Demikian besar obsesi mereka untuk "mengetahui dengan pasti". Mereka pikir hal itu setidaknya dapat membuat mereka bisa mengendalikan masa depan dan tempat di mana mereka akan menjalani kekekalan. Mereka percaya mereka dapat merampas kendali Allah atas masa depan. Mereka menyimpulkan dengan tepat bahwa mereka tidak akan pernah bisa mengetahui dengan kepastian seperti yang dimiliki Allah mengenai apakah mereka akan pergi ke surga atau ke neraka. Namun, mereka berencana bahwa jika mereka menghujat Roh Kudus, mereka (dengan kuasa seperti yang dimiliki Allah) dapat memutuskan sendiri nasib mereka dan lepas dari ketidakpastian dan kecemasan. Mereka bernafsu mendapatkan kepastian pengetahuan Allah akan masa depan dan mereka bersedia menukarnya dengan nyawa!

Pengetahuan akan kematian merupakan contoh lain dari pengetahuan beracun. Kita mungkin berpikir akan sangat menarik bila dapat mengetahui hari dan cara kematian kita, atau kematian anak-anak dan orang yang kita cintai. Kita pikir akan sangat menolong bila kita dapat mengetahui lebih dulu hal-hal mengerikan dan hal-hal ajaib yang akan terjadi bertahun-tahun sebelum kejadiannya. Tidakkah menentramkan hati bila kita dapat mengetahui lebih dulu apakah karir kita akan sukses atau tidak? Apakah usaha kita akan sukses? Ketika kita memikirkan hal ini, ada hal yang jelas muncul di benak kita. Jika kita tahu apa yang tercakup dalam sebagian besar tindakan kita, kita mungkin tidak akan pernah memulainya. Kita dapat mengatasi permasalahan yang muncul sehari-hari, namun kita tidak akan dapat mengatasi masalah jika kita telah terlebih dahulu mengetahuinya.

Pengetahuan kita tentang kebaikan dan kejahatan dibatasi oleh kasih Allah kepada kita. Yang baik terlalu baik dan yang jahat terlalu jahat bagi kita. Sebagai contoh, Allah tidak memberi tahu Ayub asal-usul malapetaka yang menimpanya, padahal ia adalah orang yang saleh dan benar, yang takut akan Allah dalam semua jalannya. Ia juga tidak memberi tahu Ayub tentang peperangan kosmis antara diri-Nya dan Iblis yang terjadi melalui penderitaan Ayub. Sama dengan hal ini, Allah juga tidak menyingkapkan rencana dekritif-Nya kepada ciptaan-Nya -- dan ini demi kebaikan kita.

Problema kejahatan telah mengesalkan hati orang Kristen selama berabad-abad (khususnya generasi Kristen yang kedua). Orang-orang non- Kristen dengan gembira menolak pernyataan Kristus sambil berkata, "Jika Allah begitu baik dan berdaulat, mengapa Ia mengizinkan kejahatan ada?" Karena Allah tidak menyingkapkan jawaban yang spesifik bagi pertanyaan itu, maka itulah yang harus kita katakan kepada mereka. Bagi orang tidak percaya, hal tersebut otomatis berarti Allah tidak baik atau Ia tidak berdaulat atau Allah tidak baik dan sekaligus tidak berdaulat. Mereka secara naluriah membatasi pilihan Allah sebatas yang dapat mereka bayangkan. Itu meliputi apa yang dapat mereka pahami, dengan pengetahuan manusia yang ditempatkan sebagai titik awal, tertinggi, dan penentu kebenaran.

Mereka tidak pernah berpikir bahwa Allah sedang menjaga kita dari informasi yang tidak dapat kita tangani. Suatu hari kelak, saya percaya kita akan belajar lebih banyak tentang pemberontakan Iblis yang terjadi sebelum penciptaan [dunia]. Kita akan belajar lebih banyak tentang asal mula Iblis. Mungkin kita akan belajar lebih banyak tentang mengapa Allah memilih untuk menyelamatkan dunia yang telah dirusak oleh pengaruh Iblis, dan bukannya memusnahkan dan memulai lagi dari awal. Ada berbagai tingkatan irasionalitas mengenai asal-usul kejahatan yang tidak dapat dipahami oleh ciptaan yang terbatas, atau akan melumpuhkan jika kita berusaha menyingkapkannya saat ini. Kita berada pada posisi dimana kita harus bergantung pada penilaian yang baik dari Allah yang mengasihi kita dan yang berketetapan memberi hidup sekalipun kita pernah memberontak melawan- Nya.

Allah telah berketetapan, dengan beberapa pengecualian, bahwa nama- nama umat pilihan dan orang binasa harus tetap menjadi rahasia. Kitab kehidupan dan "kitab" lainnya itu tidak dibuka hingga Hari Penghakiman (Wahyu 20:12). Perang ultimat antara kebaikan dan kejahatan, dan refleksi perang itu dalam providensi Allah, paling baik kita serahkan kepada Allah.

Yesus mengajarkan bahwa kita "dimampukan" untuk mengatasi kekuatiran sehari untuk sehari tidak lebih daripada itu (Matius 6:34). Dalam praktik konseling, saya mendapati bahwa hampir semua masalah yang berkaitan dengan kekuatiran, disebabkan oleh kebutuhan yang dipaksakan untuk mengetahui masa depan. Itulah yang ditawarkan oleh astrolog, pelihat, penyihir, dan seluruh armada ilmu gaib. Semua itu jelas bertentangan dengan orang yang takut akan Tuhan, yang percaya bahwa Allah sanggup memerintah semesta seorang diri.

"Pengetahuan tentang kebaikan dan kejahatan" yang sekarang kita pahami secara terbatas adalah akibat pemberontakan manusia terhadap Allah (Kejadian 3:5). Manusia ingin mengetahui dan memahami dasar dari segala yang Allah perintahkan, namun karena kita bukan Allah, pengetahuan ini memicu problema yang mengancam hidup kita. Pemahaman akan kejahatan tampaknya mengandung unsur yang mematikan. Bahkan apa yang Allah nyatakan sepertinya dipaparkan dalam bahasa kiasan, dan sepertinya Ia sengaja membiarkan pertanyaan-pertanyaan kita tidak terjawab, demi kebaikan kita.

Musa dengan indah mengungkapkan perbedaan antara dua macam pengetahuan ini dalam Ulangan 29:29.

"Hal-hal yang tersembunyi ialah bagi TUHAN, Allah kita, tetapi hal- hal yang dinyatakan ialah bagi kita dan bagi anak-anak kita sampai selama-lamanya, supaya kita melakukan segala perkataan hukum Taurat ini."

Dalam ayat ini Musa mengajar kita untuk tidak mencari tahu hal-hal yang Allah sembunyikan, dan mendorong kita untuk memusatkan diri pada apa yang telah Allah nyatakan, yaitu hukum-hukum-Nya, dan bagaimana kita dapat menerapkannya pada masa kini. Ia menasihati kita untuk tidak memboroskan tenaga dan waktu mencari cara membuka rencana- rencana Allah yang tersembunyi, baik bagi kita maupun bagi orang lain. Allah ingin kita mempercayai-Nya untuk hal itu. Allah menghendaki kita memusatkan diri untuk menata hidup kita sesuai dengan apa yang telah Ia nyatakan, yaitu Firman-Nya.

Kebanyakan pengetahuan gaib berusaha menerobos batasan pemahaman yang bermanfaat yang telah Allah tetapkan. Para penyihir menawarkan komunikasi dengan arwah orang mati. Para petenung berupaya menembus batasan alam berpikir seseorang. Para pelaku praktik semacam itu tidak mempercayai kuasa Allah atas masa depan ataupun keterbatasan mereka. Mereka menginginkan pengetahuan yang dapat memberikan kuasa dan kelegaan yang muncul dari ketidakpercayaan mereka. Bruce Waltke menunjukkan bahwa gagasan tentang "menemukan kehendak Allah" adalah gagasan kafir (Waltke 1995, 30) karena gagasan itu biasanya berusaha menembus rencana Allah yang bersifat rahasia (dekritif).

Mendapatkan arahan semacam itu dari para dewa merupakan kegiatan utama di dalam hampir semua masyarakat pra-Kristen. Hal ini menghabiskan banyak uang dan waktu dari para praktisi agama-agama non-Kristen (Waltke 1995, 30). Kuasa atas masa depan juga dianggap sangat bermanfaat. Manfaat ini dicari mulai dari Afrika pedalaman (Oosthuizen dkk. 1988, 47-62) hingga kebudayaan Druids yang paling maju (Ellis 1994, 248).

Bertolak belakang dengan pengetahuan yang menjanjikan terbatasnya manusia dari ketergantungan kepada Allah, Yesus menyingkapkan Allah dalam bentuk yang memberi hidup, tidak beracun, dan tidak mematikan. Ia memberi tahu kita apa yang kita perlu ketahui agar dapat diperdamaikan dengan Allah dan mendapatkan hidup baru di dalam-Nya. Kematian-Nya di atas kayu salib mengubah hati kita yang menakutkan dan sombong agar kita dapat menjadi ciptaan yang penuh sukacita, bukan dewa-dewi yang frustrasi. Kini kita dapat mempercayai Allah yang mengendalikan masa depan kita, dan memusatkan diri untuk hidup bagi- Nya di masa sekarang ini.

Terangkatnya seluruh beban kekuatiran akan masa depan dari pundak kita merupakan pengalaman yang sangat membebaskan. Yesus tidak datang untuk memberi kita akses ke dalam hal-hal rahasia yang ada di dalam providensi Allah, namun untuk menyingkapkan misteri tersembunyi tentang bagaimana Allah menebus dunia yang berdosa ini. Ia memberikan kebenaran yang membebaskan kita. Kebenaran-Nya memusatkan kekuatan kita pada ketaatan dan pelayanan saat ini. Kita dapat berkata seperti Salomo, "Akuilah Dia dalam segala lakumu, maka Ia akan meluruskan jalanmu." (Amsal 3:6) Allah berjanji memperhatikan setiap rintangan yang ada di jalan orang-orang yang percaya kepada-Nya. Yesus berjanji, "Tetapi carilah dahulu kerajaan Allah dan kebenarannya, maka semuanya itu akan ditambahkan kepadamu." (Matius 6:33) Kini kita dapat kembali pada situasi yang dihadapi Rick dengan memegang semua konsep ini.

Saat Rick bergumul menentukan apakah ia harus berwiraswasta atau tidak, ia tidak akan mampu membedakan rencana Allah bagi dirinya seketika itu juga. Namun, ia dapat mengetahui bahwa karena karya Kristus, ia tidak berada di Rencana B, C, atau Z. Di dalam Kristus hanya ada satu rencana: Rencana A. Ia harus berusaha keras menemukan prinsip-prinsip Alkitab dan mengaplikasikannya pada situasi yang ia hadapi. Ia harus mengumpulkan informasi tentang dirinya dan situasi yang dihadapinya. Ia harus berdoa lalu mengambil keputusan. Rick akan sangat diteguhkan jika ia tahu bahwa ia membuat keputusan dalam keadaan terlindung. Sang Gembala Agung, Allah Yang Mahakuasa, mengawasinya. Pengawasan itulah yang disebut providensi.

Pagar Pengaman Providensi

Providensi Allah mirip dengan pagar pengaman di pegunungan. Di suatu musim panas ketika saya masih kuliah, saya pergi ke Amerika Selatan dalam suatu perjalanan misi bersama dua belas rekan musisi muda lain. Suatu hari kami harus melintasi dua kota di Kolombia yang terletak di pegunungan Andes. Kami berangkat jam enam pagi dan mengembara hingga jam enam sore melintasi sebuah jalan kecil berkerikil. Jalan yang mengerikan ini tingginya ratusan kaki dari permukaan lembah, dengan belokan tajam setiap menit.

Tidak ada pagar pengaman, satu pun tidak! Saya ingat si sopir meluncur diiringi bunyi klakson di setiap tikungan untuk memperingatkan pengendara lain dari arah berlawanan yang hampir tertabrak oleh kami. Sepanjang jalan ada tanda peringatan bagi korban yang meninggal di lokasi itu. Ada catatan angka pada setiap rambu peringatan di sepanjang jalan itu. Karena bus yang seharusnya berkapasitas empat puluh dua telah diisi hingga enam puluh lima orang penumpang, saya mendapat kehormatan harus berdiri dalam bus itu seharian. Saya sangat tertolong karena bisa bersandar pada tiga orang ketika saya muntah dari jendela bus (saya mabuk darat bila naik mobil).

Tetapi kemudian saya sadar bahwa sesungguhnya terdapat pagar pengaman di tepian jalan itu: providensi Allah yang berdaulat. Saya terhibur oleh fakta bahwa saya tidak akan bisa disentuh oleh kematian, kecuali Allah menyetujui terjadinya kecelakaan. Saya bayangkan pagar pengaman yang tidak terlihat dan tidak dapat ditembus, ditopang, dan dijaga oleh Allah yang hidup. Saya pikir kami benar-benar telah menabrak pagar pengaman yang tidak terlihat itu beberapa kali.

Bagi keputusan yang kita ambil, providensi Allah yang berdaulat menyerupai pagar pengaman itu. Kita meluncur cepat di gunung kehidupan dengan melintasi belokan-belokan tajam dan jalur-jalur pindah yang terus ada di depan kita. Namun, kita memiliki keyakinan bahwa Allah telah menetapkan batasan hidup kita. Ia menggandeng kita dengan hati- hati di tangan-Nya meskipun ada bahaya yang harus kita hadapi dan keputusan-keputusan bodoh yang telah kita buat. Hanya di surga kita akan mengetahui berapa kali kita telah menabrak pagar pengaman rencana Allah dan kita tetap dilindungi demi rencana-Nya yang penuh kemurahan itu.

Bagaimana mungkin kita tidak sujud dan menyembah Allah yang berdaulat seperti ini, yang mempedulikan baik perkara kecil maupun besar dalam hidup kita? Ia adalah Allah yang melindungi kita, melatih kita dengan providensi-Nya, dan cukup mengasihi kita sehingga bersedia mengajar kita untuk percaya kepada-Nya di saat kita merasa sulit memahami-Nya. Bukankah pengetahuan bahwa ada rencana berdaulat semacam itu seharusnya membuat kita menyembah, hormat, bersyukur, dan berkeyakinan penuh di dunia yang semakin kacau ini?

Mereka yang ada di dalam Kristus tahu bahwa terlepas dari semua keputusan yang dihadapi, kesalahan yang diperbuat, dosa yang ditinggalkan, dan hal-hal yang tidak diperkirakan, Allah bekerja dalam segala sesuatu untuk mendatangkan kebaikan yang mengubah kita menjadi serupa dengan gambar Kristus, Anak Allah (Roma 8:28). Melalui providensi Allah atas anak-anak-Nya, Allah, Gembala Agung kita, memimpin kita dengan tongkat-Nya yang perkasa menuju hidup yang kekal. Jika itu tujuan hidup Anda, Anda pasti akan aman-aman saja!

Untuk Tinjauan dan Refleksi

  1. Apa perbedaan penting antara kehendak dekritif Allah dan kehendak preseptif Allah?
  2. Bagaimana pemahaman yang kacau atas kedua bentuk kehendak itu dapat menimbulkan masalah bagi orang Kristen yang sedang menghadapi berbagai pilihan dalam kehidupan?
  3. Bagaimana kita menyelaraskan antara kendali Allah yang berdaulat atas seluruh kehidupan dan tanggung jawab moral kita?
  4. Mengapa Allah tidak menjawab pertanyaan kita tentang problema kejahatan?
  5. Mengapa pengetahuan kita tentang kedaulatan Allah harus membuat kita menyembah dan percaya kepada-Nya?
Sumber: 

Sumber diambil dari:

Judul Buku : Step By Step
Judul Artikel : -
Penulis : James C. Petty
Penerjemah : -
Penerbit : Momentum, Surabaya, 2004
Halaman : 55 - 67

Bimbingan dan Rencana Allah (1)

Editorial: 

Dear e-Reformed netters,

Dalam perjalanan hidup Kristen kita, sejak bertobat sampai bertumbuh menjadi murid-murid Kristus, saya kira pertanyaan yang paling sering kita tanyakan adalah tentang bagaimana mengetahui "kehendak Allah" bagi hidup kita. Kebanyakan dari kita terjebak pada pemikiran bahwa Allah sejak semula sudah menetapkan rencana-Nya yang terbaik bagi hidup kita, tapi sekarang tugas kita adalah mencari tahu apa rencana terbaik itu supaya kita tidak salah melangkah. Tapi pertanyaannya, bagaimana kalau dalam perjalanan hidup kita, kita sudah mengambil langkah yang salah? Apakah berarti rencana Tuhan yang terbaik itu menjadi tidak mungkin terjadi dalam hidup kita? Apakah Tuhan memiliki rencana cadangan bagi kita?

Menurut James C. Petty, penulis buku "STEP BY STEP", orang Kristen perlu memahami Doktrin Providensia Allah dengan benar agar pengertian kita ditopang oleh pengajaran yang alkitabiah. Nah, untuk itu saya kirimkan tulisan James C. Tetty ini, agar kita semua dapat memahami dengan jelas dimana letak kesalahan kita ketika kita memikirkan tentang kehendak dan rencana Tuhan bagi hidup kita.

Selamat menyimak.

In Christ,
Yulia
in-christ.net>

Penulis: 
James C. Petty
Edisi: 
064/VII/2005
Isi: 

RICK adalah perancang grafis berbakat yang saya kenal beberapa tahun lalu. Ia telah sepuluh tahun bekerja di sebuah perusahaan periklanan yang sukses, namun ia tertekan oleh persaingan yang tajam di antara para karyawan yang berebut untuk menjadi rekanan di perusahaan tersebut. Ia juga mencemaskan kondisi moral yang rendah dan tekanan kerja yang berat. Wajar jika ia mulai berpikir untuk berwiraswasta, namun ia sangat takut untuk bersaing dengan perusahaan lamanya. Ia bermimpi bahwa jika ia dapat memulai perusahaannya sendiri, ia tentu akan dapat mengatur hidupnya sendiri. Ia dapat menetapkan jam kerjanya dan dapat lebih banyak terlibat dalam pelayanan. Namun, ia juga memiliki seorang istri dengan tiga anak yang masih kecil. Jika ia gagal dalam usahanya untuk berwiraswasta, semua akan menderita. Ia mungkin akan kehilangan rumah dan tabungannya.

Rick berdoa agar Allah menyatakan rencana-Nya. Ia bertanya apakah Allah mau memanggilnya untuk berwiraswasta atau tetap bertahan dengan pekerjaannya sekarang. Ia mulai mencari cara-cara yang mungkin Allah gunakan untuk berkomunikasi dengannya. Ia mencari pelanggan potensial yang mungkin datang dengan cara yang tidak seperti biasanya. Ia mulai berusaha mendengarkan suara Allah dalam pikirannya beberapa "kesan" khusus yang akan meyakinkannya bahwa pikiran tersebut sungguh berasal dari Allah. Ia mencari-cari alat uji yang dapat ia pakai untuk mengambil keputusan. Misalnya, jika ada fitnah, gosip yang tidak wajar, atau hal-hal buruk lain saat ia merayakan hari pertobatannya, mungkin itu menjadi tanda bahwa tempat kerjanya sudah terlalu rusak.

Saat ia merenungkan semua ini, sebuah gagasan yang menggelisahkan mulai menyusup dalam benaknya. Ia tidak yakin, tapi ia takut kalau- kalau ia sudah keluar dari rencana Allah sejak saat ia masih kuliah dulu. Ia telah menghadiri Konvensi Misionaris Mahasiswa Urbana dan telah menyerahkan diri untuk pelayanan misi. Namun saat kembali ke kampus, dengan mudah pembimbing akademisnya meyakinkannya untuk meninggalkan niat tersebut. Apa yang akan terjadi seandainya ia memakai kemampuan komunikasinya bukan untuk menciptakan iklan, melainkan untuk menyebarkan Injil? Mungkin ia telah berada jauh dari kehendak Allah bagi hidupnya sehingga sia-sia untuk mencoba kembali, atau untuk meminta Allah membimbingnya dalam rencana yang "tidak taat" ini.

Masalah yang dihadapi Rick dalam mencari bimbingan Allah sangat lazim terjadi pada umat Kristen. Bagi Rick dan sebagian besar orang, pemahaman mereka tentang rencana dan kehendak Allah tidak pernah dipertajam oleh konsep yang alkitabiah. Salah satu masalah utama yang dihadapi Rick adalah mencampuradukkan dua penggunaan yang sangat berbeda di dalam Alkitab untuk istilah "kehendak Allah".

Dalam Alkitab, frasa "kehendak Allah" bisa berarti rencana atau perintah Allah. Para teolog menjelaskan hal ini sebagai dua bentuk kehendak Allah: "Kehendak-Nya yang dekritif" (dekrit/ketetapan atau rencana Allah) dan "kehendak-Nya yang preseptif" (titah atau perintah Allah) (Hodge 1865, 1:405). Kehendak Allah yang dekritif mengarahkan segala sesuatu yang terjadi di bawah kendali Allah. Kehendak Allah yang preseptif berkaitan dengan perintah Allah apa yang Ia perintahkan supaya kita lakukan. Karena Alkitab memakai kata "kehendak Allah" untuk menyebut keduanya, maka kerancuan mudah sekali terjadi dan mengacaukan upaya kita dalam mencari bimbingan. Inilah salah satu masalah Rick.

Supaya Anda terhindar dari jebakan ini, mari kita memeriksa kedua konsep yang Alkitab ajarkan tentang kehendak Allah ini. Dalam bab ini kita akan melihat "kehendak Allah" yang merujuk kepada rencana Allah yang berdaulat (yang dalam teologi sering disebut sebagai ketetapan atau kehendak-Nya yang dekritif). Dalam bab berikut kita akan mempelajari "kehendak Allah" sebagai perintah-perintah Allah.

Kehendak Allah: Rencana-Nya

Alkitab sering memakai frasa "kehendak Allah" untuk menyebut rencana Allah. Paulus dalam Efesus 1:5 berbicara tentang rencana Allah yang berdaulat, "Ia [Allah] telah menentukan kita dari semula ... sesuai dengan kerelaan kehendak-Nya." Setiap orang percaya seharusnya terhibur jika mengetahui bahwa ia telah dipilih sebelum penciptaan untuk mewarisi keselamatan. Pilihan itu dilakukan oleh Allah dalam rencana-Nya yang berdaulat. Paulus melanjutkan tema ini dalam Efesus 1:11, "Di dalam Dialah kami mendapat bagian yang dijanjikan -- kami yang dari semula ditentukan untuk menerima bagian itu sesuai dengan maksud Allah, yang di dalam segala sesuatu bekerja menurut keputusan kehendak-Nya."

Yakobus 4:15 merupakan contoh lain yang serupa. Yakobus mendorong pembacanya untuk tidak membuat rencana (berangkat ke sebuah kota, tinggal dan berdagang) dengan bersandar pada diri sendiri. Mereka seharusnya berkata, "Jika Tuhan menghendakinya, kami akan hidup dan berbuat ini atau itu." Yakobus tidak mengecam perencanaan; ia mengecam rencana yang tidak melibatkan rencana Allah di dalamnya. Yakobus mengajarkan kepada kita untuk tidak memberikan perhatian yang berlebihan pada rencana kita, karena hidup kita adalah seperti uap yang terlihat hanya sebentar kemudian lenyap begitu saja.

Dalam Roma 15:32, Paulus menerapkan ajaran Yakobus. Ia meminta jemaat Roma untuk berdoa demikian, "Agar aku yang dengan sukacita datang kepadamu oleh kehendak Allah, beroleh kesegaran bersama-sama dengan kamu." Paulus ingin mengunjungi orang-orang Kristen di Roma, namun ia sadar bahwa ia bisa datang hanya oleh karena providensi dan rencana Allah, yaitu jika Allah menetapkannya.

Jika kita bermaksud memaksakan makna lain kepada frasa "kehendak Allah" yang ada dalam perikop ini, hasilnya tidak akan masuk akal. Paulus tidak meminta agar orang-orang Roma berdoa supaya ia dapat melakukan kehendak Allah (seperti memenuhi perintah Allah). Paulus ingin mereka berdoa supaya Allah mengizinkannya datang ke Roma dengan menyediakan kondisi yang memungkinkan hal itu terjadi.

Contoh terakhir: Petrus memakai kata "kehendak Allah" juga dalam arti ini di 1Petrus 3:17: "Sebab lebih baik menderita karena berbuat baik, jika hal itu dikehendaki Allah, daripada menderita karena berbuat jahat." Ketika mendorong umat Kristen untuk menderita karena berbuat baik daripada menderita karena berbuat jahat, Petrus mengemukakan pokok tambahan bahwa penderitaan itu sendiri datang melalui izin dan rencana Allah. Karena itu, ia berbicara tentang penderitaan yang bisa terjadi "jika hal itu dikehendaki Allah". Sekali lagi, kita bertemu dengan pelaksanaan rencana Allah.

Rick tidak hanya mengacaukan kedua istilah ini, tetapi kekacauan ini menjeratnya ke dalam apa yang saya sebut sebagai "Sindrom Rencana B". Menurut pemikiran Rick: jika Allah memiliki rencana yang sudah ditetapkan secara mendetail bagi kehidupan setiap orang percaya dan Ia ingin kita mengikuti rencana itu, apa yang harus kita lakukan ketika kita terlanjur menyimpang dari rencana itu? Kita akan turun ke Rencana B dan harus memulainya dari sana.

Saya akan memberikan contoh. Setiap tahun saya menghadapi rutinitas yang menyusahkan karena harus menentukan rencana mana yang akan saya pilih untuk kontrak servis bagi alat panggangan tua saya. Menurut penjual bensin langganan kami yang ramah, Rencana A tampaknya akan menjauhkan semua kekuatiran saya. Dengan Rencana A mereka akan memperbaiki segala kerusakan, tetapi tentu biayanya mahal. Biaya Rencana B lebih terjangkau, tapi hanya mengatasi permasalahan yang perlu saja. Rencana C hanya memberikan servis tanpa perbaikan apa-apa. Jika saya memiliki uang cukup, maka saya cenderung memilih Rencana A. Jika tidak, maka saya akan memilih Rencana C, dan dengan Rencana C itu berarti tukang reparasi akan sering datang ke rumah saya tiap tahun.

Kita pun cenderung berpikir bahwa meskipun Allah memiliki sebuah rencana yang "terbaik" bagi hidup kita, Ia juga memiliki rencana lain yang "lebih murah" bagi mereka yang telah meleset dari rencana yang terbaik itu. Kita teringat keputusan bodoh dan berdosa yang pernah kita ambil dan, akibatnya, kita melihat diri kita berada dalam "Rencana B" kehendak Allah bagi hidup kita. Jika kita tetap membuat keputusan yang jelek, maka kita akan turun lagi ke Rencana C, Rencana D, dan karena kita orang berdosa kita akan segera kehabisan daftar abjad yang tersedia. Kita berpikir tentang "apa yang mungkin terjadi" seandainya kita tidak menikahi pasangan hidup kita yang sekarang, seandainya kita tidak hamil sebelum hari pernikahan, seandainya kita tidak mengambil pekerjaan yang mengerikan ini dan menerima pekerjaan satunya yang mungkin akan membuat kita sukses, atau seandainya kita tidak meledak dalam kemarahan kepada anak kita yang masih remaja.

Dalam bab ini kita akan melihat bahwa bagi mereka yang berada di dalam Kristus, hanya ada satu rencana, Rencana A. Rencana ini tetap tergenapi meskipun kita melakukan berbagai dosa dan kesalahan. Kita akan melihat keajaiban perhatian Allah sebagai Gembala, dan detail kasih-Nya di sepanjang rencana yang telah Ia tetapkan bagi hidup kita. Kebenaran agung ini sungguh mencerahkan, menghiburkan, dan terkadang menakutkan ciptaan Allah yang sombong.

Satu Rencana yang Berdaulat

Alkitab mengajarkan bahwa (1) Allah memiliki satu rencana khusus bagi hidup Anda dan (2) peristiwa-peristiwa dan pilihan-pilihan dalam hidup Anda secara tak dapat ditolak dan secara berdaulat mengerjakan rencana itu dalam setiap detailnya. Berlawanan dengan pandangan Rick tentang rencana Allah, seseorang tidak mungkin bisa "gagal ujian" dalam rencana itu. Semua kesalahan, kebutaan, dan dosa Anda telah diperhitungkan sebelumnya. Kebenaran ini diajarkan dalam doktrin providensi Allah. Tanpa memahami providensi, kita tidak akan dapat memahami keterlibatan Allah secara jelas dalam hidup kita sehari-hari. Kekacauan dalam hal bimbingan Allah di kalangan Kristen banyak disebabkan oleh kurangnya pemahaman akan doktrin ini.

Doktrin providensi telah diringkaskan dengan sangat cemerlang pada tahun 1648 dalam Pengakuan Iman Westminster (Westminster Confession of Faith, dokumen yang mendasari theologi gereja Kongregasional, Reformed, Presbiterian, dan Baptis yang berbahasa Inggris). Bab 5 yang diberi judul "Mengenai Providensi" dimulai demikian:

"Allah, Pencipta yang agung atas segala sesuatu, menopang, memimpin, mengatur, dan memerintah atas semua ciptaan, tindakan, dan segala sesuatu; mulai dari yang terbesar hingga yang terkecil; dengan providensi-Nya yang agung dan suci; menurut pra-pengetahuan-Nya yang tak dapat bersalah (infallible) dan pertimbangan kehendak-Nya yang bebas dan kekal; untuk mendatangkan pujian bagi kemuliaan hikmat, kuasa, keadilan, kebaikan, dan kemurahan-Nya."

Pernyataan ini meringkaskan jawaban bagi banyak pertanyaan yang muncul saat kita mencoba memahami apa yang Alkitab katakan tentang pengendalian Allah atas dunia ini. Perhatikan, doktrin ini menegaskan bahwa Allah mengerjakan setiap detail "menurut pertimbangan kehendak- Nya yang kekal [tidak berubah]". Jika hal ini benar, dampaknya sangat luas sekali terhadap Rick ketika ia mengevaluasi pilihannya. Rick tidak perlu memanjat keluar dari lubang yang telah ia gali sendiri agar dapat kembali pada kehendak Allah bagi hidupnya. Sejarah hidup Rick dan keputusan-keputusan yang menyebabkan hal itu terjadi, berada di dalam rencana keselamatan yang Allah siapkan baginya.

Jika hal ini benar, itu berarti keputusan yang harus diambilnya sekarang juga adalah sah, karena ia tidak terjerat dalam situasi terbaik kedua atau situasi terbaik kedua puluh. Ia berada dalam program providensi Allah yang Mahabijaksana dan Mahasempurna. Ia bukan seperti pemain golf yang harus memulai pertandingan dengan dua puluh pukulan penalti. Jika doktrin ini benar, ada harapan yang besar ketika kita membuat keputusan-keputusan dalam hidup kita.

Namun sebelum kita melihat lebih jauh implikasi dari kebenaran ini, kita harus bertanya, "Apakah ini sungguh-sungguh benar?" Dan jika ini benar, bagaimana dengan tanggung jawab dan kebebasan manusia? Bagaimana dengan masalah yang diakibatkan oleh dosa dan kebebalan kita? Bagaimana dengan masalah kejahatan yang ada di dunia ini? Apakah itu menempatkan Allah sebagai sumber kejahatan? Mari kita uji beberapa bagian kunci Alkitab yang dipakai untuk mendasari doktrin providensi. Semua ini akan menolong kita memahami implikasi providensi terhadap banyak bidang kehidupan kita yang penting.

Berbagai Situasi

Apakah Allah mengendalikan segala keadaan dalam semua situasi? Kristus sendiri menjawab pertanyaan itu dalam Matius 10:29-31. Ia berkata, "Bukankah burung pipit dijual dua ekor seduit? Namun seekorpun dari padanya tidak akan jatuh ke bumi di luar kehendak Bapamu. Dan kamu, rambut kepalamupun terhitung semuanya." Yesus menjelaskan pemeliharaan dan pengendalian Allah yang luar biasa ini untuk menenangkan ketakutan para murid ketika mereka menghadapi ujian dan penganiayaan. Hal-hal yang terlihat kebetulan (menemukan seekor burung mati di tepi jalan) tidak terjadi tanpa seizin Allah. Kristus berkata (ay. 31), "Sebab itu janganlah kamu takut karena kamu lebih berharga dari pada banyak burung pipit."

Perhatikan tujuan pengajaran Yesus. Ia tidak bertujuan menyusun suatu prinsip abstrak yang dapat diterapkan dalam segala hal yang kita angankan. Ia mengajarkan hal ini untuk mengatasi ketakutan umat-Nya akan kehilangan, kematian, penderitaan, penganiayaan, dan lain-lain. Pengajaran ini dengan jelas menegaskan pengendalian Allah yang berdaulat dan menyeluruh atas kehidupan, tetapi doktrin ini juga memiliki maksud pastoral yang harus dihormati.

Sebagian orang mungkin bertanya, "Bagaimana saya dapat menerima penghiburan dari doktrin yang mengajarkan bahwa segala sesuatu telah ditetapkan, yang implikasinya adalah bahwa tidak ada gunanya saya berdoa dan berupaya?" Orang non-Kristen mungkin akan menolak dan berkata, "Mengapa saya harus menerima pandangan yang menempatkan Allah sebagai sumber kejahatan?" Kesalahan mereka adalah melihat doktrin ini sebagai kebenaran yang terisolasi, yang bertentangan dengan logika mereka. Alkitab tidak pernah memakai doktrin kedaulatan Allah untuk meremehkan doa atau upaya manusia, yang benar justru sebaliknya. Karena Allah dapat campur tangan, kita harus berdoa dan berupaya. Doktrin ini tidak pernah dipakai untuk mengesahkan Allah sebagai sumber kejahatan. Hal ini jelas dibantah dalam Yakobus 1:13 dan banyak bagian Alkitab lain. Iblis dan dosa umat manusialah yang dilihat sebagai penyebab semua kejahatan.

Mari kita perhatikan tujuan doktrin ini dalam Alkitab. Doktrin ini bertujuan menjadikan makhluk ciptaan Allah rendah hati (Roma 9:20), membangkitkan pujian bagi kasih Allah yang besar atas para pendosa (Efesus 1:11), meyakinkan orang percaya kepada kasih Allah yang tidak dapat dirusak dan sangat praktis (Roma 8:28), dan untuk menegur para musuh akan pemberontakan dan perlawanan mereka yang sia-sia (Mazmur 2:9-10; Daniel 4:34-35). Doktrin ini menggarisbawahi fakta bahwa individualitas dan musim-musim kehidupan kita diatur oleh Allah (Mazmur 139:13-16). Daud merenungkan betapa bernilainya pemahaman bahwa Allah terus memperhatikannya. Ia berkata:

"Dan bagiku, betapa sulitnya pikiran-Mu, ya Allah! Betapa besar jumlahnya! Jika aku mau menghitungnya, itu lebih banyak dari pada pasir." (Mazmur 139:17-18)

Berapa banyak dari antara kita yang sungguh-sungguh percaya bahwa Allah yang kita sembah begitu menyadari kondisi-kondisi kehidupan kita? Bahwa Ia memperhatikan kondisi-kondisi kita bahkan secara lebih mendetail daripada yang kita bayangkan? Daud berkata bahwa kita bahkan tidak dapat menghitung pikiran Allah, apa lagi memberikan perhatian yang begitu berlimpah dan mendetail kepada kondisi-kondisi kita sendiri. Saya menangisi orang Kristen yang telah menyimpulkan bahwa mereka tidak dapat menikmati keyakinan kepada providensi Allah karena takut membuat Allah menjadi sumber kejahatan.

Kita mungkin pernah bertemu dengan orang-orang yang menyalahgunakan doktrin providensi, seperti seorang Calvinis garis keras (yang percaya bahwa Allah mengendalikan segala sesuatu) yang suatu pagi terjatuh di tangga saat ia akan sarapan pagi. "Untungnya" tangga itu dilapisi karpet sehingga ia masih mampu bangkit berdiri, mengebaskan debu, dan berjalan terpincang-pincang menuju meja. Ia duduk, memandang istrinya, dan berkata, "Saya lega semua ini telah berakhir." Meski secara logis (dan humoris) respons itu mungkin menarik, respons itu hanya mengalihkan perhatiannya dari tugas untuk memikirkan apa yang salah dan mengambil langkah pencegahan untuk masa mendatang. Allah tidak menyingkapkan realitas providensi-Nya untuk membuat kita tidak lagi mengurus hidup kita. Tetapi panggilan intim seperti itu terkadang memang mengingatkan kita kepada perhatian Allah yang tidak kelihatan.

Saya pernah mendengar kisah tentang John Witherspoon, presiden Princeton University dan juga penandatangan Deklarasi Kemerdekaan Amerika Serikat. Suatu hari dalam perjalanan menuju Princeton, ia terlempar dari kereta kudanya. Kereta kuda itu masuk ke selokan, dan ia terlempar sampai tergeletak di tanah dan berlumuran kotoran. Sesampainya di kantor, ia mulai membersihkan diri dan mengomentari providensi Allah yang begitu ajaib dalam melindungi hidupnya pada situasi yang amat berbahaya. Asistennya yang masih muda mengamati dengan bijak, "Tetapi Dr. Witherspoon, bukankah perhatian Allah bahkan lebih ajaib dalam ratusan pagi hari saat Anda berangkat kerja tanpa mengalami kecelakaan?" Witherspoon mendapat pelajaran berharga tentang mensyukuri providensi Allah saat hal itu tidak terlihat dan tidak dramatis.

Sebuah gambaran indah mengenai providensi Allah tercatat di Kejadian 50:20. Pada bagian itu dikisahkan bagaimana saudara-saudara Yusuf menjualnya menjadi budak, bagaimana ia secara keliru dituduh memperkosa dan dipenjara secara tidak adil, bagaimana ia mendapat kekuasaan yang besar di Mesir, lalu menyelamatkan Mesir dan keluarganya dari bencana kelaparan. Setelah semua itu, Yusuf berkata kepada saudara-saudaranya mengapa ia tidak membalas dendam atas pengkhianatan mereka. Katanya, "Memang kamu telah mereka-rekakan yang jahat terhadap aku, tetapi Allah telah mereka-rekakannya untuk kebaikan, dengan maksud melakukan seperti yang terjadi sekarang ini, yakni memelihara hidup suatu bangsa yang besar." Setiap tindakan saudara-saudara Yusuf, Yusuf sendiri, Firaun, dan bahkan cuaca yang mendatangkan bencana, semua sesuai dengan kendali Allah yang berdaulat.

Singkatnya, tidak ada situasi mulai dari jumlah rambut hingga pergerakan bangsa-bangsa yang dalam segala halnya tidak menggenapi rencana Allah.

Jika kita mengakui bahwa semua situasi ditentukan oleh providensi Allah, bagaimana dengan akibat tindakan umat manusia yang jahat? Kisah Yusuf memperlihatkan jawabannya.

Orang Baik, Orang Jahat, dan Politikus

Apakah rencana Allah digenapi oleh tindakan manusia yang bebas dan bertanggung jawab, entah itu baik atau jahat? Inilah pertanyaan yang ditimbulkan oleh Hitler, Pol Pot, dan penjahat keji yang menyerang anak Anda. Inilah pertanyaan Wilberforce dan Martin Luther King, yang memperjuangkan hak asasi dan martabat keturunan Afrika.

Pertanyaan ini wajar sehubungan dengan realitas penghakiman terakhir yang akan menuntut setiap pria, wanita, dan anak-anak untuk bertanggung jawab atas perbuatan mereka. Menurut Yohanes 5:28-29:

"Janganlah kamu heran akan hal itu, sebab saatnya akan tiba, bahwa semua orang yang di dalam kuburan akan mendengar suara-Nya, dan mereka yang telah berbuat baik akan keluar dan bangkit untuk hidup yang kekal, tetapi mereka yang telah berbuat jahat akan bangkit untuk dihukum."

Implikasi dari kisah Yusuf di atas secara khusus diajarkan dalam Alkitab: setiap tindakan yang dilakukan setiap individu adalah sesuai dengan cetak biru Allah yang tidak dapat berubah. Alkitab menekankan fakta bahwa orang yang paling "bebas" (para raja dan penguasa) mengerjakan rencana Allah. Amsal 21:1 menyatakan, "Hati raja seperti batang air di dalam tangan Tuhan, dialirkan-Nya ke mana Ia ingini." Bagian-bagian lain Alkitab juga membawa pesan yang sama tentang kedaulatan Allah:

"Tetapi rencana TUHAN tetap selama-lamanya, rancangan hati-Nya turun-temurun." (Mazmur 33:11)

"Tuhan semesta alam telah merancang, siapakah yang dapat menggagalkannya? Tangan-Nya telah teracung, siapakah yang dapat membuatnya ditarik kembali?" (Yesaya 14:27)

"Ingatlah hal-hal yang dahulu dari sejak purbakala, bahwasanya Akulah Allah dan tidak ada yang lain, Akulah Allah dan tidak ada yang seperti Aku, Yang memberitahukan dari mulanya hal yang kemudian dan dari zaman purbakala apa yang belum terlaksana, Yang berkata: Keputusan-Ku akan sampai, dan segala kehendak-Ku akan Kulaksanakan." (Yesaya 46:9-10)

"Banyaklah rancangan di hati manusia, tetapi keputusan Tuhanlah yang terlaksana." (Amsal 19:21)

Tidak ada tindakan musuh-musuh Allah atau para penguasa yang berpengaruh terhadap kemampuan Allah untuk melaksanakan setiap detail dari rencana-Nya. Sebaliknya, tindakan-tindakan mereka tidak terpisah dari rencana yang telah Allah tetapkan, sama seperti tindakan Firaun yang sia-sia ketika menentang Musa dalam Keluaran. Roma 9:17 mencatat perkataan Allah kepada Firaun: "Itulah sebabnya Aku membangkitkan engkau, yaitu supaya Aku memperlihatkan kuasa-Ku di dalam engkau, dan supaya nama-Ku dimasyhurkan di seluruh bumi." Sangat menarik bahwa di dalam catatan Keluaran tentang pemberontakan Firaun, dikatakan Allah mengeraskan hati Firaun tetapi juga dikatakan bahwa Firaun mengeraskan hatinya sendiri (Keluaran 14:4; 9:34). Firaun bertindak menurut kehendaknya sendiri, namun kehendaknya itu melaksanakan rencana kekal Allah.

Kedaulatan Allah atas tindakan jahat manusia dinyatakan dengan paling murni dalam khotbah Petrus di Kisah Para Rasul 2:23. "Dia [Yesus] yang diserahkan Allah menurut maksud dan rencana-Nya, telah kamu salibkan dan kamu bunuh oleh tangan bangsa-bangsa durhaka." Perhatikan, sekalipun Petrus menyatakan bahwa kejahatan terkeji dalam sejarah manusia itu telah ditetapkan oleh rencana Allah, namun ia tetap berani meletakkan tanggung jawab atas kejahatan itu secara langsung kepada para permimpin rohani bangsa Israel.

Pemahaman bahwa semua tindakan manusia tercakup di dalam rencana Allah sungguh sangat menghibur saya setiap hari. Istri saya adalah staf pengerja kampus di InterVarsity Christian Fellowship [Perkantas]. Tiga atau empat kali dalam seminggu ia pergi ke kampus hingga larut malam (anak-anak kami sudah beranjak remaja). Baru-baru ini, seorang siswi diculik di pinggiran jalan sekitar jam delapan malam. Padahal istri saya baru saja melewati jalan itu sekitar sepuluh menit sebelumnya. Siswi itu dibawa ke sebuah parkiran kosong lalu diperkosa. Dengan kondisi seperti itu, saya sangat mengkuatirkan istri saya yang sering keluar malam, dan kami mengambil beberapa langkah pencegahan. Tetapi hal yang paling menghibur kami adalah pemahaman bahwa tak seorang pun, termasuk pemerkosa paling tangguh, yang dapat menyentuh istri saya tanpa menggenapi rencana keselamatan Allah.

Anda mungkin bertanya, "Bukankah mustahil, bahwa Allah yang mengendalikan, namun manusia tetap menjadi penyebab bagi kebaikan dan kejahatan?" Hal ini terbukti tidak mustahil bagi Allah. Pikiran kita tidak dapat memahami bagaimana Allah dapat menciptakan makhluk bertanggung jawab yang benar-benar harus memberi pertanggungjawaban kepada-Nya meskipun semua dosa mereka, sejak Adam di taman hingga pedihnya kebinasaan akhir si Iblis, terlaksana sesuai dengan rencana- Nya. Kehidupan berada di bawah kendali yang sedemikian rumit, yang melampaui kemampuan manusia untuk memahaminya. Dengan kehendak kita sendiri yang bertanggung jawab, kita mengerjakan rencana Allah meskipun Allah sama sekali tidak mencobai atau secara langsung memaksa kehendak kita. Meski kita tidak tahu bagaimana Allah mengendalikan segala sesuatu, tampaknya Ia biasanya tetap "lepas tangan" terhadap mekanisme kehendak kita. Tetapi kita bertanggung jawab dan dengan bebas memilih untuk melakukan semua yang Ia rencanakan.

Selama bertahun-tahun begitu banyak orang percaya berkata kepada saya, "Anda tidak mungkin bisa mempercayai kedua-duanya secara bersamaan; Anda harus memilih antara tindakan manusia yang sepenuhnya bertanggung jawab, atau rencana Allah yang sedang bekerja." Kita harus dengan tegas menolak pendapat bahwa karena kita tidak tahu bagaimana Allah melakukan hal ini, maka kita harus memilih antara tanggung jawab manusia atau kedaulatan ilahi; kita menolak anggapan bahwa kita hanya bisa memilih satu, dan bukan kedua-duanya.

Fakta bahwa keduanya benar merupakan kemuliaan bagi hikmat Allah. Kita harus sujud dan menyembah, bukannya terhanyut dalam pikiran kita yang dengan sombong memikirkan apa yang bisa atau tidak bisa Allah kerjakan. Kita adalah ciptaan yang terbatas dan tidak memiliki akses untuk menjangkau tingkat pemikiran atau eksistensi Allah. Sesungguhnya ini merupakan inti dari logika dan pemahaman yang baik, yang mempercayai pewahyuan Allah tentang diri-Nya. Kita harus menikmati kepenuhan providensi Allah yang begitu mulia, dan penghiburan dari pengendalian-Nya yang misterius dan berdaulat. Seharusnya ini mendorong kita untuk menanggapi dengan gentar sebagai orang-orang yang mengetahui bahwa diri mereka yang harus bertanggung jawab, sebagai penyandang gambar dan rupa Allah.

Bukan hanya perbuatan-perbuatan jahat yang tercakup di dalam providensi Allah, tetapi perbuatan-perbuatan baik manusia juga telah ditetapkan sebelumnya. Efesus 2:10 menyatakan, "Karena kita ini buatan Allah, diciptakan dalam Kristus Yesus untuk melakukan pekerjaan baik, yang dipersiapkan Allah sebelumnya. Ia mau, supaya kita hidup di dalamnya." Tetapi kita tetap berulang kali diperintahkan untuk melakukan pekerjaan-pekerjaan baik (1Timotius 6:18; Ibrani 10:24). Dalam Filipi 2:12-13, Paulus menyingkapkan tirai metafisika dan mengizinkan kita melihat dua fakta ini berfungsi bersamaan. Ia berkata, "... tetaplah kerjakan keselamatanmu dengan takut dan gentar, ... karena Allahlah yang mengerjakan di dalam kamu baik kemauan maupun pekerjaan menurut kerelaan-Nya." Bukannya mengurangi tanggung jawab orang Kristen, kebenaran ini justru meningkatkan tanggung jawab dengan mengaitkannya kepada kuasa yang tidak dapat ditolak Allah sedang mengerjakan rencana-Nya yang baik di dalam diri kita. Dari sini kita melihat providensi Allah sedang berkarya di dalam keselamatan kita.

(Redaksi: Bagian 2 dari artikel di atas akan dikirimkan pada pengiriman e-Reformed edisi berikutnya.)

Sumber: 

Sumber diambil dari:

Judul Buku : Step By Step
Judul Artikel : -
Penulis : James C. Petty
Penerjemah : -
Penerbit : Momentum, Surabaya, 2004
Halaman : 41 - 54

Roh Kudus dan Alkitab

Editorial: 

Dear e-Reformed netters,

Menyambut peringatan Hari Pentakosta, saya kirimkan bagian dari buku tulisan John R. W. Stott, yang membahas tentang Roh Kudus dan Alkitab. Karena sudah sangat panjang, maka saya tidak akan menambah komentar lagi. Kiranya menjadi berkat.

In Christ,
Yulia
< yulia@in-christ.net >

Penulis: 
John R.W. Stott
Edisi: 
061/IV/2005
Isi: 

Semua orang Kristen sadar bahwa antara Kitab Suci dan Roh Suci, pasti terdapat suatu hubungan yang erat. Sebenarnya semua orang Kristen percaya bahwa dalam arti tertentu Alkitab adalah hasil karya cipta Roh Kudus. Karena setiap kali kita mengikrarkan Pengakuan Iman Nicea, kita menegaskan salah satu pokok kepercayaan kita tentang Roh Kudus bahwa 'Dia telah berfirman dengan perantaraan para nabi'. Ungkapan tadi merupakan gema ungkapan-ungkapan serupa di Perjanjian Baru. Sebagai contoh, Tuhan kita Yesus Kristus sendiri suatu ketika mengutip Mazmur 110 dan menjelaskan: 'Daud sendiri oleh pimpinan Roh Kudus berkata: ...' (Markus 12:36). Petrus dalam suratnya yang kedua, sama menulis 'oleh dorongan Roh Kudus orang-orang berbicara atas nama Allah' (2Petrus 1:21), atau bila diterjemahkan harafiah dari istilah Yunaninya, 'mereka diombang-ambingkan oleh Roh Kudus', (istilah yang sama digunakan dalam Kisah Para Rasul 27:18), persis seperti kapal diombang-ambingkan angin. Jelas ada hubungan penting antara Alkitab dan Roh Kudus. Hal ini kini akan kita selidiki.

Sejauh ini sudah kita pikirkan bahwa Allah adalah sumber dari penyataan yang diungkapkan-Nya dan bahwa Yesus Kristus adalah pokok utama penyataan-Nya. Kini perlu kita tambahkan bahwa Roh Kudus adalah perantara-Nya. Dengan demikian, pemahaman Kristen tentang Alkitab bersumber pada pemahaman tentang Tritunggal. Alkitab berasal dari Allah, berpusat pada Kristus dan diilhamkan oleh Roh Kudus. Karena itu definisi terbaik tentang Alkitab pun bernafaskan Tritunggal: "Alkitab adalah kesaksian Bapa tentang Anak melalui Roh Kudus."

Jadi persisnya, apakah peran Roh Kudus dalam proses penyataan? Untuk menjawab pertanyaan ini, kita beralih kepada Alkitab sendiri, terutama 1Korintus 2:6-16.

Penting kita melihat bagian Alkitab ini dalam konteksnya yang lebih luas. Sampai di bagian ini, Paulus sedang menegaskan tentang 'kebodohan' Injil. Sebagai contoh, 'pemberitaan tentang salib memang adalah 'kebodohan' (1Korintus 1:18), dan 'kami memberitakan Kristus yang disalibkan: untuk orang-orang Yahudi suatu batu sandungan dan untuk orang-orang bukan Yahudi suatu kebodohan' (1Korintus 1:23). Katakanlah sekarang bahwa berita tentang salib terdengar bodoh bahkan tak mengandung arti bagi para intelektual sekular. Paulus sekarang mengkoreksi agar jangan timbul kesan pada para pembacanya bahwa dia sama sekali menolak pentingnya hikmat dan bermegah dalam kebodohan. Apakah rasul anti intelek? Apakah dia menghina pengertian dan penggunaan akal? Tidak, sama sekali tidak.

1Korintus 2:6-7 menuliskan, "Sungguhpun demikian kami memberitakan hikmat ... hikmat Allah yang tersembunyi dan rahasia, . . . yang telah disediakan Allah bagi kemuliaan kita." Perbandingan yang Paulus buat tidak boleh kita lewati. Kami jelas menyampaikan hikmat, tulisnya, tetapi:

  1. hanya kepada yang telah dewasa, bukan kepada yang bukan Kristen atau bahkan bukan kepada Kristen yang masih muda iman;
  2. hikmat tersebut adalah hikmat Allah, bukan hikmat duniawi;
  3. yaitu agar kita menerima kemuliaan, maksudnya kesempurnaan akhir kita kelak melalui keikutsertaan kita dalam kemuliaan Allah dan bukan hanya membawa kita pada pembenaran di dalam Kristus.

Dalam usaha menginjili orang yang bukan Kristen, kita harus memusatkan perhatian pada 'kebodohan' Injil tentang Kristus yang tersalib bagi orang berdosa. Dalam usaha membangun orang Kristen menuju kedewasaan penuh, kita harus memimpin mereka ke dalam pengertian tentang keseluruhan rencana Allah. Paulus menyebut hal tersebut di ayat 7 sebagai 'hikmat Allah yang tersembunyi dan rahasia' dan di ayat 9 'semua yang disediakan Allah untuk mereka yang mengasihi Dia'. Hal itu hanya dapat diketahui, tegas Paulus, melalui penyataan. 'Penguasa- penguasa dunia ini' (para pemimpin dunia) tidak mengertinya, atau mereka tidak akan menyalibkan 'Tuhan yang mulia' (ayat 8). Bukan mereka saja, semua manusia, pada diri mereka sendiri, tidak memahami hikmat dan maksud Allah.

Rencana Allah, menurut Paulus di ayat 9 adalah sesuatu yang tidak dapat dilihat oleh mata, atau didengar telinga, atau diselami hati. Hikmat Allah itu di luar jangkauan mata, telinga, dan pikiran manusia. Ia tidak tunduk kepada penelitian ilmiah, juga terhadap imajinasi. Hikmat Allah sama sekali di luar batas dan daya ukur akal kita yang sempit dan terbatas, kecuali Allah sendiri menyatakannya. Memang itulah yang sudah Allah buat! "Apa yang tidak pernah dilihat oleh mata, dan tidak pernah didengar oleh telinga, dan yang tidak pernah timbul di dalam hati manusia: semua yang disediakan Allah untuk mereka yang mengasihi Dia." Rencana mulia-Nya yang tak terbayangkan ini, 'telah Allah nyatakan kepada kita melalui Roh-Nya'. Kata 'kita' sedemikian kuat tekanannya, dan diartikan dalam konteksnya bukan menunjuk kepada kita semua tanpa perbedaan, tetapi dimaksudkan untuk Rasul Paulus yang menulis dan untuk sesama rekan rasul lainnya. Allah memberikan penyataan khusus tentang kebenaran-kebenaran tersebut kepada alat-alat penyataan-Nya yang khusus (yaitu para nabi Perjanjian Lama dan para rasul Perjanjian Baru), dan Allah melakukan ini 'melalui Roh-Nya'. Roh Kudus menjadi perantara penyataan tersebut.

Saya kuatir bahwa pengantar yang dimaksudkan untuk menolong kita mengerti konteks pembicaraan Paulus tentang Roh Kudus sebagai perantara penyataan ini terasa agak panjang. Apa yang diuraikannya selanjutnya adalah pernyataan luas yang sangat menakjubkan. Dia menggarisbesarkan empat tahap karya Roh Kudus, sebagai perantara penyataan Ilahi.

  1. Roh yang menyelidik

  2. Roh Kudus adalah Roh yang menyelidik (ayat 10-11). Sambil lalu patut kita perhatikan bahwa ungkapan ini menunjukkan bahwa Roh Kudus adalah pribadi. Hanya pribadi-pribadi yang dapat terlibat dalam usaha menyelidik atau 'penyelidikan'. Tentu kita ketahui bahwa komputer- komputer modern dapat mengadakan riset yang sangat rumit yang bersifat mekanis dan analitis. Tetapi riset sejati (seperti yang sangat dikenal oleh para mahasiswa pasca sarjana) bukan hanya mengandung penyusunan dan analisis data secara statistik, tetapi menuntut pemikiran orisinal baik dalam bentuk penelitian maupun refleksi. Inilah bentuk pekerjaan yang dilakukan Roh Kudus karena Dia memiliki akal yang melaluinya Dia berpikir. Karena berkeberadaan sebagai Pribadi Ilahi (bukan komputer atau pengaruh atau kekuatan belaka), kita harus membiasakan diri menyebut-Nya sebagai 'Dia' (Pribadi) dan bukan 'ini' (benda).

    Paulus menggunakan dua lukisan menarik untuk menyatakan kemampuan- kemampuan unik Roh Kudus dalam karya penyataan.

    PERTAMA, 'Roh menyelidiki segala sesuatu, bahkan hal-hal yang tersembunyi dalam diri Allah' (ayat 10). Istilah yang sama digunakan Yesus tentang orang Yahudi yang 'menyelidiki Kitab-kitab Suci', dan menurut Moulton dan Milligan (dalam buku mereka 'Vocabulary of the Greek New Testament'), berdasarkan kutipan naskah dari abad ketiga, 'para penyelidik' adalah para petugas beacukai. Dalam arti mana pun, Roh Kudus digambarkan sebagai penyelidik yang giat dan teliti, atau bahkan sebagai penyelam yang berusaha mengarungi kedalaman Diri Allah yang Maha Kuasa yang tak terselami itu. (Mungkin Paulus meminjam istilah 'dalam' dari perbendaharaan kata bidat Gnostik.) Keberadaan Allah tak terukur kedalaman-Nya, dan secara terus terang Paulus menyatakan bahwa Roh Kudus menyelidiki kedalaman-kedalaman Allah. Dengan kata lain, Allah sendiri menjelajahi kelimpahan keberadaan-Nya sendiri.

    Contoh KEDUA yang Paulus kemukakan, diambilnya dari pengertian diri manusia. "Siapa gerangan di antara manusia yang tahu, apa yang terdapat di dalam diri manusia selain roh manusia sendiri yang ada di dalam dia?" (ayat 11) 'Apa yang terdapat' menunjuk kepada 'hal-hal' khas ciri kemanusiaan kita. Seekor semut tak mungkin menyelami bagaimana keberadaan hidup manusia. Katak, kelinci, atau monyet tercerdas sekalipun tidak mampu. Juga seorang manusia tak mungkin menyelami sepenuhnya keberadaan diri seorang manusia lainnya. Betapa sering kita berkata, terutama ketika masih remaja, "Anda tak mengerti saya; tak seorang pun mengerti saya." Benar ucapan tadi! Tak seorang pun mengerti saya kecuali saya sendiri, bahkan pengertian saya tentang diri sendiri pun masih terbatas. Demikian pula, tak seorang pun mengerti Anda kecuali Anda sendiri. Ukuran pengertian diri atau kesadaran diri ini diterapkan Paulus kepada Roh Kudus (ayat 11): "Demikian pulalah tidak ada orang yang tahu, apa yang terdapat di dalam diri Allah selain Roh Allah." Roh Kudus Allah di sini hampir disamakan dengan pengertian diri Ilahi atau kesadaran diri Ilahi. Sama seperti halnya tak seorang pun dapat mengerti seseorang kecuali orang itu sendiri, demikian pula tak seorang pun dapat mengerti Allah kecuali Allah sendiri. Ada lagu yang mengatakan, "Allah saja mengetahui kasih Allah." Senada dengan itu dapat pula kita tegaskan bahwa Allah saja yang mengetahui hikmat Allah, sesungguhnya Allah saja yang mengetahui keberadaan Allah.

    Dengan demikian, Roh menyelidiki kedalaman-kedalaman diri Allah, dan Roh mengetahui perkara-perkara Allah. Dia memiliki pemahaman yang unik tentang diri Allah. Masalahnya sekarang ialah: Apa yang dibuat-Nya dengan apa yang sudah diselidiki dan diketahui-Nya itu? Apakah disimpan-Nya sendiri pengetahuan unik-Nya itu? Tidak. Dia sudah melakukan hal yang hanya Dia patut dan mampu melakukannya; Dia telah menyatakannya. Roh yang menyelidik menjadi pula Roh yang menyatakan.

  3. Roh yang menyatakan

  4. Apa yang diketahui hanya oleh Roh Kudus, Dia pula yang dapat menyatakannya. Hal ini sudah ditegaskan di ayat 10, "Karena kepada kita (para rasul) Allah telah menyatakannya oleh Roh." Kemudian Paulus menguraikannya di ayat 12: "Kita (kita yang sama yaitu para rasul) tidak menerima roh dunia, tetapi roh yang berasal dari Allah (yaitu Roh yang menyelidik din yang mengetahui), supaya kita tahu, apa yang dikaruniakan Allah kepada kita." Sebenarnya, para rasul telah menerima dua karunia istimewa dari Allah, PERTAMA karunia keselamatan (apa yang dikaruniakan Allah kepada kita) dan KEDUA, Roh memampukan mereka untuk mengerti keselamatan anugerah-Nya.

    Paulus sendiri merupakan contoh terbaik tentang proses rangkap ini. Sambil kita membaca surat-suratnya, dia memberikan suatu uraian yang indah sekali tentang Injil kasih karunia Allah. Dia menyatakan apa yang telah Allah buat untuk orang-orang berdosa seperti kita yang tidak pantas menerima yang lain kecuali hukuman-Nya. Dia menyatakan bahwa Allah telah mengutus Anak-Nya untuk mati disalib bagi dosa-dosa kita dan bangkit kembali, dan jika kita melalui iman di hati dan baptisan di depan umum maka kita turut mati bersama Dia dan bangkit kembali dengan Dia, mengalami suatu kehidupan baru di dalam Dia. Injil ajaib seperti inilah yang Paulus ungkapkan kepada kita dalam surat- suratnya. Tetapi bagaimana dia dapat mengetahui semua ini? Bagaimana dia dapat membuat uraian seluas itu tentang keselamatan? Jawabnya tentunya ialah karena PERTAMA dia sendiri sudah menerimanya. Dia mengetahui kasih karunia Allah dalam pengalamannya. KEDUA, Roh Kudus telah diberikan kepadanya untuk menafsirkan pengalamannya itu kepada dirinya. Jadi, Roh Kudus menyatakan kepadanya rencana keselamatan Allah, yang dalam surat-suratnya yang lain disebutnya sebagai 'rahasia' Allah. Roh yang menyelidik menjadi Roh yang menyatakan.

  5. Roh yang mengilhamkan

  6. Kini kita tiba ke tahap ketiga: Roh yang menyatakan menjadi Roh yang mengilhamkan. "Kami berkata-kata tentang karunia-karunia Allah dengan perkataan yang bukan diajarkan kepada kami oleh hikmat manusia, tetapi oleh Roh." (Ayat 13) Perhatikan bahwa di ayat 12 Paulus menulis tentang apa yang dia terima dan di ayat 13 tentang apa yang dia sampaikan. Mungkin baik bila saya mengupas alur pikirannya ini sebagai berikut: "Kami telah menerima karunia-karunia besar ini dari Allah; kami telah menerima Roh-Nya untuk menafsirkan bagi kami apa yang sudah Allah buat dan berikan untuk kami; kini, kami menyatakan apa yang sudah kami terima itu kepada orang-orang lain." Roh yang menyelidik yang sudah menyatakan rencana keselamatan dari Allah kepada para rasul, meneruskan penyampaian Injil ini melalui para rasul kepada orang-orang lain. Sama seperti halnya Roh tidak menyimpan hasil-hasil penyelidikan-Nya untuk diri-Nya sendiri, demikian pula para rasul tidak menyimpan penyataan dari-Nya itu untuk diri mereka sendiri. Tidak. Mereka mengerti bahwa mereka dipercayakan sebagai penatalayan. Mereka harus meneruskan apa yang sudah mereka terima kepada orang- orang lain.

    Lagi pula, apa yang mereka sampaikan itu berbentuk kata-kata dan kata- kata itu menurut mereka bukan berasal dari hikmat manusia tetapi diajarkan oleh Roh Kudus (ayat 13). Lihatlah di sini bagaimana Roh Kudus disinggung kembali, tetapi kali ini sebagai Roh yang mengilhamkan. Dalam ayat 13 ini tertampung pernyataan rangkap Paulus tentang 'pengilhaman verbal'. Artinya, kata-kata yang melaluinya para rasul meneruskan berita yang telah dinyatakan Roh kepada mereka, adalah kata-kata yang sama yang telah diajarkan kepada mereka oleh Roh.

    Menurut dugaan saya, penyebab mengapa ungkapan 'pengilhaman verbal' kurang disenangi orang adalah kesalahmengertian tentang artinya. Akibatnya, apa yang mereka tolak bukan arti sesungguhnya, melainkan karikaturnya. Izinkan saya menjernihkan beberapa kesalahan konsep berikut. PERTAMA, 'pengilhaman verbal' tidak berarti bahwa 'setiap kata dalam Alkitab harus dianggap benar secara harafiah'. Tidak, kita tahu benar bahwa para penulis Alkitab sering menggunakan berbagai jenis gaya tulisan, yang masing-masing harus ditafsirkan menurut peraturannya sendiri-sendiri -- sejarah sebagai sejarah, puisi sebagai puisi, perumpamaan sebagai perumpamaan, dan sebagainya. Yang diilhamkan adalah arti wajar masing-masing kata, sesuai dengan maksud pengarangnya sendiri, entah harfiah ataupun simbolik.

    KEDUA, 'pengilhaman verbal' bukan berarti dikte lisan. Kaum Muslim percaya bahwa Allah mendiktekan Quran kepada Muhammad, kata demi kata dalam bahasa Arab. Bukan begini yang dipercaya orang Kristen tentang Alkitab, sebab, sebagaimana sudah kita lihat sebelum ini dan yang kelak akan lebih saya tegaskan, Roh Kudus memperlakukan para penulis Alkitab sebagai pribadi, bukan sebagai mesin. Walaupun ada beberapa kasus perkecualian, umumnya mereka sepenuhnya menguasai seluruh kemampuan manusia mereka sementara Roh mengkomunikasikan firman-Nya melalui kata-kata mereka.

    KETIGA, 'pengilhaman verbal' tidak berarti bahwa setiap kalimat dalam Alkitab adalah firman Allah, biarpun bila dilepaskan dari konteksnya, misalnya. Tidak semua hal yang ditampung dalam Alkitab disetujui oleh Alkitab. Kisah khotbah-khotbah panjang para sahabat Ayub adalah contoh baik tentang hal ini. Pernyataan utama mereka bahwa Allah menghukum Ayub karena dosa-dosanya, sama sekali salah. Di pasal terakhir, dua kali Allah berkata, "Kamu tidak berkata benar." (Ayub 42:7-8) Jadi, kata-kata mereka tidak bisa dianggap sebagai kata-kata Allah. Ucapan- ucapan mereka diikutsertakan bukan untuk disetujui, melainkan untuk disalahkan. Firman Allah yang diilhamkan ialah yang disetujui dan ditandaskan, entah berbentuk perintah, petunjuk, atau janji.

    Yang dimaksud dengan 'pengilhaman verbal' ialah bahwa apa yang sudah dan masih dikatakan oleh Roh Kudus melalui penulis-penulis Alkitab, bila dimengerti sesuai dengan arti jelas dan wajar dari kata-kata yang tertulis itu adalah benar tanpa salah. Tak perlu kita merasa dibuat malu oleh pokok iman Kristen ini, atau merasa dipermalukan atau takut mengakuinya. Sebaliknya, doktrin ini jelas jelas masuk akal, sebab kata-kata adalah bangun dasar yang membentuk kalimat-kalimat. Kata- kata adalah sel-sel dasar yang membangun ucapan. Tidak mungkin memolakan pesan yang tepat tanpa membentuk kalimat-kalimat tepat yang terdiri dari kata-kata yang tepat pula.

    Bayangkanlah bagaimana sulitnya menyusun sebuah telegram. Katakanlah kita diberi batas hanya dua belas kata. Pada saat yang sama kita diminta untuk menyusun bukan saja pesan yang dapat dimengerti, melainkan juga pesan yang tak akan disalahmengertikan. Untuk itu kita menyusun, menyusun, dan menyusunnya ulang. Kita buang satu kata di sini dan menambah sebuah kata lagi di sana, sampai pesan kita tersusun rapi, jelas, dan memuaskan. Kata-kata sedemikian penting artinya. Setiap pengkhotbah yang ingin mengkomunikasikan pesan yang dapat dimengerti dan tak akan disalahmengertikan, tahu pentingnya kata-kata. Setiap pengkhotbah yang berhati-hati mempersiapkan khotbah-khotbahnya, memilih kata-katanya dengan teliti. Setiap penulis, entah menulis surat atau artikel atau buku, tahu bahwa kata itu penting artinya. Dengarkanlah apa yang pernah ditulis seseorang berikut ini: "Betapa agung milik manusia yang satu ini: kata-kata ... Tanpa kata, tak mungkin kita memahami hati dan pikiran sesama kita. Bila demikian, tak ada bedanya manusia dari binatang ... sebab, begitu kita ingin berpikir dan memahami sesuatu, kita selalu memikirkannya dalam kata- kata, walaupun itu tidak kita utarakan kuat-kuat; tanpa kata, segala isi pikiran kita tinggal sekadar tumpukan kerinduan dan perasaan yang gelap tak terselami dan tak terpahami bahkan oleh diri kita sendiri." Jadi, kita selalu harus membungkus pikiran-pikiran kita dalam kata- kata.

    Hal inilah sebenarnya yang dicanangkan para rasul bahwa Roh Kudus Allah yang sama yang menyelidiki kedalaman-kedalaman Allah dan yang menyatakan penyelidikan-penyelidikan-Nya itu kepada para rasul, meneruskannya melalui para rasul dalam kata-kata yang berasal dari pilihan para rasul sendiri. Roh mengutarakan kata-kata-Nya melalui kata-kata mereka, supaya kata-kata itu sekaligus merupakan kata-kata Allah dan kata-kata manusia. Inilah yang dimaksud bahwa Alkitab dikarang secara rangkap. Ini pula maksud 'pengilhaman'. Pengilhaman Alkitab bukan suatu proses mekanis. Pengilhaman sepenuhnya melibatkan Pribadi (Roh Kudus) yang berbicara melalui pribadi-pribadi (para nabi dan para rasul) sedemikian rupa sehingga secara serempak kata-kata-Nya menjadi kata-kata mereka sendiri, dan mereka menjadi kata-kata Dia.

  7. Roh yang menerangi

  8. Kini kita tiba pada tahap kerja Roh Kudus yang keempat sebagai perantara penyataan, dan dalam tahap ini saya sebut Dia sebagai Roh yang 'menerangi'. Mari kita telusuri bersama.

    Bagaimanakah anggapan kita tentang mereka yang mendengar khotbah- khotbah rasul dan kemudian membaca surat-surat rasul? Adakah mereka dibiarkan sendiri tanpa bantuan? Haruskah mereka bergumul sekuat tenaga untuk mengerti pesan-pesan rasuli itu? Tidak! Roh yang sama yang giat bekerja di dalam diri mereka yang menulis surat-surat rasuli, giat pula di dalam diri mereka yang membaca surat tersebut. Jadi, Roh Kudus bekerja di dalam keduanya, mengilhamkan firman-Nya kepada para rasul dan menerangi para pendengar mereka. Secara tidak langsung hal ini disinggung dalam ayat 13, ayat yang rumit dan sering ditafsirkan berbeda-beda. Saya cenderung menerjemahkan, "Roh Kudus menafsirkan kebenaran-kebenaran rohani kepada mereka yang memiliki Roh." Hal memiliki Roh tidak terbatas hanya pada para penulis Alkitab. Tentu saja karya pengilhaman-Nya di dalam mereka bersifat unik; namun sebagai tambahan Roh Kudus berkarya pula dalam penafsiran.

    Ayat 14 dan 15 mengupas kebenaran ini dan menekankan segi-segi yang berbeda tajam. Ayat 14 mulai dengan menunjuk pada 'manusia duniawi', yaitu mereka yang tidak diperbaharui yakni orang non-Kristen. Sebaliknya, ayat 15 mulai dengan 'manusia rohani', yang memiliki Roh Kudus. Dengan demikian, Paulus membagi manusia ke dalam dua kategori yang terpisah tajam: 'yang duniawi' dan 'yang rohani', yaitu mereka yang memiliki kehidupan alami, atau jasmani di satu pihak dan mereka yang sudah menerima kehidupan rohani atau kehidupan kekal di lain pihak. Golongan pertama tidak memiliki Roh Kudus karena mereka belum dilahirkan kembali, tetapi Roh Kudus mendiami mereka yang telah dilahirkan-Nya baru, didiami oleh Roh Kudus, merupakan ciri orang Kristen sejati (Roma 8:9).

    Apa bedanya bila kita memiliki Roh Kudus atau tidak? Besar sekali! Terutama (walaupun ada perbedaan lainnya), dalam pengertian kita tentang kebenaran rohani. Manusia tidak rohani atau yang belum diperbaharui, yaitu yang tidak menerima Roh Kudus, tidak juga menerima perkara-perkara dari Roh Kudus karena hal itu merupakan kebodohan bagi mereka (ayat 14). Bukan saja tidak mengerti, melainkan juga tidak sanggup lagi mengerti karena sudah 'terlalu paham'. Manusia rohani di lain pihak, Kristen yang sudah dilahirkan kembali dan di dalam siapa Roh Kudus berdiam, 'menilai' (istilah Yunaninya sama dengan memahami di ayat 14) 'segala sesuatu'. Bukan berarti dia menjadi maha tahu seperti Allah, melainkan semua perkara yang dulu tidak dilihat dan dipahaminya, yaitu yang telah Allah nyatakan dalam Alkitab, kini menjadi berarti baginya. Dia mengerti apa yang dulu tidak dimengertinya walaupun karena itu dia sendiri tidak dapat dimengerti orang lain. Secara harfiah berarti 'dia tidak dipahami oleh siapa pun'. Dia menjadi semacam teka-teki, sebab ada rahasia yang dalam tentang kebenaran dan kehidupan rohaninya yang tidak masuk akal bagi orang-orang tak beriman. Sebenarnya ini tidak perlu diherankan, sebab tak seorang pun tahu pikiran Allah atau mampu mengajari Dia. Karena mereka tidak mengerti pikiran Kristus, mereka tidak mengerti kita pula walaupun kita yang telah diterangi Roh Kudus dapat berkata dengan berani, "Kami memiliki pikiran Kristus." (ayat 16) Betapa ajaib!

    Inikah pengalaman Anda? Sudahkah Alkitab menjadi suatu buku berarti bagi Anda? Seseorang pernah berkata kepada sahabatnya sesaat sesudah pertobatannya, "Jika Allah menarik kembali Alkitabnya dan menukarnya dengan yang lain, Alkitab lain itu bukan lagi barang baru baginya." Hal yang sama saya alami sendiri. Sebelum saya bertobat, saya membaca Alkitab setiap hari karena diharuskan ibu saya. Tetapi saya menghadapi banyak sekali kesulitan. Tak sedikit pun saya mengerti isinya. Tetapi ketika saya dilahirkan kembali dan Roh Kudus datang berdiam di dalam diri saya, tiba-tiba Alkitab menjadi sesuatu yang baru bagi saya. Tentu, saya tidak menganggap bahwa saya tahu segala sesuatu. Saat ini pun saya masih jauh dari mengerti segala perkara. Tetapi saya mulai mengerti hal-hal yang tadinya tidak saya mengerti. Betapa ajaibnya pengalaman ini! Anda jangan menganggap Alkitab sebagai kumpulan naskah-naskah kuno berbau apek yang harus dipajang di perpustakaan. Jangan beranggapan bahwa halaman-halaman Alkitab seumpama fosil-fosil yang harus ditempatkan di balik kaca-kaca museum. Tidak, Allah masih berbicara melalui apa yang sudah dibicarakan-Nya. Melalui teks kuno dalam Alkitab, Roh Kudus dapat berkomunikasi kembali dengan kita kini, secara segar, pribadi dan penuh kuasa. "Siapa bertelinga, hendaklah ia mendengarkan apa yang dikatakan (ditulis dalam bentuk waktu sekarang) Roh (melalui Alkitab) kepada jemaat jemaat." (Wahyu 2:7)

    Jika Roh Kudus pada zaman ini masih berbicara kepada kita melalui Alkitab, mungkin Anda akan bertanya, "Mengapa tidak terjadi persetujuan pendapat tentang segala sesuatu, jika selain menjadi perantara penyataan, Roh Kudus juga adalah penafsir, mengapa Dia tidak memimpin kita kepada suatu pemikiran yang sama?" Jawaban saya mungkin akan membuat Anda kaget. Sesungguhnya, Dia memungkinkan kita untuk lebih mengalami kesepakatan ketimbang tidak. Kita akan memiliki pemahaman yang sama asal saja kita mengikuti empat persyaratan berikut.

    PERTAMA, kita harus menerima otoritas mutlak Alkitab dan bersungguh hati tunduk kepadanya. Di antara mereka yang bersikap seperti ini terciptalah sejumlah konsensus Kristen yang berarti. Perbedaan besar dan menyakitkan yang ada, misalnya antara Gereja Roma Katholik dan Gereja-gereja Protestan, terutama terjadi karena yang pertama terus saja enggan menyatakan bahwa Alkitab memiliki otoritas mutlak melampaui tradisi gereja. Posisi resmi Gereja Roma (walaupun sudah diubah namun tidak cukup memadai oleh Konsili Vatikan kedua), masih menegaskan bahwa 'baik Tradisi Suci dan Kitab Suci harus diterima dan dihornytti dengan sikap ibadah dan khidmat yang sama'. Gereja-gereja Protestan tidak menyangkal pentingnya tradisi, dan sebagian dari kita sangat menghormatinya, sebab Roh Kudus sudah sejak generasi-generasi yang lampau mengajar, dan Dia bukan baru saja mengajarkan kebenaran kepada kita. Namun bila di antara keduanya terjadi benturan, kita harus mengizinkan Alkitab untuk membentuk ulang tradisi, sama seperti yang Yesus tegaskan terhadap tradisi orang Yahudi (Markus 7:1-13). Jika Gereja Roma Katholik memiliki keberanian untuk menolak tradisi- tradisi yang tidak alkitabiah (misalnya, dogma mereka tentang ketidakberdosaan Maria dan pengangkatan Maria ke Surga), kemajuan cepat akan tercapai ke arah persetujuan di bawah firman Allah.

    KEDUA, kita harus ingat hal yang sudah kita bahas sebelum ini bahwa maksud utama Alkitab ialah memberi kesaksian kepada Kristus, Sang Juruselamat sempurna bagi orang-orang berdosa. Ketika para perintis Reformasi di abad keenam belas menekankan pentingnya kejelasan Alkitab dicapai dengan menerjemahkannya agar orang biasa dapat membacanya sendiri, mereka sebenarnya sedang menunjuk pada jalan keselamatan. Mereka tidak menyangkal bahwa Alkitab mengandung 'hal-hal yang sukar dipahami' (komentar Petrus tentang surat-surat Paulus di 2Petrus 3:16); apa yang mati-matian mereka tegaskan ialah bahwa kebenaran- kebenaran hakiki untuk keselamatan, dapat dimengerti oleh semua orang dengan jelas.

    KETIGA, kita harus menerapkan prinsip-prinsip penafsiran yang sehat. Tentu mudah sekali memutarbalikkan Alkitab sesuka keinginan kita mengertinya. Tetapi tugas kita ialah menafsirkan, bukan memutarbalikkan Alkitab. Yang terutama harus kita cari ialah arti asal dan arti wajar Alkitab sesuai dengan maksud penulisnya. Mungkin bisa harfiah bisa pula kiasan, lagi-lagi tergantung niat penulisnya. Apa yang kita sebut tadi ialah prinsip historis dan prinsip kesederhanaan. Bila keduanya diterapkan secara lurus dan ketat, maka Alkitab akan mengontrol kita, bukan kita mengontrol Alkitab. Akibatnya, wilayah- wilayah tentang mana kita bersepakat akan bertambah luas.

    KEEMPAT, kita harus mendatangi teks Alkitab dengan kesadaran tentang adanya prasangka-prasangka budaya kita dan kesediaan untuk mengizinkan prasangka tadi ditantang dan diubah. Jika kita datang kepada Alkitab dengan sikap angkuh dan menganggap semua pemahaman iman dan kebiasaan yang kita warisi benar adanya, tentu saja di dalam Alkitab hanya akan kita temukan hal-hal yang memang ingin kita temukan, yaitu dukungan untuk status quo kita. Selain itu, kita pun akan berada dalam pertentangan tajam dengan orang lain yang datang kepada Alkitab dari latar belakang dan keyakinan yang berbeda, namun ternyata mendapatkan 'dukungan' Alkitab untuk pandangan mereka. Mungkin tak ada penyebab lebih lazim timbulnya pertentangan daripada faktor tadi. Hanya jika kita cukup berani dan rendah hati, mengizinkan Roh Allah melalui firman. Allah mempertanyakan secara radikal pandangan-pandangan yang paling kita sayangi, baru kita akan mendapatkan keesaan dan pengertian yang segar.

    Pemahaman rohani yang dijanjikan Roh Kudus tidak bertentangan dengan keempat syarat ini, tetapi syarat-syarat ini merupakan pengandaian yang harus kita terima dan penuhi lebih dulu.

Kesimpulan

Kita telah menyelidiki tentang Roh Kudus dalam empat peran: Roh yang menyelidik, Roh yang menyatakan, Roh yang mengilhamkan, dan Roh yang menerangi. Inilah keempat tahap pelayanan Roh Kudus mengajar umat-Nya. PERTAMA, Dia menyelidiki kedalaman Allah dan pikiran Allah. KEDUA, Dia menyatakan penyelidikan-Nya itu kepada para rasul. KETIGA, Dia menyampaikan apa yang telah dinyatakan-Nya kepada para rasul melalui para rasul dengan kata-kata yang disediakan-Nya sendiri. KEEMPAT, Dia menerangi pikiran para pendengar agar mereka dapat memahami apa yang sudah dinyatakan kepada dan melalui para rasul, dan masih melanjutkan karya iluminasi-Nya ini bagi mereka yang ingin menerimanya sampai saat ini.

Dua pelajaran singkat sederhana akan mengakhiri pembahasan ini. Yang PERTAMA menyangkut pandangan kita tentang Roh Kudus. Sekarang ini Pribadi dan karya Roh Kudus banyak diperbincangkan orang. Bagian Alkitab kita ini hanya salah satu dari banyak bagian Alkitab lainnya tentang Roh Kudus. Tetapi izinkan saya bertanya kepada Anda, "Adakah tempat dalam doktrin Anda tentang Roh Kudus untuk bagian ini?" Yesus menyebut-Nya 'Roh Kebenaran'. Berarti kebenaran penting bagi Roh Kudus. Ya, saya tahu bahwa Dia juga adalah Roh kekudusan, Roh kasih dan Roh kuasa, tetapi apakah Dia merupakan Roh Kebenaran untuk Anda? Menurut ayat-ayat yang sudah kita pelajari, Dia sangat mementingkan kebenaran. Dia menyelidikinya, menyatakannya, mengkomunikasikannya, dan menerangi pikiran kita agar mampu mengertinya. Sahabat, jangan sekali-kali meremehkan kebenaran! Jika Anda lakukan itu, Anda mendukai Roh Kudus kebenaran. Bagian ini seharusnya membawa dampak nyata pada pandangan kita tentang Roh Kudus.

KEDUA, kebutuhan kita akan Roh Kudus. Inginkah Anda bertumbuh dalam pengenalan Anda tentang hikmat Allah dan rencana menyeluruh-Nya menjadikan kita serupa Kristus dalam kemuliaan-Nya kelak? Tentu ingin, seperti halnya saya juga. Berarti kita butuh Roh Kudus, Roh kebenaran, untuk menerangi pikiran kita. Untuk itu kita perlu dilahirkan kembali. Kadang-kadang terpikir oleh saya, mengapa sementara teolog sekuler mengeluarkan ucapan-ucapan dan tulisan-tulisan serendah nilai sampah (yang saya maksudkan, misalnya ialah penolakan mereka akan kepribadian Allah dan Keilahian Yesus) adalah karena mereka belum dilahirkan kembali. Mungkin saja seseorang menjadi teolog tanpa dilahirkan kembali. Inikah sebabnya mereka tidak memahami kebenaran-kebenaran ajaib dalam Alkitab? Alkitab dapat dipahami secara rohani. Karena itu kita perlu datang kepada Alkitab dengan rendah hati, hormat, dan penuh harap. Kita perlu mengakui bahwa kebenaran-kebenaran yang dinyatakan di dalam Alkitab masih terkunci dan termeterai sampai Roh kudus membukakannya bagi kita dan membukakan pikiran kita untuk kebenaran tersebut. Allah menyembunyikan kebenaran-Nya dari orang berhikmat dan orang pandai, dan menyatakannya kepada 'bayi-bayi', yaitu mereka yang dengan rendah hati dan hormat datang kepada-Nya. Jadi, sebelum kita, para pengkhotbah, membuat persiapan; sebelum warga jemaat mendengarkan, sebelum seseorang atau sekelompok orang mulai membaca Alkitab dalam masing-masing situasi ini, kita harus berdoa agar Roh Kudus memberikan penerangan-Nya: "Singkapkanlah mataku, supaya aku memandang keajaiban-keajaiban dari Taurat-Mu." (Mazmur 119:18) Maka pasti Dia akan melakukannya.

Sumber: 

Sumber diambil dari:

Judul Buku : Alkitab: Buku untuk Masa Kini
Judul Artikel : -
Penulis : John R.W. Stott
Penerjemah : -
Penerbit : Persekutuan Pembaca Alkitab, Jakarta, 1990
Halaman : 30 - 49

Alkitab dan Reformasi

Editorial: 
"Alkitab", tulis William Chillingworth, "dan aku katakan, hanya Alkitab, adalah agama dan orang-orang Protestant."
Penulis: 
Alister E. McGrath
Edisi: 
060/III/2005
Isi: 

"Alkitab", tulis William Chillingworth, "dan aku katakan, hanya Alkitab, adalah agama dan orang-orang Protestant." Kata-kata termasyhur dari orang Protestan Inggris dalam abad ke-17 ini meringkaskan sikap Reformasi terhadap Kitab Suci. Calvin menyatakan prinsip yang sama ini dengan agak kurang mengesankan walaupun secara lebih lengkap, demikian, "Biarlah hal ini kemudian menjadi suatu aksioma yang pasti: bahwa tidak ada yang lain yang harus diakui di dalam gereja sebagai Firman Allah kecuali apa yang termuat, PERTAMA dalam Torah dan Kitab Nabi-Nabi, dan KEDUA dalam tulisan-tulisan dari para Rasul; dan bahwa tidak ada metode pengajaran lain di dalam gereja yang berlainan dari apa yang sesuai dengan ketentuan dan aturan dari Firman-Nya." Seperti akan kita lihat, bagi Calvin, lembaga-lembaga dan peraturan-peraturan baik dari gereja maupun masyarakat dituntut berakar di dalam Kitab Suci, "Aku hanya menyetujui lembaga-lembaga manusia yang didirikan di atas kewenangan Allah dan berasal dari Kitab Suci." Zwingli memberikan judul untuk traktat yang ditulisnya pada tahun 1522 mengenai Kitab Suci, yakni Tentang Kejelasan dan Kepastian dari Firman Allah, yang menandaskan bahwa "Landasan agama kita adalah firman yang tertulis, Kitab Suci Allah". Pandangan-pandangan seperti itu menunjukkan penghargaan yang tinggi terhadap Kitab Suci yang secara konsisten dimiliki oleh para reformator. Pandangan ini, seperti telah kita lihat, bukanlah sesuatu yang baru; pandangan itu menggambarkan pokok utama dari kesinambungan dengan teologi Abad Pertengahan - kecuali beberapa kaum Fransiscan yang belakangan - yang menganggap Kitab Suci sebagai sumber terpenting dari ajaran Kristen. Perbedaan antara para reformator dan teologi Abad Pertengahan pada pokok masalah ini menyangkut bagaimana Kitab Suci itu didefinisikan dan ditafsirkan lebih daripada menyangkut status yang diberikan kepadanya. Kita akan membahas pokok-pokok ini lebih jauh dalam bagian yang berikut ini.

Kanon Kitab Suci

Hal pokok bagi program apa pun yang memperlakukan Kitab Suci sebagai normatif adalah menentukan batas-batas Kitab Suci. Dengan kata lain, apakah Kitab Suci itu? Istilah "kanon" (satu kata Yunani yang berarti "aturan" atau "norma") dipergunakan untuk merujuk pada kitab-kitab yang oleh gereja dianggap otentik. Bagi teolog-teolog Abad Pertengahan, "Kitab Suci" berarti "karya-karya yang tercakup dalam Vulgata". Namun, para reformator merasa berwenang untuk mempersoalkan penilaian ini. Sementara semua kitab Perjanjian Baru diterima sebagai kanonis - kekuatiran Luther menyangkut empat kitab hanya memperoleh dukungan sedikit [1] - keragu-raguan muncul menyangkut kanonitas dari sekumpulan karya Perjanjian Lama. Suatu perbandingan isi dari Perjanjian Lama dalam Alkitab Ibrani pada satu pihak dan versi-versi Yunani dan Latin (seperti pada Vulgata) pada pihak lain memperlihatkan bahwa yang belakangan itu memuat sejumlah kitab yang tidak terdapat dalam yang pertama. Para reformator itu berpendapat bahwa tulisan- tulisan Perjanjian Lama yang dapat diakui untuk masuk dalam kanon Kitab Suci hanyalah yang asli terdapat dalam Alkitab Ibrani [2]. Jadi, suatu perbedaan ditarik antara "Perjanjian Lama" dan "Apokrifa"; yang pertama terdiri atas kitab-kitab yang terdapat dalam Alkitab Ibrani, yang belakangan terdiri atas kitab-kitab yang terdapat dalam Alkitab Yunani dan Alkitab Latin (seperti Vulgata), tetapi tidak terdapat dalam Alkitab Ibrani. Sementara beberapa reformator mengakui bahwa karya-karya apokrif itu merupakan bacaan yang dapat membawakan perbaikan, telah ada persetujuan umum bahwa karya-karya ini tidak dapat dipergunakan sebagai dasar untuk ajaran. Namun, teolog-teolog Abad Pertengahan, diikuti oleh Konsili Trente tahun 1546, mendefinisikan "Perjanjian Lama" sebagai "karya-karya Perjanjian Lama yang termuat dalam Alkitab Yunani dan Latin", dan menyingkirkan perbedaan antara "Perjanjian Lama" dan "Apocrypha".

Jadi, suatu perbedaan yang fundamental berkembang antara pengertian- pengertian Katholik Roma dan Protestan tentang apa yang sebenarnya dimaksudkan dengan istilah "Kitab Suci". Perbedaan ini tetap ada sampai hari ini. Satu perbandingan antara versi-versi Alkitab Protestan - dua yang terpenting adalah New Revised Standard Version (NRSV) dan New International Version (NM) - dengan versi-versi Katholik Roma, seperti Jerusalem Bible, akan mengungkapkan perbedaan- perbedaan ini. Bagi para reformator, sola scriptura dengan demikian tidak hanya mengimplikasikan satu perbedaan, tetapi dua, dari pihak Katholik yaitu pihak yang bertentangan dengan mereka; bukan hanya status yang berbeda yang mereka kenakan terhadap Kitab Suci, tetapi mereka juga tidak sependapat tentang apa sebenarnya Kitab Suci itu. Tetapi apakah relevansi dari perdebatan ini? Satu kebiasaan Katholik yang membuat para reformator merasa sangat tersinggung adalah mengenai doa untuk orang mati. Bagi reformator-reformator itu, kebiasaan ini tidak mempunyai dasar Alkitabiah (ajaran tentang penyucian) dan mendorong pada takhyul rakyat dan eksploitasi oleh gereja. Namun, pihak Katholik, yang berseberangan dengan mereka, dapat menanggapi keberatan ini, dengan menunjuk bahwa kebiasaan berdoa bagi orang mati itu secara eksplisit disebutkan dalam Kitab Suci di dalam 2Makabe 12:40-46. Pada pihak lain, para reformator, dengan menyatakan bahwa kitab ini adalah apokrif (dan karenanya bukan merupakan bagian dari Alkitab) dapat menjawab bahwa setidak-tidaknya dalam pandangan mereka, kebiasaan itu tidaklah Alkitabiah. Ini pantas memperoleh balasan dari pihak Katholik bahwa reformator-reformator itu mendasarkan teologi mereka atas Kitab Suci, tetapi hanya setelah mengeluarkan dari kanon Kitab Suci karya-karya yang kebetulan bertentangan dengan teologi mereka.

Satu hasil dari perdebatan ini adalah produksi dan peredaran daftar- daftar yang sah dari buku-buku yang dianggap "Alkitabiah". Sesi keempat dari Konsili Trente (1546) menghasilkan suatu daftar yang rinci yang memasukkan karya-karya Apokrifa sebagai yang otentik Alkitabiah, sedangkan jemaat-jemaat Protestan di negeri Swis, Perancis, dan di mana saja, memproduksi daftar-daftar yang dengan sengaja menghilangkan rujukan pada karya-karya ini atau juga menunjukkan bahwa mereka tidaklah penting dalam masalah ajaran.

Kewibawaan Kitab Suci

Para reformator melandaskan kewibawaan Kitab Suci dalam hubungannya dengan Firman Allah. Bagi beberapa orang, hubungan itu tampaknya sedikit lebih bernuansa; Kitab Suci memuat Firman Allah. Meskipun demikian, terdapat konsensus bahwa Kitab Suci harus diterima seakan- akan Allah sendirilah yang sedang berbicara. Bagi Calvin, kewibawaan Kitab Suci dilandaskan dalam fakta bahwa para penulis Alkitab adalah "sekretaris (`notaires authentiques` dalam Institutio versi bahasa Perancis) Roh Kudus". Seperti yang dinyatakan oleh Heinrich Bullinger, kewibawaan Kitab Suci adalah mutlak dan otonom, "Oleh karena ia merupakan Firman Allah, Kitab Suci yang kudus itu mempunyai kedudukan dan kredibilitas yang mencukupi di dalam dirinya sendiri dan dari dirinya sendiri." Di sini Injil itu sendirilah yang mampu berbicara untuk dirinya sendiri dan menantang dan memperbaiki gambaran-gambaran tentang dirinya yang tidak memadai dan tidak akurat dalam abad ke-16. Kitab Suci mampu memberikan penilaian atas gereja Abad Pertengahan (dan nyatanya "kurang") dan juga memberikan model bagi gereja Reformed baru yang akan muncul segera sesudah ini.

Sejumlah hal menunjukkan makna penting dari prinsip `sola scriptura` ini. PERTAMA, para reformator itu mempunyai pendapat yang teguh bahwa kewenangan paus-paus, dewan-dewan dan teolog-teolog berada di bawah Kitab Suci itu. Ini tidak berarti bahwa mereka tidak mempunyai kewenangan; seperti yang kita akan lihat kemudian, para reformator itu memberikan kepada dewan-dewan dan teolog-teolog tertentu dalam zaman patristik suatu kewenangan yang sejati dalam hal ajaran-ajaran. Namun, yang hendak dikatakan adalah bahwa kewenangan tersebut berasal dari Kitab Suci dan dengan demikian berada di bawah Kitab Suci. Alkitab, sebagai Firman Allah, harus dipandang sebagai yang lebih tinggi daripada Bapa-bapa Gereja dan dewan-dewan. Seperti yang dikatakan oleh Calvin,

"Karena meskipun kita berpegang bahwa Firman Allah, Firman Allah itu sendiri terletak di seberang lingkup penilaian kita dan bahwa Bapa-bapa Gereja dan dewan-dewan hanya berwibawa sejauh mereka sesuai dengan aturan dari Firman itu, kita masih memberikan kepada dewan-dewan dan Bapa-bapa Gereja kehormatan dan kedudukan seperti yang sesuai untuk mereka miliki di bawah Kristus."

Luther cenderung mempertahankan prinsip `sola scriptura` itu dengan menekankan kekacauan dan keruwetan dari teologi Abad Pertengahan, sementara Calvin dan Melanchthon berpendapat bahwa teologi Katholik yang terbaik (seperti dari Augustinus) mendukung pandangan-pandangan mereka atas prioritas dari pada Kitab Suci.

KEDUA, para reformator itu berpendapat bahwa kewibawaan di dalam gereja tidaklah berasal dari status sang pengemban jabatan, tetapi dari Firman Allah yang dilayani oleh pengemban jabatan itu. Teologi tradisional Katholik cenderung melandaskan kewibawaan dari sang pengemban jabatan di dalam jabatan itu sendiri - contohnya, kewibawaan seorang uskup terletak dalam kenyataan bahwa ia adalah seorang uskup - dan menekankan kesinambungan historis dari jabatan uskup itu dengan era Apostolis. Para reformator melandaskan kewibawaan dari uskup-uskup (atau jabatan yang sepadan dalam gereja Protestan) di dalam kesetiaan mereka pada Firman Allah. Seperti yang dikatakan oleh Calvin mengenai hal ini,

"Perbedaan antara kami dan pengikut paus adalah mereka percaya bahwa gereja tidak dapat menjadi pilar kebenaran kecuali jika ia memimpin Firman Allah. Kami, pada pihak lain menyatakan bahwa ia menjadi pilar kebenaran justru karena ia dengan penuh rasa hormat menundukkan dirinya ke bawah Firman Allah sehingga kebenaran itu dipelihara olehnya dan diteruskan kepada orang-orang lain melalui tangan-tangannya."

Kesinambungan historis tidak begitu penting dalam hubungan dengan proklamasi Firman Allah yang benar itu. Gereja-gereja Reformasi yang terang-terangan memisahkan diri dinyatakan tidak mempunyai kesinambungan historis dengan lembaga-lembaga dari Gereja Katholik. Sebagai contoh, tidak akan ada uskup Katholik yang mentahbiskan pendeta mereka. Namun, para reformator berpendapat bahwa kewibawaan dan fungsi seorang uskup pada akhirnya datang dari kesetiaan mereka pada Firman Allah. Demikian pula keputusan-keputusan para uskup (dan juga dari dewan-dewan dan paus-paus) berwibawa dan mengikat sejauh mereka setia pada Kitab Suci. Bila orang-orang Katholik menekankan pentingnya kesinambungan historis, para reformator dengan bobot yang sama menekankan makna penting dari kesinambungan ajaran. Pada satu pihak gereja-gereja Protestan tidak dapat secara umum mengadakan kesinambungan historis kepada keuskupan (kecuali, seperti dalam kasus reformasi-reformasi di Inggris dan Swedia, karena beralihnya uskup- uskup Katholik), namun pada pihak lain mereka dapat memberi kesetiaan yang diperlukan itu pada Kitab Suci - jadi, dalam pandangan mereka, mengesahkan jabatan-jabatan gerejawi Protestan. Tidak mungkin ada garis hubung historis yang tidak terputus-putus antara pemimpin- pemimpin Reformasi dan uskup-uskup gereja mula-mula, tetapi para reformator itu berpendapat bahwa karena mereka percaya dan mengajarkan iman yang sama seperti uskup-uskup gereja mula-mula itu (dibandingkan dengan Injil yang diselewengkan dalam gereja Abad Pertengahan), kesinambungan yang diperlukan itu bagaimanapun juga ada.

Dengan demikian prinsip sola scriptura mencakup klaim bahwa kewibawaan gereja dilandaskan di dalam kesetiaannya pada Kitab Suci. Namun, lawan-lawan Reformasi dapat mengambil satu diktum (ucapan) dari Augustinus, "Aku tidak pantas mempercayai Injil kecuali jika hatiku digerakkan oleh Gereja Katholik". Tidakkah keberadaan yang sebenarnya dari kanon Kitab Suci menunjuk kepada gereja yang mempunyai kewibawaan atas Kitab Suci? Bagaimanapun juga, gerejalah yang menentukan apa "Kitab Suci" itu - dan hal ini memberi kesan bahwa gereja mempunyai kewenangan atas dan tidak bergantung pada, Kitab Suci. Jadi, John Eck, lawan Luther dalam Perdebatan Leipzig yang terkenal tahun 1519 itu, berpendapat bahwa "Kitab Suci tidaklah otentik tanpa kewibawaan gereja". Ini dengan jelas menimbulkan pertanyaan tentang hubungan antara Kitab Suci dan tradisi.

Peran Tradisi

Prinsip `sola scriptura` dari para reformator itu tampaknya akan menyingkirkan rujukan pada tradisi di dalam pembentukan ajaran Kristen. Namun, dalam kenyataannya reformator-reformator besar itu mempunyai pemahaman yang sangat positif terhadap tradisi, seperti yang kita akan lihat.

Dalam bagian yang lebih dahulu, kita mencatat adanya dua pengertian mengenai tradisi yang menjadi karakteristik Abad Pertengahan, "Tradisi 1" dan "Tradisi 2". Prinsip `sola scriptura` tampaknya akan merujuk pada suatu pengertian dari teologi yang tidak memberikan peran apa pun untuk tradisi - suatu pengertian yang kita dapat sebut "Tradisi 0". Tiga pengertian utama tentang hubungan antara Kitab Suci dan tradisi yang ada dalam abad ke-16 dapat diringkaskan sebagai berikut.
    Tradisi 0: Reformasi radikal.
    Tradisi 1: Reformasi yang mengaku negara (Reformasi magisterial).
    Tradisi 2: Konsili Trente.

Pertama-tama, analisis ini tampaknya dapat mengagetkan. Tidakkah para reformator itu menolak tradisi demi ajaran hanya oleh kesaksian Alkitabiah? Namun, dalam kenyataannya reformator-reformator itu mempunyai keprihatinan terhadap pembersihan tambahan-tambahan manusia pada kesaksian Alkitabiah itu atau terhadap penyimpangan-penyimpangan dari padanya. Paham tentang suatu "penafsiran tradisional atas Kitab Suci" - yang termasuk di dalam konsep "Tradisi 1" - benar-benar dapat diterima oleh reformator-reformator magisterial asalkan penafsiran tradisional ini dapat dibenarkan.

Satu-satunya sayap dari Reformasi yang menerapkan secara konsisten prinsip `sola scriptura` adalah Reformasi radikal atau "Anabaptisme". Bagi orang-orang radikal itu (atau "fanatik", julukan yang diberikan Luther untuk mereka), seperti Thomas Muntzer dan Caspar Schwenkfeld, setiap individu mempunyai hak untuk menafsirkan Kitab Suci sesuka hati masing-masing dengan tunduk pada tuntunan Roh Kudus. Bagi Sebastian Franck yang radikal itu, "Alkitab adalah suatu kitab yang dimeteraiksan oleh tujuh meterai yang tidak dapat dibuka oleh seorang pun kecuali ia mempunyai kunci Daud, yang adalah pencerahan Roh". Dengan demikian, jalan terbuka bagi individualisme, dengan penilaian (pendapat) pribadi dari seorang individu yang muncul mengatasi penilaian yang bersifat kelompok dari gereja. Jadi golongan radikal itu menolak praktik kebiasaan baptisan anak (yang tetap dipertahankan oleh Reformasi magisterial) karena dianggap tidak Alkitabiah (tidak ada rujukan yang jelas untuk praktik kebiasaan itu di dalam Perjanjian Baru). Hal yang serupa, ajaran-ajaran seperti Trinitas dan keilahian Kristus ditolak sebagai ajaran atas dasar bahwa pondasi Alkitabiahnya tidak memadai. "Tradisi 0" menempatkan penilaian pribadi dari seseorang berada di atas penilaian gerejawi dari gereja Kristen menyangkut penafsiran akan Kitab Suci. Itu merupakan suatu resep untuk anarki - dan, seperti yang diperlihatkan secara menyedihkan dalam sejarah Reformasi radikal itu, anarki itu segera berkembang.

Seperti yang telah dikemukakan, Reformasi magisterial secara teologis bersifat konservatif. Ia mempertahankan ajaran-ajaran gereja yang paling tradisional - seperti keilahian Kristus dan ajaran tentang Trinitas - oleh karena keyakinan para reformator itu bahwa penafsiran- penafsiran tradisional atas Kitab Suci ini benar. Hal yang sama, banyak praktik kebiasaan tradisional (seperti baptisan anak) dipertahankan oleh karena kepercayaan para reformator bahwa itu semua konsisten dengan Kitab Suci. Reformasi magisterial dengan sedih menyadari akan bahaya individualisme dan berusaha menghindari ancaman ini dengan menekankan penafsiran tradisional gereja atas Kitab Suci yang menempatkan penafsiran tradisional sebagai yang dianggap benar. Kritik mengenai ajaran ditujukan terhadap lingkup teologi atau praktik kebiasaan Katholik yang tampak telah menyeleweng terlalu jauh atau telah bertentangan dengan Kitab Suci. Oleh karena sebagian besar perkembangan ini terjadi dalam Abad Pertengahan, tidaklah mengherankan bila reformator-reformator itu menyebut periode tahun 1200-1500 sebagai "zaman kerusakan" atas "periode penyelewengan" yang membuat mereka merasa mempunyai misi untuk membaruinya. Hal yang sama, hampir tidak mengherankan bila kita menemukan reformator-reformator itu mengacu kepada Bapa-bapa Gereja yang secara umum dianggap sebagai penafsir-penafsir Kitab Suci yang dapat diandalkan [3].

Pokok ini sangatlah penting dan telah tidak mendapatkan perhatian sewajarnya. Salah satu alasan mengapa reformator-reformator itu menghargai tulisan-tulisan Bapa-bapa Gereja, khususnya Augustinus, adalah bahwa mereka melihat Bapa-bapa Gereja itu sebagai eksponen- eksponen dari teologi Alkitabiah. Dengan kata lain, reformator- reformator itu percaya bahwa Bapa-bapa Gereja itu sedang berusaha untuk mengembangkan suatu teologi yang hanya didasarkan atas Kitab Suci - yang tentu saja tepat sama seperti apa yang juga tengah mereka coba lakukan pada abad ke-16. Memang, metode-metode tekstual dan filologis baru yang kini dapat diperoleh para reformator itu mengandaikan bahwa mereka dapat melakukan koreksi atas Bapa-bapa Gereja dalam pokok-pokok yang rinci; tetapi reformator-reformator itu bersedia menerima "kesaksian patristis" itu sebagai kesaksian yang secara umum dapat diandalkan (3). Oleh karena kesaksian itu mencakup ajaran-ajaran seperti Trinitas dan keilahian Kristus dan praktik- praktik kebiasaan seperti baptisan anak, reformator-reformator itu cenderung untuk menerima hal-hal ini sebagai yang secara otentik alkitabiah. Dengan demikian akan menjadi jelas bahwa penghargaan yang tinggi terhadap penafsiran tradisional atas Kitab Suci ini (yakni "Tradisi 1") memberikan Reformasi magisterial arah yang kuat mengenai konservatisme dalam ajaran.

Pemahaman tentang prinsip `sola scripture` ini memberikan kemungkinan kepada para reformator untuk mengkritik kedua lawan mereka - pihak pertama adalah golongan radikal dan pihak kedua adalah golongan Katholik. Orang-orang Katholik berpendapat bahwa reformator-reformator itu mengangkat penilaian (pendapat) pribadi di atas penilaian (pendapat) yang bersifat kelompok dari gereja. Reformator-reformator itu menjawab bahwa mereka tidak melakukan hal semacam itu; mereka hanya memulihkan kembali penilaian gerejawi itu pada keadaannya yang semula dengan melawan kemerosotan ajaran dari Abad Pertengahan dengan suatu acuan pada penilaian gerejawi dari zaman patristis. Namun, orang-orang radikal tidak memberikan tempat apa pun bagi "kesaksian Bapa-bapa Gereja". Seperti yang ditulis oleh Sebastian Franck tahun 1530, "Ambrosius, Augustinus, Hieronimus, Gregorius yang bodoh - orang-orang yang tidak mengenal Tuhan, jadi tolonglah aku, ya Allah, dan mereka pun tidak diutus oleh Allah untuk mengajar. Lagi pula mereka semua adalah murid-murid si Anti-Kristus". Tradisi 0 tidak memberikan tempat bagi penafsiran tradisional atas Kitab Suci. Para reformator magisterial dengan demikian menolak pengertian yang radikal akan peran Kitab Suci ini dengan menganggapnya sebagai individualisme murni, suatu resep untuk kekacauan teologis.

Karena itu, akan menjadi jelas bahwa sama sekali keliru mengatakan bahwa reformator-reformator magisterial itu mengangkat penilaian pribadi di atas penilaian gerejawi dari gereja atau bahwa mereka merosot ke dalam suatu bentuk individualisme. Penilaian ini pastilah benar untuk Reformasi radikal, satu-satunya sayap dari Reformasi yang telah benar-benar konsisten dalam menerapkan prinsip `sola scriptura`. Betapa sering ide-ide yang asli, radikal, dari suatu gerakan seperti Reformasi ditolak karena ide-ide yang lebih konservatif daripada yang dikembangkan oleh gerakan itu. Benar bahwa suatu variasi dalam derajat tertentu dapat ditemukan di dalam aliran utama dari Reformasi mengenai masalah ini: Zwingli lebih dekat dengan posisi radikal itu daripada Calvin, sedangkan Luther lebih dekat dengan posisi Katholik. Tetapi tidak seorang pun, ini harus ditekankan, bersedia membuang konsep tentang penafsiran tradisional atas Kitab Suci demi alternatif radikal itu. Seperti yang diperhatikan dengan muram oleh Luther bahwa akibat yang tidak dapat dihindarkan dari pendekatan seperti itu adalah kekacauan, suatu "Babel baru". Mungkin Luther sudah mempunyai simpati untuk pandangan-pandangan John Dryden dalam abad berikutnya:

Kitab itu dengan demikian diletakkan di dalam tangan setiap orang, Yang menganggap dirinya masing-masing dapat memahami paling baik, Aturan yang umum dibuat sasaran umum, Dan terletak di dalam tangan rakyat jelata.

Konsili Trente, yang bersidang dalam tahun 1546, menanggapi ancaman dari Reformasi dengan menegaskan suatu teori dua sumber. Penegasan oleh Tradisi 2 dari Reformasi Katholik ini menyatakan bahwa iman Kristen menjangkau setiap generasi melalui dua sumber: Kitab Suci dan suatu tradisi yang tidak tertulis. Tradisi yang di luar Alkitab ini harus diperlakukan sebagai yang memiliki kewibawaan yang setara dengan Kitab Suci. Dalam membuat pernyataan ini, Konsili Trente tampaknya telah mengangkat yang belakangan dan yang kurang berpengaruh, dari dua pengertian Abad Pertengahan yang utama tentang "tradisi" dengan meninggalkan yang lebih berpengaruh itu untuk para reformator. Penting dicatat bahwa dalam tahun-tahun terakhir ini sudah ada suatu "revisionisme" dalam derajat tertentu dalam lingkungan-lingkungan Katholik Roma mengenai masalah ini dengan beberapa teolog masa kini yang berpendapat bahwa Konsili Trente meniadakan pandangan bahwa "Injil hanyalah sebagian ada di dalam Kitab Suci dan sebagian ada di dalam tradisi-tradisi" [4].


Catatan Kaki:
  • [1] Roland H. Bainton, "The Bible in the Reformation", dalam Cambridge History of the Bible, jld. 3, hal. 1-37, khususnya hal 6-9.
  • [2] Untuk diskusi lebih lanjut tentang masalah kanon Perjanjian Lama, lihat Roger T. Becjwith, The Old Testament Canon of the New testament Church (London, 1983).
  • [3] Pierre Fraenkel, Testimonia Patrum: The Function of the Patristic Argument in the Theology of Philip Melanchthon (Geneva, 1961); McGrath, Intellectual Originus, hal. 175-190.
  • [4] Misalnya, Tavard, Holy Writ or Holy Church?, hal. 208.

Sumber: 

Bahan di atas dikutip dari sumber:

Judul buku : Sejarah Pemikiran Reformasi
Penulis : Alister E. McGrath
Penerbit : PT BPK Gunung Mulia, Jakarta, 2000
Hal : 181 - 191

Penderitaan Sang Juruselamat

Editorial: 
Penulis: 
Louis Berkhof
Edisi: 
059/III/2005
Isi: 

Sejumlah hal perlu ditekankan berkenaan dengan penderitaan Kristus.

  1. Ia menderita seumur hidup-Nya di dunia.

    Berkenaan dengan kenyataan bahwa Yesus mulai membicarakan penderitaan yang akan dialami-Nya menjelang akhir hidup-Nya, kita sering cenderung untuk berpikir bahwa penderitaan-Nya di atas kayu salib merupakan penggenapan dari seluruh penderitaan-Nya. Tetapi sesungguhnya keseluruhan hidup-Nya adalah penderitaan. Ia harus mengambil rupa seorang hamba, padahal Ia adalah Allah semesta langit. Ia yang tidak berdosa setiap hari harus berhubungan dengan manusia berdosa. Hidup- Nya yang kudus harus menderita di dalam dunia yang terkutuk karena dosa. Jalan ketaatan menjadi milik-Nya bersamaan dengan jalan penderitaan-Nya. Ia menderita karena gangguan iblis yang datang berulang kali, dari kebencian dan ketidakpercayaan umat-Nya, dan dari perlawanan musuh-musuh-Nya. Oleh karena Ia harus masuk ke dalam pemerasan anggur itu sendiri, kesendirian-Nya pastilah merupakan suatu tekanan bagi-Nya, dan rasa tangung jawab-Nya menghancurkan. Penderitaan-Nya adalah penderitaan yang disadari, makin lama makin berat, semakin Ia mendekati akhirnya. Penderitaan yang dimulai sejak inkarnasi akhirnya mencapai titik puncak dalam "pasio magna" (penderitaan terbesar) pada akhir hidup-Nya. Kemudian murka Allah atas dosa segera menghambur ke arah-Nya.

  2. Ia menderita secara tubuh dan jiwa.

    Pernah ada satu masa di mana perhatian terlalu dipusatkan pada pendertiaan jasmani Kristus. Penderitaan ini bukanlah sekedar rasa sakit fisik yang tercakup dalam esensi penderitaan-Nya, tetapi juga rasa sakit yang disertai penderitaan rohani dan kesadaran sebagai seorang pengantara atas dosa umat manusia yang harus ditanggung-Nya. Kemudian menjadi suatu kebiasaan untuk meremehkan arti penting penderitaan secara jasmani, sebab dirasakan bahwa dosa sebagai suatu natur yang sifatnya spiritual. Pandangan-pandangan yang hanya menekankan satu sisi seperti ini harus kita hindari. Baik tubuh maupun jiwa manusia telah dipengaruhi dosa, dan karena itu hukuman atas dosa juga mencakup keduanya. Lebih lanjut Alkitab dengan jelas memberi penjelasan bahwa Kristus menderita dalam keduanya. Ia sangat berdukacita dan menderita di taman Getsemani, di mana jiwa-Nya "sangat takut, seperti mau mati rasanya" dan Ia ditangkap, disiksa, dan disalibkan.

  3. Penderitaan-Nya berasal dari berbagai sebab.

    Dalam pembicaraan sebelumnya kita melihat semua penderitaan Kristus bermula dari kenyataan bahwa Ia harus mengambil tempat orang berdosa sebagai seorang pengganti. Akan tetapi kita dapat membedakan beberapa penyebab secara terinci seperti:

    1. (1) Kenyataan bahwa Ia yang adalah Tuhan atas alam semesta harus menempati kedudukan manusia, bahkan kedudukan sebagai budak atau hamba yang terikat, dan bahwa Ia yang memiliki segala hak untuk memerintah sekarang harus diperintah dan harus taat.

    2. (2) Kenyataan bahwa Ia yang murni dan kudus harus hidup dalam lingkungan dan suasana yang sudah dicemari dosa, tiap hari harus bergaul dengan orang bedosa, dan senantiasa harus diingatkan tentang betapa besarnya dosa yang harus dipikul-Nya oleh karena dosa uamt-Nya.

    3. (3) Kesadaran-Nya yang sempurna dan antisipasi-Nya yang jelas sejak awal kehidupan-Nya tentang penderitaan tertinggi yang akan dialami-Nya pada akhirnya. Ia tahu dengan tepat apa yang akan Ia alami dan pengetahuan ini jelas tidak menimbulkan kegembiraan.

    4. (4) Juga hidup-Nya sendiri, pencobaan iblis, kebencian dan penolakan orang-orang atas diri-Nya, serta perlakuan yang tidak adil serta siksaan yang harus Ia tanggung.

  4. Penderitaan-Nya sangat unik.

    Kadang-kadang kita hanya membicarakan tentang penderitaan Kristus yang "biasa", disaat kita hanya sekedar melihat penderitaan yang disebabkan oleh kesusahan biasa dalam dunia ini. Akan tetapi, kita harus ingat bahwa penyebab-penyebab ini jauh lebih banyak dialami oleh Juruselamat kita daripada yang kita alami sendiri. Lebih dari itu, bahkan penderitaan yang biasa ini pun sebenarnya memiliki sifat yang luar biasa dalam hal diri Kristus, dan dengan demikian pasti unik sifatnya. Kapasitas penderitaan-Nya berada pada sifat yang tepat dengan kemanusiaan-Nya, dengan kesempurnaan etis-Nya, dan dengan rasa kebenaran serta kesucian-Nya. Tak seorang pun yang dapat merasakan betapa beratnya rasa sakit dan dukacita dan kejahatan moral yang harus ditanggung oleh Yesus. Akan tetapi di samping penderitaan yang umum ini, ada lagi penderitaan yang lebih berat, yaitu bahwa segala pelanggaran dan kesalahan kita ditimpakan oleh Tuhan kepada-Nya seperti air bah. Penderitaan Sang Juruselamat tidaklah sepenuhnya terjadi apa adanya, tetapi juga merupakan tindakan positf yang dilakukan Allah (Yesaya 53:6,10). Pencobaan di padang gurun, penderitaan di taman Getsemani dan Golgota juga merupakan penderitaan yang secara khusus dialami oleh Tuhan Yesus.

  5. Penderitaan-nya dalam pencobaan.

    Pencobaan yang dialami Kristus membentuk bagian integral dari penderitaan-Nya. Pencobaan-pencobaan itu dialami-Nya dalam jalan penderitaan-Nya, Matius 4:1-11 (dan ayat paralelnya), Lukas 22:28; Yohanes 12:27, Ibrani 4:15; 5:7,8. Pelayanan-Nya di depan umum dimulai dengan suatu masa dimana Ia harus dicobai, dan bahkan setelah masa itu, pencobaan-pencobaan terus dialami-Nya dan berulang pada masa-masa makin mendekati taman Getsemani. Hanya melalui setiap pencobaan yang manusia alami, Yesus dapat sepenuhnya menjadi Imam Besar yang turut merasakan penderitaan, dan akhirnya Ia dapat menjadi bukti kesempurnaan dan kemenangan (Ibrani 4:15; 5:7-9). Kita tidak dapat melepaskan diri dari kenyataan pencobaan Kristus sebagai Adam yang terakhir, betapa pun sulitnya bagi kita untuk memahami seseorang yang tidak dapat berdosa tetapi harus dicobai. Berbagai upaya pemecahan persoalan ini telah diusahakan, misalnya dengan mengemukakan bahwa dalam natur manusia Kristus, sebagaimana dengan natur dalam diri Adam, ada "nuda possibilitas peccandi", kemampuan abstrak untuk berdosa (Kuyper); bahwa kesucian Yesus adalah kesucian etis yang harus terus mencapai perkembangan dan terus mempertahankan diri dalam pencobaan (Bavinck); dan bahwa pencobaan itu sendiri sebetulnya berdasarkan hukum, dan berkenaan dengan naluri dan nafsu alamiah (Vos). Kendatipun demikian masih ada persoalan yang tinggal, bagaimana mungkin seseorang yang secara kenyataan tidak dapat berdosa, bahkan sama sekali tidak mempunyai kecenderungan terhadap dosa, tetapi harus berada di bawah pencobaan yang sesungguhnya.

KEMATIAN SANG JURUSELAMAT

Penderitaan Juruselamat kita pada akhirnya mencapai titik puncak tertinggi pada waktu kematian-Nya. Berkenaan dengan hal ini, ada beberapa hal yang perlu kita perhatikan:

  1. Derajat kematian-Nya.

    Wajar apabila kita membicarakan kematian Kristus, pertama-tama kita membayangkan kematian jasmani, yaitu terpisahnya tubuh dari jiwa. Pada saat yang sama kita harus juga selalu ingat bahwa hal ini tidak menyingkirkan pengertian tentang kematian sebagaimana dikemukakan oleh Alkitab. Alkitab mempunyai pandangan sintetis (tiruan) tentang kematian, dan memandang kematian jasmani sebagai salah satu manifestasinya. Kematian adalah keterpisahan dengan Allah, akan tetapi keterpisahan ini dapat dipandang dari dua cara yang berbeda. Manusia memisahkan dirinya sendiri dari Allah melalui dosa, dan kematian adalah akibat yang wajar. Tetapi bukan kematian seperti ini yang dialami oleh Yesus, sebab Ia sama sekali tidak mempunyai dosa bagi diri-Nya sendiri. Dalam kaitan ini harus senantiasa diingat bahwa kematian bukanlah satu-satunya konsekuensi dosa yang natural, tetapi di atas semua itu merupakan hukuman atas dosa yang berdasarkan keadilan.

    Kematian adalah bagian manusia dan Tuhan datang menjumpai manusia dalam kemurkaan. Kematian Kristus harus dilihat berdasarkan titik pandang keadilan hukum ini. Allah menjatuhkan hukuman mati atas diri Sang Pengantara secara adil menurut hukum, sebab Sang Pengantara kita dengan sukarela mengambil alih pembayaran atas upah dosa umat manusia. Karena Kristus mengambil natur manusia dalam segala kelemahannya, dan hal ini terjadi setelah kejatuhan manusia, maka Kristus menjadi serupa seperti kita dalam segala sesuatu, kecuali bahwa Ia tidak berdosa, karena itu kematian berkuasa atas diri-Nya sejak awal dan dinyatakan dalam segala bentuk penderitaan yang dialami-Nya.

    Kristus adalah manusia yang penuh penderitaan dan sangat sering mengalami dukacita. Katekismus Heidelberg dengan tepat mengatakan bahwa "sepanjang umur hidup-Nya di dunia, akan tetapi terutama pada akhir masa hidup-Nya, Ia mengalami, dalam tubuh ataupun jiwa, murka Allah atas dosa dari seluruh umat manusia." Penderitaan-penderitaan ini diikuti oleh kematian-Nya di atas kayu salib. Akan tetapi ini bukanlah segalanya; Ia bukan saja harus berada di bawah kematian jasmani; tetapi juga kematian kekal, walaupun Ia menanggungnya secara intensif, bukan secara ekstensif, ketika Ia mengalami penderitaan di taman Getsemani dan ketika Ia di atas salib berteriak: "Allah-Ku, Allah-Ku, mengapa Engkau meninggalkan Aku?" Dalam suatu masa yang amat singkat Ia menanggung murka yang tiada terbatas sampai akhir, dan akhirnya tampil sebagai pemenang. Hal ini hanya mungkin bagi-Nya, karena natur diri-Nya yang sangat mulia. Akan tetapi, sampai saat ini kita harus berhati-hati agar tidak salah mengerti. Kematian kekal dalam kaitan dengan Kristus ini tidak termasuk dalam pemutusan keseluruhan hubungan antara Logos dan natur manusia, dan juga bukan berarti bahwa natur Illahi-Nya ditinggalkan oleh Allah, ataupun pemutusan kasih Allah Bapa atau kebaikan kemurahan pada pribadi Sang Pengantara. Logos tetap terikat dengan natur manusia bahkan juga ketika tubuh-Nya berada dalam kuburan; natur Illahi-Nya sama sekali tidak mungkin ditinggalkan oleh Allah; dan pribadi sang Pengantara tetaplah terus berada dalam objek kasih Allah. Kematian itu menyatakan diri dalam kesadaran manusiawi sang Pengantara sebagai suatu perasaan ditinggalkan oleh Allah. Hal ini mengandung arti bahwa natur manusia untuk suatu waktu kehilangan rasa kesadaran kenyamanan yang dapat diperoleh dari persekutuan dengan Logos Ilahi, dan perasaan kasih Ilahi; dengan penuh rasa sakit menyadari kepenuhan murka Allah yang sedang dicurahkan diatas-Nya. Tetapi bagaimanapun juga kita tidak perlu kecewa, sebab bahkan sampai pada waktu yang paling gelap sekalipun, pada saat Ia berteriak bahwa Ia ditinggalkan, Ia tetap mengarahkan doa-Nya pada Allah.

  2. Sifat yuridis kematian-Nya.

    Sangat perlu bahwa Kristus harus mati, bukan kematian alamiah atau kebetulan; dan Ia tidak harus mati di tangan para pembunuh, melainkan di bawah keputusan pengadilan. Ia harus terhitung di antara para pembuat pelanggaran, harus dituduh sebagai seorang terpidana. Lebih jauh lagi, hal ini secara providensia telah diatur oleh Allah bahwa Ia harus diadili dan dijatuhi hukuman oleh seorang hakim Roma. Orang- orang Roma sangat jenius untuk hukum dan keadilan, dan mewakili keadilan hukum tertinggi di dunia. Dapat diharapkan bahwa pengadilan sebelum pengadilan Roma menyajikan suatu pengadilan terhadap Yesus yang tidak bersalah, sehingga jelaslah bahwa Ia dihukum bukan karena perbuatan jahat yang Ia lakukan. Hal ini merupakan kesaksian yang jelas bahwa sebagaimana yang dikatakan oleh Tuhan, "Ia tercabut dari negeri orang hidup dan oleh sebab pelanggaran umat-Ku Ia menderita." Dan ketika pada akhirnya hakim Romawi itu menghukum orang yang tidak bersalah, maka sesungguhnya ia juga sedang menghukum dirinya sendiri serta juga keadilan manusia yang diterapkannya. Pada saat yang sama, ia sedang menjatuhkan hukuman atas Yesus sebagai wakil dari kuasa pengadilan tertinggi di dalam dunia, berfungsi melalui anugerah Allah dan mengeluarkan keadilan atas nama Tuhan. Putusan hukuman oleh Pilatus adalah putusan hukuman dari Tuhan walaupun dari dasar yang berbeda. Penting juga bahwa Kristus tidak dipenggal atau dirajam batu sampai mati. Penyaliban adalah bentuk hukuman Romawi, bukan hukuman Yahudi. Hukuman salib ini dianggap sedemikian memalukan dan hina sehingga hukuman salib in tidak pernah dijatuhkan atas warga negara Romawi, tetapi hanya dijatuhkan pada orang-orang yang dianggap tak berguna, para pembuat kejahatan yang paling kejam dan para budak. Dengan kematian-Nya di atas kayu salib, Yesus menggenapi tuntutan hukum yang tertinggi. Pada saat yang sama Ia mati dalam cara kematian yang paling hina dan terkutuk, dan dengan demikian Ia membuktikan kenyataan bahwa Ia menjadi terkutuk karena kita (Ulangan 21:23; Galatia 3:13).

PENGUBURAN SANG JURUSELAMAT

Tampaknya, kematian Kristus adalah keadaan terakhir dari kehinaan-Nya, terutama berkaitan dengan kalimat terakhir yang diucapkan-Nya di atas kayu salib, "Sudah genap". Akan tetapi, sesungguhnya kalimat itu berkaitan dengan penderitaan-Nya yang aktif, yaitu penderitaan dimana Ia sendiri mengambil bagian secara aktif. Tentu saja hal ini benar digenapi pada saat kematian-Nya. Akan tetapi, jelas bahwa kematian-Nya juga mengambil bagian kehinaan-Nya. Perhatikanlah hal berikut ini:

  1. Manusia harus kembali kepada debu tanah, dari mana ia diambil, dinyatakan dalam Alkitab sebagai bagian dari hukuman atas dosa, (Kejadian 3:19).

  2. Sejumlah pernyataan Alkitab mengandung arti bahwa Sang Juruselamat yang dikuburkan itu juga mengalami kehinaan (Mazmur 16:10; Kisah Para Rasul 2:27,31; 13:34,35). Ia turun ke dalam kerajaan maut, yang sangat mengerikan dan menakutkan, suatu tempat yang penuh dengan pelanggaran walaupun Ia sendiri bebas dari segala pelanggaran.

  3. Dikuburkan berarti harus turun dan ini berarti kehinaan. Penguburan atas orang mati diperintahkan Tuhan untuk melambangkan kehinaan dari orang berdosa.

  4. Ada beberapa persetujuan tertentu antara karya objektif penebusan dengan susunan penerapan subjektif karya Kristus. Alkitab mengatakan bahwa orang-orang berdosa dikuburkan bersama dengan Kristus. Hal ini berarti adalah melepaskan manusia lama dan bukan mengenakan yang baru, bandingkan Roma 6:1-6. Penguburan Tuhan Yesus juga membentuk bagian dari kehinaan-Nya. Lebih jauh lagi, penguburan ini bukan saja membuktikan bahwa Yesus benar-benar mati, tetapi juga menyingkirkan segala kengerian kematian bagi orang-orang yang telah ditebus dan juga menyucikan kubur bagi mereka.

JURUSELAMAT KITA TURUN KEDALAM KERAJAAN MAUT

  1. Doktrin ini adalah Pengakuan Iman Rasuli.

    Setelah Pengakuan Iman Rasuli menyebutkan tentang penderitaan Kristus, kematian dan penguburan-Nya, maka pengakuan iman ini dilanjutkan dengan kalimat "turun ke dalam kerajaan maut." Kalimat ini memang tidak disebutkan pada masa pertama kali Pengakuan Rasuli ini ditetapkan. Kalimat ini pertama kali dipakai dalam bentuk Aquileian dari Pengakuan Iman Rasuli (kira-kira 390 AD) "descendit in inferna." Di antara orang-orang Yunani kata "inferna" ada yang menerjemahkannya sebagai "kerajaan maut" tetapi ada juga yang menerjemahkan sebagai "bagian yang lebih rendah". Pada sebagian bentuk dari Pengakuakn Iman ini ada yang tidak menyebutkan tentang penguburan Kristus, sedangkan bentuk Romawi dan Timur pada umumnya menyebutkan penguburan tetapi tidak menyebutkan tentang turun ke dalam kerajaan maut ini telah mengimplikasikan maksudnya dalam "dikuburkan". Akan tetapi, beberapa waktu kemudian bentuk Pengakuan Iman Rasuli dari Roma menambahkan perkataan "turun ke dalam kerajaan maut" setelah mereka menyebutkan tentang penguburan Kristus. Calvin dengan tepat mengatakan bahwa mereka yang menambahkan kalimat itu setelah kata "dikuburkan" tentunya mereka memang bermaksud menambahkannya.

  2. Dasar Alkitab tentang pernyataan tersebut.

    Terutama ada 4 ayat dalam Alkitab yang harus kita perhatikan di sini:

    1. Efesus 4:9, "Bukankah `Ia telah naik` berarti bahwa Ia juga telah turun ke bagian bumi yang paling bawah?" Mereka yang mencari dukungan dari ayat ini menganggap perkataan "turun ke bagian bumi paling bawah" sama artinya dengan "kerajaan maut". Akan tetapi tafsiran semacam ini masih diragukan. Rasul Paulus berpendapat bahwa kenaikan Kristus memberikan presuposisi turun. Namun, lawan dari kenaikan Kristus ke surga adalah inkarnasi, bandingkan Yohanes 3:13. Sebagian besar para penafsir Alkitab menganggap bahwa kalimat "bagian bumi yang paling bawah" adalah bumi itu saja. Pernyataan itu dapat diperoleh dari Mazmur 139:15 dan lebih menunjuk pada inkarnasi.

    2. 1Petrus 3:18,19, yang membicarakan tentang Kristus "Sebab juga Kristus telah mati sekali untuk segala dosa kita, Ia yang benar untuk orang-orang yang tidak benar, supaya Ia membawa kita kepada Allah; Ia yang telah dibunuh dalam keadaan-Nya sebagai manusia, tetapi yang telah dibangkitkan menurut Roh, dan di dalam Roh itu juga Ia pergi memberitakan Injil kepada roh-roh di dalam penjara." Ayat ini dianggap menunjuk kepada Kristus yang turun ke dalam kerajaan maut dan menyatakan tujuan tindakan itu. Roh yang disebutkan itu kemudian dianggap sebagai jiwa Kristus dan memberitakan Injil ini dianggap terjadi antara kematian dan kebangkitan-Nya. Tetapi ini pun sama tak mungkinnya dengan yang lain. Roh yang disebutkan bukanlah jiwa Kristus, melainkan Roh yang mengaktifkannya, dan oleh Roh pemberi hidup yang sama itulah Kristus memberitakan Injil. Pandangan Protestan yang umum akan ayat ini adalah bahwa di dalam Roh, Kristus memberitakan Injil melalui Nuh, pada orang-orang yang tidak taat yang hidup sebelum masa air bah. Roh-roh itu ada di dalam penjara ketika Petrus menulis surat ini, oleh karena itu dapat dianggap demikian. Bavinck menganggap hal ini tidak dapat diterima dan menafsirkan ayat ini menunjuk kepada kenaikan Tuhan Yesus, yang dianggapnya sebagai pemberitaan Injil yang kaya, penuh kemenangan, dan kuasa pada roh-roh yang di penjara.

    3. 1Petrus 4:4-6, terutama ayat 6, yang berbunyi: "Itulah sebabnya maka Injil telah diberitakan juga kepada orang-orang mati, supaya mereka sama seperti semua manusia dihakimi secara badani; tetapi oleh Roh dapat hidup menurut kehendak Allah". Dalam kaitan ini Petrus memperingatkan para pembaca bahwa mereka tidak boleh hidup seluruhnya dalam daging dan nafsu manusia, tetapi menurut kehendak Allah, bahkan juga jika mereka harus menentang kawan-kawan mereka yang lama dan dihina oleh mereka, sebab mereka harus mempertanggungjawabkan perbuatan mereka di hadapan Tuhan, yang siap menghakimi orang yang hidup dan yang mati. "Orang mati" yang kepadanya Injil diberitakan sebetulnya belumlah mati ketika Injil itu diberitakan, sebab tujuan dari pemberitaan itu sebagian adalah "agar mereka dapat dihakimi menurut manusia dalam daging." Hal ini hanya dapat terjadi ketika mereka masih hidup dalam dunia. Bagaimanapun juga Petrus membicarakan roh-roh yang sama yang dipenjarakan, yang disebut dalam pasal sebelumnya.

    4. Mazmur 16:8-10 (Bandingkan Kisah Para Rasul 2:25-27,30,31). Terutama ayat 10 yang kita bicarakan di sini "Sebab Engkau tidak menyerahkan Aku ke dunia orang mati, dan tidak membiarkan orang kudus-Mu melihat kebinasaan." Dari ayat ini Pearson menyimpulkan bahwa jiwa Kristus berada dalam neraka (kerajaan maut) sebelum kebangkitan-Nya, sebab kita diberitahu bahwa Ia tidak ditinggalkan di sana. Akan tetapi kita haurs memperhatikan yang berikut:

      1. Kata "nephesh" (jiwa) sering dipakai dalam bahasa Ibrani untuk kata ganti orang, dan "sheol" dipakai untuk menunjukkan keadaan kematian seseorang.
      2. Jika kita memahaminya demikian, maka kita mendapatkan `paralelisme sinonimus` yang jelas. Pengertian yang diungkapkan adalah bahwa Yesus tidak ditinggalkan dalam kauasa maut.
      3. Hal ini selaras benar dengan tafsiran Petrus dalam Kisah Para Rasul 2:30,31 dan tafsiran Paulus dengan Kisah Para Rasul 13:34,35. Dalam kedua hal tersebut Mazmur dikutip untuk membuktikan kebangkitan Yesus.

  3. Tafisran-tafsiran berbeda dari pernyataan Pengakuan Iman tersebut.

    1. Gereja Katholik menganggap bahwa hal itu berarti setelah Kristus mati Ia pergi ke `Limbus Patrum` di mana orang-orang kudus Perjanjian Lama menantikan wahyu dan penerapan penebusan-Nya, memberitakan Injil kepada mereka dan membawa mereka ke surga.

    2. Lutheran menganggap bahwa Kristus yang dimuliakan, Kristus turun ke bumi paling bawah untuk mengungkapkan dan mencapai penggenapan kemenangan-Nya atas iblis dan kuasa kegelapan, dan mengumumkan hukuman bagi mereka. Sebagian kaum Lutheran menempatkan perjalanan kemenangan ini antara kematian Kristus dan kebangkitan-Nya; sekelompok lain mengatakan hal ini terjadi setelah kebangkitan.

    3. Gereja di Inggris percaya bahwa kendatipun tubuh Kristus berada dalam kuburan, jiwa-Nya pergi ke dalam kerajaan maut, khususnya ke Firdaus, tempat tinggal jiwa-jiwa orang benar, dan memberikan kepada mereka ungkapan kebenaran yang lebih penuh.

    4. Calvin menafsirkannya secara metafora, menunjukkan penderitaan akhir Kristus di atas kayu salib, di mana Ia sungguh-sungguh merasakan rasa sakit dari hempasan neraka. Katekismus Heidelberg juga berpendapat demikian. Menurut pendapat Raformed yang biasa, kalimat itu bukan saja menunjuk pada penderitaan di atas salib, tetapi juga penderitaan di taman Getsemani.

    5. Alkitab sama sekali tidak pernah mengajarkan tentang Kristus yang secara harafiah turun ke dalam neraka. Lebih dari itu terdapat keberatan-keberatan yang serius terhadap pandangan ini. Kristus tentunya tidak akan mungkin turun ke neraka menurut tubuh, sebab tubuh-Nya ada dalam kubur. Jika seandainya Ia sungguh-sungguh turun ke neraka, maka yang paling mungkin adalah jiwa-Nya, dan itu berarti bahwa hanya setengah dari natur manusiawinya yang mengalami kehinaan ini (atau kemuliaan). Juga, sejauh Kristus belum bangkit dari antara orang mati, maka belumlah tiba waktunya untuk memasuki perjalanan kemenangan seperti yang dianggap kaum Lutheran. Dan akhirnya, pada saat kematian-Nya Kristus menyerahkan Roh-Nya kepada Bapa. Hal ini tampaknya menunjukkan bahwa Ia akan menjadi pasif bukannya aktif sejak kematian-Nya sampai kebangkitan-Nya dari kubur. Secara keseluruhan tampaknya yang terbaik adalah menggabungkan dua pemikiran:

      1. bahwa Kristus menderita sakitnya neraka sebelum kematian-Nya, di Getsemani dan di atas salib; dan
      2. bahwa Ia memasuki kehinaan kematian yang terdalam.

Sumber: 

Sumber diambil dari:

Judul Buku : Teologia Sistematika
Judul Artikel : -
Penulis : Louis Berkhof
Penerjemah : -
Penerbit : Lembaga Reformed Injili Indonesia, Jakarta, 1996
Halaman : 79 - 93

Kemuliaan Bagi Allah

Editorial: 

Dear e-Reformed Netters,

Artikel yang saya kirimkan kepada para pembaca bulan ini, saya ambil dari Buletin Momentum yang diterbitkan oleh Lembaga Reformed Injili Indonesia. Saya harap, Anda akan mendapat beberapa 'insight' dari pembahasan tentang 'Kemuliaan bagi Allah" yang disampaikan oleh Pdt. Dr. Stephen Tong ini.

Selamat membaca dan merenungkan!

In Christ,
Yulia Oen

Penulis: 
Pdt. Dr. Stephen Tong
Edisi: 
053/VIII/2004
Isi: 

Catatan: Renungan ini ditranskrip dan diedit kembali dari khotbah Pdt. Dr. Stephen Tong di Mimbar Gereja Reformed Injil Indonesia di Jakarta. Kitab Roma 11:36 ini dikhotbahkan sebanyak 4 kali. Renungan ini merupakan khotbah keempat dari 4 seri itu.

"Sebab segala sesuatu adalah dari Dia, dan oleh Dia, dan kepada Dia: Bagi Dialah kemuliaan sampai selama-lamanya." (Roma 11:36)

´Glory to God´ menjadi satu istilah, satu pemikiran yang begitu unik di dalam kekristenan dan tidak ditemui pada agama-agama lain. Agama lain lebih merasa takut kepada Tuhan, karena ilah mereka memberikan unsur kontrol kepada kepribadian. Tetapi dalam kekristenan tidaklah demikian. Dalam Kitab Yesaya 43:7 dikatakan dengan jelas, "Semua orang yang disebutkan dengan nama-Ku yang Kuciptakan untuk kemuliaan-Ku." We are created in order to glorify God, we are created for His own glory. Sebab itu, di dalam diri manusia, kita melihat peta dan teladan Tuhan, yaitu pancaran kemuliaan Tuhan yang mewakili sang Pencipta.

Apakah arti kemuliaan Tuhan itu? Kemuliaan merupakan satu hal yang abstrak. Jika dilihat dari ´linguistic philosophy´, kemuliaan itu tidak bisa diuji dan diverifikasikan di dalam laboratorium, sehingga tidak perlu banyak dibicarakan. Tetapi justru pada waktu tua, Ludwig Wittgenstein sendiri menarik kembali sedikit pikiran yang ditulis olehnya.

Istilah kemuliaan memang abstrak, tidak konkret, dan tidak berwujud. Tetapi, kemuliaan merupakan satu hal yang mau tidak mau akan mempengaruhi hidup kita. Mengapa kita takut nama kita dicemarkan oleh orang lain? Mengapa kita takut difitnah orang? Mengapa kalau ada orang yang salah ketika memberi informasi tentang kita, kita marah? Mengapa kita selalu membela sesuatu yang seharusnya tidak dirugikan, tetapi sudah dirugikan? Mengapa kita selalu berdebat? Ini semua karena ada unsur abstrak, unsur yang melampaui kekonkretan jasmaniah yang memang berada di dalam kebudayaan. Kita membutuhkan nama baik, membutuhkan kredibilitas, dan membutuhkan kepercayaan dari orang lain. Semua itu karena apa? Unsur kemuliaan. Meskipun sama-sama manusia, tetapi ada yang begitu bercahaya karakternya, ada yang begitu gelap hidupnya, ada yang begitu menyenangkan orang lain, dan ada yang membuat orang lain begitu benci, ini semua karena ada unsur abstrak atau tidak konkret yang ikut berperan di dalam dunia ini. Di dalam dunia bisnis, modal yang paling besar bukan uang yang Anda pinjam dari bank. Tetapi, modal yang paling besar adalah kepercayaan dan perasaan tanggung jawab yang membuat masyarakat mempunyai kesan terhadap diri Anda. Dengan modal seperti ini, meskipun Anda jatuh, mengalami musibah kebakaran, atau bangkrut sekali pun, tidak akan menjadi persoalan. Karena modal Anda adalah kredibilitas. Modal kepercayaan orang lain terhadap diri Anda, lebih kuat daripada modal yang berupa rupiah atau dollar. Jadi, yang konkret tidak lebih penting dari yang abstrak dan yang abstrak jauh lebih berperan daripada yang konkret ini. Itu sebabnya, kemuliaan justru tidak disangkutpautkan dengan materi. Orang biasa beranggapan kalau mempunyai giwang dengan berlian yang beberapa karat besarnya, atau mempunyai mutiara yang begitu cemerlang, tentu akan menarik orang, karena itu adalah kekayaan yang besar. Tetapi tidaklah demikian, kemuliaan tidak terletak pada berlian, pada perhiasan, atau pada pakaian yang bagus, kemuliaan justru terletak di dalam unsur abstrak: karakter atau kepribadian seseorang. Itu sebabnya, kita akan memikirkan tentang kemuliaan.

Kalau kita mengerti tentang kemuliaan, juga secara rohani, barulah kita merenungkan, mengapa segala kemuliaan harus kembali kepada Tuhan Allah? Kemuliaan mempunyai substansi yang menjadi pangkalan bagi penghargaan. Kita menghormati atau menghargai seseorang, justru karena dibalik orang yang kita hormati itu terdapat suatu substansi rohaniah yang melampaui nilai jasmani. Dan substansi rohaniah itu adalah Tuhan sendiri. ´God Himself is the substance and the original reality of the glory´. Apakah arti kemuliaan? Kemulian berasal dari Tuhan dan Tuhan sendiri adalah penghargaan yang tertinggi, nilai yang tertinggi, diri- Nya merupakan sumber segala penghargaan dan kehormatan. Sebab itu, tatkala manusia diciptakan menurut peta dan teladan Allah. Alkitab menulis, "Allah memahkotai manusia dengan kemuliaan dan kehormatan." Manusia adalah manusia, manusia menjadi manusia, dan manusia berharkat manusia karena manusia mempunyai kehormatan dan kemuliaan sebagai mahkota. Mahkota ini berasal dari Tuhan. Itu sebabnya, Tuhan adalah sumber kehormatan, sumber penghargaan, dan sumber kemuliaan. Yesus Kristus berkata, "Kemuliaan yang Kuterima, bukan dari manusia, melainkan dari Allah saja."

Pada waktu Yesus Kristus harus mati di atas kayu salib, pada detik- detik terakhir yang tercatat dalam Injil Yohanes pasal 13 sampai dengan 15, Dia berbicara banyak tentang ajaran-ajaran yang penting kepada murid-murid-Nya. Sedangkan dalam Injil Yohanes pasal 17 merupakan satu-satunya pasal yang mencatat bahwa Anak Allah yang suci itu berbicara kepada Allah Bapa yang suci. Semua isi doa itu diwahyukan kepada manusia. Sebenarnya, apa yang dibicarakan antara Allah Anak, Allah Bapa, dan Allah Roh Kudus selalu tidak kita ketahui. Tetapi, Injil Yohanes pasal 17 merupakan satu-satunya pasal, di mana seluruh pasal, kecuali kalimat pertama, berisi doa sang Anak kepada Bapa dalam bentuk literatur manusia, tetapi isinya adalah komunikasi antara Anak dan Bapa. Dalam pasal itu, kita melihat doa yang luar biasa. Yesus Kristus mengatakan, "Muliakanlah Aku, sebagaimana Aku di dunia sudah memuliakan Engkau. Istilah mulia di sini menjadi satu ´mutual communication´. Tuhan Yesus meminta supaya Bapa memuliakan Dia, apakah sebabnya? Sebab Dia sudah memuliakan Bapa. Maka, di sini kita dapat melihat, kemuliaan bersubstansi realita pada diri Bapa. Bapa menciptakan manusia dan mengutus Yesus ke dalam dunia ciptaan- Nya, justru untuk menyatakan kemuliaan Bapa itu sendiri. Sebab itu, sesuai dengan Kitab Yesaya 43:7, eksistensi hidup kita justru untuk memuliakan Tuhan Allah. Tetapi, hal ini sering tidak kita sadari atau insyafi.

Dalam Injil Yohanes 12:28, Yesus Kristus berkata, "Bapa, muliakanlah nama-Mu". Maka terdengarlah suara dari surga, "Aku telah memuliakan- Nya, dan Aku akan memuliakan-Nya lagi." Suara ini didengar oleh begitu banyak orang pada waktu itu. Tuhan Allah, sumber kemuliaan menginginkan manusia untuk memuliakan Dia. Barangsiapa memuliakan Tuhan, Tuhan rela memuliakan Dia pula.

Kemuliaan bersubstansi Tuhan Allah dan kemuliaan itu diwujudkan atau dinyatakan, sehingga kemuliaan menjadi suatu dasar kebudayaan, kredibilitas kepribadian, dan keagungan dari pada sejarah dan pemancaran moral. Kemuliaan itu diwujudkan melalui beberapa tahap:

  1. Allah menyatakan kemuliaan-Nya melalui inkarnasi.

    Selain penciptaan, di mana Tuhan menciptakan segala sesuatu untuk menyatakan kemuliaan-Nya, pernyataan kemuliaan yang paling konkret di dalam sejarah adalah melalui inkarnasi. Dari Injil Yohanes 1:14,18, kita melihat: pertama, substansi kemuliaan adalah Allah sendiri. Pernyataan kemuliaan, pertama-tama dapat kita lihat di dalam inkarnasi, yaitu Kristus menjadi manusia. Allah datang ke dalam dunia manusia, Roh menjadi daging, yang tidak kelihatan sekarang menjadi kelihatan, dari dunia mutlak masuk ke dalam dunia relatif, ´from the invisible world, He come into visible realm, to become man´. Dia menjadi manusia. Di sini dikatakan, kita sudah melihat kemuliaan Allah di dalam diri Kristus, Anak Allah yang tunggal yang dikaruniakan kepada manusia. Dalam ayat 18 dikatakan, "Tidak ada orang yang pernah melihat Allah, hanya Kristus, Anak tunggal Allah, yang berada di dalam pangkuan Allah itu, menyatakan Tuhan Allah kepada kita." Baca lagi, Kitab Ibrani 1:1-3. Ayat yang paling jelas, menjelaskan siapakah Kristus di dalam alam semesta; ´the cosmic Christ, not only the historical Christ, not only the Christ in the church´. Kita melihat Kristus, jauh lebih besar daripada apa yang kita tahu.

    Di University of Iowa, saya memberi judul khotbah saya, ´How big is Christ?´ Pada waktu mereka mendengar judul itu, mereka kaget, mengapa judul khotbah ini "Berapa Besarnya Kristus?" Saya berkata kepada mereka, berapa besar menurut pengertian Anda, akan mempengaruhi iman dan nilai hidup dalam seumur hidup Anda. Seluruh hidup Anda akan ditetapkan penilaiannya dengan pengertianmu tentang berapa besar Kristus, ´Christ is always bigger than you can imagine´, Kristus selalu lebih besar daripada apa yang bisa kita bayangkan. Kalau kita mengira Kristus sedemikian besar, Dia lebih besar daripada itu. Di sini kita melihat, ´the biggest posibility of understanding Christ´. Siapakah Kristus?

    1. Kristus ditetapkan berhak mewarisi sesuatu.
    2. Kristus ditetapkan menjadi pencipta segala sesuatu.
    3. Kristus ditetapkan menjadi penopang segala sesuatu.

    Segala sesuatu bersandar kepada Kristus, segala sesuatu diciptakan oleh Dia, dan segala sesuatu pada akhirnya akan kembali kepada-Nya. Kitab Ibrani 1:1-3 ini adalah ayat yang supplementary bila dibandingkan dengan Roma 11:36. "Nya" di sini adalah Tuhan Allah, yang di dalam Kristus. Maka, saya memberikan judul pada ayat-ayat ini: ´Christ in the Cosmic Christ´; Kristus adalah Kristus kosmos, Kristus alam semesta, Pencipta alam semesta, Penopang alam semesta, dan Pewaris alam semesta. Segala sesuatu adalah dari Dia, segala sesuatu bersandar kepada Dia, dan segala sesuatu kembali kepada Dia. Puji Tuhan!

    Di sini kita dapat melihat bahwa Dia adalah cahaya dari kemuliaan Allah dan gambar wujud Allah, yaitu ´the visible glory and the visible light of the invisible God´; Allah berada di dalam cahaya yang tidak kelihatan, tetapi Kristus adalah cahaya Allah yang dapat kita lihat. Umpama saya bertanya kepada Saudara, pernahkah Saudara melihat matahari? Saudara akan menjawab, setiap hari saya melihat matahari, bahkan sejak kecil saya sudah melihatnya. Saya bertanya lagi, sanggupkah Saudara menatap matahari? Saudara mulai merasa ragu, apa maksud pertanyaan ini? mengapa Anda menanyakan hal ini? Saya berkata, Saudara belum pernah melihat matahari secara langsung. Dari ketiga pertanyaan tadi, pernahkah melihat matahari? Betulkah Saudara sudah melihatnya? Saudara belum pernah melihat langsung, tapi Saudara pasti tahu, ada suatu rahasia dibalik pertanyaan itu. Sebenarnya, kita tidak pernah melihat matahari, kita hanya melihat cahaya matahari. Yang kita lihat bukan mataharinya, tapi cahayanya. Kita belum pernah melihat matahari, kita hanya melihat satu substansi yang bercahaya begitu jelas, waktu kita melihat, kita tahu itu matahari, padahal yang kita lihat bukan elemen dari matahari sendiri, namun hanyalah cahaya yang mengeluarkan sinar, yang bersumber dan beradiasi dari matahari. Itu sebabnya, ´no one can see God´, tak seorang pun yang bisa melihat Allah, yang kita lihat adalah cahaya Allah itu sendiri. Ayat tadi mengatakan, "Dia adalah cahaya kemuliaan Allah, dan gambar wujud Allah", itu sebabnya kita masuk ke bagian lebih yang dalam.

    Pada waktu inkarnasi itu sudah terjadi, maka keberadaan Yesus, itu adalah wujud yang konkret, wakil yang mewakili kemuliaan Allah. Sebab itu, Yesus Kristus berani mengatakan satu kalimat, yang belum pernah, tidak mungkin, tidak akan pernah mungkin, tidak ada yang berani atau boleh diucapkan oleh siapa pun di dalam sejarah. "Kamu melihat Aku, bukan melihat Aku, melainkan melihat Dia, yang mengutus Aku." Adakah orang lain yang pernah mengatakan, "Kamu melihat aku, bukan melihat aku, melainkan melihat presiden Soeharto?" Tidak ada orang yang berani mengatakan hal itu, karena orang yang mengatakan hal itu bukan presiden Soeharto. Tetapi, Yesus berani mengatakan kalimat itu. Ini merupakan satu lompatan yang luar biasa. Dari fenomena agama umum, orang Yahudi tak mungkin pernah mengerti kalimat itu. Karena mereka tahu, Allah tidak bisa dilihat. Saat manusia melihat Allah dengan mata jasmani, saat itu pula manusia mati. Inilah pengertian orang Yahudi. Itu sebabnya, waktu Yesus mengatakan kalimat itu, mereka mengatakan Dia kurang ajar dan menghujat Allah. Padahal, Yesus Kristus tidak menghujat Allah. Tetapi Dia mengatakan satu fakta, karena Dia adalah satu- satunya cahaya kemuliaan Allah, satu-satunya wujud Dia, Dia adalah satu-satunya cahaya kemuliaan Allah, satu- satunya wujud substansi Allah, dan satu-satunya yang bisa menyatakan Allah yang tidak tampak. Kristus adalah wakil Allah di dalam dunia.

    Yesus Kristus berkata lagi, "Kamu percaya kepada-Ku, bukan percaya kepada-Ku, melainkan percaya kepada Dia yang mengutus Aku." Aku mewakili Allah. Inilah cahaya kemuliaan. Goethe, seorang Jerman, waktu dia muda, dia patah hati dan ingin bunuh diri, tetapi tidak jadi. Dia menuliskan niatnya ketika hendak bunuh diri ke dalam satu buku. Buku itu dicetak dan dalam 6 bulan, lebih dari 200 orang yang membaca buku itu bunuh diri. Lalu selama puluhan tahun, dia menyusun sebuah buku yang berjudul "Force" untuk menyatakan seluruh filsafat hidupnya dan akhirnya harus diakui, ´no one can surpass Jesus´, biar kebudayaan manusia terus maju, tidak akan mungkin melampaui orang Nazaret itu, tidak mungkin melampaui moral dan kemuliaan Yesus yang dicatat di dalam keempat Injil.

    Waktu saya membaca kalimat itu, saya sangat tergerak. Goethe, orang yang besar, yang hidup sezaman dengan Beethoven, Mendelssohn. Beethoven mati terlebih dulu dan dia masih hidup. Dia memanggil Mendelssohn ke rumahnya untuk memainkan piano, musik yang terbesar, yang pernah diciptakan di dalam sejarah. Mendelssohn yang muda menabuh dari Bach sampai pada Mozart, Haydn, Bethoven I, II, III, dan IV. Sampai Mendelssohn memainkan Beethoven symphoni V, baru selesai movement pertama, Goethe mengatakan, "Sudah Mendelssohn, stop jangan mainkan lagi." Mengapa? Karena waktu kau memainkan Beethoven V, sejahtera yang saya pupuk dan saya latih melalui meditasi dan lain-lain sejak saya muda, langsung hilang semuanya. Kamu telah mengacaukan sejahteraku. Apa artinya? Sejahtera manusia tidak bisa bertahan, hanya sejahtera yang dari Tuhan yang dapat bertahan. Waktu dia sudah tua, dia mengira sudah melatih sifat manusianya dan sudah sukses. Justru saat itulah, dia sama sekali gagal. Pada waktu Kristus akan dibunuh di atas kayu salib, Dia mengatakan, "Aku memberikan sejahtera-Ku kepadamu, dan sejahtera yang Kuberikan kepadamu, tidak mungkin diberikan oleh orang lain." Yesus mati dengan sejahtera, Yesus bangkit dengan sejahtera, setelah bangkit Dia mengatakan, "peace on you". Goethe mengetahui, ´no one can surpass Jesus´, tidak ada orang seperti Yesus, maka dia menuliskan, "Biar pun kebudayaan kebudayaan manusia terus maju, tak mungkin melampaui kemuliaan yang pernah dipancarkan Kristus."

    Kemuliaan yang bagaimana yang dipancarkan Yesus? Tema ini membutuhkan penguraian yang lebih panjang lagi. Tetapi secara singkat, saya berkata kepada Saudara, "Kemuliaan dipancarkan melalui hidup-Nya, melalui sengsara-Nya." Pada waktu Dia diumpat, difitnah, Dia sangat tenang. Kemuliaan Yesus, kemuliaan Ilahi mutlak dan tidak terbatas. Perhatikan teladan Yesus yang menyatakan kemuliaan Allah, pernah dinyatakan sampai puncaknya secara konkret di Alkitab. Injil Matius 17:2 mengatakan, "Wajah-Nya seperti matahari, pakaian-Nya seperti terang yang besar." Di dalam Alkitab, hal seperti ini pernah terjadi 3 kali: Pertama kali, waktu Yesus masih hidup di dunia. Kedua, waktu Dia memanggil Paulus. Lalu ketiga, waktu Dia menyatakan diri kepada Yohanes, rasul termuda di pulau Patmos. Ketiga-tiganya memberikan satu kesan bahwa Dia lebih bercahaya dibanding dengan matahari, sehingga pada waktu siang hari, waktu paling terang, Paulus justru melihat cahaya yang lebih terang daripada matahari. Bukan saja demikian, Yohanes melihat, Dia mempunyai mata seperti api yang menyala-nyala. Yesus Kristus adalah kemuliaan yang diwujudkan di dalam dunia. Pada waktu Petrus tua, dia melukiskan istilah kemuliaan hanya satu kali saja, istilah yang luar biasa berbeda dengan semua istilah yang ada di dalam Kitab Suci. 2Petrus 1:16, dalam terjemahan bahasa Indonesia "kebesaran- Nya", tetapi dalam bahasa Inggris "His majesty", dalam bahasa Mandarin, kemuliaan yang sangat serius dan berwibawa. Kata ´majesty´ dipakai untuk melukiskan keagungan seorang raja. Pada waktu Petrus menulis ayat ini, dia membandingkannya dengan berita isapan jempol. Ia berkata, "Karena kami pernah melihat dengan mata sendiri, satu ´majesty´ atau kemuliaan yang dahsyat dari Tuhan sendiri." Mengapa Petrus yang menuliskan hal ini? Karena Petrus, Yakobus, dan Yohanes tiga orang yang pernah melihat Yesus Kristus menyatakan kemuliaan Allah, melalui perubahan wajah; transfiguration; ´change His figure´. Bukan saja demikian, kita juga dapat membaca dari Wahyu 1:16-17, Kristus menyatakan diri dengan begitu mulia.

  2. Apa yang disebut dengan kemuliaan Allah?

    Pertama, kemuliaan Allah di dalam diri Kristus melalui inkarnasi. Kedua, kemuliaan Allah di dalam anugerah penebusan. Ini merupakan kemuliaan yang paling puncak, yang boleh kita terima di dalam pengalaman kita masing-masing. Kita bukan hanya mengenal Dia, tetapi kita mengalami. Kita bukan hanya mengetahui Dia, tetapi kita memiliki Dia melalui anugerah kemuliaan. Baca Efesus 1:6. "Kasih karunia yang mulia atau anugerah kemuliaan Tuhan. Apakah ini? Ini adalah kemuliaan yang bersifat paradoks. Anugerah kemuliaan di dalam penebusan itu bersifat paradoks artinya, justru semua kemuliaan itu tersimpan. Hal ini, dalam theologia Martin Luther disebut sebagai ´the hiddeness of God´: suatu ketersembunyian dari Tuhan Allah. Martin Luther menggambarkan dua macam hal yang kita kenal tentang Kristus, ´the glory of Christ and the cross of Christ´. Kita harus mengerti mengenai Kristus yang tersalib dan Kristus yang mulia. Banyak orang hanya mau Kristus yang mulia, tetapi tidak mau Kristus yang tersalib. Martin Luther mengatakan, "Dua-duanya penting. Sebagaimana kita menyaksikan bulan, yang menghadapkan kita pada satu aspek, sedangkan aspek yang lain tidak pernah bisa kita lihat, kecuali kita melintasinya dengan roket yang melebihi tempat itu, barulah kita bisa melihat belakangnya." Demikian juga Allah menyatakan kepada kita, aspek-aspek yang rela Dia wahyukan, tetapi aspek yang tidak dinyatakan, kita tidak tahu itu. Itu disebut sebagai ´the hiddenness of God´.

    Perhatikan, kemuliaan Allah yang kita lihat adalah Kristus yang menjadi contoh teladan moral dan hidup yang mewakili Allah di dalam dunia ini dan yang dahsyat kemuliaan-Nya, yang pernah Dia nyatakan kepada tiga orang murid-Nya dan Paulus. Tetapi kita mau melihat sifat paradoks dari aspek yang lain, yaitu kemuliaan yang terembunyi. Ketika raja menutup pakaian kerajaannya dengan pakaian pengemis, jangan Anda kira bahwa dia adalah seorang pengemis. Biar pun secara lahiriah, dia seorang yang miskin, tetapi dia adalah tetap seorang raja yang berhak duduk di atas tahta. Demikian juga pada waktu kita melihat kemuliaan yang tersembunyi, itu berarti kemuliaan paradoks. Pada waktu Yesus dipaku di atas kayu salib, di manakah kemuliaan Allah? Tidak ada. Pada waktu itu, seluruhnya sudah menjadi tertutup, kebijaksanaan dan kuasa-Nya tidak kelihatan dan segala kemungkinan kemuliaan sudah tertudung, sehingga orang melihat salib, tempat yang bukan menyatakan kemuliaan, melainkan tempat yang memalukan. Orang yang dipaku di atas kayu salib, pakaiannya dilepas, mungkin hanya sisa satu helai kain untuk menutupi kemaluannya, seluruh tubuh ditelanjangi dan dipamerkan di atas kayu salib. Itu adalah tempat yang sangat memalukan, tetapi Allah justru menyatakan bahwa inilah anugerah kemuliaan (bandingkan 1Korintus 1:25). Pada waktu kita tidak melihat kemuliaan Allah, tidak melihat pertolongan Allah, pada saat kita melihat hal demikian di bukit Golgota, justru Tuhan mengatakan, "Open your inner eyes, look penetrate into all the bondage, and you should understand more than just superficial fenomena. Then look at the inner side: the glory of God." Kemuliaan penebusan adalah kemuliaan yang ditudung anugerah yang tersembunyi, yaitu kemuliaan yang menjadi ujian bagi iman seluruh umat manusia. Puji Tuhan!

    Maafkan saya sekali lagi untuk mengatakan kalimat yang saya ucapkan dua tahun yang lalu, bahwa di dalam seluruh Kitab Suci, saya percaya orang yang imannya paling besar, bukan Paulus atau Petrus, melainkan perampok yang diselamatkan di atas kayu salib. Saya tercengang, apakah yang menyebabkan dia mempercayai Kristus? Kalau Petrus, Paulus, atau orang lain percaya Yesus adalah Kristus karena mereka melihat sesuatu yang agung, bukan ´the hidden side´, tapi ´the expose side´, bukan pada anugerah yang paradoks, tapi pada anugerah yang dipancarkan, yang kelihatan. Namun, perampok itu sama sekali tidak melihat apa-apa dalam diri Yesus Kristus, dia hanya melihat Yesus yang mengalirkan darah, menerima ketidakadilan, disiksa, menderita, tidak bisa membalas, tidak bisa berbuat apa- apa, dicemooh, dipaku, dihina, dan dibuang. Tetapi dia mempunyai iman, yang melampaui fenomena, yang menembus paradoks, langsung menanamkan imannya di dalam esensi yang melebihi lahiriah. Kalau Anda bertanya kepada perampok itu, mengapa Anda percaya kepada Yesus Kristus? Dia akan menjawab, saya tidak melihat kedahsyatan kemuliaan yang dinyatakan, justru saya melihat ke dalam sumsum, yang berada di balik penderitaan yang besar itu.

  3. Dengan apa kita memuliakan Allah?

    Sekarang, kita masuki bagian terakhir, saya akan membahas dengan ringkas, dengan apa kita memuliakan Allah?

    1. Dengan hidup yang ada, hidup yang diciptakan.
    2. Dengan pengalaman penebusan, kita memuliakan Allah.
    3. Dengan perbuatan dan kesempatan untuk bersaksi (Matius 5:13-16).
    4. Di dalam kesengsaraan dan dengan mulut kita.

    Kita perlu menderita bagi Tuhan supaya bisa mendapat kemuliaan. Sebab itu, waktu kita menderita bagi Tuhan, biarlah kita memakai mulut kita untuk memuliakan Allah. Pada waktu penganiayaan, kita tetap harus memuliakan Allah. Puji Tuhan! Ia ada dalam seumur hidup kita, kita harus memuliakan Allah.

    Siapakah orang yang memuliakan Allah? Mungkin Saudara berkata, orang-orang yang pandai menyanyi atau yang sering berkhotbah. Jika hanya orang yang berkhotbah dan yang menyanyi, yang memuliakan Allah, maka hanya segelintir orang Kristen di mimbar saja yang bisa memuliakan Allah. Setiap orang Kristen dapat memuliakan Allah dengan kesaksiannya. Masyarakat mengetahui bahwa kita adalah orang Kristen, kita tidak bisa omong kosong saja, kita harus melakukan semuanya dengan baik untuk memuliakan nama Tuhan.

    Ayat ini mudah kita baca, namun masyarakat akan mempermalukan Allah Saudara karena hidup Saudara yang sembrono. Saudara harus memuliakan Allah di dalam usaha Saudara, di dalam keluarga Saudara, dan di dalam pergaulan Saudara (el).

Sumber: 

Sumber diambil dari:

Judul Buku : Momentum 28 Desember 1995 -- Buletin
Judul Artikel : Kemulian bagi Allah
Penulis : Pdt. Dr. Stephen Tong
Penerjemah : -
Penerbit : Lembaga Reformed Injili Indonesia, 1995
Halaman : 3 - 11

Spiritualitas Injili: Suatu Tinjauan Ulang

Editorial: 

Dear e-Reformed Netters,

Salam sejahtera,

Semoga Anda semua baik-baik saja dan menikmati anugerah sukacita dari Tuhan.

Beberapa waktu yang lalu saya sempat merenungkan tentang apa artinya spiritualitas. Hal ini bermula dari rasa penasaran karena pada kenyataannya tidak hanya para teolog atau orang beragama saja yang membicarakan tentang spiritualitas, tapi juga para intelektual (contohnya pencetus ide SQ -- Spiritual Intelligence). Sayangnya, rasa penasaran saya itu cepat sekali lenyap ketika mengetahui bahwa ternyata yang dimaksud dengan 'spiritual intelligence' tidak harus dihubungkan dengan hal-hal agamawi atau rohani, atau bahkan Tuhan. Menurut mereka, orang yang memiliki kecerdasan spiritualitas yang tinggi belum tentu memiliki agama atau tahu menahu tentang hal-hal rohani, apalagi mempercayai adanya Tuhan. Nah makanya jangan mudah terkecoh dengan istilah yang keren.

Namun, rasa penasaran saya kembali tertantang ketika melihat lunturnya semangat kaum Injili dalam menanggapi isu-isu tentang spiritualitas Kristen yang muncul akhir-akhir ini. Bahkan tidak lagi terdengar suara-suara orang Injili yang dapat menjadi tonggak dimana orang-orang Kristen bisa menambatkan perhatiannya sehingga terus menghargai keunikan spiritualitas Injili .... Saya tiba-tiba tersentak, ketika menyadari bahwa, mungkin, kalau kita tidak hati-hati, mungkin saja kita bisa kehilangan satu generasi orang Kristen yang tidak lagi menghargai, atau bahkan lebih parah lagi, mengenal apa itu semangat Injili, spiritualitas Injili ...?!

Ketika saya bertanya pada diri sendiri 'Apa yang bisa saya lakukan untuk generasi saya? Maka salah satu jawaban yang muncul adalah saya ingin terus menyuarakan kembali suara-suara kaum Injili. Inilah tujuan saya memilih artikel Stanley J. Grenz berikut ini. Saya harap melalui tulisan ini kita semua diingatkan lagi tentang "warisan" keyakinan yang sangat berharga, yang dibangun oleh para leluhur rohani kita sebelumnya, yang telah menggumuli poin-poin penting spiritualitas Injili yang penting untuk dilestarikan. Tulisan Stanley J. Grenz di bawah ini sekaligus dapat menjadi contoh bagaimana kita meneruskan semangat kaum Injili, misalnya dengan cara meninjau ulang agar menjadi semakin tajam dan aplikatif bagi generasi kita sekarang dan menjadi inspirasi bagi generasi anak-anak kita yang akan datang.

Mari kita suarakan kembali semangat Kaum Injili!

In Christ,
Yulia Oen

Penulis: 
Stanley J. Grenz
Edisi: 
051/VI/2004
Isi: 

Disadur dari buku Stanley J. Grenz Revisioning Evangelical Theology: A Fresh Agenda for the 21th Century Downers Grove, Illinois: IVP, 1993. Hal. 31-59

Lane Dennis mengatakan bahwa ciri khas Kaum Injili adalah penekanannya pada keselamatan yang dialami secara pribadi -- komitmen kepada Yesus Kristus sebagai Juruselamat saya (pribadi). Kehebatan gerakan ini adalah mempersatukan pengalaman religius dengan bahasa teologis yang sama. Pengertian tentang natur Injili ini menunjukkan perubahan mendasar dari kesadaran Kaum Injili. Perubahan identitas yang berdasar pada pengakuan iman menuju kepada identitas yang berdasarkan spiritualitas.

William W. Wells menyatakan tiga karakteristik unik Gerakan Injili ini: orang Kristen Injili mempercayai otoritas Alkitab; menekankan pengampunan Allah dan hubungan pribadi yang indah dengan Allah melalui Kristus; dan menekankan perjuangan untuk hidup suci melalui disiplin rohani. Meskipun Gerakan Neo-Injili tetap berpegang kepada otoritas Alkitab, penekanan sekarang lebih kepada aspek spiritualitas, yang sebelumnya sering terselubungi oleh dimensi intelektual atau doktrinal.

Penekanan kepada dimensi spiritualitas sebenarnya sejalan dengan sejarah Gerakan Injili itu sendiri. Sebelum abad kedua puluh, Puritanisme dan Pietisme memberikan pengaruh yang signifikan terhadap Gerakan Injili ini. Puritanisme membangkitkan suatu bentuk kesalehan hidup sebagai respon terhadap Doktrin Pilihan dari Calvinisme. Calvinisme meletakkan keselamatan manusia dalam konteks pilihan Allah yang bersifat misteri. Meskipun teologi ini memelihara kedaulatan Allah, manusia menjadi tidak mempunyai kepastian bahwa dia memiliki status sebagai orang pilihan atau tidak. Karena itu, tidak ada pengakuan iman yang sungguh, tidak ada kesetiaan mengikuti sakramen, maupun serangkaian hidup yang suci, yang dapat menjamin bahwa seseorang merupakan umat pilihan Allah. Di tengah-tengah ketidakpastian inilah kaum Puritan menemukan satu tanda umat pilihan: pengalaman rohani secara pribadi terhadap anugerah keselamatan Allah. Dengan demikian, kepastian status pilihan menjadi bergantung kepada kemampuan seseorang menceritakan pengalaman pertobatannya. Lebih lagi, penekanan kembali kepada hal-hal yang bersifat spiritual ini merupakan pengaruh dari gerakan Pietis, khususnya keinginan mereka untuk mereformasi hidup dan bukan mereformasi doktrin.

Karena itu, seperti John Wesley katakan, titik temu antara Pietisme dan Gerakan Injili adalah pada: panggilan hidup baru, buah-buah rohani, dan suatu hidup yang berbeda dengan kemalasan gereja dan anggota-anggotanya yang sangat duniawi. Kaum Injili bersifat pietist dalam hal fokusnya pada dinamika kehadiran Kristus dalam hidup orang percaya. Hal ini menandai pergeseran dari gerakan sebelumnya yang menekankan pada aktivitas (doing), kepada hal-hal yang bersifat kontemplasi (being). Pembahasan lebih lanjut akan difokuskan kepada keunikkan spiritualitas Kaum Injili.

Menuju Pengertian Spiritualitas Injili

Salah satu definisi ´spiritualitas´ yang cukup baik diberikan oleh Robert Webber:

"Secara luas, spiritualitas dapat didefinisikan sebagai hidup yang sesuai dengan hidup Kristus. Hidup yang menyadari bahwa karya salib Kristus membuat kita menjadi warga negara sorga, dan sorgalah yang menjadi tujuan hidup kita di dunia. Perjalanan hidup ini dikerjakan dalam konteks kita sebagai anggota tubuh Kristus. Melalui ibadah kepada Allah, spiritualitas kita terus menerus dibentuk. Dan misi kita di dunia adalah untuk memberitakan visi Kristen melalui perkataan dan tindakan kita."

Karena itu dapat dikatakan bahwa spiritualitas adalah suatu perjuangan mengejar kesucian di bawah pimpinan Roh Kudus bersama-sama dengan seluruh orang percaya. Mengejar hidup yang dihidupi untuk memuliakan Allah, dalam persatuan dengan Kristus dan hasil dari ketaatan kepada Roh Kudus.

Sesuai dengan ajaran Paulus dalam 1Korintus 2:14-3:3, Kaum Injili sangat menekankan akan ´pola pikir rohani´ yang dikontraskan dengan manusia duniawi. Dengan menggabungkan salib dan Pentakosta -- yaitu bergantung pada kemenangan Kristus dan kehadiran Roh Kudus -- Kaum Injili menjalani hidup yang disebut oleh Watchman Nee sebagai ´the Normal Christian life´, yaitu hidup yang semakin serupa dengan Kristus yang ditandai dengan ketaatan total kepada kehendak Allah. Dengan demikian Kaum Injili selalu menekankan hidup yang berkemenangan melalui peperangan melawan kuasa setan, manusia lama, dan dunia. Dan dengan kuasa Roh Kudus mengalahkan musuh-musuh rohani orang percaya.

Kita dapat melihat bahwa inti dari spiritualitas Injili adalah suatu usaha untuk menyeimbangkan dua prinsip yang kelihatan bertentangan, yaitu: bagian dalam dari manusia (inward) dengan bagian luar (outward), dan dimensi kesucian personal dengan komunal.

Keseimbangan Antara Inward dan Outward

Spiritualitas Kaum Injili mencoba menyeimbangkan kesucian hati dan aktivitas pelayanan. Hati orang percaya harus dipenuhi dengan kasih kepada Yesus Kristus. Komitmen ini lebih dari sekedar pengetahuan tentang karya Kristus dalam sejarah atau menerima doktrin tentang Kristus. Tetapi adanya suatu hubungan pribadi yang dekat dengan Yesus yang bangkit dan hidup. Karena itu, bagian dalam dari manusia (inward) merupakan fondasi dari spiritualitas. Akibatnya, Kaum Injili lebih tertarik kepada respon pribadi seseorang kepada Yesus daripada kemampuan mereka untuk memformulasikan atau menghafalkan pernyataan doktrinal tentang Yesus.

Kaum Injili juga lebih mementingkan motivasi hati dalam mengikuti ibadah dan perjamuan kudus daripada sekedar memenuhi kewajiban itu secara eksternal. Ibadah eksternal tanpa kesadaran internal hanya merupakan ritual yang mati. Karena itu, Kaum Injili tidak datang ke gereja demi memenuhi tuntutan ibadah secara eksternal, tetapi karena dorongan hati untuk memuliakan Allah dan bersekutu bersama umat percaya. Kita termotivasi dari dalam hati dan bukan dipaksa dari luar untuk menghadiri ibadah bersama. Sikap seperti ini dinyatakan dengan suatu pujian dari dari hati, "I´m so glad, I´m a part of the family of God."

Dalam kaitan dengan ini, spiritualitas Injili juga sangat menekankan pengalaman religius dalam hidup orang percaya. Penekanan ini berasal dari Gerakan Pietisme yang sangat menekankan teologi lahir baru yang bersumber pada Injil Yohanes: ´Iman harus menjadi nyata dalam pengalaman! Iman harus mentransformasi hidup!´ Pengalaman lahir baru merupakan bagian sentral dan titik awal perjalanan hidup orang percaya bersama Tuhan, yang tidak bisa digantikan oleh apapun. Tetapi kelahiran baru ini harus diikuti dengan perjalanan spiritual pribadi yang ditandai dengan pertumbuhan dalam kesucian. Di hadapan Kaum Injili, James Houston menggambarkan spiritualitas sebagai,

´The outworking ... of the grace of God in the soul of man, beginning with conversion to conclusion in death or Christ´s second advent. It is marked by growth and maturity in a Christlike life.´[1] (Karya anugerah Allah dalam jiwa manusia, yang dimulai dengan kelahiran baru dan diakhiri dengan kematian atau kedatangan Kristus ke dua kali. Hal ini ditandai dengan pertumbuhan dan kedewasaan dalam hidup seperti Kristus.)

Penekanan pada inward, sangat sentral dalam spiritualitas Injili dan akan membentuk ketegangan kreatif ketika digabungkan dengan bagian luar (outward) dari hidup Kristen. Spiritualitas memang bersumber pertama-tama dari dalam hati, tetapi hidup Kristen juga berarti pemuridan. Dan pemuridan bersifat outward. Faktanya, spiritualitas sejati harus dinyatakan dalam perbuatan yang kelihatan. Perubahan hati harus dinyatakan dalam hidup yang nyata. Tetapi perbuatan nyata ini bukan untuk mendapatkan anugerah Allah, melainkan sebagai wujud dari kerinduan kita untuk mengikuti jejak kaki Yesus. Natur dari kehidupan spiritualitas adalah meneladani Yesus (the imitation of Christ). Pemuridan berarti mengikuti model yang telah dinyatakan dalam hidup Yesus, karena orang Kristen sejati akan merefleksikan karakter Yesus dalam hidupnya.

Pengertian ini mempengaruhi Kaum Injili dalam memandang sakramen. Kita menolak pandangan ekstrem dari sakramentalisme maupun penghapusan sakramen. Di satu sisi, kita menolak memandang sakramen sebagai suatu alat magis untuk mendapatkan anugerah Allah (sakramentalisme), tetapi di lain sisi kita juga tidak membuang sakramen. Kita memandang sakramen (Baptisan dan Perjamuan Kudus) sebagai suatu ibadah yang sangat penting untuk mengekspresikan secara fisik apa yang sudah dikerjakan Allah di dalam hati. Sakramen merupakan tanda yang kasat mata dari anugerah Allah yang tidak kasat mata.

Penekanan Kaum Injili tentang pemuridan sebagai meneladani Kristus juga mempengaruhi pengertian kita tentang kehidupan gereja. Kita menekankan mengikut Kristus sebagai suatu ibadah setiap hari dan bukan hanya ibadah hari minggu. James Houston menekankan bahwa kekristenan bukanlah suatu acara khusus, tetapi merupakan gaya hidup (life style). Sikap seperti ini mengakibatkan motivasi utama untuk menghadiri ibadah bersama adalah untuk diajar, didorong, dan dikuatkan untuk memiliki gaya hidup yang berkenan kepada Allah. Poin yang terus-menerus ditekankan pada ibadah Minggu adalah: ´Jika engkau adalah orang percaya, hidup suci harus menjadi nyata bukan hanya pada hari Minggu tetapi dari Minggu sampai Sabtu. Apa yang Anda dengar pada hari Minggu harus diterjemahkan dalam perbuatan sepanjang minggu. Jika tidak demikian, imanmu hanya merupakan iman hari Minggu.´

Dapat disimpulkan bahwa spiritualitas Injili mencoba menyeimbangkan dimensi dalam dan dimensi luar dari hidup Kristen. Kita mencoba menyeimbangkan hati yang hangat oleh kasih kepada Allah dengan hidup yang mengikuti teladan Yesus. Kita memprioritaskan dimensi dalam sebagai sumber dari dimensi luar, tetapi kita menganggap dimensi dalam mati jika tidak menghasilkan ekspresi luar yang seharusnya dalam hidup pemuridan. Lagu yang sering kita nyanyikan mengekspresikan dengan baik kedua dimensi ini, ´Trust and obey, for there´s no other way, to be happy in Jesus, but to trust and obey.´

Keseimbangan Personal dan Komunal

Kekudusan hidup di antara Kaum Injili biasanya hanya dimengerti secara individu. ´Membaca Alkitab´ berarti membaca secara pribadi; ´berdoa´ berarti berdoa secara pribadi; ´keselamatan´ berarti diselamatkan secara pribadi; ´hidup dalam Kristus´ berarti memiliki hubungan pribadi dengan Kristus. Seperti dikatakan Daniel Stevick: "Perjalanan Kristen dijalani sendiri, keselamatan dari Allah ditujukan kepada pribadi. Pertolongan-Nya selalu dalam konteks pribadi. Perjalanan diisi dengan penyucian secara pribadi dan tujuannya adalah istana yang dibangun bagi pribadi."[2]

Dalam pengertian tertentu, karakteristik yang digambarkan ini memang cukup tepat. Namun, pendekatan Kaum Injili terhadap perjalanan iman orang percaya secara pribadi tidak pernah dilihat sebagai bagian yang terisolasi, melainkan selalu dilihat dalam konteks persekutuan orang percaya. Di sinilah terdapat keseimbangan antara kehidupan personal dan komunal dari hidup spiritualitas.

Jelas kita mengerti spiritualitas Kristen sebagai sesuatu yang bersifat individu atau personal. Kelahiran baru dan pertumbuhan iman harus pertama-tama dialami secara individu. Masing-masing orang percaya harus bertanggung jawab terhadap spiritualitasnya secara pribadi. Setiap individu bertanggung jawab untuk hidup suci dan meneladani Kristus.

Penekanan pada tanggung jawab pribadi ini sejalan dengan prinsip tradisional Prostestan tentang keimamatan orang percaya dan terutama penekanannya mengenai ´kompetensi individu´. Prinsip kompetensi individu menyatakan bahwa setiap pribadi bertanggung jawab secara pribadi kepada Allah dan dengan pertolongan Roh Kudus mampu berespons secara pribadi kepada Allah. Prinsip ini memberikan implikasi penting bagi spiritualitas. Hal ini berarti bahwa tidak ada seorang pun yang dapat diperdamaikan dengan Allah oleh orang lain ataupun oleh gereja. Tidak seorang pun dapat mengklaim dirinya sebagai orang Kristen berdasarkan iman orangtua, karena melakukan ritual tertentu, lahir dalam negara tertentu, atau bahkan karena beragama tertentu. Kaum Injili biasanya mengatakan: ´Allah hanya mempunyai anak-anak, tetapi tidak mempunyai cucu.´ Karena itu para penginjil selalu menekankan: ´Keputusan untuk menerima Kristus atau menolak-Nya ada padamu; tidak ada seorang pun yang dapat menjawabnya bagimu.´ Penekanan ini sangat jelas pada lagu yang begitu terkenal: ´Manis lembut, Tuhan Yesus memanggil. Memanggil saya dan kau ... pulang, pulang, kau yang berlelah pulang.´

Karena spiritualitas adalah persoalan pribadi, Kaum Injili sangat menekankan disiplin rohani sebagai sarana untuk pertumbuhan rohani. Disiplin dalam membaca Alkitab setiap hari dengan apa yang disebut sebagai ´saat teduh´; bersaksi secara pribadi; dan juga hal yang tidak kalah pentingnya adalah menghadiri kebaktian secara rutin.

Penekanan pada aspek personal ini juga mempengaruhi strategi dalam misi Kaum Injili. Dalam abad-abad permulaan kekristenan mulai tersebar di luar Kerajaan Romawi ke daerah-daerah yang masih belum tersentuh peradaban. Para misionaris biasanya memfokuskan pemberitaan Injil kepada para pemimpin suku atau raja, sehingga ketika pemimpin ini dibaptis, seluruh rakyatnya juga ikut dibaptis. Kaum Injili sangat kuatir bahwa strategi ini hanya menghasilkan kekristenan yang bersifat pura-pura, dangkal dan bahkan bisa bersifat sinkretistik. Meskipun tidak menolak peran penting yang dimiliki para pemimpin, Kaum Injili sangat menekankan Injil yang diberitakan kepada setiap individu. Karena kita mengerti bahwa spiritualitas adalah tugas dari setiap pribadi.

Meskipun sangat menekankan dimensi personal bagi spiritualitas orang Kristen, Kaum Injili juga menyeimbangkannya dengan dimensi komunal atau korporat. Tidak ada seorang pun dapat hidup dan bertumbuh dalam mengikuti Yesus dalam isolasi. Tetapi setiap kita harus bersekutu supaya dapat bertumbuh secara dewasa. Analogi yang sering digunakan adalah bara api. Bara api akan saling membakar ketika dikumpulkan bersama. Tetapi ketika satu bara api dikeluarkan dari kelompoknya, dia akan segera padam dan menjadi dingin. Begitu juga hidup Kristen: orang Kristen yang menarik diri dari komunitas orang percaya akan sulit untuk bertumbuh dan cepat menjadi dingin. Tetapi ketika bersekutu bersama, orang Kristen akan saling mendukung dan dengan demikian akan terus hidup dan berapi-api bagi Tuhan.

Jadi dalam pandangan Kaum Injili, meskipun setiap orang bertanggung jawab atas pertumbuhan imannya sendiri, setiap orang juga bergantung kepada kelompok orang percaya. Setiap orang percaya membutuhkan dorongan dan nasihat dari saudara-saudara seiman lainnya.

Pandangan ini memberikan pengertian yang penting mengenai gereja. Jemaat gereja lokal harus merupakan suatu komunitas yang saling menasihatkan, mendukung, dan mengajar satu dengan yang lainnya. Lebih jauh, setiap anggota dari persekutuan orang percaya harus terlibat dalam tugas-tugas yang dikerjakan bersama. Kita terpanggil bukan saja untuk beribadah bersama, tetapi juga untuk masuk menjadi bagian dari kehidupan keseharian anggota yang lain. Dengan demikian, setiap orang berpartisipasi dan berperan dalam kehidupan komunitas Kristen. Inilah esensi dari jemaat lokal dalam pandangan Injili.

Prinsip bahwa setiap orang percaya perlu bersekutu dengan yang lainnya menghasilkan suatu penekanan klasik Injili terhadap kehadiran dalam kebaktian. Kita harus hadir dalam kegiatan-kegiatan gerejawi secara bersama. Tetapi tujuan penekanan ini berbeda dengan gereja-gereja liturgikal. Kita tidak melihat kehadiran dalam kegiatan gereja sebagai sarana mendapat anugerah, tetapi dalam perkumpulan orang percaya inilah pengajaran dan kekuatan dinyatakan.

Pengertian di atas memberikan dampak terhadap apa yang dianggap paling penting dalam ibadah Minggu. Roma Katolik menekankan perjamuan kudus dalam ibadah, sedangkan gereja-gereja Injili memfokuskan ibadah Minggu pada pemberitaan Firman Tuhan. Di atas segalanya, kita datang untuk mendengar kotbah, yang kita pandang sebagai sarana utama manusia bertemu dengan Allah. Kita mendengarkan kotbah dengan kerinduan untuk mendengar ´Allah sedang berkata-kata kepada saya secara pribadi´. Sebagai akibatnya, kita mendapat peringatan, kekuatan, dan bahkan arahan hidup melalui kehadiran kita dalam ibadah bersama. Kita berkumpul untuk mendengar Firman (Word), supaya kita bisa tersebar sebagai umat Allah di tengah-tengah dunia (world).

Tetapi akhir-akhir ini Kaum Injili memiliki pengertian yang lebih dalam lagi mengenai kepentingan ibadah bersama sebagai elemen yang sentral di samping kotbah. Salah satu pemimpin dalam hal ini adalah Robert Webber yang mengatakan:

´Worship is the rehearsal of our relationship to God. It is at that point through the preaching of the Word and through the administration of the sacrament, that God makes himself uniquely present in the body of Christ. Because worship is not entertainment, there must be a restoration of the incarnational understanding of worship, that is, in worship the divine meets the human. God speaks to us in his Word. He comes to us in the sacrament. We respond in faith and go out to act on it!´[3] (Ibadah adalah gladi-bersih dari hubungan kita dengan Allah. Pada titik itulah melalui pemberitaan Firman dan pelaksanaan sakramen, Allah hadir secara khusus dalam tubuh Kristus. Karena ibadah bukan merupakan hiburan, harus ada pengertian baru dari ibadah yang bersifat inkarnasi, yaitu Allah bertemu dengan manusia dalam ibadah. Allah berbicara kepada kita melalui Firman. Dia datang kepada kita dalam sakramen. Kita berespon dengan iman dan keluar untuk hidup sesuai dengan itu!)

Seperti dikatakan Webber, penekanan pada ibadah bersama bukan berarti meniadakan sentralitas kotbah dalam ibadah Minggu. Tetapi hal ini lebih merupakan suatu usaha untuk kembali mendapat keseimbangan yang lebih baik demi menjalankan tugas gereja dengan lebih efektif.

Di tengah-tengah penekanan Injili untuk ´menemukan pelayanan dalam gereja´, kita mendiskusikan interaksi yang penting antara dimensi personal dan korporal dari iman Kristen. Kita mendorong setiap individu untuk ´menemukan pelayanan´ dalam konteks gereja lokal. Dan hal ini jelas berkaitan dengan dimensi korporal dari spiritualitas Kristen. Sewaktu kita terlibat pelayanan dalam komunitas Kristen, kita berpartisipasi dalam tugas mendorong pertumbuhan orang lain dan juga secara tidak langsung kepada diri kita sendiri. Keterlibatan dalam hidup orang lain merupakan kesempatan untuk mendorong, menasihati, dan memenuhi kebutuhan mereka. Tetapi tujuannya lebih dari itu: supaya mereka yang menerima pelayanan bisa bertumbuh dewasa secara rohani dan kemudian akhirnya ikut melayani anggota lain dalam tubuh Kristus.

Pandangan ini berimplikasi pada eklesiologi. Bagi kita, gereja adalah persekutuan orang percaya, persekutuan murid Kristus, komunitas orang- orang yang dengan serius bertanggung jawab secara pribadi bagi spiritualitasnya dan pada saat yang sama terjun dalam pelayanan untuk mendorong pertumbuhan rohani secara korporal. Kaum Injili yang bertanggung jawab bernyanyi bersama: ´Kami akan berjalan bersama, kami akan berjalan bergandengan tangan.´ Karena jalan spiritualitas adalah jalan yang mengikat setiap individu bersama-sama. (BS)

[1] James M. Houston, "Spirituality" in The Evangelical Dictionary of Theology, ed. Walter A. Elwell (Grand Rapids, Michigan: Baker Book House, 1984),1047.
[2] Daniel B. Stevick, Beyond Fundamentalism (Richmond, Va: John Knox Press, 1964),127.
[3] Robert Webber, The Majestic Tapestry (Nashville: Thomas Nelson,1986),129.
Sumber: 

Bahan di atas dikutip dari sumber:

Judul Buku: Momentum, Edisi 44, Triwulan III/Oktober 2000
Judul Artikel: Spiritualitas Injili: Suatu Tinjuan Ulang
Penulis: Stanley J. Grenz
Penerjemah : -
Penerbit: Lembaga Reformed Injili Indonesia
Halaman: 29-36

"Yang Sangat Penting ..... Kristus Telah Mati"

Editorial: 

Dear e-Reformed Netters,

Beberapa hari lagi kita akan merayakan Hari Kematian Kristus dan Hari Kebangkitan Kristus (PASKAH), perayaan dari peristiwa terbesar dalam sejarah kekristenan. Artikel yang saya sajikan berikut ini akan menolong kita memikirkan lebih dalam lagi tentang arti kematian dan kebagnkitan Kristus bagi kita, umat manusia yang dikasihi-Nya. Memang betul bahwa pikiran dan otak manusia tidak mungkin bisa mengetahui dan memahami dengan sejelas-jelasnya dan sedalam-dalamnya kesengsaraan yang dialami Kristus menjelang kematiannya. Tapi bukan berarti dengan demikian maka itu tidak penting untuk kita pikirkan. Uraian yang disampaikan Samuel Zwemer dalam artikel di bawah ini menolong kita melihat bagaimana Alkitab menyatakan bahwa kematian Kristus adalah segala-galanya bagi orang Kristen. Inilah inti dan pusat dari berita keselamatan yang dibawa Kristus ketika Ia datang ke dunia. Oleh karena itu jika seorang Kristen berbahagia menjadi orang Kristen bukan karena berita keselamatan bahwa "Kristus telah mati bagiku, bagi dosa- dosaku", maka kemungkinan besar ia sedang salah mengerti tentang kekristenan. Mengapa demikian? Silakan membaca artikel berikut ini.

SELAMAT MERAYAKAN HARI KEMATIAN DAN KEBANGKITAN KRISTUS!

In Christ,
Yulia Oen

Catatan:
Ayat-ayat Alkitab yang dikutip dalam artikel ini diambil dari Alkitab LAI, Terjemahan Lama (TL).

Penulis: 
Samuel Zwemer
Edisi: 
049/IV/2004
Isi: 

"Yang sangat penting telah kusampaikan kepadamu," kata Paulus dalam Surat Pertama kepada Gereja Korintus, "yaitu apa yang telah kuterima sendiri, ialah bahwa Kristus telah mati karena dosa-dosa kita, sesuai dengan Kitab Suci," [Lihat 1Kor. 15:3] Pembaca yang teliti akan memperhatikan dari konteksnya, bahwa ini adalah pokok dari amanat Rasul Paulus, inti dari ajarannya, satu-satunya injilnya. Paulus mengatakan, bahwa dia menerimanya tidaklah terutama dan hanya dari anggota-anggota jemaat asli, tetapi langsung melalui wahyu (Gal. 1:15-19). Maka jemaat itu, dan Rasul Paulus sendiri, percaya, bahwa kebenaran pertama dan azasi dari iman Kristen adalah kematian Kristus karena dosa-dosa kita. Dan Rasul Paulus menerima dan mengajarkan kebenaran ini dalam waktu tujuh tahun setelah Kristus mati -- menurut penanggalan lain bahkan dalam waktu yang lebih pendek.

Kata Yunani yang diterjemahkan dengan "yang sangat penting" dapat juga diartikan "yang pertama-tama" atau paling depan dari segala kebenaran. Kematian Kristus disalib bagi Rasul Paulus adalah yang paling penting dan pasal yang berpengaruh dalam kepercayaannya. Ini adalah fundamental. Ini adalah rukun syarat dari batu pertama, batu pojok dari kuil kebenaran. Bahwa ini benar nampak jelas dari tempat yang diambil tentang kematian Kristus dalam Alkitab, dalam amanat kerasulan, dalam liturgi-liturgi dari kedua sakramen yang diselenggarakan oleh semua cabang Gereja dan dalam perbendaharaan nyanyian-nyanyian Kristus yang pertama-tama, maupun yang terakhir. Bukti itu bertambah-tambah dan melimpah. Salib itu bukan hanya merupakan lambang universil dari kekristenan; itu adalah amanatnya yang universal dan yang tak dapat disangsikan. Itu adalah pokok dari Injil -- firman yang "hidup dan kuat dan lebih tajam daripada pedang bermata dua."[Lihat Ibr. 4:12] Sebab tidak ada yang menimbulkan kesadaran akan dosa seperti salib.

Salib Kristus adalah lampu sorot Allah. Dia memperlihatkan kasih Allah dan dosa manusia, kekuasaan Allah dan kedaifan manusia, kesucian Allah dan kekotoran manusia. Bila mezbah dan korban penebusan adalah "yang pertama-tama" dalam Perjanjian Lama, maka salib dan perdamaian adalah "yang terutama" dalam Perjanjian Baru. Maka doktrin keselamatan Perjanjian Lama dan Perjanjian Baru dengan segala sesuatu yang dicakupnya mengenai hati baru dan masyarakat baru, sorga baru dan dunia baru, dalam garis yang lurus menuju kembali ke arah pusat segala-galanya - "Anak Domba yang telah disembelih."[Lihat Wah. 13:8]

  1. Perhatikanlah tempat ditulisnya cerita mengenai penyaliban dalam Perjanjian Baru. Dia disebut dalam tiap buku kecuali dalam tiga surat-surat pendek, Filemon dan Yohanes 2 dan 3. Matius, Markus, dan Lukas memberikan tempat yang lebih banyak padanya daripada untuk aspek manapun dari hidup dan ajaran Kristus. Matius menceritakan tragedi ini dalam dua pasal dengan seratus empatpuluh satu ayat. Markus menulis seratus sembilan belas ayat mengenai cerita itu, dua pasal yang merupakan yang terpanjang dari enam belas pasal. Lukas menyediakan dua pasal panjang untuk melukiskan penangkapan dan penyaliban itu. Hampir separo dari Injil Yohanes mengisahkan minggu kesengsaraan Kristus.

    Dalam Kisah Para Rasul-rasul semua ajaran berpusat pada kematian dan kebangkitan. Inilah "Berita Baik." "Ia menunjukkan diri-Nya setelah penderitaan-Nya selesai, dan dengan banyak tanda Ia membuktikan, bahwa Ia hidup." Puncak dari kotbah Rasul Petrus pada Pentakosta adalah mengenai Yesus "yang diserahkan Allah menurut maksud dan rencana-Nya ....... disalibkan dan dibunuh oleh tangan orang-orang kafir". "Allah telah membuat Yesus, yang kamu salibkan itu, menjadi Tuhan dan Kristus."[Lihat Kis. 1:3; 2:23, 36]

    Amanat itu diulangi lagi oleh Rasul Petrus dalam Bait Allah: "Kamu telah menolak Yang Kudus dan Benar, serta menghendaki seorang pembunuh." "Dengan jalan demikian," Petrus kemukakan, "Allah telah menggenapi apa yang telah difirmankan-Nya dahulu dengan perantaraan nabi-nabi-Nya, yaitu bahwa Kristus yang diutus-Nya harus menderita," tetapi "Allah membangkitkan Hamba-Nya dan mengutus-Nya kepada kamu, supaya Ia memberkati kamu dengan memimpin kamu masing-masing kembali dari segala kejahatanmu." Esok harinya dia kembali lagi pada tema "Yesus Kristus, orang Nazaret, yang telah kamu salibkan." Dalam doa upacara pertama dari Gereja Mula-mula kita diingatkan kembali pada penderitaan dan kematian dari "Yesus Hamba-Mu yang kudus." Hasil dari amanat demikian dinyatakan dalam kata-kata yang isinya tidak meragukan: "Kamu telah memenuhi Yerusalem dengan ajaranmu dan kamu hendak menanggungkan darah Orang itu kepada kami." Tetapi rasul-rasul menjawab, "Yesus, yang kamu gantungkan pada kayu salib dan kamu bunuh ....... telah ditinggikan oleh Allah sendiri dengan tangan kanan-Nya menjadi Pemimpin dan Juruselamat."[Lihat Kis. 3:14, 18, 26; 4:10, 27; 5:28, 30-31]

    Stefanus menjadikan kematian Yesus Kristus sebagai tema pembelaannya yang disusul cepat dengan kesyahidannya sendiri (Kis. 7:51-54). Filipus mulai berbicara dan bertolak dari nas itu saat ia memberitakan Injil Yesus kepada sida-sida Ethiopia (Kis. 8:26-40). Kornelius menerima amanat yang sama mengenai Dia: "Mereka telah membunuh Dia dan menggantungkan Dia pada kayu salib. Yesus itu telah dibangkitkan Allah pada hari yang ketiga."[Lihat Kis. 10:39-40]

    Di Antiokia Rasul Paulus bercerita tentang Kristus: "Mereka telah meminta kepada Pilatus supaya Ia dibunuh ......... mereka menurunkan Dia dari kayu salib, lalu membaringkan-Nya di dalam kubur. Tetapi Allah membangkitkan Dia dari antara orang mati." Selama tiga sabat Rasul Paulus memberi uraian dari Perjanjian Lama di Tesalonika, "bahwa Kristus harus menderita dan bangkit dari antara orang mati." Di Anthena dia berkhotbah tentang kematian Yesus Kristus, di Korintus dia hanya mau tahu tentang Yesus Kristus dan bahwa Dia disalibkan. Sebagai kata yang searti dengan Injil dia pakai "pemberitaan tentang salib" atau "berita pendamaian." Festus melukiskan amanat Rasul Paulus sebagai sesuatu yang bersangkutan dengan "seorang yang bernama Yesus, yang sudah mati, sedangkan Paulus katakan dengan pasti, bahwa Ia hidup." Dalam pembelaannya di depan Festus, Rasul Paulus mengatakan, bahwa dia tidak mempunyai amanat lain "kepada orang-orang kecil dan orang-orang besar. Dan apa yang kuberitakan itu tidak lain daripada yang sebelumnya yang telah diberitahukan oleh para nabi dan juga oleh Musa, yaitu bahwa Kristus harus menderita sengsara dan bahwa Ia adalah yang Pertama yang akan bangkit dari antara orang mati, dan bahwa Ia akan memberitakan terang kepada bangsa ini dan kepada orang-orang kafir."[Lihat Kis. 13:28-30; 17:3 1Kor. 1:18; 2Kor. 5:19; Kis. 25:19; 26:22-23]

    Dalam surat-surat Rasul Paulus kita sungguh kagum melihat jumlah yang berlimpah-limpah dari bukti-bukti, bahwa satu-satunya amanatnya adalah salib dan pendamaian. Dia telah memberitakan kabar baik ini selama limabelas tahun sebelum sepucukpun dari surat-suratnya dia tulis. Kita tidak dapat menemukan adanya perbedaan dalam tekanan antara surat- suratnya yang pertama dan yang terakhir dalam hal ini. Itulah yang menjadi pokok dari amanatnya kepada orang-orang Roma dan orang-orang Tesalonika. Kepada jemaat Galatia ia mengatakan dalam kata pendahuluannya bahwa Kristus Yesus "telah menyelamatkan diri-Nya karena dosa-dosa kita," dan (sesudah beberapa kalimat) dia meletus dengan perasaan berang: "Tetapi sekalipun kami atau seorang malaikat dari sorga yang memberitakan kepada kamu suatu Injil yang berbeda dengan Injil yang telah kami beritakan kepadamu, terkutuklah dia."[Lihat Gal. 1:4, 8]

    Bahwa Golgota yang menjadi pusat dari Injil Paulus, adalah jelas dari semua suratnya. Inkarnasi itu ada agar penebusan itu mungkin. Salib itu adalah luhur dan menentukan bagi Allah, bagi manusia dan bagi alam semesta. "Kristus telah mati untuk kita ketika kita masih berdosa." "Siapakah yang akan menghukum mereka? Kristus Yesuskah, yang telah mati?" "Kami memberitakan Kristus yang disalibkan ........ sebab yang bodoh dari Allah lebih besar hikmatnya dari pada manusia, dan yang lemah dari Allah lebih kuat dari pada manusia," "Jemaat Allah yang diperoleh-Nya dengan darah-Nya sendiri." Semua orang Kristen, apabila mereka minum dari Cawan itu "memberitakan kematian Tuhan sampai Ia datang." "Aku sekali-kali tidak mau bermegah, selain dalam salib Tuhan kita Yesus Kristus, sebab olehnya dunia telah disalibkan bagiku dan aku bagi dunia." Kristus adalah "kekasih-Nya" yang "oleh darah-Nya kita beroleh penebusan. "Ini adalah rahasia dari abad-abad pelbagai ragam hikmat Allah yang dibukakan bagi kerajaan-kerajaan dan kekuasaan-kekuasaan melalui Gereja. Mereka yang merupakan "seteru salib Kristus," Rasul Paulus menceritakan kepada kita dengan airmata, bermegah dalam keaibannya dan mereka akan binasa. Kristus "yang lebih utama dalam segala sesuatu ........ dan oleh Dialah Allah memperdamaikan segala sesuatu dengan diri-Nya ........ sesudah Ia mengadakan pendamaian oleh darah salib Kristus." Salib itu adalah pusat dari alam semesta dan dari sejarah. Dia masih akan melihat pendamaian segala sesuatu baik yang ada di bumi maupun yang ada di sorga melalui darah-Nya."[Lihat Rom. 5:8; 8:33-34; 1Kor. 1:23, 25; Kis. 20:28; 1Kor. 11:26; Gal. 6:14; Ef. 1:6-7; Fil. 3:18; Kol. 1:18-20]

    Dalam surat kepada orang-orang Ibrani, kematian Kristus (Dia sendiri sebagai imam, korban, dan mezbah) begitu menonjol sehingga kita tidak perlu menunjukkannya lagi. Kristus adalah Imam Besar yang Agung, yang "menyatakan diri-Nya, pada zaman akhir untuk menghapuskan dosa oleh korban-Nya." Darah Yesus Kristus adalah darah perjanjian. Kristus adalah yang mengadakan dan menyempurnakan iman kita karena Dia telah "memikul salib." Darah-Nya yang dipercikkan "berbicara lebih kuat dari pada darah Habel" -- itu adalah "darah perjanjian yang kekal" ditumpahkan oleh "Gembala Agung dari segala domba."[Lihat Ibr. 9:26; 12:2, 24; 13:20]

    Surat-surat Petrus menggemakan pengajarannya yang paling pertama dan sangat banyak menyinggung kesengsaraan Kristus yang "sendiri telah memikul dosa kita dalam tubuh-Nya di kayu salib ........ oleh bilur- bilur-Nya kamu telah sembuh". Akhirnya dalam surat 1 Yohanes dan dalam Wahyu salib itu masih tetap merupakan yang utama. Melaluinya Yesus Kristus merupakan "perdamaian untuk segala dosa kita dan bukan untuk dosa kita saja, tetapi juga untuk dosa seluruh dunia." "Ia telah menyerahkan nyawa-Nya untuk kita; jadi kita pun wajib menyerahkan nyawa kita untuk saudara-saudara kita." "Bagi Dia, yang mengasihi kita dan yang telah melepaskan kita dari dosa kita oleh darah-Nya ........ bagi Dialah kemuliaan dan kuasa sampai selama-lamanya. Amin." "Lihatlah, Ia datang dengan awan dan setiap mata akan melihat Dia, juga mereka yang telah menikam Dia."[Lihat 1Pet. 2:24; 1Yoh. 2:2; 3:16; Wah. 1:5-7]

  2. Kedua sakramen yang diterima oleh Gereja-gereja Timur dan Barat langsung menyebutkan kematian Kristus untuk dosa-dosa kita. Ini jelas, bukan hanya dari penempatan kata-katanya dalam Perjanjian Baru, melainkan juga dari banyak liturgi-liturgi dalam administrasinya. Di sini kita dapat katakan lagi bahwa "yang sangat penting" mereka memberitakan kematian Kristus yang merupakan penebusan kita dari dosa. Pembaptisan adalah upacara penerimaan dalam Kristus. Dimanapun Perjanjian Baru tidak ada menyebut orang-orang Kristen yang tidak dibaptiskan, dan orang-orang percaya yang primitif ini tahu apa yang dimaksudkan Rasul Paulus ketika ia mengatakan, bahwa semua "yang telah dibaptis dalam Kristus, telah dibaptis dalam kematian-Nya." Pengampunan dosa dan pembaptisan berhubungan erat dalam pikiran mereka dengan air dan darah yang mengalir dari sisi Kristus yang robek itu. Kedua sakramen itu dimaksud untuk mengantar amanat Injil dalam perlambangan yang tak dapat disangsikan. Selama sakramen-sakramen itu mempertahankan tempatnya dalam Gereja, mereka adalah -- dengan adanya segala yang ditambahkan dengan upacara dan tahyul sekalipun -- saksi dari arti penyelamatan kematian Kristus, saksi dari sifat penggantiannya, keharusannya, dan wataknya yang menentukan. Gereja Mula-mula terus "bertekun dalam ....... memecahkan roti," karena dengan itu mereka ingin memberitakan kematian Kristus dan pengampunan dosa melalui darah-Nya. Itu adalah "persekutuan dengan darah Kristus ........ dengan tubuh Kristus," turutnya kita dalam "satu Roh," "pengampunan dosa," penyucian "batin kita dari perbuatan-perbuatan yang sia-sia." Inilah yang membuat pemecahan roti itu begitu berharga bagi Gereja Mula-mula dan bagi semua Gereja selama duapuluh abad. [Lihat Rom. 6:3; Kis. 2:42; 1Kor. 10:16; 12:13; Mat. 26:28; Ibr. 9:14]

  3. Bila kita beralih dari liturgi pada kumpulan nyanyian gereja, kita akan mempunyai kesaksian yang sama. Dalam nyanyian-nyanyian Latin dan Yunani masa-masa pertama, dalam nyanyian Gereja-gereja Kopt dan Armenia, maupun dalam nyanyian-nyanyian Gereja Reformasi, salib itu adalah "yang sangat penting", dan kesengsaraaan Tuhan Yesus merupakan tema. Dalam nyanyian Gereja inilah kita menemukan kesatuan dan kedalaman teologi yang kadang-kadang tidak terdapat dalam kepercayaan- kepercayaan sekalipun.

    "Anak Domba yang disembelih itu layak untuk menerima kuasa dan kekayaan, dan hikmat, dan kekuatan, dan hormat, dan kemuliaan, dan puji-pujian!" "Anak Domba yang di tengah-tengah takhta itu." Apapun yang tercipta turut dalam Paduan Suara Haleluya.[Lihat Wah. 5:12; 7:17]

    Anak-anak kecil di berbagai negeri dan bahasa menyanyikan inti dari Injil itu:

    "Yesus mati bagiku. Sorga, buka pintumu! Hutang dosa terhapus, Aku sudah ditebus."

    Betapa besar bagian dari nyanyian-nyanyian dari Gereja itu merupakan nyanyian kesengsaraan atau tafsiran dari penebusan yang dibuat di atas salib! Siapakah yang dapat melupakan pelukisan dalam begitu banyak bahasa dari "O, Haupt voll Blut und Wunden" (O, kepala yang penuh darah dan luka) atau kepiluan lagunya seperti yang dinyanyikan oleh orang Kristen Jerman?

    "..... Tidak cukup kuatku: hanya oleh sayang-Mu, oleh darah-Mu kudus, dapat aku ditebus."

    Andaikata Yesus dari Nasaret hanyalah manusia belaka dan bukan Anak Allah dan Juruselamat kita, kematian-Nya yang menyedihkan itu akan merupakan peristiwa yang terbesar juga dalam sejarah manusia. Banyaknya keterangan-keterangan yang teliti dalam catatan masanya mengenai kesengsaraaan-Nya dan penyaliban-Nya, segala hal-hal yang dahsyat yang menyertainya dalam alam; ketujuh kata dari salib, pengaruhnya terhadap mereka yang melihatnya dan terhadap segala abad dan bangsa -- semuanya ini jelas menunjukkan kepentingannya. Kita jangan mengubah tekanannya. Peristiwa yang utama dalam hidup Yesus Kristus dan bagi Dia sendiri, adalah kematian-Nya di atas salib karena dosa.

    Kata-kata dari James Denny tidaklah terlalu keras:

    "Jika penebusan itu, terlepas dari perumusan yang tepat, berarti sesuatu bagi jiwa, maka dia adalah segala-galanya. Penebusan itu adalah yang paling mendalam dari segala kebenaran dan yang paling kreatif. Lebih dari apapun juga dia menentukan konsepsi kita mengenai Tuhan, manusia, sejarah dan bahkan mengenai alam. Penebusan itu menentukan semuanya ini, karena dengan satu dan lain jalan kita harus menyesuaikan semuanya ini dengan pengertian ini. Penebusan itu adalah tema dari segala pikiran, yang akhir-akhirnya merupakan kunci bagi segala penderitaan. Penebusan manusia dari dosa ini adalah suatu kenyataan yang demikian rupa, sehingga dia tak dapat berkompromi. Maka bagi jiwa modern, maupun bagi yang kolot, daya penarik dan penolakan dari kekristenan itu berpusat pada suatu titik yang sama. Salib Kristus adalah satu-satunya kemuliaan manusia atau perintangannya yang terakhir."

Sumber: 

Bahan di atas dikutip dari sumber :

Judul Buku:Kemuliaan Salib
Judul Artikel : -
Penulis:Samuel Zwemer
Penerjemah : -
Penerbit:Badan Penerbit Kristen untuk OMF, 1970
Halaman:9-15

Calvin dan Tuduhan Skisma dari Katolik Roma Terhadap Para Reformator: Sebuah Studi Tentang Kesatuan Gereja (Bag. 2)

Editorial: 

Dear e-Reformed Netters,

Selamat Hari Reformasi Gereja 2003!!
Mari kita hayati perjuangan para reformator dalam mengembalikan kemurnian ajaran gereja dengan hidup yang memelihara kesatuan Tubuh Kristus sesuai dengan Firman-Nya!

In Christ,
Yulia

Penulis: 
Hidalgo B. Garcia
Edisi: 
044/X/2003
Isi: 

PELAYANAN GEREJA DAN FIRMAN ALLAH

Salah satu isu yang Calvin bahas dengan Sadoleto adalah masalah jabatan-jabatan gereja. Ia mengamati dari surat Sadoleto bahwa Sadoleto menuntut ketaatan dan kesetiaan kepada pejabat-pejabat gereja dengan landasan bahwa mereka dianugerahkan otoritas. Calvin mengoreksi gagasan yang keliru ini. Baginya, otoritas dan kekuasaan orang-orang yang ditunjuk untuk jabatan gereja dibatasi dalam limit-limit tertentu sesuai jabatan mereka menurut firman Allah. Dalam limitasi ini Kristus membatasi penghormatan yang Ia haruskan untuk diberikan kepada para rasul dan, karena itu, juga kepada para gembala. Tugas utama para gembala adalah memberitakan dan mengajarkan sabda Tuhan guna memajukan gereja. Inilah satu-satunya tujuan kekuasaan rohani, yakni "to avail only for edification, to wear no semblance of domination, and not to be employed in subjugating faith."**46 Paus, meskipun mengklaim sebagai pengganti Petrus, juga tidak dibebaskan dari limitasi ini. Kemerosotan disiplin di kalangan para uskup Roma, menurut pengamatan Calvin, adalah salah satu alasan mengapa gereja telah jatuh ke dalam kondisi yang demikian menyedihkan. Disiplin gereja mempunyai beberapa implikasi bagi kesatuannya karena menurutnya, agar gereja bersatu harus diikat bersama-sama melalui disiplin seperti halnya tubuh yang diikat otot-ototnya. Dalam hal ini menuduh balik para pejabat Katolik Roma yang telah menghancurkan integritas gereja melalui penyalahgunaan jabatan eklesiastikal; merekalah yang menabur benih-benih perpecahan. Ia secara tegas menyangkal tuduhan Sadoleto yang mengatakan bahwa para Reformator melepaskan diri dari kuk tirani gereja agar mereka sendiri bebas untuk melakukan tindakan amoral yang tak terkendalikan.**47

Dalam The Necessity of Reforming the Church, Calvin mengevaluasi pertanyaan tentang suksesi yang berhubungan dengan masalah disiplin gereja, dan dengan demikian, seperti telah kita lihat di atas, berhubungan juga dengan kesatuan gereja. Mengenai hubungan antara kontinuitas (atau suksesi) dan kesatuan ia mengatakan, "no one, therefore, can lay claim to the right of ordaining, who does not, by purity of doctrine, preserve the unity of the Church."**48 Pernyataan ini merupakan reaksi terhadap klaim Katolik Roma bahwa hanya merekalah yang memiliki hak dan kekuasaan untuk menahbiskan orang-orang ke dalam pelayanan gereja dan menentukan bentuk ordinasinya. Para pengikut Paus menyebut kanon-kanon kuno yang mereka klaim telah memberikan superintendensi untuk masalah-masalah mengenai para uskup dan klerus.**49 Suksesi yang konstan telah dilimpahkan kepada mereka, bahkan itu berasal dari para rasul. Mereka menyangkal bahwa jabatan itu bisa ditransfer secara sah kepada orang lain. Dengan demikian, berkaitan dengan klaim suksesi ini, para Reformator yang menjalankan pelayanan tanpa otoritas Katolik Roma, telah merampas kekuasaan eklesiastikal dan telah melakukan invasi terhadap wewenang hierarki Katolik Roma.**50

Calvin membantah klaim suksesi ini dengan menyatakan bahwa suksesi apostolik telah lama diinterupsi oleh keuskupan Katolik Roma.

But if we consider, first, the order in which for several ages have been advanced to this dignity, next the manner in which they conduct themselves in it, and lastly, the kind of persons whom they are accustomed to ordain, and to whom they commit the goverment of churches, we shall see that this succession on which they pride themselves was long ago interrupted.**51
Ia menguraikan tiga kategori aturan penunjukan para uskup, cara bagaimana mereka mengatur diri mereka sendiri dalam jabatan itu, dan jenis orang yang mereka tunjuk.**52 Pertama, oleh karena hierarki Katolik telah merebut bagi diri mereka sendiri kekuasaan tunggal untuk menunjuk para klerus, Calvin mendebatnya dengan bertitik tolak dari sejarah gereja, "the magistracy and people had a discretionary power (arbitrium) of approving or refusing the individual who was nominated by the clergy, in order that no man might be intruded on the unwilling or not consenting."**53 Dalam hal cara para uskup mengatur diri mereka, ia bersikeras agar siapapun yang mengatur gereja, hendaknya ia juga mengajar.**54 Tujuan Kristus menunjuk para uskup dan gembala ialah, seperti dinyatakan Paulus, agar mereka mengajar gereja dengan doktrin yang sehat. Menurut pandangan ini, seorang gembala gereja yang baik tidak mungkin tidak melaksanakan tugas mengajar.**55 Ia mengamati bahwa para uskup tidak melaksanakan tugas ini dengan setia. "As if they had been appointed to secular dominion, there is nothing they less think of than episcopal duty."**56 Tidak heran jika kemudian orang-orang yang mereka promosikan untuk mendapat kehormatan sebagai imam adalah mereka yang memiliki karakter serupa. Ia menuntut dengan tegas agar ada eksaminasi yang ketat terhadap kehidupan dan doktrin mereka yang ingin menjadi pendeta, seperti yang sekarang dilakukan di gereja-gereja para Reformator.**57 Mengenai upacara ordinasi, Calvin berargumen bahwa praktek Katolik Roma tidak bersumber dari Alkitab.**58 "Satu-satunya yang kita baca, seperti yang biasa dilakukan pada zaman kuno, adalah penumpangan tangan."**59

Hal yang sangat kritis dalam semua klaim suksesi apostolik ini ialah doktrin Injil yang murni. Keprihatinannya ini ia rangkum dengan kalimat, "Setiap orang yang melalui tingkah lakunya memperlihatkan bahwa ia adalah musuh dari doktrin yang sehat, apapun gelar yang mungkin ia banggakan, ia telah kehilangan semua otoritasnya dalam gereja,"**60 karena itu ia pun tidak bisa mengklaim suksesi apostolik. Pernyataan-pernyataan ini begitu signifikan sebab telah menggoncangkan fondasi utama gereja Roma.

KESATUAN DAN FIRMAN ALLAH

Pemahaman yang benar mengenai gereja dalam relasinya dengan firman Allah, batasan-batasan dan tujuan jabatan otoritas gereja dan disiplin, serta suksesi apostolik yang tepat telah meletakkan dasar bagi pembelaan Calvin terhadap tuduhan skisma dan bidat. Dalam jawabannya kepada Sadoleto, ia membuat pembelaan ini dengan mempertentangkan pengakuan dari orang Kristen Reformed dengan kesetiaan Katolik yang dipaparkan oleh Sadoleto. Reformator itu mengaku bahwa tidak ada hal lain yang ia lakukan kecuali percaya bahwa tidak ada kebenaran yang dapat mengarahkan jiwa seseorang menuju jalan kehidupan selain dari apa yang dikobarkan melalui firman itu. Segala hal lain yang berasal dari penemuan manusia adalah kesombongan yang sia-sia dan pemberhalaan.

Calvin berusaha menghadirkan dan menguraikan apa yang dipercayainya sebagai doktrin yang murni dan kebenaran Injil. Melalui hal ini ia memperjelas bahwa tujuan para Reformator adalah untuk kebangkitan gereja kembali. Ia memperhatikan bahwa sejumlah besar kebenaran dari doktrin kenabian dan evangelikal telah musnah dan telah "diusir dengan kasar oleh api dan pedang"**61 dalam gereja Roma. Ia menolak tuduhan Sadoleto bahwa semua yang coba dilakukan oleh para Reformator hanyalah untuk menghancurkan semua doktrin sehat yang telah disetujui oleh orang-orang beriman selama lima belas abad. Dengan gamblang ia menjelaskan bahwa para Reformator jauh lebih sesuai dengan zaman awal kekristenan dibanding gereja Roma,**62 dan Sadoleto sendiri tidak dapat menyangkalnya.

Bagi Calvin, bentuk gereja yang telah diinstitusikan oleh para rasul merupakan satu-satunya model yang benar, dan bentuk kuno gereja itu yang dibuktikan dalam tulisan-tulisan bapa-bapa gereja kini telah menjadi puing-puing. Ia memperjelas tujuan tindakan para Reformator yaitu untuk memperbarui gereja, dan perlunya melakukan hal itu bukan disebabkan oleh imoralitas dari keuskupan Roma seperti yang diklaim oleh Sadoleto. Menurut Calvin, yang mendorong para Reformator melakukan reformasi ialah karena "cahaya kebenaran ilahi itu telah dipadamkan, firman Allah telah dikubur, kebaikan Kristus tertinggal dalam pengabaian yang dalam, dan jabatan gembala ditumbangkan."**63 Dengan berjuang menentang kejahatan-kejahatan seperti itu, mereka tidak berperang melawan gereja, namun justru mendampingi gereja di tengah penderitaannya yang sangat.**64 Ia bertanya kepada Sadoleto dengan tajam, apakah seseorang yang "sangat giat untuk kesalehan dan kekudusan seperti pada zaman gereja mula-mula, yang tidak puas dengan kondisi yang ada dalam gereja yang pecah dan rusak, dan berusaha untuk memperbaiki kondisi gereja serta merestorasinya agar mencapai kemegahan yang sejati" akan dianggap sebagai musuh?**65 Pastor Jenewa itu menyebut dua tanda dari gereja yang telah disebutkan di atas dan bertanya kepada kardinal Katolik itu, "dengan yang manakah dari hal- hal ini yang kalian ingin kami gunakan untuk menilai gereja?"**66

Apa yang disebut skisma oleh orang-orang Katolik Roma, Calvin menyatakannya sebagai usaha para Reformator untuk membawa gereja yang terdisintegrasi itu kepada kesatuan.**67 Ia membuat sebuah analogi menarik antara orang yang melakukan Reformasi dan seseorang yang mengangkat panji pimpinan militer untuk memanggil prajurit-prajurit yang terpencar agar kembali ke pos mereka. Pemimpin militer itu adalah Kristus dan prajurit-prajurit yang terpencar itu ialah para pemimpin gereja. Orang yang mengangkat bendera pemimpin itu adalah Reformator, dan diangkatnya bendera menandakan sebuah panggilan bagi kesatuan, yang diekspresikan Calvin dengan tajam,

In order to bring them together, when thus scattered, I raised not a foreign standard, but that noble banner of thine whom we must follow, if we would classed among thy people .... Always, both by word and deed, have I protested how eager I was for unity. Mine, however, was a unity of the Church, which should begin with thee and end in thee. For as oft as thou didst recommend to us peace and concord, thou, at the same time, didst show that thopu wert the only bond for preserving it. But if I desired to be at peace with those who boasted of being the heads of the Church and pillars of faith, I behoved to purchase it with the denial of thy truth. I thought that any thing was to be endured sooner than stoop to such a nefarious paction.**68
Calvin menyamakan para klerus Roma dengan serigala yang sangat lapar dan nabi-nabi palsu yang Kristus prediksikan akan ada di antara umat- Nya. Tindakan para Reformator dibandingkan dengan pelayanan para nabi zaman kuno, yang tidak dianggap skismatik ketika mereka mengharapkan bangkitnya kembali agama yang telah terdekadensi. Mereka tetap berada di dalam kesatuan gereja,**69 "walaupun mereka ditetapkan untuk dihukum mati oleh para pendeta yang jahat, dan dianggap tidak layak memperoleh tempat di antara manusia ..... **70 Jelaslah bahwa motif para Reformator bukan untuk memecah-belah gereja tetapi untuk memperbaharuinya dan memimpin kelompok-kelompok Kristen ke dalam kesatuan.**71 Baginya ada perbedaan besar antara "skisma dari gereja dan belajar untuk memperbaiki kesalahan-kesalahan di mana gereja sendiri pun telah terkontaminasi."**72 Skisma muncul ketika gereja Roma menolak untuk dikoreksi:
Thou, O Lord, knowest, and the fact itself has testified to men, that the only thing I asked was, that controversies should be decided by thy word, that thus both parties might unite with one mind to establish thy kingdom; and I declined not to restore peace to the Church at the expense of my head, if I were found to have been unnecessarily the cause of tumult. But what did our opponents?... Did they not spurn at all methods of pacification?**73
Ia mengakhiri jawabannya kepada Sadoleto dengan sebuah doa yang merefleksikan esensi responsnya atas tuduhan skisma Katolik Roma:
The Lord grant, Sadolet(o), that you and all your party may at length perceive, that the only true bond of Ecclesiastical unity would exist if Christ the Lord, who hath reconciled us to God the Father, were to gather us out of our present dispersion into the fellowship of his body, that so, through his one Word and Spirit, we might join together with one heart and one soul.**74

OTORITAS GEREJA DAN FIRMAN ALLAH

Kini kita akan mempertimbangkan Response (or Antidote) to Articles Agreed Upon by the Faculty of Sacred Theology of Paris (1543) dari Calvin. Walaupun kepentingan utama dari artikel itu adalah untuk menentukan doktrin-doktrin yang harus diajarkan dan dipercayai, artikel tersebut memiliki implikasi-implikasi penting bagi pemahaman Katolik Roma mengenai kesatuan. Artikel-artikel inilah yang mendefinisikan gereja Katolik yang satu dan kudus. Apa yang mereka sebar luaskan adalah cara Katolik Roma berjuang dengan kekuatan- kekuatan yang memecah-belah di dalamnya; artikel-artikel ini dimaksudkan untuk "menenangkan gelombang opini yang menentang."**75 Prolog dari artikel-artikel ini menyebut peringatan Paulus untuk kesatuan dalam kitab Efesus, yaitu agar mereka jangan "seperti anak- anak yang diombang-ambingkan oleh rupa-rupa angin pengajaran." Menanggapi hal ini Calvin memberikan antidot pertama di mana ia menekankan firman Allah, dan bersikeras bahwa inilah (firman Allah) yang menjadi otoritas satu-satunya untuk menyelesaikan atau memutuskan kontroversi-kontroversi. Ia menyebut beberapa bagian dari Alkitab dan bapa-bapa leluhur gereja untuk membuktikan bahwa otoritas satu-satunya yang membuat gereja tetap bereksistensi adalah firman Allah. Ia menyimpulkan,

Oleh karena itu, di tengah pertanyaan-pertanyaan yang bertentangan di masa sekarang ini, marilah kita mengikuti nasihat yang menurut Theodoret, (Lib. I. Hist. Eccles. cap. 7) diberikan oleh Constantine kepada para uskup di konsili Nicea -- marilah kita mencari kebulatan hati dari sabda Allah yang murni.**76
Otoritas Alkitab menjadi sangat berarti ketika kita memperhatikan cara Calvin meletakkannya di atas dan terhadap otoritas gereja seperti yang diajukan dalam Artikel-artikel Iman, khususnya bab XVIII-XXIII, oleh Fakultas Teologi di Paris. Dengan berdasar pada otoritas Alkitab ia menantang klaim gereja mengenai otoritas. Pada Artikel XVII, bersama dengan orang-orang Katolik Roma, ia mengakui bahwa hanya ada satu gereja yang universal. Kendati demikian, pertanyaan yang lebih krusial bagi Calvin adalah bagaimana seseorang mengenali penampakan dari gereja. Jawabannya sederhana, yaitu firman Allah. "Kita menempatkannya di dalam firman Allah, atau, dengan kata lain, karena Kristus adalah Kepalanya, kita percaya bahwa gereja harus dilihat dalam Kristus sebagaimana seseorang dikenali melalui wajahnya."**77 Apa yang ia maksud dengan firman Allah dan Kristus adalah pemberitaan Injil? Baginya, pemberitaan Injil dan visibilitas Kristus dan gereja saling berkorelasi. "Sebagaimana pemberitaan Injil yang murni tidak selalu dinyatakan, maka wajah Kristus pun tidak selalu menarik perhatian,"**78 demikian juga gereja tidak selalu dapat dilihat.**79 Orang-orang Katolik Roma mendasarkan visibilitas dan otoritas gereja Katolik yang satu pada hierarkinya, sedangkan Calvin mendasarkannya pada pemberitaan firman.**80

Pada Artikel XIX, berkenaan dengan otoritas gereja yang visibel dalam mendefinisikan dan menentukan isu-isu kontroversial, Calvin menantang pemikiran bahwa yang visibel selalu benar seperti yang diperlihatkan dalam sejarah. Sikap ini berbahaya karena mereka "yang menerima definisi gereja yang visibel tanpa penilaian, dan tanpa terkecuali, bisa membuat seseorang terpaksa menyangkal Kristus."**81 Sekali lagi ia memberi penekanan pada firman untuk menyelesaikan perbantahan.

Jika muncul pertikaian diantara gereja-gereja, kita mengakui bahwa metode yang sah untuk menciptakan keharmonisan, yang selalu dicari-cari, adalah para pendeta itu berkumpul, dan mendefinisikan dari firman Allah tentang apa yang harus diikuti.**82
Pada artikel XX, berkaitan dengan hal-hal yang tidak diungkapkan secara jelas dan khusus di dalam Alkitab namun bagaimanapun juga harus dipercaya dan diterima oleh gereja melalui tradisi, Calvin mengutip Agustinus dan Chrysostom, selain dari Alkitab, segala sesuatu yang penting untuk keselamatan telah dinyatakan kepada kita dan hal-hal selain Injil tidak boleh dipercaya.

Berkaitan dengan kekuasaan ekskomunikasi, dalam artikel XXI ia mengakui bahwa kekuasaan untuk mengekskomunikasi telah diserahkan kepada gereja, begitu pula cara penggunaannya telah ditentukan (dalam firman Allah). Ini berarti ekskomunikasi harus dilakukan melalui "mulut Allah" dan tujuannya haruslah untuk pertumbuhan kerohanian/ kebaikan.**83 Hal ini jelas merupakan sebuah kontrol atau pembatasan terhadap penyalahgunaan kekuasaan ini yang dilakukan oleh hierarki Katolik yang, Fakultas Teologi di Paris mengakui, tidak boleh mempersoalkan apakah ekskomunikasi itu adil asalkan itu dilakukan dalam nama-Nya (Kristus).**84

Artikel XXII menyatakan bahwa otoritas konsili-konsili tidak dapat salah asal Paus memimpinnya dan bentuk-bentuk legal serta protokol dipelihara sebagaimana mestinya. Terhadap hal ini Calvin menekankan otoritas atau kepemimpinan Kristus. Ia tidak percaya konsili apapun yang hanya bersidang menurut aturan-aturan manusia sebagaimana mestinya, kecuali jika konsili itu dikumpulkan dalam nama Kristus. Maksudnya, Kristuslah yang memimpin, karena jika tidak konsili- konsili itu dipimpin berdasarkan pemikiran mereka sendiri dan karena itu yang mereka lakukan tidak lain dari kesalahan. Sebuah konsili yang berkumpul di dalam nama Kristus dipimpin oleh Roh Kudus, dan di bawah bimbingan-Nya, dipimpin kepada kebenaran.**85

Hal ini mengarah pada pertanyaan mengenai keutamaan Paus dalam Artikel XXII. Artikel ini lebih merupakan suatu pertahanan atas kepausan dari serangan kaum Lutheran, yang bersikeras bahwa Batu Karang itu adalah Kristus sebagai dasar gereja, dan menyangkal suksesi kepausan, serta tidak mau mengakui keutamaan Roma. Bagi Calvin, Kristuslah Kepala Gereja yang universal, bukannya Paus. Alkitab tidak berbicara mengenai pelayanan Paus, dan rasul Paulus pun tidak berpikir bahwa gereja merupakan satu keuskupan yang universal. "Sebagai penghargaan atas kesatuan, ia (Paulus) menyebut satu Tuhan, satu iman, satu baptisan (Efesus 4:11). Mengapa ia tidak menambahkan satu Paus sebagai kepala pelayanan?"**86 Ia menggambarkan relasi antara Petrus dan Paulus dan rasul-rasul yang lain, dan di dalam relasi itu tidak ada isyarat bahwa Petrus superior dibanding yang lain.**87 Bagi Calvin, gereja adalah tubuh Kristus di mana kepada setiap anggotanya diberikan "suatu ukuran yang pasti dan fungsi tertentu serta terbatas agar kekuasaan yang utama dari pemerintah terletak hanya pada Kristus."**88 Dalam keutamaan Kristus yang universal inilah terletak kesatuan dan katolisitas gereja, yang telah terbukti kebenarannya oleh bapa-bapa gereja, antara lain Cyprian dan Gregory. Cyprian secara khusus membuat analogi-analogi tentang satu cahaya (light) dengan banyak berkas cahaya (rays), satu batang yang ditunjang oleh akarnya dan memiliki banyak cabang, (rays), satu batang yang ditunjang oleh akarnya dan memiliki banyak cabang, satu sumber air dan banyak sungai, "demikian juga gereja, dengan diliputi cahaya dari Tuhan, ia mengirim berkas-berkas cahayanya tersebar ke mana-mana; gereja juga memperbanyak cabang-cabangnya, ia mencurahkan sungai-sungai turun ke seluruh dunia; namun tetap semuanya itu berasal dari satu kepala dan satu sumber."**89 Calvin berkomentar bahwa, menurut Cyprian, keuskupan Kristus ialah satu-satunya yang universal, dan ia mengajarkan agar bagian-bagian itu dipegang oleh para pelayan-Nya.**90

KESIMPULAN

Polemik-polemik Calvin dengan Roma mengenai tuduhan skisma tidak diragukan lagi telah menghasilkan refleksi-refleksi yang sangat dalam mengenai gereja dan kesatuannya. Isu dasarnya adalah pemahaman tentang gereja, tetapi tidak terlepas dari Kristus dan firman Allah. Gereja adalah milik Kristus dan dipersatukan di dalam Dia. Hal ini paling jelas terlihat melalui pemberitaan Injil dan pelaksanaan sakramen- sakramen yang tepat. Di dalam firman itulah terletak otoritas gereja. Semua kuasa dan fungsi pelayanan gereja dibatasi dalam firman Allah. Jabatan gereja, disiplin, dan aturan suksesi diatur oleh Roh Kristus menurut firman Allah dan semuanya itu dimaksudkan guna memajukan gereja. Calvin dan para Reformator percaya bahwa gereja Roma telah mengkorupsi doktrin Injil yang murni, menyalahgunakan kekuasaannya, dan mempromosikan segala jenis takhayul. Oleh karena itu, tujuan yang jelas dari para Reformator adalah membantu memulihkan atau memperbarui gereja Roma kepada keadaannya yang lebih murni sesuai pola gereja mula-mula seperti yang dikenal oleh bapa-bapa leluhur gereja. Calvin menganggap tuduhan skisma terhadap mereka sebagai suatu pertanyaan untuk memilih Kristus atau gereja Roma. Itu adalah pertanyaan mengenai yang manakah gereja sejati itu. Karena para Reformator taat kepada Kristus dan firman-Nya, mereka tetap berada dalam satu gereja yang sejati, dan oleh sebab itu mereka tidak dapat dianggap memisahkan diri dari gereja atau memecah-belahnya.

Calvin mencintai gereja seperti ia mencintai Kristus; kedua hal ini tidak dapat dipisahkan. Ia mengabdikan seluruh buku IV dari Institutes untuk menguraikan secara detail mengenai gereja Katolik yang kudus. Ia menyebut gereja itu sebagai ibu, karena Allah telah menyerahkan kita kepadanya agar kita bertumbuh dalam iman.**91 Itu sebabnya sangat penting untuk mengenalnya dan tidak mengabaikannya. Mereka yang tidak memiliki hubungan dengannya berarti juga tidak memiliki hubungan dengan Kristus, dan oleh karena itu mereka tidak memiliki keselamatan. Mereka yang mengabaikannya adalah orang-orang yang murtad, yang membelot dari kebenaran dan dari keluarga Allah, mereka adalah penyangkal-penyangkal Allah dan Kristus. Calvin percaya bahwa gereja terdiri dari semua orang pilihan Allah, termasuk mereka yang telah meninggal dunia. Gereja adalah katolik atau universal, yang berarti gereja adalah satu.

All the elect of God are so joined together in Christ, that as they depend on one head, so they are as it were compacted into one body, being knit together like its different members; made truly one by living together under the same Spirit of God in one faith, hope, and charity, called not only to the same inheritance of eternal life, but to participation in one God and Christ.**92
Sekalipun Calvin berbicara mengenai gereja yang tidak kelihatan, ia tidak mengabaikan berbicara tentang manifestasinya yang kelihatan, tentang jemaat lokal. Ia juga memberi perhatian besar untuk memperlihatkan karakternya yang visibel, yang ditandai terutama sekali dengan kesatuan:
This article of the Creed relates in some measure to the external Church, that every one of us must maintain brotherly concord with all the children of God, give due authority to the Church and, in short, conduct ourselves as sheep of the flock. And hence the additional expression, the "communion of the saints;"...just as it had been said, that saints are united in the fellowship of Christ on this condition, that all the blessings which God bestows upon them are mutually communicated to each other.**93
Tetapi kesatuan ini, agar terpelihara, harus diikat dengan aturan yang telah ditentukan Allah**94 dan dengan kebenaran doktrin ilahi.**95 Hal ini mungkin memberi kita suatu kesan bahwa Calvin adalah seorang pendeta yang tidak fleksibel. Namun bagaimanapun juga ia mengakui bahwa ketidaksempurnaan bisa timbul di dalam pemberitaan Injil dan pelaksanaan sakramen-sakramen. Ia membuat perbedaan antara doktrin-doktrin yang fundamental dengan yang sekunder (adiaphora), dan menyatakan bahwa semuanya ini tidak memiliki nilai yang sama**96. Semua perbedaan minor ini dalam cara apapun seharusnya tidak dijadikan alasan untuk mengabaikan gereja atau untuk menciptakan kelompok lain. "what I say is, that we are not on account of every minute difference to abandon a church, provided it retain sound and unimpaired that doctrine in which the safety of piety consists."**97 Ia juga tidak merekomendasikan agar seseorang meninggalkan gereja karena adanya penyelewengan moral di antara para anggotanya. "Kita terlalu sombong bila kita dengan segera membenarkan diri untuk keluar dari persekutuan gereja, karena kehidupan semua orang tidak sesuai dengan penilaian kita, atau bahkan dengan pernyataan Kristen."**98

Dari presentasi pandangan Calvin mengenai gereja dan kesatuannya, jelaslah bahwa perbedaan-perbedaan antara para Reformator dan gereja Roma pada hakikatnya bersifat fundamental, dan bahwa natur dari Reformasi pada dasarnya bersifat pembaharuan. Tetapi Calvin juga banyak berbicara menentang denominasionalisme dan fundamentalisme yang kaku, yang begitu tidak fleksibelnya sehingga hanya karena ketidaksepakatan doktrinal yang minor dan bahkan karena konflik- konflik pribadi, mereka memecah-belah atau memisahkan diri dari gereja. Boleh dibilang Calvin adalah seorang injili yang ekumenikal.



Catatan Kaki (Bag. 1):
  1. Ibid. 52. Bdk. "Confession of Faith in the Name of the Reformed Churches of France" dalam Tracts and Treatises 2.150-152; Institutes IV.iii.6.
  2. Ibid. 54.
  3. Ibid. 174. Bdk. Institutes IV.iii.10-12.
  4. Ibid. 170. Bdk. Institutes IV.ii.3.
  5. Ibid. 172.
  6. Ibid. 171.
  7. Institutes IV.ii.1-3.
  8. Tracts and Treatises 1.172. Bdk. Institutes IV.v.2. Pada zaman sebelum Calvin, pemerintah dan masyarakat memiliki kekuasaan dalam pengangkatan dan penolakan pejabat gerejawi.
  9. Ibid. 170.
  10. Ibid. 140.
  11. Ibid. 172. Bdk. 197, 198, 203, 204, 219; Institutes IV.v.1.
  12. Ibid. 170, 171, 204, 205. Bdk. "On Ceremonies and the Calling of the Ministers" dalam Calvin Ecclesiastical Advice (tr. Mary Beaty & Benjamin W. Farley; Louisville: Westminster/John Knox, 1991) 90,91.
  13. Ibid. 174, 175.
  14. Ibid. 174. Bdk. Institutes IV.iii.16.
  15. Ibid. 173.
  16. Ibid. 38.
  17. Ibid. 37-39, 48, 49, 66. Calvin sering menyebut bapa-bapa gereja untuk menyangkal tuduhan bahwa pengajaran para Reformator itu adalah inovasi-inovasi dan merupakan sesuatu yang baru. Ia tidak hanya yakin bahwa bapa-bapa gereja ada di pihaknya, tetapi ia juga yakin bahwa mereka adalah oposisi bagi gereja Roma sekarang. Untuk studi yang lebih jelas mengenai Calvin dan bapa-bapa gereja, lihat Anthony N. S. Lane, John Calvin: Student of the Church Fathers (Grand Rapids: Baker, 1999)
  18. Ibid. 49. Suatu pembelaan yang lebih singkat terhadap tuduhan skisma itu tetapi dalam konteks berbeda diberikan dalam "On Book One (of Pighius)" dalam The Bondage and Liberation of the Will: A Defense of the Orthodox Doctrine of Human Choice Against Pighius (ed. A. N. S. Lane; tr. G. I. Davies; Grand Rapids: Baker, 1996) 7-34. Karya itu (1543) adalah respons Calvin terhadap karya Albert Pighius, Ten Books on Human Free Choice and Divine Grace (1542), yang merupakan evaluasi atas Institutesnya Calvin (edisi 1539), khususnya bab 2 dan 8: "The Knowledge of Humanity and Free Choice," dan "The Predestination and Providence of God" secara berturut-turut.
  19. Ibid.
  20. Ibid.
  21. Ibid.
  22. Bdk. Institutes IV.ii.2.
  23. Tracts and Treatises, 1.59.
  24. Ibid. 60. Bdk. Institutes IV.ii.9, 10.
  25. Ibid. Bdk. Institutes IV.ii.10.
  26. Ibid. 67.
  27. Ibid. 63. Bdk. Institutes IV.ii.5
  28. Ibid.
  29. Ibid. 68.
  30. Tracts and Treatises 1.71.
  31. Ibid. 73. Bdk. Institutes IV.ii.10; IV.viii.5.
  32. Ibid. 102. Bdk. Institutes IV.viii.7.
  33. Ibid.
  34. Ibid.Bdk. G. C. Berkouwer, "Calvin and Rome" 185. Berkouwer menganggap pertanyaan mengenai otoritas gereja sebagai isu utama terhadap apa yang diarahkan Calvin dalam polemik-polemiknya.
  35. Ibid. 104.
  36. Ibid.
  37. Ibid. 106. Bdk. Institutes IV.xii.5.
  38. Ibid.
  39. Ibid. 108. Bdk. Institutes IV.viii.10,11;IV.ix.1-4. Dalam The Necessity of Reforming the Church and Canon and Decrees of the Council of Trent, with the Antidote, Calvin tidak melihat adanya pengharapan di dalam konsili yang bersidang atas inisiasi Paus. Dalam traktatnya yang pertama ia menyerukan kepada kaisar Charles V agar mengadakan konsili persidangan propinsi, yang memiliki preseden sejarah. "Sesering bidat-bidat baru muncul, ataupun gereja diganggu oleh beberapa perselisihan, bukankah merupakan suatu kebiasaan untuk segera mengadakan persidangan sinode secara propinsi, sehingga gangguan itu kemudian dapat diakhiri? Tidak pernah menjadi suatu kebiasaan untuk lagi-lagi mengadakan konsili umum sampai suatu cara lain telah diusahakan" (Tracts and Treatises 1.223). Di dalam pendahuluan antidotnya terhadap konsili Trent, Calvin memunculkan pertanyaan-pertanyaan serius mengenai persidangan dari konsili itu. Ia mengangkat pertanyaan mengenai masalah waktu, komposisi Trent, prosedur-prosedur, dan tujuannya. Menyadari bahwa Paus telah menentukan semua hal ini sebelumnya, Calvin membuang semua harapan akan adanya Reformasi di gereja Roma. "Apakah ini? Seluruh dunia mengharapkan adanya sebuah konsili di mana butir-butir yang bertentangan bisa tetap didiskusikan. Orang-orang ini mengakui bahwa mereka hadir tidak lain hanya untuk menghakimi apapun yang tidak sesuai dengan pikiran mereka. Dapatkah seseorang tetap sedemikian bodohnya dengan berpikir untuk mendapat bantuan atas kesusahan-kesusahan kita dari suatu konsili?" (Tracts and Treatises 3.39). Hal yang sama diungkapkan dalam artikel "If Christians Can be Given a Plan for a General Council" dalam Calvin's Ecclesiastical Advice 46-48.
  40. Ibid. 110. Bdk. "Confession of Faith in the Name of the Reformed Churches of France" dalam Tracts and Treatises 2.150, 151; Institutes IV.vi.10.
  41. Bdk. Institutes IV.vi.4.
  42. Ibid. 111. Bdk. Institutes IV.vi.1, 3, 6
  43. Ibid. 112. Bdk. Institutes IV.ii.6;IV.iv.16, 17.
  44. Ibid. Bdk. "The Necessity" 218, di mana Calvin menentang keutamaan Paus berdasarkan pada pemikiran apakah gereja Roma adalah gereja sejati dan apakah Paus adalah uskup yang benar. Demi kepentingan argumentasi jika kita mengatakan "bahwa keutamaan itu adalah dicurahkan secara ilahi pada keuskupan Roma, dan telah didukung oleh persetujuan bersama dari gereja mula-mula; kendati demikian keutamaan ini hanya mungkin jika Roma memiliki gereja dan juga uskup yang sejati. Karena penghormatan terhadap kursi jabatan tersebut tidak bisa tetap bertahan setelah kursi jabatan itu tidak ada lagi."
  45. Institutes IV.i.5.
  46. Ibid.IV.i.2. Bdk."Cathechism of the Church of Geneva" (1541, 1545) dalam Tracts and Treatises 2.50, 51.
  47. Ibid.IV.i.3.
  48. Ibid.IV.i.5.
  49. Ibid.IV.i.9.
  50. Ibid.IV.i.12.
  51. Ibid.
  52. Ibid.IV.i.18.


Sumber: 

Sumber diambil dari:


Judul Buku : Veritas Vol. 3/1 (April 2002)
Judul Artikel : Calvin dan Tuduhan Skisma Dari Katolik Roma Terhadap
Para Reformator: Sebuah Studi Tentang Kesatuan Gereja
Penulis : Hidalgo B. Garcia
Penerjemah : -
Penerbit : SAAT, Malang (2002)
Halaman : 48 - 59

Calvin dan Tuduhan Skisma dari Katolik Roma Terhadap Para Reformator: Sebuah Studi Tentang Kesatuan Gereja (Bag. 1)

Editorial: 

Dear e-Reformed Netter,

Seperti yang Anda ketahui pada akhir Oktober nanti kita akan merayakan HARI REFORMASI GEREJA, jadi saya sengaja pilihkan artikel yang sesuai untuk menyambut hari besar gereja itu. Judulnya adalah:

CALVIN DAN TUDUHAN SKISMA DARI KATOLIK ROMA TERHADAP PARA
REFORMATOR: SEBUAH STUDI TENTANG KESATUAN GEREJA
oleh: HIDALGO B. GARCIA

Namun karena artikel ini sangat panjang maka akan bagi menjadi dua bagian. Bagian pertama akan saya kirimkan untuk Publikasi e-Reformed edisi September 2003 (maaf, baru dikirim awal Oktober 2003). Sedangkan bagian kedua akan saya kirimkan sebagai edisi akhir Oktober 2003. Semoga bahan ini bisa memperluas pemahaman kita tentang pandangan para Reformator, khususnya pandangan John Calvin tentang Kesatuan Gereja. Kiranya menjadi berkat.

In Christ,
Yulia

Penulis: 
Hidalgo B. Garcia
Edisi: 
043/IX/2003
Isi: 

Calvin bisa dianggap sebagai seorang pemimpin gereja yang ekumenikal. Namun, dalam kebanyakan studi tentang sikap ekumenikal Calvin, mau tidak mau kita merasakan adanya prasuposisi yang tidak semestinya, yang tidak berhubungan dengan situasi aktual abad keenam belas dan tujuh belas. Mungkin sulit diperlihatkan sampai sejauh mana sikap seseorang terhadap gerakan ekumenikal saat ini mempengaruhi kesimpulannya tentang ekumenisme para Reformator. Studi-studi ekumenikal merupakan subjek persoalan yang sensitif dan melibatkan loyalitas subjektif yang tidak selalu diakui secara terbuka.

Masalah subjektivitas ini merupakan problem metodologis dalam studi mengenai ekumenisme Calvin. Sebelum melakukan pendekatan secara objektif mengenai posisinya terhadap gereja Katolik Roma, pertama- tama kita harus menyadari prasuposisinya yang mendasar dan harus mengajukan pertanyaan-pertanyaan yang tepat. Menurut saya, dari perspektif para Reformator, terutama Calvin, pertanyaannya bukanlah apakah seharusnya ada reuni dengan gereja Roma, tetapi, dengan cara bagaimana gereja itu bisa direformasi ke dalam keadaannya yang lebih murni. Ia tidak ragu-ragu mengatakan bahwa gereja Roma telah kehilangan status privilesenya sebagai gereja sejati.

Richard Stauffer, menurut hemat saya, melakukan pendekatan yang tepat terhadap posisi Calvin berkenaan dengan gereja Roma. Ia mengatakan bahwa kita harus kembali ke latar belakang polemik-polemik abad ke-16 untuk memahami pemosisian Calvin tentang Reformasi berkaitan dengan gereja Roma. "Dalam pandangan Reformator Jenewa itu, sesungguhnya hal itu merupakan masalah pembedaan antara gereja yang sejati dan yang palsu.".**1 Ia bersikeras bahwa hanya ada satu gereja yang katolik dan kudus dan bahwa para Reformator tidak sedang menciptakan gereja yang lain. Baginya, maksud dari Reformasi adalah untuk mereformasi gereja Roma, bukannya membentuk gereja yang lain. Ia mengakui bahwa jemaat-jemaat Protestan memang telah muncul sebagai akibat dari Reformasi, namun semuanya ini merupakan bagian atau ekspresi dari gereja katolik yang satu dan kudus, dan itu tidak dapat menghalangi seseorang dari persekutuan dengan orang-orang Kristen dari komunitas persekutuan lainnya. Dengan kata lain, bagi Calvin, denominasionalisme sebagaimana yang kita kenal sekarang merupakan sebuah anomali. Seharusnya ada partisipasi penuh dan pengakuan mutual serta penerimaan terhadap orang-orang Kristen dari jemaat manapun. Calvin bahkan akan mengingkari gagasan tentang "Calvinisme." Dalam kesemuanya ini, baik pendiriannya terhadap gereja Roma maupun relasinya dengan gereja-gereja Protestan, ia memperlihatkan bahwa maksud dari Reformasi adalah untuk merestorasi gereja katolik yang satu dan kudus itu ke dalam keadaan yang lebih murni. Menurut saya, setiap studi tentang sikap ekumenisme Calvin seharusnya bertolak dari maksud Reformasi ini.

Para sarjana baru-baru ini cenderung terfokus pada pertanyaan tentang apakah Calvin melakukan separasi atau mengupayakan kesatuan dengan gereja Roma. Jean Cadier**2 dan Martin Klauber**3, misalnya, yakin bahwa posisi Calvin adalah separasi dengan gereja Roma. Menurut saya, "separasi" bukanlah kategori yang tepat karena mengandung ambiguitas tertentu di dalamnya. Sebagaimana akan kita lihat yang terlibat adalah soal-soal yang lebih dalam daripada separasi dan Calvin bersikeras bahwa para Reformator bukanlah skismatik. Cadier menyebut konferensi-konferensi dengan Katolik Roma di mana Calvin berpartisipasi dengan begitu aktif. Jika pendirian Calvin terhadap gereja Roma pada intinya adalah separasi, satu pertanyaan perlu diajukan, biar bagaimanapun mengapa ia mau berpartisipasi dalam pertemuan-pertemuan seperti itu? Di sisi lain, pengakuan iman fundamental yang dipresentasikan Klauber, dapat, dan seharusnya, dilihat dengan cara berbeda, bukan hanya "sebagai basis untuk usaha persatuan eklesiastikal di antara berbagai kubu Protestan,"**4 namun juga sebagai dasar untuk diskusi dengan orang-orang Katolik.

Ada sekelompok sarjana lain**5 yang lebih positif memandang relasi Calvin dengan gereja Roma, dan mereka percaya bahwa meski Calvin bersikap nonkompromis dalam keyakinan teologisnya, namun ia tetap mengharapkan kesatuan gereja-gereja, termasuk gereja Roma. John T. McNeil memberikan analisa historis yang baik mengenai usaha-usaha ekumenikal Calvin dan menyimpulkan bahwa ia tidak akan mengalah untuk apa yang ia anggap sebagai kebenaran hakiki, demi memperoleh kedamaian di antara gereja dan menegakkan kebersamaan di antara mereka. Namun McNeil juga setuju dengan kebanyakan sarjana Calvin bahwa ia akan menyambut dengan senang hati setiap kesempatan berunding guna membentuk relasi maksimum dengan setiap gereja, termasuk gereja Roma.**6 I. John Hesselink tiba pada kesimpulan serupa dengan McNeill, meskipun melalui pendekatan berbeda.

Menurut Robert M. Kingdon, posisi Calvin bersifat terbuka dan sikap ini bisa ia pakai sebagai pendekatan ekumenikal. Kingdon mengakui adanya kesepakatan antara Katolikisme Tridentine dan Protestantisme Ortodoks dan ini dapat dipelajari oleh semua orang yang berusaha memahami kepedulian Protestan yang dalam, agar semua doktrin Kristen terkokoh berdasar pada Alkitab.**7 Theodore W. Casteel melihat reaksi Calvin terhadap konsili Trent dalam konteks pemikiran konsiliar sang Reformator. Ia menyimpulkan, "Reformator Jenewa itu melihat harapan terbaik akan adanya rekonsiliasi dalam sebuah konsili yang benar-benar ekumenikal--sebuah proyek yang ia perjuangkan hingga akhir hidupnya.**8

Pada dasarnya saya mengikuti kelompok kedua yang berpendapat bahwa Calvin bersikap nonkompromi dalam keyakinannya, kendati demikian ia tetap mengharapkan reformasi gereja Roma yang akan mengarah pada kesatuan. Saya akan mencoba menunjukkan hal ini dengan cara yang belum pernah ditempuh sebelumnya, yakni, menganalisa jawaban Calvin terhadap tuduhan Katolik Roma bahwa para Reformator adalah skismatik. Artikel ini berisi sebagai berikut: tuduhan skismatik dari Katolik Roma terhadap para Reformator, pemahaman Katolik Roma tentang kesatuan, respons Calvin atas tuduhan skisma, dan akhirnya, pada bagian kesimpulan, pengertian Calvin tentang kesatuan gereja, yang diintisarikan dari responsnya terhadap tuduhan skisma dan dari Institutes. Yang pertama dari tiga bagian ini akan diambil terutama dari traktat-traktat dan risalah-risalah yang berhubungan langsung dengan polemik-polemik Calvin-Roma Katolik.**9 Semua isu yang dipresentasikan dalam artikel ini, tentu saja, terdapat dalam Institutes, dan dengan demikian, saya akan mengutip bagian-bagian Institutes yang paralel dan relevan pada catatan kaki.

TUDUHAN SKISMA ROMA KATOLIK

Tuduhan skisma yang paling menonjol terdapat dalam surat yang ditulis oleh uskup Roma, Sadoleto, kepada senat dan masyarakat Jenewa (1539). Melalui surat ini, ia memanfaatkan kesempatan dalam peristiwa pengusiran Calvin dari Jenewa untuk membujuk penduduk Jenewa agar kembali ke sisi gereja Roma. Ia menggambarkan para Reformator sebagai musuh-musuh kesatuan dan kedamaian Kristen, yang menabur benih-benih perselisihan, dan membuat jemaat Kristus yang setia berbalik dari jalan bapa-bapa dan para leluhur mereka.**10 Ia membandingkan mereka seperti abses, "by which some corrupted flesh being torn off, is separated from the spirit which animates the body, and no longer belongs in substance to the body Ecclesiastic."**11 Paus Paulus III dalam suratnya kepada kaisar Charles V (1544) melukiskan para Reformator sebagai pengacau yang senang dengan pertikaian: "Nay, they rather entirely deprive the Church of all discipline, and of all order, without which no human society can be governed."**12

Sadoleto, dalam surat yang sama, meragukan ajaran-ajaran para Reformator sebab ajaran itu merupakan inovasi yang baru tercipta, yang usianya baru 25 tahun. Ia mengagungkan kemuliaan usia gereja Katolik Roma yang menurutnya telah hadir selama lebih dari 1500 tahun dan mengklaim bahwa bapa-bapa leluhur gereja berada di pihaknya. Klaim atas otoritas bapa-bapa leluhur gereja merupakan salah satu pokok persengketaan dalam polemik Calvin-gereja Roma. Bagi Sadoleto, yang menjadi soal perdebatan adalah apakah ia harus mengikuti gereja Katolik Roma kuno ataukah membenarkan para pendatang baru yang skismatik itu. "Inilah tempatnya, saudara yang terkasih, inilah jalan raya di mana jalan itu terbagi ke dua arah, yang satu mengarah pada kehidupan, dan yang lain pada kematian abadi."**13 Ini merupakan seruan kepada orang Katolik untuk memisahkan diri dari para Reformator, sebuah seruan yang semata-mata dibuat berdasar pada otoritas gereja dan tradisi yang diwarisi dari para orang tua. Dasar seruan ini dibuat menjadi lebih eksplisit melalui gambaran Sadoleto tentang dua pilihan atau dua cara, dengan menghadirkan dua orang yang diuji di hadapan Allah. Orang pertama, anggap saja seorang Katolik yang setia, akan mengakui imannya berdasar otoritas gereja Katolik dengan semua hukum, nasihat dan dekritnya. Ia tampil di hadapan Allah berdasar pada ketaatannya pada gereja bapa-bapanya dan bapa-bapa leluhurnya. Dalam pengakuannya itu terefleksikan tuduhan tanpa bukti terhadap para Reformator:

And though new men had come with the Scripture much in their mouths and hands, who attempted to stir some novelties, to pull down what was ancient, to argue against the Church, to snatch away and wrest from us the obedience which we all yielded to it, I was still desirous to adhere firmly to that which had been delivered to me by my parents, and observed from antiquity, with the consent of most holy and most learned Fathers.**14

Kesetiaan kepada gereja merupakan definisi dari hierarki Katolik tentang orang Kristen yang baik, karena di dalam gerejalah keselamatan kekal seseorang yang setia paling terjamin. Paulus III dalam surat tersebut di atas menasihati kaisar Charles V untuk tidak memberi kelonggaran pada kelompok Protestan dan tetap berpegang pada otoritas gereja:

But, dear son, everything depends on this, that you do not allow yourself to be withdrawn from the unity of the Church, that you do not backslide from the custom of the most religious Princes, your forefathers, but in everything pertaining to the discipline, order, and institutions of the Church, pursue the course by which you have, for many years, given the strongest proofs of heart-felt piety.**15

Selanjutnya, Sadoleto menggambarkan orang yang lain, anggaplah mewakili para Reformator, sebagai seorang yang iri dan dengki pada kekuasaan dan privilese hierarki Roma. Kegagalan para Reformator untuk berbagi kekayaan eklesiastikal telah menggerakkan mereka untuk menyerang gereja dan, "induced a great part of the people to contemn those rights of the Church, which had long before been ratified and inviolate."**16 Ia menuduh mereka semata-mata memberontak pada otoritas konsili, bapa-bapa gereja, para Paus Roma dan tradisi- tradisi.**17 Impresi yang ingin ia bentuk ialah bahwa pemberontak Reformed itu mengklaim mereka tahu lebih banyak dari ajaran-ajaran kuno. Tetapi rasa frustasi karena gagal untuk mengubah gereja akhirnya membuat mereka memecah-belahnya. Pernyataan terakhir sang Reformator yang merasa tidak puas itu, seperti digambarkan oleh Sadoleto, mengatakan demikian:

Having thus by repute for learning and genius acquired fame and estimation among the people, though, indeed, I was not able to overturn the whole authority of the Church, I was, however, the author of great seditions and schisms in it.**18

Di samping itu, tuduh Sadoleto, para Reformator bukan saja memecah gereja tetapi juga mengoyak-ngoyaknya. Ia mengamati bahwa sejak masa Reformasi sekte-sekte berkembang biak. "Sects not agreeing with them, and yet disagreeing with each other--a manifest indication of falsehood, as all doctrine declares."**19. Pemecahan dan pengoyakan gereja yang kudus itu, menurutnya, sepatutnya adalah pekerjaan setan, bukan pekerjaan Allah.

PEMAHAMAN KATOLIK ROMA MENGENAI KESATUAN

Tuduhan skisma yang sama dilakukan dalam Adultero-German Interim (1548),**20 meskipun tidak langsung seperti dalam surat-surat Sadoleto dan Paulus III. Menurut dekrit imperial ini ada dua tanda yang membedakan gereja dari kawanan skismatik dan bidat, yaitu kesatuan dan katolisitas. Di sini kesatuan dijabarkan sebagai ikatan kasih dan damai yang mempersatukan anggota-anggota gereja bersama-sama.**21 Perhatikan bahwa dalam kesatuan tersebut tidak disebutkan adanya fondasi doktrinal dan spiritual, kecuali ketaatan yang mutlak terhadap ajaran dan disiplin gereja. Lebih jauh lagi, gereja Roma menyombongkan diri sebagai katolik melalui klaimnya atas ekspansi geografis dan temporal serta suksesi apostolik: "diffused through all times and places, and through means of the Apostles and their successors, continued even to us, being propagated by succession even to the ends of the earth, according to the promises of God."**22 Skismatik dan bidat-bidat, sebagaimana dituduhkan kepada para Reformator, "break the bond of peace, and to their own destruction deprive themselves of Catholic union, while they prefer their own party to the whole universal Church."**23. Untuk memelihara kesatuan dan integritas gereja Katolik seseorang harus tunduk pada otoritasnya dengan kerendahan dan ketaatan. Sadoleto mengungkapkan sikap demikian:

For we do not arrogate to ourselves anything beyond the opinion and authority of the Church; we do not persuade ourselves that we are wise above what we ought to be; we do not show our pride in contemning the decrees of the Church; we do not make a display among the people of towering intellect or ingenuity, or some new wisdom; but (I speak of true and honest Christians) we proceed in humility and in obedience, and the things delivered to us, and fixed by the authority of our ancestors, (men of the greatest wisdom and holiness) we receive with all faith, as truly dictated and enjoined by the Holy Spirit.**24

Dengan demikian, dapat kita katakan bahwa bagi gereja Roma makna kesatuan tidak lain dari sikap tunduk, yang menjadi dasar klaim infalibilitas dan otoritas gereja. Terhadap dasar inilah sekarang kita beralih.

Kesatuan gereja, menurut Katolik Roma, bertumpu pada infalibilitasnya. Hal ini terungkap jelas dalam Articles Agreed Upon by the Faculty of the Sacred Theology of Paris (1542).**25 Artikel XVIII menyatakan:

Every Christian is bound firmly to believe, that there is on earth one universal visible Church, incapable of erring in faith and manners, and which, in things which relate to faith and manners, all the faithful are bound to obey.**26

Dari artikel ini jelas terbukti bahwa otoritas gereja merupakan otoritas hierarki. Hierarki disamakan dengan gereja yang visibel dan infalibel. Karena visibilitas gereja didasarkan atas visibilitas hierarki, maka yang belakangan juga dianggap infalibel. Bukti kedua untuk infalibilitas hierarki (dan karena itu, otoritasnya juga) ialah suksesi yang terus-menerus dari Petrus. Karena doktrin inilah apapun yang telah ditentukan gereja Roma bersifat otoritatif. Hal ini juga didukung oleh klaim bahwa gereja dipimpin langsung oleh Roh Kudus, karena Roh Kudus tidak bisa salah, maka gereja pun demikian.**27

Infalibilitas gereja merupakan dasar otoritas gereja, dan menjadi perisai yang tak terkalahkan yang melindungi gereja dari serangan musuh-musuhnya, seperti dinyatakan oleh artikel XVII. Di atas dasar inilah bertumpu doktrin-doktrin dan kekuatan gereja. Artikel-artikel berikut**28 memperlihatkan otoritas infalibel gereja yang berakar dari artikel XVIII yang mendahuluinya:

Article XIX: That to the visible Church belongs definitions in doctrine. If any controversy or doubt arises with regard to any thing in the Scriptures, it belongs to the foresaid Church to define and determine.

Article XX: It is certain that many things are to be which are not expressly and specially delivered in the sacred Scriptures, but which are necessarily to be received from the Church by tradition.

Article XXI: With the same full conviction of its truth ought it to be received, that the power of excommunicating is immediately and of divine right granted to the Church of Christ, and that, on that account, ecclesiastical censures are to be greatly feared.

Article XXII: It is certain that a General Council, lawfully convened, representing the whole Church, cannot err in its determination of faith and practice

Article XXIII: Nor is it less certain that in the Church militant there is, by divine right, a Supreme Pontiff whom all christians are bound to obey, and who, indeed, has the power of granting indulgences.

Semua artikel iman ini dimaksudkan untuk memelihara kesatuan gereja, yang menurut pemahaman hierarki gereja Roma, berdasar pada infalibilitas dan otoritasnya. Calvin menolak semua ini dalam polemik- polemiknya dengan gereja Roma. Sebelum kita melihat penolakannya terhadap artikel-artikel iman Paris ini, kita akan menganalisa responsnya atas tuduhan skisma dari hierarki Katolik Roma.

FIRMAN ALLAH DAN GEREJA: RESPONS CALVIN TERHADAP TUDUHAN SKISMA

Isu mendasar berkaitan dengan tuduhan skisma ialah pemahaman tentang gereja. Pada prinsipnya Calvin sependapat dengan Sadoleto bahwa tidak ada yang lebih membahayakan bagi keselamatan kita daripada ibadah yang sia-sia dan menentang aturan Allah. Ia menganggap prinsip ini sebagai batu loncatan bagi pembelaannya atas tuduhan Sadoleto. Namun pertanyaannya, menurut Calvin, dari dua pihak ini manakah yang memelihara ibadah yang benar pada Allah? Bagi Sadoleto, tulis Calvin, ibadah yang benar adalah seperti yang ditentukan oleh gereja. Namun, ia mengajukan sebuah pertanyaan serius sehubungan dengan penggunaan kata "gereja" oleh Sadoleto dan para pengikut Paus. Ia menuduh Sadoleto memiliki delusi tentang istilah "gereja," atau paling tidak, secara sadar ia memberikan keterangan yang tampaknya mengesankan tetapi palsu. Dalam the Necessity of Reforming the Church, ia mendesak audiensinya untuk tidak merasa takut terhadap penggunaan kata "gereja" oleh para pengikut Paus.**29 Para nabi dan rasul telah berjuang melawan "gereja pura-pura" pada masa mereka. Mereka juga dituduh telah menghina kesatuan gereja. Namun pertanyaannya, gereja yang mana? Bagi Calvin tidaklah cukup hanya menggunakan nama gereja seperti yang dilakukan para pengikut Paus yang berusaha mengejutkan orang-orang dengan memutarbalikkan istilah gereja. "Penilaian harus dilakukan untuk memastikan yang mana gereja sejati, dan apa natur kesatuannya."**30

Menurutnya, ada dua tanda gereja yang sejati, yakni pemberitaan firman yang setia dan pelaksanaan sakramen yang tepat. Berkaitan dengan kesatuan gereja maka hal yang pertama-tama perlu diperhatikan adalah berhati-hati supaya gereja tidak terpisah dari Kristus, Kepalanya.**31 Ia menjabarkan apa yang ia maksud dengan Kristus, "Ketika saya mengatakan Kristus, maka termasuk dalam pengertiannya adalah doktrin-Nya yang Ia meteraikan dengan darah-Nya."**32 Melalui kesatuan antara gereja dan Kristus inilah Calvin menyangkal tuduhan bahwa ia dan para Reformator tidak sependapat dengan gereja.**33 Tuduhan skisma harus dianggap sebagai ketaatan kepada Kristus lebih dari ketaatan kepada gereja Roma. Dalam The Method of Giving Peace to Christendom and Reforming the Church, Calvin, mengutip Hilary, berkeyakinan bahwa satu-satunya kedamaian gereja ialah yang berasal dari Kristus. Ikatan kedamaian adalah kebenaran Injil.**34 Implikasi kesatuan itu diekspresikan demikian: "Wherefore, if we would unite in holding a unity of the Church, let it be by a common consent only to the truth of Christ."**35 Selanjutnya, dalam Remarks on the Letter of Pope Paul III (to the Emperor Charles V), ia mengusulkan sebuah pembedaan antara gereja yang sejati dan yang palsu berdasar pada kesetiaan kepada Kristus, yang merupakan dasar kesatuan.

Let Farnese (Pope) then show that Christ is on his side, and he will prove that unity of the Church is with him. But seeing it is impossible to adhere to him without denying Christ, he who turns aside from him makes no departure from the Church, but discriminates between the true Church and a church adulterous and false.**36

Calvin menekankan firman Allah dalam pemahamannya tentang gereja. Yang ia maksud dengan gereja ialah, "from incorruptible seed begets children for immortality, and, when begotten, nourishes them with spiritual food (the seed and food being the Word of God)."**37 Tempat bagi firman Allah adalah sesuatu yang hilang dalam pengertian gereja Roma. Kepada Sadoleto ia menyatakan,

In defining the term, you omit what would have helped you, is no small degree, to the right understanding of it. When you describe it as that which in all parts, as well as at the present time, in every region of the earth, being united and consenting in Christ, has been always and every where directed by the one Spirit of Christ, what comes of the Word of the Lord, that clearest of all marks, and which the Lord himself, in pointing out the Church, so often recommends to us? For seeing how dangerous it would be to boast of the Spirit without the Word, he declared that the Church is indeed governed by the Holy Spirit, but in order that that government might be not be vague and unstable, he annexed it to the Word of God.**38

Bagi Calvin, Roh dan firman tidak dapat dipisahkan. "Learn, then by your own experience, that it is no less unreasonable to boast of the Spirit without the Word, than it would be absurd to bring forward the Word itself without the Spirit."**39 Dengan prinsip ini, ia memberikan definisi yang lebih tepat tentang gereja, yaitu "sebuah kumpulan dari semua orang kudus, sebuah kumpulan yang menyebar ke seluruh dunia dan hadir di sepanjang zaman, namun terikat bersama- sama oleh satu doktrin, dan satu Roh Kristus, yang mempererat dan memelihara kesatuan iman dan harmoni persaudaraan."**40 Dari definisi ini ia kemudian membuat klaim yang pasti tentang kesatuan: "With this Church we deny that we have any disagreement. Nay, rather, as we revere her as our mother, so we desire to remain in her bosom."**41 Calvin menyatakan bahwa para Reformator menganggap kesatuan gereja sebagai sesuatu yang kudus dan mereka menyampaikan kutuk terhadap semua orang yang dengan cara apapun melanggarnya.**42 Ia memahami kesatuan gereja sebagai sesuatu yang berakar dari prinsip Kitab Suci, "satu Tuhan, satu iman, satu baptisan, satu Allah dan Bapa dari semua." Ia mencirikan iman dengan mengatakan, "Lebih jauh, kita harus ingat apa yang dikatakan dalam perikop lain, 'bahwa iman datang dari firman Allah.' Karena itu, biarlah itu menjadi poin yang pasti bahwa kesatuan yang kudus hadir di antara kita, ketika kita sepakat dalam doktrin yang murni kita dipersatukan dalam Kristus saja."**43 Syarat kedamaian adalah "Kebenaran Allah yang murni, suara dari Sang Gembala semata," sedangkan "terhadap suara orang-orang asing penjaga menentang dan menolaknya."**44 Melalui hal ini ia menekankan kesepakatan doktrinal lebih dari sekadar ketaatan eksternal kepada gereja. Ia memberikan komentar terhadap perkataan Paulus di Efesus 4:12-15:

Could he [Paul] more plainly comprise the whole unity of the Church in a holy agreement in a true doctrine, than when he calls us back to Christ and to faith, which is included in the knowledge of him, and to obedience to the truth?**45

[Bersambung -- ke Publikasi e-Reformed yang akan terbit pada akhir Oktober 2003.]



Catatan Kaki (Bag. 1):
  1. The Quest for Church Unity from John Calvin to Isaac d'Huisseau (Allison Park: Pickwick, 1986) 3. Pendirian ini dan yang saya anut mirip dengan pendirian Daniel Lucas Lukito dalam artikelnya, "Esensi dan Relevansi Teologi Reformasi," Veritas 2/2 (Oktober 2001) 149-157. Bdk. G. C. Berkouwer, "Calvin and Rome" dalam John Calvin: Contemporary Prophet, A. Symposium (ed. Jacob T. Hoogstra; Grand Rapids: Baker, 1959) 185. Untuk pengertian Calvin mengenai kebenaran, lih. Charles Partee, "Calvin's Polemic: Foundational Convictions in the Service of God's Truth" dalam Calvinus Sincerioris: Calvin as Protector of the Purer Religion (Sixteenth Century Essays and Studies vol. XXXVI; ed. Wilhelm Neuser & Brian G. Armstrong; Kirksville: Sixteenth Century Journal) 97-122.
  2. "Calvin and the Union of the Churches" dalam John Calvin (ed. G. E. Duffield; Grand Rapids: Eerdmans, 1966) 118.
  3. "Calvin on Fundamental Articles and Ecclesiastical Union," Westminster Theological Journal 54 (1992) 342-343.
  4. Ibid. 341
  5. John T. McNeill, "Calvin as an Ecumenical Churchman," Church History 32 (1963) 379 dst. Robert M. Kingdon, "Some French Reactions to the Council of Trent," Church History 33 (1964) 149 dst.; I. John Hesselink, "Calvinus Oecumenicus: Calvin's Vision of the Unity and Catholicity of the Church," Reformed World XXX; Theodore W. Casteel, "Calvin and Trent: Calvin's Reaction to the Council of Trent in the Context of His Conciliar Thought," Harvard Theological Review 63 (1970) 91 dst.
  6. "Calvin as an Ecumenical Churchman" 390-391.
  7. "Some French Reactions" 151.
  8. "Calvin and Trent" 117. Untuk pendapat kontra lih. Robert E. McNally, "The Council of Trent and the German Protestants," Theological Studies 25 (1964) 1-22.
  9. H. Beveridge memberikan introduksi yang baik untuk The Tracts and Treatises on the Reformation of the Church by John Calvin (3 vol.; tr. Henry Beveridge; Grand Rapids: Eerdmans, 1958) v-xli. Referensi selanjutnya bersumber dari buku ini, kecuali jika saya sebutkan lain. Untuk diskusi tentang risalah polemik Calvin, lih. Francis Higman, "I Came Not to Send Peace, But a Sword" dalam Calvinus Sincerioris 123-135.
  10. Tracts and Treatises 1.4,5.
  11. Ibid. 14.
  12. Ibid. 240. Surat Paus Paulus III kepada Charles V (1544) adalah teguran kepada sang kaisar yang memberi kelonggaran, meskipun hanya berupa sedikit keringanan dari tuduhan yang tidak adil kepada kaum Protestan, dan yang telah mengambil yurisdiksi dalam masalah-masalah agama yang berada di luar lingkup jabatannya. Paulus III mengeluh, "the Emperor, in claming illegal jurisdiction, had committed two sins: first, he had presumed, without consulting him, to promise a Council: and secondly, he had not hesitated to undertake an investigation alien to his office" (ibid. 238). Calvin memberi tanggapan yang tajam mengenai surat ini (1544). Ia mengekspos hipokrisi Paus dengan menunjukkan fakta bahwa semua konsili besar gereja pada masa-masa awal diputuskan bukan oleh para Paus atau uskup, tetapi oleh kaisar.
  13. Ibid. 16.
  14. Ibid. 16, 17.
  15. Ibid. 239.
  16. Ibid. 17, bdk. h.5.
  17. Ibid.
  18. Ibid. 18.
  19. Ibid. 19.
  20. Diumumkan secara resmi oleh kaisar Charles V, Interim diduga sebagai rencana kompromis antara orang-orang Katolik dan Protestan selama menunggu keputusan konsili umum. Kecuali artikel-artikel tentang Communion mengenai jenis dan pernikahan para imam, konstitusi imperial itu condong ke arah Katolik Roma. Apa yang dinamakan Common States (negeri-negeri Katolik) yang tetap setia kepada gereja Roma harus terus memelihara ordonansi-ordonansi dan anggaran dasar gereja yang universal, yakni, Katolik Roma, dan States (negeri-negeri protestan) yang telah memeluk apa yang disebut inovasi-inovasi itu diperingatkan untuk menghubungkan diri mereka kembali dengan Common States, dan sepakat dalam memelihara anggaran dasar dan upacara-upacara gereja Katolik yang universal (Tracts and Treatises 3.192).
  21. Ibid. 205.
  22. Ibid.
  23. Ibid.
  24. Tracts and Treatises 1.11.
  25. Sorbonne Theological Faculty pada tahun 1543, dengan otoritas dari Francis I, menyusun dan menerbitkan 25 artikel yang menolak ajaran Reformasi. Calvin menyangkal dan menerbitkan artikel-artikel tersebut pada tahun 1544. Di dalamnya ia memberikan teks dari setiap artikel diikuti dengan komentarnya terhadap artikel tersebut. Dengan status magisterial, artikel-artikel tersebut menentukan bahwa doktrin-doktrin itu mengikat dan harus diajar oleh para doktor dan pendeta dan dipercayai oleh orang-orang yang setia. Bahwa gereja adalah ekuivalen atau di atas Alkitab, terungkap secara eksplisit dalam dokumen ini. "The place ought to have very great authority in the Church; and although our masters are deficient in proofs from Scripture, they compensate the defect by another authority which they have, viz., that of the Church, which is equivalent to Scripture, or even (according to the Doctors) surpassed it in certainty" (ibid. 71, 72).
  26. Ibid. 101.
  27. Ibid. 102.
  28. Ibid. 103-112.
  29. Tracts and Treatises 1.212. "The Necessity of Reforming the Church" dipresentasikan di hadapan Imperial Diet di Spires tahun 1544, menyampaikan sebuah "Supplicatory Remonstrance" kepada kaisar Charles V, sehubungan dengan konsili umum gereja menurut cara gereja mula-mula. Bdk. Institutes IV.ii.2, 4.
  30. Ibid. 213.
  31. Ibid. Dalam Institutes IV.i.2-7, Calvin mengacu pada gereja bukan hanya gereja yang terlihat tetapi juga orang-orang pilihan Allah. Pemilihan sebagai dasar kesatuan gereja bukanlah tema umum dalam polemik-polemiknya dengan gereja Roma. Bdk. Arthur C. Cochrane, "The Mystery of the Continuity of the Church: A Study in Reformed Symbolics," Journal of Ecumenical Studies 2 (1965) 81-96. Cochrane mencatat bahwa menurut pengajaran Reformed misteri kontinuitas gereja terdapat dalam pilihan dan panggilannya, di dalam dan oleh Yesus Kristus.
  32. Ibid.
  33. Bdk. Institutes IV.ii.2.
  34. Tracts and Treaties 3.240. Salah satu traktat terpenting dan serupa isinya dengan "The Necessity of Reforming the Church," "The True Method of Giving Peace to Christendom and of Reforming the Church" (1547), adalah penolakan Calvin terhadap "The Adultero- German Interim."
  35. Ibid. 266.
  36. Tracts anda Treatises 1.259.
  37. Ibid. 214.
  38. Tracts and Treatises 1.35.
  39. Ibid. 37.
  40. Ibid.
  41. Ibid. Bdk. Institutes IV.i.1.
  42. Ibid. 214
  43. Ibid. 215. Bdk. Institutes IV.ii.5.
  44. "The True Method of Giving Peace" dalam Tracts and Treatises 3.242.
  45. Ibid.
Sumber: 

Sumber diambil dari:


Judul Buku : Veritas Vol. 3/1 (April 2002)
Judul Artikel : Calvin dan Tuduhan Skisma Dari Katolik Roma Terhadap
Para Reformator: Sebuah Studi Tentang Kesatuan Gereja
Penulis : Hidalgo B. Garcia
Penerjemah : -
Penerbit : SAAT, Malang (2002)
Halaman : 37 - 59

Gereja; Mau Kemana? Konservatif dan Radikal

Editorial: 

Dear e-Reformed Netters,

Selamat bertemu lagi!

Artikel ini saya kutip dari Majalah Momentum yang terbit tahun 1989 yang lalu. Menurut catatan Redaksi dari mana artikel ini diambil, dikatakan bahwa meskipun makalah ini ditulis lebih dari 10 tahun yang lalu (berarti sekarang sudah 24 tahun yang lalu) namun sangat cocok dengan situasi kekristenan di Indonesia sekarang. Saya juga setuju bahwa artikel ini masih cocok dengan situasi kekristenan di Indonesia tahun 2003. Oleh karena itu saya tertarik untuk membagikan artikel ini di milis e-Reformed. Setelah membaca artikel ini marilah kita belajar untuk mementingkan apa yang penting dan tidak mementingkan apa yang tidak penting. Esensi lebih penting dari yang bukan esensi. Nah, apakah esensi dari gereja dan apakah yang tidak esensi dari gereja? Silakan merenungkan artikel ini.

In Christ,
Yulia

Penulis: 
John RW Stott
Edisi: 
042/VIII/2003
Isi: 

Di dalam gereja kontemporer ada dua ekstrim yang tidak seharusnya ada, yaitu aliran konservatif dan aliran radikal. Sebaiknya kita memberikan definisi untuk kedua istilah ini terlebih dahulu. Yang disebut aliran konservatif ditunjukkan kepada sebagian orang yang bertekad untuk memelihara hal-hal yang sudah lewat dan meneruskannya, sehingga menolak perubahan apapun. Sedangkan aliran radikal ditunjukkan kepada sebagian manusia yang melawan tradisi-tradisi yang sudah lampau sehingga senantiasa mencari perubahan di dalam kegelisahan.

Pada tahun 1968 saya mengikuti Sidang Raya IV dari Dewan Gereja Sedunia yang diadakan di Upsala, Swedia sebagai penasehat. Setiba di sana saya mendapatkan bahwa kami semua secara serentak sudah diklasifikasikan, khususnya di dalam surat kabar pada hari itu. Jika bukan dihina dan digolongkan sebagai aliran tradisionil yang konservatif, anti perombakan, pemelihara kondisi sekarang atau aliran tradisionil yang tidak menginginkan kemajuan, maka akan langsung digolongkan dan diterima secara hangat ke dalam aliran radikal yang bersifat perubahan dan revolusionir. Bukankah ini semua merupakan klasifikasi yang tidak berarti sama sekali? Sebenarnya setiap orang Kristen yang seimbang harus berjejak di atas kedua wilayah itu sekaligus. Ijinkan saya memberi penjelasan lebih mendetail mengapa setiap orang Kristen harus sekaligus menjadi konservatif dan juga radikal, khususnya di dalam pengertian tertentu.

Setiap orang Kristen seharusnya bersifat konservatif karena seluruh gereja dipanggil oleh Tuhan untuk memelihara Wahyu-Nya, sehingga boleh memelihara mandat yang diberikan serta mempertahankan kebenaran yang satu kali sudah diberikan kepada orang suci. (Yudas 17: "Ingatlah akan apa yang dahulu telah dikatakan kepada kamu oleh rasul-rasul Tuhan kita, Yesus Kristus"). Tugas gereja bukan menemukan Injil yang baru secara terus menerus atau menemukan teologi baru atau moral baru atau kekristenan yang baru, melainkan menjadi pemelihara yang setia bagi satu-satunya Injil yang bersifat kekal. Wahyu yang diberikan Allah sendiri sudah sempurna di dalam AnakNya Yesus Kristus dan kesaksian- kesaksian rasul-rasulNya terhadap Kristus yang sudah dicatat di dalam seluruh Kitab Suci. Pewahyuan dari diri Allah tidak boleh diubah dengan bentuk dan cara apapun - tidak perduli ditambahkan atau dikurangi- kebenaran dan otoritas Kitab Suci tidak boleh diubah.

Penulis dari buku "Pertumbuhan Dan Persatuan" mengutarakan konsep ini dengan dinamis: "Tugas gereja yang utama adalah memelihara keutuhan Injil. Untuk membicarakan kebiasaan mental ini dengan maksud mengatakan, barang itu memang kuno serta penentang segala pikiran baru, sama sekali bukan maksud kita. Penggemar hal-hal kuno dan penentang pencerahan merupakan kebiasaan buruk orang Kristen, sedangkan konservatifisme merupakan kebajikan orang Kristen."

Namun disesalkan ada sebagian orang Kristen yang tidak hanya membatasi konservatifisme mereka di dalam teologi Alkitabiahnya, tetapi juga dalam hal-hal lain. Bahkan mereka memiliki kepribadian yang konservatif, sehingga mereka selalu bersifat konservatif di dalam pandangannya tentang politik dan sosial, di dalam bentuk hidupnya, pakaiannya, model rambutnya bahkan mode jenggotnya dan segala bentuk hidup yang bisa kita bayangkan. Mereka semua sangat kuno adanya. Bukan saja mereka telah menjerumuskan diri ke dalam lumpur saja, melainkan lumpur yang sudah membeku sebagai semen. Mereka membenci segala macam perubahan. Mereka mirip dengan seorang guru besar yang pernah berbicara di dalam universitas Cambridge pada masa mahasiswanya: "Perubahan macam apa saja di dalam waktu apa saja dengan alasan apa saja, semuanya harus disesalkan"! Motto yang paling digemari adalah "Sebagaimana permulaan dunia ini tetaplah sekarang dan selama-lamanya seperti itu juga sampai selama-lamanya, Amin!"

Di pihak lain aliran radikal adalah mereka yang bertanya-tanya tentang agama negara. Mereka menganggap tidak ada tradisi kebiasaan atau organisasi yang begitu suci sehingga tidak boleh diganggu atau diubah; juga menganggap tidak ada pribadi manusia yang begitu suci sehingga tidak boleh dikritik. Sebaliknya mereka bersedia untuk mengadakan penghakiman dan pengritikan terhadap segala sesuatu yang diwarisi dari masa lampau. Bukan saja demikian, penghakiman semacam ini senantiasa memimpinnya menuju perombakan yang tuntas, jika perlu menuju revolusi (sebagai seorang Kristen mungkin ia tidak memakai kekuatan yang rusuh).

Dilihat sepintas lalu aliran konservatif berlawanan dengan aliran radikal sehingga kita tidak mungkin menghindarkan diri dari keekstriman di dalam masalah ini, tetapi faktanya tidak demikian. Ini semua disebabkan oleh kurangnya pengertian kita bahwa Tuhan kita Yesus Kristus adalah sekaligus konservatif dan radikal, tetapi di dalam segi- segi yang berbeda.

Sikap Tuhan terhadap Alkitab bersifat konservatif - kitab Suci tidak bisa digugurkan. Ia berkata, "Aku datang bukan untuk meniadakan hukum Taurat atau kitab para nabi melainkan untuk menggenapinya."(Matius 5:17). Juga berkata, "Sesungguhnya selama belum lenyap langit dan bumi ini, satu iota atau satu titik pun tidak akan ditiadakan dari hukum Taurat sebelum semuanya terjadi." (Matius 5:18). Teguran utama Yesus terhadap pemimpin Yahudi sejamannya adalah mereka tidak menghormati kitab Suci Perjanjian Lama serta kekurangan ketaatan yang sejati terhadap otoritas kitab Suci yang kudus.

Tetapi Yesus juga sebenarnya harus disebut sebagai radikalis, Dia merupakan pengeritik yang tajam terhadap aliran penguasa Yahudi yang tajam, tanpa ketakutan apapun, bukan hanya karena mereka tidak setia kepada firman Allah secara sempurna, juga karena mereka terlampau setia kepada tradisi mereka sendiri. Yesus pernah secara tegas menghapuskan tradisi yang sudah diturunkan secara berabad-abad demi supaya firman Allah boleh dilihat kembali dengan jelas serta terpelihara.

Yesus sangat berani di dalam mendobrak segala kebiasaan sosial. Ia menegaskan pentingnya memperhatikan lapisan masyarakat yang rendah yang selalu dihina dan diabaikan. Ia berbicara dengan perempuan di hadapan umum, yang tidak diijinkan dalam jaman itu, Ia mengundang anak kecil datang kepadaNya, sedangkan di dalam masyarakat orang Romawi anak-anak buangan selalu terlantar dan sangat kotor sehingga umumnya manusia menganggap lumrah jika tidak mau diganggu oleh anak-anak kecil. Ia mengijinkan para pelacur mendekatiNya (umumnya orang Farisi menghindarkan diri dari perempuan macam ini karena membencinya), sedangkan Yesus sendiri sungguh-sungguh menjamah orang berpenyakit kusta yang sebenarnya dilarang untuk dijamah (orang Farisi umumnya melempar batu kepada mereka supaya memelihara diri dari mereka dalam jarak tertentu) di dalam cara-cara seperti ini dan sebagainya. Yesus menolak untuk diikat oleh kebiasaan dan adat manusia, hati nurani dan jiwaNya hanyalah diikat oleh firman Allah. Sebab itu Yesus merupakan sesuatu kombinasi yang unik dari sifat konservatif dan radikal. Ia bersifat konservatif terhadap Kitab Suci tetapi jika diperhatikan secara saksama Ia bersifat radikal terhadap hal-hal lain yang Ia temukan.

"Seorang murid tidak lebih dari pada gurunya, atau seorang hamba dari pada tuannya." (Matius 10:24) demikianlah perkataan Kristus yang pernah diucapkanNya. Maka jika Yesus dapat mengkombinasikan semangat radikal dan semangat konservatif, kita yang menyebut diri sebagai pengikutNya juga dapat meneladaniNya. Secara fakta jika kita hendak setia kepadaNya kita haruslah demikian. Pada masa ini kita sangat memerlukan lebih banyak orang-orang radikal konservatif sehingga orang Kristen Injili memperkembangkan daya penelitian yang lebih bersifat kritis untuk membedakan apakah yang boleh dan harus diubah serta apa yang tidak perlu dan tidak boleh diubah.

Yang lebih patut kita perhatikan adalah kita perlu lebih jelas di dalam membedakan Kitab Suci dan kebudayaan. Karena Kitab Suci merupakan firman Allah yang tidak berubah untuk selama-lamanya. Sedangkan kebudayaan dibentuk oleh tradisi gereja, kebiasaan dan adat masyarakat serta daya kreatif manusia. Segala otoritas yang dimiliki kebudayaan adalah diwarisi oleh masyarakat dan gereja[1]. Sebaliknya kebudayaan berubah sesuai jaman dan tempat. Lebih dari itu kita orang Kristen menyatakan kerelaan kita hidup di bawah otoritas firman Allah, maka seharusnya kita menaklukkan kebudayaan jaman kita di bawah penghakiman Alkitab yang terus menerus tanpa henti sehingga sama sekali tidak merasa bosan atau menentang perubahan kebudayaan. Kita seharusnya berpihak dan berdiri di front mereka yang mengusulkan serta merombak kebudayaan, sehingga kebudayaan boleh menyatakan dengan sungguh-sungguh kehormatan sifat manusia serta menyenangkan Allah Pencipta kita.

Pada suatu kunjungan saya ke sekolah teologi Trinitas di Deerfield, Illinois di Amerika Serikat, mahasiswa sekolah ini memberi kesan yang dalam bagi saya. Meskipun mereka berasal dari latar belakang yang berbeda, namun mereka menemukan bersama bahwa di dalam pengabdian mereka terhadap Kekristenan yang Alkitabiah. Mereka bersatu untuk melepaskan diri dari agama Kristen Amerika kontemporer serta bertekad bulat untuk menerapkan Kitab Suci di dalam segala masalah besar hari ini. Maka mereka bersama-sama membentuk satu persekutuan doa dan studi yang bersifat gabungan. Organisasi tersebut bertumbuh menjadi kesatuan Kekristenan rakyat, sedangkan jurnal mereka adalah "Manusia Amerika yang berlalu". Cover edisi perdananya melukiskan Kristus yang sedang memakai mahkota duri, tangan yang terbelenggu sedang menudungi bendera yang bergaris dan berbintang. Ada yang menganggap gambaran ini bersifat menghujat tetapi saya tidak berpikir demikian. Lukisan ini merupakan pernyataan jenius yang memperhatikan kemuliaan Kristus. Jimmy Wallace di dalam tajuk rencananya mengumumkan: "Serangan terhadap agama yang ada berupa berita yang menjelekkan kekristenan yang bersifat melepaskan agama dari kebudayaan. Lembek dan tanpa daya hidup sehingga dengan sendirinya ditolak oleh generasi kita ini secara gampang... . Kita menemukan bahwa gereja Amerika sangat diikat oleh nilai kebudayaan kita dan bentuk kehidupan kita..."

Ikatan terhadap gereja yang bersifat Amerika ini mengakibatkan hal yang sangat disesalkan yaitu mempersamakan gaya hidup Amerika dengan gaya hidup Kekristenan. Di dalam tempat-tempat lain di dunia penyataan kebudayaan kekristenan juga demikian. Di dalam dunia ketiga dan bagi banyak gereja ini merupakan masalah utama. Kekristenan dicangkokkan oleh misionari dan Eropa dan Amerika Utara, sedangkan gereja sekarang sedang mencari identitas mereka dengan kebudayaan yang ada. Mereka menemukan masalah dalam menghadapi dua kebudayaan.

Pertama mengenai kebudayaan setempat atau suku mereka, khususnya di Afrika, pemimpin Kristen setempat menyadari meskipun banyak kebiasaan tradisional Afrika - yang berfungsi merefleksikan sumber kebudayaan mereka yang kafir tetapi bukan saja tidak merugikan iman, kasih, keadilan, dan hal-hal baik lainnya di dalam kemoralan dan kerohanian, secara faktual mereka harus menaati kedaulatan Kristus yang memungkinkan hidup secara kelimpahan.

Kedua adalah mengenai kebudayaan kafir (tidak perduli Eropa atau Amerika) yaitu masalah setelah Injil dikabarkan di dunia ketiga. Masalah ini sebagian disebabkan seolah-olah Injil, yang mengakibatkan kebudayaan kekristenan, merupakan penghinaan terhadap kehormatan kebudayaan bangsa mereka, sehingga seruan: "Usirlah agama orang putih!" timbul di sana sini. Padahal seruan ini salah adanya. Karena agama Kristen bukan milik orang putih atau organisasi yang lain. Yesus Kristus merupakan Tuhan dari setiap bangsa, negara dan segala usia, tanpa perbedaan. Tetapi untuk orang Asia, Afrika maupun Amerika Latin yang menemukan serta memperkembangkan cara untuk mengutarakan penerapan kebenaran Kristus dan kehidupan kekristenan melalui kebudayaan yang ada pada mereka merupakan hal yang tepat. R. Peddila di dalam kongres Penginjilan Sedunia di Lausanne pada tahun 1974 telah memperdebatkan lagi dengan semangat yang menggebu-gebu tentang masalah kebudayaan Kekristenan.

Itu sebabnya para pemimpin Kristen dari gereja-gereja Gerakan Baru bukan hanya memerlukan hikmat untuk membedakan kebudayaan bangsa dan kebudayaan impor, juga harus dapat membedakan kebudayaan yang bernilai dan kebudayaan yang tidak bernilai. Mereka juga harus memiliki keberanian untuk memelihara yang satu dan menolak yang lain.

Kekristenan di Eropa juga harus demikian, sebab sumbernya boleh ditelusuri sampai 2000 tahun yang lalu. Kekristenan di daerah ini juga terpendam di bawah kebudayaan Spanyol pada abad-abad tersebut. Pada saat kita membicarakan gereja Lutheran, Anglican, Presbyterian atau Brethern kita perlu membedakan secara saksama. Karena setiap aliran mengandung bentuk, tradisi atau kebudayaan Kekeristenan. Warna bentuk kebudayaan tradisionil bukan hanya ditemukan di dalam pengutaraan dotrinal, tetapi juga tidak luput dari liturgi dan musik, arsitektur dan gaya serta pandangan peranan ulama dan kaum awam, juga metode penggembalaan dan pemberitaan Injil. Pada faktanya setiap hal dalam gereja kita adalah demikian dan setiap hal harus ditaklukkan ke bawah penelitian Alkitab yang bersifat ketat dan kritis.

Maka pada saat kita menolak perubahan tidak peduli di dalam gereja atau masyarakat, kita perlu instrospeksi sendiri apakah ini sesuai dengan kitab Suci yang kita pertahankan (bila kebiasaan kita adalah mempertahankan secara ketat), atau hanya terbatas di dalam tradisi yang dihargai oleh sebagian tua-tua gereja atau tradisi kebudayaan saja. Ini tidak berarti semua tradisi harus dibuang hanya karena semua adalah tradisi. Aliran anti adat tanpa sifat kritis sama bodohnya dengan aliran konservatif tanpa kekritisan, bahkan kadang-kadang lebih berbahaya. Yang mau saya tegaskan adalah tidak ada tradisi yang berhak meloloskan diri dari penelitian ulang dan tidak ada hak istimewa pada tradisi tertentu.

Di lain pihak pada waktu kita tergesa-gesa di dalam perubahan, kita harus mengerti dengan jelas Alkitab tidak melawan hal-hal yang ingin kita ubah. Sebaliknya ada tradisi-tradisi yang tidak Alkitabiah sebenarnya boleh diteruskan serta memerlukan perubahan untuk membenarkannya. Jikalau ada yang tidak Alkitabiah dan nyata-nyata melawan prinsip Alkitab, kita harus berani mendongkel serta menghentikannya sekuat tenaga. Jika tradisi yang tidak Alkitabiah seolah-olah tidak relevan dengan Alkitab, minimalnya kita harus mempertimbangkannya dengan kritis.

Pada umumnya kita mengetahui dan mengakui sifat otoritas dari pikiran, kebudayaan yang kita bayangkan, namun kebenaran dan kekekalan hanya dimiliki Kitab Suci. Kebudayaan telah menjadi sebagian perasaan keamanan kita. Bila hal-hal ini diancam, kita juga merasakan ancaman itu sehingga kita selalu menghindari bahaya dan berusaha mempertahankannya.

Kadang-kadang kita kurang menaruh perhatian terhadap otoritas Alkitab. Kita memperlakukan Firman Allah sama dengan cara kita memperlakukan tradisi dan konsep manusia, sehingga gampang melalaikannya. Dengan ini membuktikan kita masih orang Kristen duniawi, yang secara tuntas sudah menerima sikap anti otoritas yang dimiliki oleh orang dunia, sehingga tidak bersedia hidup di bawah otoritas Allah serta otoritas pemerintahanNya terhadap umatNya.

Orang Kristen jaman ini dipanggil untuk menjalankan tali keseimbangan ini. Kita tidak menolak segala perubahan, juga tidak mengubahnya secara total secepat mungkin, lebih dari itu terhadap hal-hal yang diperbolehkan oleh Alkitab dan yang dapat diubah juga kita serang dengan serampangan. Setiap orang Kristen yang percaya Allah di dalam sejarah dan pekerjaan Roh Kudus sepanjang sejarah gereja tidak mungkin merasa senang untuk mengubah sesuatu hanya disebabkan ingin mengubahnya. Kadang-kadang yang lama ada juga baiknya, karena telah bertahan dalam ujian waktu. Kita perlu sikap peka terhadap orang Kristen tua yang beraliran konservatisme. Mereka tidak mudah membiasakan diri terhadap perubahan tetapi lebih gampang merugikan dan menghambat perubahan. Dari pandangan Alkitab kita mengetahui yang kita butuhkan adalah daya membedakan yang bijaksana. Maka kita harus bisa menikmati tradisi yang lampau serta berdaya responsif terhadap aliran- aliran baru. Hanya dengan demikian baru kita dapat mempergunakan penghakiman dari Kitab Suci yang radikal di dalam segala macam kebudayaan, serta di bawah pimpinan Tuhan baru mungkin mencapai perubahan yang lebih baik.

Kiranya Tuhan memberikan kebijaksanaan yang sama kepada kita saat ini. Kiranya Dia juga memberikan keberanian kepada kita sehingga mempergunakan kebijaksanaan ini bukan hanya untuk urusan gerejani, tetapi dapat juga diterapkan ke dalam wilayah sosial, etika, dan politik.

Mungkin saya boleh mempergunakan terminologi biologis untuk mengutarakan maksud saya. Yaitu kita memerlukan kutu sapi Kristen (orang yang membenci kita) untuk mengganggu dan menusuk kita sehingga kita melangsungkan perubahan. Pada saat yang sama kita juga memerlukan anjing penjaga Kristen (pengawal) pada saat kita menyatakan tanda- tanda mengkompromikan kebenaran Alkitab. Di dalam keadaan bagaimanapun, pengawal itu dapat menggonggong dengan suara keras yang bertahan lama. Tidak perduli yang menusuk orang atau menggonggong orang, kedua macam pribadi ini sulit kita ajak kerja sama. Mereka pun tidak gampang menemukan minat persamaan antara mereka sendiri. Namun yang menusuk harus tidak menggigit yang menggonggong dan yang menggonggong harus tidak menelan yang menusuk. Mereka harus belajar hidup rukun dalam gereja Kristus serta mengkonsentrasikan perhatian terhadap umat Tuhan yang begitu banyak, guna melaksanakan tugas mereka masing-masing. Kita sebenarnya sangat membutuhkan kedua macam hamba Tuhan ini.

Setelah peringatan tentang bahaya dari perubahan yang terlalu banyak dan perubahan yang terlalu sedikit, sekarang marilah kita mengambil kesimpulan, yaitu bahaya yang lebih besar (paling sedikit di dalam aliran Injili) adalah salah menanggapi unsur kebudayaan sebagai unsur Alkitabiah sampai akhirnya menjadi terlampau konservatif dan terlampau terikat oleh tradisi. Sehingga tidak bisa melihat hal-hal gerejawi dan sosial yang tidak berkenan kepada Tuhan. Konsekuensinya kita menjadi terlalu kolot di dalam ikatan kondisi sekarang serta menolak pengalaman yang paling tidak enak yaitu perubahan.

BENTUK DAN KEBEBASAN

Dari membicarakan ekstrim konservatif dan radikal mari kita beralih kepada ekstrim berorganisasi dan tidak berorganisasi. Organisasi sekuler sedang mengalami perpecahbelahan di sana sini. Secara global manusia melawan bentuk dan struktur yang kaku serta mengejar kebebasan dan fleksibilitas. Gereja Kristen telah diakui di seluruh dunia sebagai satu struktur organisasi yang menonjol dan mantap. Sehingga kita tidak mungkin luput dari tantangan jaman yang satu ini. Kita harus ingat tantangan ini berasal dari sudut internal maupun eksternal. Banyak orang Kristen yang muda sedang menuntut sesuatu agama Kristen tanpa organisasi untuk menanggalkan beban gereja Kristen yang harus ditanggungnya. Mari kita menganalisa gerakan ini di dalam 3 pernyataannya yang utama.

Pertama orang sedang mencari gereja yang tidak memiliki bentuk yang tetap. Kelompok-kelompok Kekristenan seluruh dunia sedang menerobos tradisi dan mengerjakan segala hal menurut caranya sendiri.

Kedua, orang Kristen sedang mencari macam penyembahan yang tidak terikat peraturan. Pendeta tidak lagi memimpin setiap upacara melainkan mendorong jemaat untuk berpartisipasi, organ sudah diganti oleh gitar, liturgi yang kuno sudah diganti oleh bahasa sehari-hari. Makin banyaknya kebebasan berarti makin sedikitnya upacara. Makin banyaknya inisiatif berarti makin sedikit hal-hal yang statis.

Ketiga, melawan denominasionalisme dan suatu hal yang ditekankan yaitu kebebasan. Rupanya generasi yang baru ini sangat puas dengan membuang segala sesuatu yang lampau. Bahkan semua ikatan gereja-gereja lain pada saat ini. Mereka suka menyebut diri sebagai Kristen dan tidak mau panji denominasi apapun.

Kita tidak perlu ragu bahwa ketiga tuntutan ini mempunyai kekuatan yang meyakinkan. Mereka memiliki perasaan yang berkobar-kobar dan mereka berbicara secara dinamis. Kita tidak bisa mengabaikannya atau menganggapnya sebagai gila, maupun menganggap mereka adalah kaum pemuda yang tidak bertanggung jawab. Karena ini merupakan sesuatu gejala global yang menuntut kebebasan, fleksibilitas, kemandirian dan non-organisasi. Orang Kristen generasi tua dan yang agak bersifat tradisionil perlu mengerti hal ini. Kita harus bisa bersimpati dan sebisa mungkin berjalan bersama dengan mereka. Kita harus mengakui bersama bahwa Roh Kudus mungkin dan kadang-kadang sudah dibelenggu di dalam struktur organisasi kita[2]. Dan terbatas di dalam bentuk yang ada pada kita.

Namun saya masih ingin sampaikan bahwa kebebasan dan kacau balau tidak mempunyai arti yang sama, apakah sebabnya kita memerlukan semacam bentuk dan organisasi tertentu.

Pertama, gereja yang berorganisasi. Orang Kristen berasal dari latar belakang gereja yang berbeda-beda dan mengasihi serta menghargai tradisi yang berbeda-beda. Meskipun tidak semuanya, tapi paling tidak mayoritas menyetujui bahwa pendiri gereja yang asli, yaitu Kristus, menghendaki gerejaNya mempunyai organisasi yang tampak. Gereja juga mempunyai aspek yang tidak bisa dilihat, ini merupakan satu fakta. Di situ hanya ada "orang-orang" yang diketahui sebagai milikNya sendiri. Tetapi tidak boleh kita memakai alasan bahwa gereja sejati adalah yang tidak kelihatan untuk menyangkal bahwa Yesus Kristus mengharapkan umatNya boleh dilihat dan diketahui oleh dunia, Dia sendirilah yang telah menetapkan sakramen pembaptisan sebagai upacara masuk ke dalam gereja, dan baptisan merupakan sesuatu yang terbuka dan bisa dilihat. Dia juga mendirikan sakramen perjamuan suci bagi persekutuan orang Kristen, yang melaluinya gereja boleh dipersatukan dan dengan ini pun mengeksklusifkan orang-orang yang bukan anggota. Sehingga boleh melaksanakan disiplin di dalam anggota-anggota gerejanya. Bukan saja demikian, Dia juga mengutus gembala-gembala untuk memelihara kaum dombaNya. Maka tidak perduli di mana pun, jika ada baptisan, perjamuan suci, pendeta atau istilah-istilah tradisionil, penginjil, sakramen, maka di sana ada organisasi. Mungkin organisasi ini bersifat lebih sederhana dari denominasi-denominasi historis. Mungkin lebih fleksibel tetapi tetap ada sesuatu organisasi yang jelas dan tegas. Lebih dari ini seseorang boleh menyatakan perlawanan yang keras terhadap nilai pemberitaan firman dan nilai sakramen namun pemberitaan firman dan sakramen tetap diakui bersama oleh gereja-gereja yang berbeda.

Kedua, penyembahan yang resmi. Secara pribadi saya sama sekali menyetujui penyembahan kaum muda yang timbul dari dalam hati yang melimpah dengan sukacita dan ramai-ramai. Meskipun kadang-kadang saya merasakan kepahitan di dalamnya seperti pengalaman saya satu kali di suatu tempat. Telinga saya hanya berjarak beberapa inchi dari loud speaker yang keras sekali.

Kadang-kadang penyembahan kita terlalu formil, terlalu tinggi dan monoton. Bahkan di dalam kebaktian modern boleh dikatakan sama sekali sudah kehilangan ibadat sehingga sangat merisaukan. Sebagian orang Kristen seolah-olah menganggap bukti utama penyertaan Roh Kudus adalah keramaian dan inspirasi inisiatif. Bukankah ini mengisyaratkan bahwa kita sudah melupakan bahwa merpati, angin, dan api sama-sama adalah tanda Roh Kudus? Pada saat Roh Kudus hadir dengan kuasa-Nya di tengah- tengah umat, kadang-kadang Ia mendatangkan ketenangan, kesejahteraan, keagungan dan mengakibatkan perasaan takut kepada Tuhan. Suara kecilNya boleh didengar. Di dalam ketakutan terhadap Roh, manusia berlutut di hadapan kuasa Allah yang hidup dan sejati. Menyembah dengan "hanya Tuhan ada di dalam BaitNya yang suci, manusia seluruh bumi sepatutnya berdiam diri dan hormat di hadapanNya". Saya tidak bermaksud untuk mengatakan ibadat dan bentuk pasti bersatu. Karena kebaktian yang tidak resmipun kadang-kadang bersifat ibadat. Sedang penyembahan resmi yang memakai upacara yang agung kadang-kadang tidak memiliki ibadat yang bersifat rohani. Namun di mana terjadi persatuan antara keagungan lahiriah dan ibadat batiniah, di sana penyembahan yang dipersembahkan paling memuliakan Allah.

Ketiga, prinsip yang berelasi. Mayoritas kita menegaskan gereja lokal paling sedikit harus memiliki sifat kemerdekaan tertentu. Sedangkan menurut Kitab Suci gereja lokal adalah penyataan yang nampak di dalam satu tempat yang bersifat gereja global. Sedangkan gereja lokal bukan saja adalah gereja global, juga disebut sebagai Bait Allah dan tubuh Kristus. (Gereja lokal: 1Korintus 3:16; 12:27, gereja global: Efesus 2:19-22; 4:4, 16). Namun gereja lokal mungkin terlalu menekankan prinsip otonomi gereja lokal ini sehingga melalaikan orang Kristen dari jaman lampau dan jaman sekarang. Pada saat terjadinya kondisi semacam ini gereja lokal akan menjadi terlampau memuaskan diri sehingga menekan gereja Tuhan baik secara waktu dan ruang.

Maka kita perlu mengingatkan diri tentang kebenaran-kebenaran Alkitab yang senantiasa mudah dilupakan oleh kaum muda. Apakah anda hanya tertarik dengan keadaan sekarang, apakah generasi ini khusus menggemari kalimat Henry Ford yang menganggap sejarah itu hampa adanya? Kadang-kadang seolah-olah ini benar. Namun Allah macam apakah yang anda percaya? Allah di dalam Kitab Suci adalah Allah sejati, Allah Abraham, Ishak, Yakub, Allah Musa dan nabi-nabi, Allah Yesus Kristus dan rasul-rasulNya, Allah gereja abad permulaan, Dialah yang melampaui segala abad untuk merealisasikan kehendakNya. Jika Allah memang adalah Tuhan sejarah, bagaimana kita boleh melalaikan sejarah atau tidak tertarik kepadanya? Ia adalah juga Allah dari seluruh gereja. Persatuan gereja berasal dari persatuan sifat ilahi karena hanya ada satu Bapa, satu keluarga, karena hanya ada satu Tuhan, satu iman, satu pengharapan, satu baptisan dan hanya karena ada satu Roh Kudus maka hanya ada satu tubuh (gereja).

Jikalau kita tidak boleh melalaikan masa lampau, maka kita juga tidak boleh melalaikan masa sekarang. Seluruh masalah yang berelasi dengan orang Kristen yang lain adalah sangat kompleks dan mudah menimbulkan perselisihan. Alkitab tidak memberikan jaminan untuk menemukan atau memelihara persatuan tanpa kebenaran, tetapi Alkitabpun juga tidak memberikan jaminan bahwa kita boleh menemukan kebenaran tanpa persatuan. Ini benar adanya namun persekutuan di dalam kepercayaan pengakuan bersama itu pun benar adanya.

Sekali lagi saya menyerukan di dalam masalah ini janganlah kita terus menempuh cara ekstrim. Di dalam gereja Kristus berorganisasi atau tanpa organisasi, formil atau tidak formil, suasana khidmat atau inspirasi inisiatif, independen atau bersekutu, kita harus memberikan tempat kepada keduanya.

Gereja masa permulaan telah memberikan teladan yang sempurna kepada kita di dalam masalah ini. Bukankah kita membaca setelah hari Pentakosta orang Kristen yang baru dipenuhi Roh Kudus berbakti ke dalam rumah sembahyang dan memecahkan roti di dalam rumah mereka sendiri. Maka mereka tidak langsung menolak gereja orang Yahudi, tetapi memperbaikinya berdasarkan Injil yang diterimanya, bahkan mereka memakai kebaktian di rumah mereka untuk mengisi penyembahan dan permintaan yang formal di dalam Bait Allah. Apa yang saya lihat di sini setiap gereja lokal seolah-olah harus menampung baik ibadah yang formal di dalam gereja dan persekutuan tidak formal di dalam rumah ke dalam pengaturan programnya. Sedangkan generasi tua dan anggota gereja tradisionil yang senang kepada penyembahan formal memerlukan pengalaman kebebasan dalam penyembahan keluarga. Sedangkan anggota gereja yang muda, yang gemar kepada keramaian dan inspirasi inisiatif memerlukan pengalaman penyembahan gerejani yang bersifat khidmat dan formil. Karena kombinasi semacam ini adalah sangat sehat.

Catatan dari Pdt. Dr. Stephen Tong:

  1. Hal ini merupakan refleksi masyarakat Barat di mana gereja mempunyai peranan penting dalam masyarakat, bukan refleksi masyarakat Timur di mana gereja merupakan minoritas masyarakat.
  2. Sebenarnya Roh Kudus yang membebaskan tidak mungkin dibelenggu oleh kita. Kalimat ini harus dimengerti sebagai berikut, yaitu: Jika kita mementingkan organisasi dan struktur kita, kita akan mengikat diri di dalam keterbatasan kita sendiri sehingga tidak mengalami berkat dan kuasa Roh Kudus yang melampaui keterbatasan kita, maka kitalah yang menjadi terbelenggu, bukan Roh Kudus.

Catatan tentang penulis:

Pendeta John Stott adalah pendeta emiritus dari gereja Segala Orang Suci di London. Seorang teolog Injili yang terkenal di seluruh dunia. Otak utama dari Lausanne Covenant. Beliau menulis banyak buku termasuk Keseimbangan Agama Kristen, Seni Berkhotbah Abad XX, Agama Kristen, Ajaran Khotbah di Bukit dll.

Sumber: 

Sumber:

Judul Buku: Momentum 7
Judul Artikel: Gereja; Mau Kemana? Konservatif dan Radikal
Penulis : John RW Stott
Penerjemah : -
Penerbit: Lembaga Reformed Injili Indonesia, 1989
Halaman: 6-11

Spiritualitas Injili: Suatu Tinjauan Ulang

Editorial: 
Penulis: 
Stanley J. Grenz
Edisi: 
037/III/2003
Isi: 

Lane Dennis mengatakan bahwa ciri khas Kaum Injili adalah penekanannya pada keselamatan yang dialami secara pribadi-komitmen kepada Yesus Kristus sebagai Juruselamat saya (pribadi). Kehebatan gerakan ini adalah mempersatukan pengalaman religius dengan bahasa teologis yang sama. Pengertian tentang natur Injili ini menunjukkan perubahan mendasar dari kesadaran Kaum Injili. Perubahan identitas yang berdasar pada pengakuan iman menuju kepada identitas yang berdasarkan spiritualitas.

William W. Wells menyatakan tiga karekteristik unik Gerakan Injil ini: orang Kristen Injili mempercayai otoritas Alkitab; menekankan pengampunan Allah dan hubungan pribadi yang indah dengan Allah melalui Kristus; dan menekankan perjuangan untuk hidup suci melalui disiplin rohani. Meskipun Gerakan Neo-Injili tetap berpegang kepada otoritas Alkitab, namun penekanan sekarang lebih kepada aspek spiritualitas, yang sebelumnya sering terselubungi oleh dimensi intelektual atau doktrinal.

Penekanan kepada dimensi spiritualitas sebenarnya sejalan dengan sejarah Gerakan Injil itu sendiri. Sebelum abad kedua puluh, Puritanisme dan Pietisme memberikan pengaruh yang signifikan terhadap gerakan injil ini. Puritanisme membangkitkan suatu bentuk kesalehan hidup sebagai respon terhadap doktrin pilihan dari Calvinisme. Calvinisme meletakkan keselamatan manusia dalam konteks pilihan Allah yang bersifat misteri. Meskipun teologi ini memelihara kedaulatan Allah, manusia menjadi tidak mempunyai kepastian bahwa dia memiliki status sebagai orang pilihan atau tidak. Karena itu, tidak ada pengakuan iman yang sungguh, tidak ada kesetiaan mengikuti sakramen, maupun serangkaian hidup yang suci, yang dapat menjamin bahwa seseorang merupakan umat pilihan Allah. Di tengah-tengah ketidakpastian inilah kaum Puritan menemukan satu tanda umat pilihan: pengalaman rohani secara pribadi terhadap anugerah keselamatan Allah. Dengan demikian, kepastian status pilihan menjadi bergantung kepada kemampuan seseorang menceritakan pengalaman pertobatannya. Lebih lagi, penekanan kembali kepada hal-hal yang bersifat spiritual ini merupakan pengaruh dari gerakan Pietis, khususnya keinginan mereka untuk mereformasi hidup dan bukan mereformasi doktrin.

Karena itu, seperti John Wesley katakan, titik temu antara Pietisme dan Gerakan Injili adalah pada: penggilan hidup baru, buah-buah rohani, dan suatu hidup yang berbeda dengan kemalasan gereja dan anggota-anggotanya yang sangat duniawi. Kaum Injili bersifat pietist dalam hal fokusnya pada dinamika kehadiran Kristus dalam hidup orang percaya. Hal ini menandai pergeseran dari gerakan sebelumnya yang menekankan pada aktifitas (doing), kepada hal-hal yang bersifat kontemplasi (being). Pembahasan lebih lanjut akan difokuskan kepada keunikan spiritualitas Kaum Injili.

Menuju Pengertian Spiritualitas Injili

Salah satu definisi 'spiritualitas' yang cukup baik diberikan oleh Robert Webber adalah: "Secara luas, spiritualitas dapat didefinisikan sebagai hidup yang sesuai dengan hidup Kristus. Hidup yang menyadari bahwa karya salib Kristus membuat kita menjadi warga negara sorga, dan sorgalah yang menjadi tujuan hidup kita di dunia. Perjalanan hidup ini dikerjakan dalam konteks kita sebagai anggota tubuh Kristus. Melalui ibadah kepada Allah, spiritualitas kita terus- menerus dibentuk. Dan misi kita di dunia adalah untuk memberitakan visi Kristen melalui perkataan dan tindakan kita." Karena itu dapat dikatakan bahwa spiritualitas adalah suatu perjuangan mengejar kesucian di bawah pimpinan Roh Kudus bersama-sama dengan seluruh orang percaya. Mengejar hidup yang dihidupi untuk memuliakan Allah, dalam persatuan dengan Kristus dan hasil dari ketaatan kepada Roh Kudus.

Sesuai dengan ajaran Paulus dalam 1Korintus 2:14-3:3, Kaum Injili sangat menekankan akan 'pola pikir rohani' yang dikontraskan dengan manusia duniawi. Dengan menggabungkan salib dan Pentakosta - yaitu bergantung pada kemenangan Kristus dan kehadiran Roh Kudus - Kaum Injili menjalani hidup yang disebut oleh Watchman Nee sebagai 'the normal Christian life', yaitu hidup yang semakin serupa dengan Kristus yang ditandai dengan ketaatan total kepada kehendak Allah. Dengan demikian Kaum Injili selalu menekankan hidup yang berkemenangan melalui peperangan melawan kuasa setan, manusia lama, dan dunia. Dan dengan kuasa Roh Kudus mengalahkan musuh-musuh rohani orang percaya.

Kita dapat melihat bahwa inti dari spiritualitas Injili adalah suatu usaha untuk menyeimbangkan dua prinsip yang kelihatan bertentangan, yaitu: bagian dalam dari manusia (inward) dengan bagian luar (outward), dan dimensi kesucian personal dengan komunal.

Keseimbangan Antara Inward dan Outward

Spiritualitas Kaum Injili mencoba menyeimbangkan kesucian hati dan aktifitas pelayanan. Hati orang percaya harus dipenuhi dengan kasih kepada Yesus Kristus. Komitmen ini lebih dari sekedar pengetahuan tentang karya Kristus dalam sejarah atau menerima doktrin tentang Kristus. Tetapi adanya suatu hubungan pribadi yang dekat dengan Yesus yang bangkit dan hidup. Karena itu, bagian dalam dari manusia (inward) merupakan fondasi dari spiritualitas. Akibatnya, Kaum Injili lebih tertarik kepada respon pribadi seseorang kepada Yesus daripada kemampuan mereka untuk memformulasikan atau menghafalkan pernyataan doktrinal tentang Yesus.

Kaum Injili juga lebih mementingkan motivasi hati dalam mengikuti ibadah dan perjamuan kudus daripada sekedar memenuhi kewajiban itu secara eksternal. Ibadah eksternal tanpa kesadaran internal hanya merupakan ritual yang mati. Karena itu, Kaum Injili tidak datang ke gereja demi memenuhi tuntutan ibadah secara eksternal, tetapi karena dorongah hati untuk memuliakan Allah dan bersekutu bersama umat percaya. Kita termotivasi dari dalam hati dan bukan dipaksa dari luar untuk menghadiri ibadah bersama. Sikap seperti ini dinyatakan dengan suatu pujian dari hati 'I'm so glad I'm a part of the family of God.'

Dalam kaitan dengan ini, spiritualitas Injili juga sangat menekankan pengalaman religius dalam hidup orang percaya. Penekanan ini berasal dari Gerakan Pietisme yang sangat menekankan teologi lahir baru yang bersumber pada Injil Yohanes: 'Iman harus menjadi nyata dalam pengalaman! Iman harus mentransformasi hidup!' Pengalaman lahir baru merupakan bagian sentral dan titik awal perjalanan hidup orang percaya bersama Tuhan, yang tidak bisa digantikan oleh apapun. Tetapi kelahiran baru ini harus diikuti dengan perjalanan spiritual pribadi yang ditandai dengan pertumbuhan dalam kesucian. Di hadapan Kaum Injili, James Houston menggambarkan spiritualitas sebagai,

'The outworking...of the grace of God in the soul of man, beginning with conversion to conclusion in death or Christ's second advent. It is marked by growth and maturity in a Christlike life.' (Karya anugerah Allah dalam jiwa manusia, yang dimulai dengan kelahiran baru dan diakhiri dengan kematian atau kedatangan Kristus ke dua kali. Hal ini ditandai dengan pertumbuhan dan kedewasaan dalam hidup seperti Kristus.)

Penekanan pada inward, sangat sentral dalam spiritualitas Injili dan akan membentuk ketegangan kreatif ketika digabungkan dengan bagian luar (outward) dari hidup Kristen. Spiritualitas memang bersumber pertama-tama dari dalam hati, tetapi hidup Kristen juga berarti pemuridan. Dan pemuridan bersifat outward. Faktanya, spiritualitas sejati harus dinyatakan dalam perbuatan yang kelihatan. Perubahan hati harus dinyatakan dalam hidup yang nyata. Tetapi perbuatan nyata ini bukan untuk mendapatkan anugerah Allah, melainkan sebagai wujud dari kerinduan kita untuk mengikuti jejak kaki Yesus. Natur dari kehidupan spiritualitas adalah meneladani Yesus (the imitation of Christ). Pemuridan berarti mengikuti model yang telah dinyatakan dalam hidup Yesus, karena orang Kristen sejati akan merefleksikan karakter Yesus dalam hidupnya.

Pengertian ini mempengaruhi Kaum Injili dalam memandang sakramen. Kita menolak pandangan ekstrem dari sakramentalisme maupun panghapusan sakramen. Di satu sisi, kita menolak memandang sakramen sebagai suatu alat magis untuk mendapatkan anugerah Allah (sakramentalisme), tetapi di lain sisi kita juga tidak membuang sakramen. Kita memandang sakramen (baptisan dan perjamuan kudus) sebagai suatu ibadah yang sangat penting untuk mengekspresikan secara fisik apa yang sudah dikerjakan Allah di dalam hati. Sakramen merupakan tanda yang kasat mata dari anugerah Allah yang tidak kasat mata.

Penekanan Kaum Injili tentang pemuridan sebagai meneladani Kristus juga mempengaruhi pengertian kita tentang kehidupan gereja. Kita menekankan mengikuti Kristus sebagai suatu ibadah setiap hari dan bukan hanya ibadah hari minggu. James Houston menekankan bahwa kekristenan bukanlah suatu acara khusus, tetapi merupakan gaya hidup (life style). Sikap seperti ini mengakibatkan motivasi utama untuk menghadiri ibadah bersama adalah untuk diajar, didorong, dan dikuatkan untuk memiliki gaya hidup yang berkenan kepada Allah. Poin yang terus- menerus ditekankan pada ibadah minggu adalah: 'Jika engkau adalah orang percaya, hidup suci harus menjadi nyata bukan hanya pada hari Minggu tetapi dari Minggu sampai Sabtu. Apa yang Anda dengar pada hari Minggu harus diterjemahkan dalam perbuatan sepanjang minggu. Jika tidak demikian, imanmu hanya merupakan iman hari Minggu.'

Dapat disimpulkan bahwa spiritualitas Injili mencoba menyeimbangkan dimensi dalam dan dimensi luar dari hidup Kristen. Kita mencoba menyeimbangkan hati yang hangat oleh kasih kepada Allah dengan hidup yang mengikuti teladan Yesus. Kita memprioritaskan dimensi dalam sebagai sumber dari dimensi luar, tetapi kita menganggap dimensi dalam mati jika tidak menghasilkan ekspresi luar yang seharusnya dalam hidup pemuridan. Lagu yang sering kita nyanyikan mengekspresikan dengan baik kedua dimensi ini, 'Trust and obey, for there's no other way, to be happy in Jesus, but to trust and obey.'

Keseimbangan Personal dan Komunal

Kekudusan hidup di antara Kaum Injili biasanya hanya dimengerti secara individu. 'Membaca Alkitab' berarti membaca secara pribadi; 'berdoa' berarti berdoa secara pribadi; 'keselamatan' berarti diselamatkan secara pribadi; 'hidup dalam Kristus' berarti memiliki hubungan pribadi dengan Kristus. Seperti dikatakan Daniel Stevick: 'Perjalanan Kristen dijalani sendiri, keselamatan dari Allah ditujukan kepada pribadi. Pertolongan-Nya selalu dalam konteks pribadi. Perjalanan diisi dengan penyucian secara pribadi dan tujuannya adalah istana yang dibangun bagi pribadi.'

Dalam pengertian tertentu, karakteristik yang digambarkan ini memang cukup tepat. Namun, pendekatan Kaum Injili terhadap perjalanan iman orang percaya secara pribadi tidak pernah dilihat sebagai bagian yang terisolasi, melainkan selalu dilihat dalam konteks persekutuan orang percaya. Di sinilah terdapat keseimbangan antara kehidupan personal dan komunal dari hidup spiritualitas.

Jelas kita mengerti spiritualitas Kristen sebagai sesuatu yang bersifat individu atau personal. Kelahiran baru dan pertumbuhan iman harus pertama-tama dialami secara individu. Masing-masing orang percaya harus bertanggung jawab terhadap spiritualitasnya secara pribadi. Setiap individu bertanggung jawab untuk hidup suci dan meneladani Kristus.

Penekanan pada tanggung jawab pribadi ini sejalan dengan prinsip tradisional Protestan tentang keimamatan orang percaya dan terutama penekanannya mengenai 'kompetensi individu'. Prinsip kompetensi individu menyatakan bahwa setiap pribadi bertanggung jawab secara pribadi kepada Allah dan dengan pertolongan Roh Kudus mampu berespon secara pribadi kepada Allah. Prinsip ini memberikan implikasi penting bagi spiritualitas. Hal ini berarti bahwa tidak ada seorang pun yang dapat diperdamaikan dengan Allah oleh orang lain ataupun oleh gereja. Tidak seorang pun dapat mengklaim dirinya sebagai orang Kristen berdasarkan iman orangtua, karena melakukan ritual tertentu, lahir dalam negara tertentu. Kaum Injili biasanya mengatakan: 'Allah hanya mempunyai anak-anak, tetapi tidak mempunyai cucu.' Karena itu para penginjil selalu menekankan: 'Keputusan untuk menerima Kristus atau menolak-Nya ada padamu; tidak ada seorang pun yang dapat menjawabnya bagimu.' Penekanan ini sangat jelas pada lagu yang begitu terkenal: 'Lemah, lembut, Tuhan Yesus memanggil,. Memanggil saya dan kau ...pulang, pulang, kau yang berlelah pulang.'

Karena spiritualitas adalah persoalan pribadi, Kaum Injili sangat menekankan disipllin rohani sebagai sarana untuk pertumbuhan rohani. Disiplin dalam membaca Alkitab setiap hari dengan apa yang disebut sebagai 'saat teduh'; bersaksi secara pribadi; dan juga hal yang tidak kalah pentingnya adalah menghadiri kebaktian secara rutin.

Penekanan pada aspek personal ini juga mempengaruhi strategi dalam misi Kaum Injili. Dalam abad-abad permulaan kekristenan mulai tersebar di luar Kerajaan Romawi ke daerah-daerah yang masih belum tersentuh peradaban. Para misionaris biasanya memfokuskan pemberitaan Injil kepada para pemimpin suku atau raja, sehingga ketika pemimpin ini dibaptis, seluruh rakyatnya juga ikut dibaptis. Kaum Injili sangat kuatir bahwa strategi ini hanya menghasilkan kekristenan yang bersifat pura-pura, dangkal dan bahkan bisa bersifat sinkretistik. Meskipun tidak menolak peran penting yang dimiliki para pemimpin, Kaum Injili sangat menekankan Injil yang diberitakan kepada setiap individu. Karena kita mengerti bahwa spiritualitas adalah tugas dari setiap pribadi.

Meskipun sangat menekankan dimensi personal bagi spiritualitas orang Kristen, Kaum Injili juga menyeimbangkannya dengan dimensi komunal atau korporat. Tidak seorang pun dapat hidup dan bertumbuh dalam mengikuti Yesus dalam isolasi. Tetapi setiap kita harus bersekutu supaya dapat bertumbuh secara dewasa. Analogi yang sering digunakan adalah bara api. Bara api akan saling membakar ketika dikumpulkan bersama. Tetapi ketika satu bara api dikeluarkan dari kelompoknya, dia akan segera padam dan menjadi dingin. Begitu juga hidup Kristen: orang Kristen yang menarik diri dari komunitas orang percaya akan sulit untuk bertumbuh dan cepat menjadi dingin. Tetapi ketika bersekutu bersama, orang Kristen akan saling mendukung dan dengan demikian akan terus hidup dan berapi-api bagi Tuhan.

Jadi dalam pandangan Kaum Injili, meskipun setiap orang bertanggung jawab atas pertumbuhan imannya sendiri, setiap orang juga bergantung kepada kelompok orang percaya. Setiap orang percaya membutuhkan dorongan dan nasihat dari saudara-saudara seiman lainnya.

Pandangan ini memberikan pengertian yang penting mengenai gereja. Jemaat gereja lokal harus merupakan suatu komunitas yang saling menasihatkan, mendukung dan mengajar satu dengan yang lainnya. Lebih jauh, setiap anggota dari persekutuan orang percaya harus terlibat dalam tugas-tugas yang dikerjakan bersama. Kita terpanggil bukan saja untuk beribadah bersama, tetapi juga untuk masuk menjadi bagian dari kehidupan keseharian anggota yang lain. Dengan demikian, setiap orang berpartisipasi dan berperan dalam kehidupan komunitas Kristen. Inilah esensi dari jemaat lokal dalam pandangan Injili.

Prinsip bahwa setiap orang percaya perlu bersekutu dengan yang lainnya menghasilkan suatu penekanan klasik Injili terhadap kehadiran dalam kebaktian. Kita harus hadir dalam kegiatan-kegiatan gerejawi secara bersama. Tetapi tujuan penekanan ini berbeda dengan gereja-gereja liturgikal. Kita tidak melihat kehadiran dalam kegiatan gereja sebagai sarana mendapat anugerah, tetapi dalam perkumpulan orang percaya inilah pengajaran dan kekuatan dinyatakan.

Pengertian di atas memberikan dampak terhadap apa yang dianggap paling penting dalam ibadah Minggu. Roma Katolik menekankan perjamuan kudus dalam ibadah, sedangkan gereja-gereja Injili memfokuskan ibadah minggu pada pemberitaan Firman Tuhan. Di atas segalanya, kita datang untuk mendengar kotbah, yang kita pandang sebagai sarana utama manusia bertemu dengan Allah. Kita mendengarkan kotbah dengan kerinduan untuk mendengar 'Allah sedang berkata-kata kepada saya secara pribadi.' Sebagai akibatnya, kita mendapat peringatan, kekuatan, dan bahkan arahan hidup melalui kehadiran kita dalam ibadah bersama. Kita berkumpul untuk mendengar Firman (Word), supaya kita bisa tersebar sebagai umat Allah di tengah-tengah dunia (world).

Tetapi akhir-akhir ini Kaum Injili memiliki pengertian yang lebih dalam lagi mengenai kepentingan ibadah bersama sebagai elemen yang sentral di samping kotbah. Salah satu pemimpin dalam hal ini adalah Robert Webber yang mengatakan:

'Worship is the rehearsal of our relationship to God. It is at that point through the preaching of the Word and through the administration of the sacrament, that God makes himself uniquely present in the body of Christ. Because worship is not entertainment, there must be a restoration of the incarnational understanding of worship, that is, in worship the divine meets the human. God speaks to us in his Word. He comes to us in the sacrament. We respond in faith and go out to act on it!' (Ibadah adalah gladi bersih dari hubungan kita dengan Allah. Pada titik itulah melalui pemberitaan Firman dan pelaksanaan sakramen, Allah hadir secara khusus dalam tubuh Kristus. Karena ibadah bukan merupakan hiburan, harus ada pengertian baru dari ibadah yang bersifat inkarnasi, yaitu Allah bertemu dengan manusia dalam ibadah. Allah berbicara kepada kita melalui Firman. Dia datang kepada kita dalam sakramen. Kita berespon dengan iman dan keluar untuk hidup sesuai dengan itu!)
Seperti dikatakan Webber, penekanan pada ibadah bersama bukan berarti meniadakan sentralitas kotbah dalam ibadah minggu. Tetapi hal ini lebih merupakan suatu usaha untuk kembali mendapat keseimbangan yang lebih baik lagi demi menjalankan tugas gereja dengan lebih efektif.

Di tengah-tengah penekanan Injili untuk 'menemukan pelayanan dalam gereja', kita mendiskusikan interaksi yang penting antara dimensi personal dan korporal dari iman Kristen. Kita mendorong setiap individu untuk 'menemukan pelayanan' dalam konteks gereja lokal. Dan hal ini jelas berkaitan dengan dimensi korporal dadri spiritualitas Kristen. Sewaktu kita terlibat pelayanan dalam komunitas Kristen, kita berpartisipasi dalam tugas mendorong pertumbuhan orang lain dan juga secara tidak langsung kepada diri kita sendiri. Keterlibatan dalam hidup orang lain merupakan kesempatan untuk mendorong, menasihati, dan memenuhi kebutuhan mereka. Tetapi tujuannya lebih dari itu: supaya mereka yang menerima pelayanan itu bisa bertumbuh dewasaa secara rohani dan kemudian akhirnya ikut melayani anggota lain dalam tubuh Kristus.

Pandangan ini berimplikasi pada eklesiologi. Bagi kita, gereja adalah persekutuan orang percaya, persekutuan murid Kristus, komunitas orang- orang yang dengan serius bertanggung jawab secara pribadi bagi spiritualitasnya dan pada saat yang sama terjun dalam pelayana untuk mendorong pertumbuhan rohani secara korporal. Kaum Injili yang bertanggung jawab bernyanyi bersama: 'Kami akan berjalan bersama, kami akan berjalan bergandengan tangan.' Karena jalan spiritualitas adalah jalan yang mengikat setiap individu bersama- sama.

[Catatan: Tulisan di atas disadur dari buku Stanley J. Grenz; Revisioning Evangelical Theology; A Fresh Agenda for the 21th Century, Downers Grove, Illinois; IVP, 1993. Hal. 37-59]

Sumber: 

Sumber diambil dari:

Judul Buku : Momentum 44/Triwulan III/2000
Judul Artikel : Spiritualitas Injili: Suatu Tinjauan Ulang
Penulis : Stanley J. Grenz
Penerjemah : -
Penerbit : Lembaga Reformed Injili Indonesia
Halaman : 29 - 36

Presuposisi Teologi

Editorial: 
Penulis: 
Sutjipto Subeno
Edisi: 
035/I/2003
Isi: 
LATAR BELAKANG

Di dalam kita menggumulkan suatu permasalahan yang dilontarkan seringkali saya mendapat kesan terjadi perdebatan yang serius dikarenakan bukan di dalam permasalahan itu sendiri, tetapi di dalam pola berpikir yang melandasi permasalahan. Inilah yang seringkali dikenal sebagai Problema Presuposisi (atau kemudian dikenal sebagai Pra-asumsi atau yang oleh Thomas Kuhn disebut sebagai Paradigma). Pada intinya, setiap argumentasi yang kita keluarkan, di belakangnya pasti ada satu set pola pikir yang melandasinya, entah ia sadari atau tidak sadari, terstruktur atau acak-acakan, integratif atau kontradiktif.

PROBLEMATIKA PRESUPOSISI

Jika kita menyadari hal ini, tentulah kita segera sadar bahwa akar permasalahan perdebatan kita disebabkan karena tidak adanya dasar pijak yang sama, dan lebih parah lagi, setiap kita (entah sadar atau tidak) tentunya memegang mati dasar pijak tersebut sebagai kebenaran mutlak yang tidak boleh salah. Hal ini dapat dimengerti, karena kalau ia sendiri belum yakin dasar pijaknya sebagai sesuatu yang mutlak benar, tentu ia tidak akan berargumentasi dengan orang lain. Paling jauh ia hanya berani bertanya atau memberi pertimbangan, tetapi tidak berargumentasi, apalagi berdebat. Ketika seseorang sudah berani berdebat, tentulah ia beranggapan dasar pijaknya mutlak benar.

Namun, masalahnya, apakah pasti benar dasar pijak yang dimutlakkan tersebut. Di sini terdapat problematika yang serius. Dengan orang bukan Kristen, pergunjingan ini bisa menimbulkan masalah besar, karena seringkali manusia tidak suka kalau dasar pijaknya mulai dipertanyakan (tentu dengan alasan tertentu, yang akan saya kemukakan kemudian), sehingga lebih menimbulkan amarah ketimbang penyelesaian. Tetapi, bagaimana di kalangan Kekristenan sendiri?

Di tengah Kekristenan, presuposisi ini bukannya tidak menjadi masalah. Tetapi seringkali di tengah era Post-Modernisme yang serba relatif dan dekonstruktif, maka manusia cenderung menolak adanya presuposisi ini, sekalipun penolakan presuposisi sebenarnya merupakan satu presuposisi juga (bahkan filsafat dasar bagi orang itu sekaligus merupakan presuposisi bagi pikiran dan hidupnya juga). Jelas perlu disadari dan diterima bahwa sekalipun sama-sama Kristen, presuposisi setiap orang Kristen tidaklah sama.

PRESUPOSISI DAN TEOLOGI

Banyak orang Kristen yang beranggapan bahwa presuposisi Kristen identik dengan teologi yang dipegangnya. Padahal tidaklah demikian. Presuposisi justru masih berada di belakang teologi (doktrin) yang dipegangnya. Mengapa seseorang lebih mau menerima teologi A ketimbang teologi B, disebabkan karena ia sudah mempunyai 'ancang-ancang' yang baginya lebih 'cocok' dengan teologi A, ketimbang teologi B.

Persoalannya, jarang kita uji, mengapa kita lebih cocok dengan teologi A ketimbang B, atau lebih tajam lagi, betulkah sikap kita lebih mencocoki teologi A ketimbang teologi B? Apa dasar pembenaran, sehingga kita bisa mengatakan bahwa memang menerima dan menyetujui teologi A lebih bertanggung jawab dan lebih tepat benar ketimbang memegang teologi B. Dari pengertian ini, jelaslah bahwa presuposisi tidak sama dengan teologi.

Lebih jauh lagi, hal ini jika dipertajam lagi, menyebabkan seseorang sekalipun memegang teologi tertentu, kemudian dalam bidang-bidang atau aspek-aspek tertentu bisa tidak menyetujuinya, lalu berpindah ke tempat lain. Terkadang hal ini membuat konsep dan pengertian teologinya tidak terintegrasi lagi, alias saling berkontradiksi, karena ia sudah punya presuposisi yang mau dipasangnya.

Yang lebih membahayakan lagi, jika orang itu kemudian menggunakan dalih, yang kelihatannya sangat rohani, tetapi justru menggambarkan egoisme dan ke-'sok tahu'-annya dengan mengatakan bahwa ia tidak memegang teologi A atau B atau C, tetapi memegang teologi 'Yang Alkitabiah.' Di balik perkataan ini, ada presuposisi pribadi yang mengatakan bahwa semua teologi yang sekarang ada adalah teologi yang tidak atau kurang Alkitabiah, dan hanya teologi yang ia bangunlah yang alkitabiah. Kembali lagi, presuposisi ini didasarkan pada apa? Jika setiap orang melakukan ini, maka akan terjadi Anto-isme, Budi-isme, atau John-isme dan berbagai 'teologi baru' yang semuanya mengaku Alkitabiah, padahal justru mungkin paling tidak Alkitabiah. Semangat relativisme seperti ini merupakan bahaya besar di dalam dunia Kekristenan saat ini, karena setiap orang akhirnya menjadi bingung dan berdebat tanpa ujung pangkal, karena seluruh presuposisi yang dipegang setiap orang berbeda tanpa bisa ditelusur dan dibereskan lagi kebenarannya.

MEMBANGUN PRESUPOSISI YANG BENAR

Sentral pembahasan saya ada disini. Dan harus disadari terlebih dahulu, bahwa pembangunan presuposisi inipun merupakan satu presuposisi, sehingga jika ingin mengomentarinya, tentu haruslah juga kita mulai dari sini. Ada beberapa presuposisi dasar yang perlu dipakai untuk membangun suatu presuposisi utama dalam kita berteologi.

  1. Kebenaran sejati bersumber dari Allah sendiri Manusia bukanlah sumber kebenaran, karena manusia sendiri masih mencari kebenaran, dan manusia sendiri sadar bahwa tingkat pengetahuan kebenarannya tidaklah absolut (banyak kesalahan yang masih kita lakukan di dalam hidup kita). Karena itu, jika kita mau mencari kebenaran, haruslah kembali kepada Allah sendiri, yang menjadi sumber kebenaran dan dirinya kebenaran. Secara inkarnasi, maka di sepanjang sejarah, hanya satu 'manusia' saja yang berhak mengklaim diri sebagai Kebenaran, yaitu Yesus Kristus sendiri, Anak Allah yang Tunggal (Yoh 14:6).

  2. Allah mewahyukan kebenaran di dalam Alkitab. Allah menyatakan kebenaran-Nya kepada manusia melalui firman-Nya, yaitu Alkitab. Dengan kata lain, Alkitab merupakan satu-satunya sarana untuk manusia bisa kembali mengerti kebenaran yang paling hakiki. Inilah yang ditekankan dengan proklamasi: Sola Scriptura (Hanya Alkitab Saja). Dengan demikian, maka seluruh kebenaran harus berpresuposisi pada Alkitab. Dengan lebih kritis lagi, bahwa setiap kebenaran yang bisa kita dapat dan mengerti, jika memang benar, maka ia tidak bisa bertentangan dengan Alkitab.

  3. Alkitab merupakan satu kebenaran yang utuh dari Allah yang satu. Karena Allah yang sama mewahyukan seluruh bagian Alkitab, maka seluruh bagian Alkitab tidak bertentangan satu sama lain. Jika terjadi pertentangan, maka bukan pengertian Alkitab itu sendiri, tetapi kesulitan pikiran manusialah yang memang mempertentangkannya. Maka kembali lagi, presuposisi manusia di dalam menghadapi Alkitab adalah presuposisi keutuhan, bukan dekonstruktif.

DASAR PRESUPOSISI KRISTEN

Dalam acuan ini, Cornelius Van Til (18 -1987), seorang teolog dan filsuf abad ini telah dengan sedemikian serius menggumulkan permasalahan ini. Van Til melihat bahwa di dalam berpikir, yang mendasari seluruh konsep teologis dan praktis kehidupan seseorang, hanya ada dua presuposisi dasar yang sangat menentukan, yaitu: (1) Kedaulatan Allah atau (2) Otonomi manusia.

  1. Kedaulatan Allah dengan presuposisi ini, manusia akan mengacu dan melihat segala sesuatu dari aspek kedaulatan Allah. Allah dipandang sebagai Sumber segala sesuatu, Dasar dan Tujuan segala sesuatu (Rom 11:36). Inilah dasar yang benar bagi seluruh pemikiran manusia, apalagi orang Kristen. Kita percaya bahwa Allah adalah Pencipta, Penopang dan Penyempurna seluruh alam semesta, termasuk manusia. Hanya percaya pada kedaulatan Allah, manusia bisa mendapatkan arah dan patokan dasar berpikirnya secara benar.

  2. Otonomi Manusia Gejala ini muncul ketika manusia jatuh ke dalam dosa. Manusia berusaha mencari kebenarannya sendiri di mulai dengan meragukan kebenaran dan kedaulatan Allah di taman Eden (Kej 3:6 dst.). Ciri ini merupakan ciri manusia berdosa di sepanjang sejarah zaman. Ketika manusia mulai berpikir menurut pikirannya sendiri, ada beberapa hal yang pasti akan terjadi:

    1. Non-proportional thinking.
      Manusia jadi tidak lagi bisa berpikir proporsional secara tepat. Karena titik acuannya tidak tepat, maka Martin Luther memisalkan keadaan seperti ini bagaikan roda yang as-nya tidak tepat di tengah. Manusia tidak lagi memiliki acuan yang tepat untuk berpikir, sehingga pemikirannya pasti tidak mungkin berdiri tegak dalam kebenaran yang asasi.

    2. Inconsistency
      Manusia tercemar oleh prinsip dosa, yaitu inkonsistensi. Manusia tidak dapat lagi konsisten secara murni di dalam cara berpikirnya. Akibatnya, manusia hidup terus dalam konflik (entah disadari atau tidak disadari). Dengan kembali kepada presuposisi yang benar, barulah kita bisa membangun seluruh teologi kita secara benar. Dan berdasarkan teologi yang benar, pembentukan konsep berpikir kita juga akan menjadi beres. Tanpa presuposisi yang tepat, maka teologi kita akan diwarnai oleh presuposisi yang tidak tepat, dan akibatnya hidup kitapun akan bercorak dosa. Inilah bahaya kesalahan presuposisi yang seringkali tidak disadari oleh orang Kristen.

PENUTUP

Sebagai penutup, saya ingin memberikan satu contoh kongkrit yang merupakan problematika presuposisi di tengah Kekristenan. Ketika seseorang berpresuposisi dasar 'otonomi manusia', yang berarti manusia menegakkan sendiri apa yang ia anggap benar, maka ia terlebih dahulu sudah menetapkan bahwa dirinya menjadi pusat segala sesuatu (bukan Allah dan kedaulatan-Nya). Dari sini, pasti ia akan memulai segala pemikiran yang akan memuaskan kepentingan dirinya. Itu kemudian tercermin di dalam ia berteologi. Teologi menjadi 'conveyor' (pembawa) pemuasan kepentingannya itu. Maka, karena ia menganggap bahwa hidup ini perlu mendapatkan kepuasan dan kenikmatan, perlu ditunjang dengan pemuasan keinginan duniawi, maka ia akan memperlakukan dan membentuk teologi yang sesuai dengan itu. Dari sini tercermin beberapa implikasi, seperti:

  1. Saya senang lho ke gereja anu, karena di situ saya bisa melepas stress saya, bisa bersukacita, atau

  2. Wah, kalau jadi Kristen ya musti kaya, karena Tuhan ingin kita kaya, nggak mau kita miskin. (Apa iya..?) atau

  3. Kalau saya disembuhkan dari penyakit saya, atau saya bisa sukses bisnis, atau saya bisa dapat pacar yang cantik, ya saya mau jadi Kristen, bahkan,

  4. Kristen memberikan keselamatan buat saya, tetapi cukup sampai sekian, kalau saya disuruh berkorban, ya saya keberatan, karena itu tidak cocok dengan semangat cinta kasih Kristen (Apa iya...?), atau

  5. Jadi Kristen jangan fanatik-fanatik, nanti rugi, apalagi kita nggak diberi makan oleh gereja, dll.

Saya rasa daftar di atas ini bisa diperpanjang tanpa batas, sejauh teologi dibangun berdasarkan Otonomi Manusia. Alkitab meminta kita untuk bertobat, menanggalkan segala pikiran dosa, menjauhkan diri dari nafsu daging dan keinginan daging yang mematikan dan kembali taat kepada kedaulatan Allah (Gal 5: 16 dst.).

Persoalannya, apakah di dunia modern ini, semua orang Kristen, termasuk para hamba Tuhan, menyadari kesalahan-kesalahan seperti ini? Apakah implikasi yang dihasilkan oleh gereja-gereja Kristen saat ini? Sudahkah betul-betul menghasilkan orang-orang Kristen yang bergumul terus semakin mendalam di dalam firman Tuhan, semakin mengerti kebenaran dan mengaplikasikan kebenaran? Ataukah kita hanya menghasilkan orang-orang yang ahli berdebat dan menggunakan argumentasi duniawi untuk menjadi acuan dasar atau presuposisi kita?

Biarlah perenungan ini bisa menjadi berkat bagi kita semua.
Soli Deo Gloria

Sumber: 

Sumber diambil dari:

Judul Buku : -
Judul Artikel : -
Penulis : -
Penerjemah : -
Penerbit : website GRII Sby-Andhika, http:/www.griis.org
Halaman : -

Kematian Rohani dan Kehidupan Rohani

Editorial: 

Dear Reformed Netters,

Howard F. Sugden dalam bukunya yang ditulis bersama-sama dengan Warren W. Wiersbe dan Paul R. Van Gorder, yang berjudul "Prioritas Seorang Pendeta" menuliskan:

"Ketika tiba saatnya untuk membicarakan tugas-tugas pelayanan pendeta, saya menyarankan agar digunakan kata 'gembala' sebagai salah satu istilah untuk menggambarkan pekerjaan yang harus dikerjakan oleh seorang hamba Tuhan dalam hubungan dengan jemaatnya (sebab istilah ini sesuai dengan Kitab Suci). Tetapi ada seseorang yang mengajukan sanggahan, 'Dewasa ini tidak seorang pun yang mengetahui apa gembala itu dan apa yang diperbuatnya dalam dunia kita sekarang ini.' Nampaknya ada pemikiran untuk memperbaharui anggaran dasar sekarang ini dan jangan kembali kepada jaman gembala dahulu.
Saya hampir tak sabar untuk kembali ke ruang belajar, membuka konkordansi dan kamus 'Theological Dictionary of the New Testament' karangan Kittel untuk menyegarkan kembali hati saya dengan kata 'gembala' yang dipakai untuk menyebut Tuhan kita dan hamba-Nya sepanjang jaman. Saya menemukan bahwa kata 'gembala' atau 'domba' itu digunakan lebih dari empat puluh kali dalam kitab Perjanjian Baru, dan Kittel menjelaskan pokok itu sebanyak tujuh belas halaman.
Tapi betul juga teman saya yang membuat sanggahan itu. Siapakah orang yang hidup pada jaman ini; jaman dimana ada kota-kota besar dan ramai, jalan-jalan lintas cepat, dengan berbagai transportasi modern serta banyak tempat rekreasi, yang masih tahu memikirkan tentang 'domba' dan 'gembala'?"

Jika Anda adalah seorang "gembala" (pemimpin jemaat), ketika membaca kutipan di atas mungkin Anda merasa tersanjung mendapat sebutan sebagai seorang "gembala" karena Yesus sendiri menyebut diri sebagai "Gembala" dan tugas yang diemban oleh "gembala" sangatlah dihargai oleh Tuhan. Menjadi "gembala" merupakan panggilan yang mulia, melakukan tugas sebagai seorang "gembala" merupakan suatu "hak istimewa" yang tidak Tuhan berikan kepada setiap orang, tapi hanya kepada orang-orang tertentu saja.

Tapi jika Anda seorang "domba" (jemaat), maka kutipan di atas membuat anda merasa tersanjung, karena bagi "domba" memiliki "gembala" artinya seperti mendapatkan "hak istimewa" untuk dilayani. Maka tidak heran jika Anda menginginkan seorang "gembala" yang selalu siap sedia melayani dan melindungi 'domba-domba-Nya, kalau perlu 24 jam. Anda akan jengkel kalau mendengar "gembala" yang mengeluh atau mengharapkan pujian dari apa yang dilakukannya, karena sebagai seorang "gembala" sudah sepantasnya kalau ia menderita dan berkorban bagi domba-domba- Nya.

Melihat kontras dua pemikiran di atas, saya tertarik untuk mengutipkan beberapa surat-surat terbuka yang ditulis oleh 'domba-domba" yang ditujukan kepada "gembala-gembala"nya. Sangat menarik mengetahui apa yang dipikirkan oleh "domba-domba" tentang "gembala-gembala"nya. Namun sambil anda membaca kutipan surat-surat tsb., saya mengajak anda untuk merenungkan dan menjawab beberapa pertanyaan di bawah ini:

  1. Jika anda seorang "gembala" jemaat:
    1. Pernahkah anda memahami tugas berat yang harus diemban seorang "gembala"?
    2. Apa reaksi anda bila anda menerima surat-surat seperti itu?
    3. Inginkah anda menerima surat-surat seperti itu dari "domba- domba" anda?
    4. Dalam hal bagaimana anda pantas menerima pujian-pujian dari "domba-domba" anda?
    5. Dalam hal bagaimana anda pantas menerima kritikan-kritikan dari "domba-domba" anda?
  2. Jika anda seorang "domba" jemaat:
    1. Pernahkan anda memahami beratnya tugas seorang "gembala" jemaat?
    2. Pernahkah anda mensyukuri apa yang "gembala" anda lakukan bagi "domba-domba" jemaatnya?
    3. Bagaimana reaksi "gembala" anda jika anda menulis surat-surat seperti itu kepadanya?
    4. Pernahkah anda menyatakan penghargaan kepada 'gembala" anda secara terbuka?
    5. Apa pentingnya bagi "gembala" anda untuk mengetahui apa yang anda pikirkan tentang dia dan tugasnya?

Selamat merenungkan. Kiranya kiriman saya ini dapat menjadi berkat bagi ke dua belah pihak; "gembala" dan "domba".

In Christ,
Yulia

Penulis: 
R.C. Sproul
Edisi: 
033/X/2002
Isi: 

Pasal 5 (Bag. 1)
KEMATIAN ROHANI DAN KEHIDUPAN ROHANI: KELAHIRAN BARU DAN IMAN

Teologi "Reformed" terkenal dengan singkatan TULIP yang dibuat untuk meringkas apa yang disebut "Five points of Calvinism." TULIP dijabarkan sebagai berikut:

T
U
L
I
P
:
:
:
:
:
Total Depravity
Unconditional Election
Limited Atonement
Irresistible Grace
Perseverance of the Saints

TULIP ini telah membantu banyak orang untuk mengingat keunikan teologi "Reformed". Tetapi, TULIP juga telah banyak menimbulkan kebingungan dan kesalahmengertian. Sebuah singkatan biasanya dibuat berdasarkan kata-kata yang telah ada dan disusun sedemikian rupa supaya terlihat indah. Tetapi singkatan ini hanya berfungsi sebagai alat bantu untuk mengingat.

Persoalan pertama tentang TULIP ini adalah dengan huruf pertama. Total Depravity merupakan istilah yang bisa membawa pada konsep yang sangat menyesatkan. Konsep dari "Total Depravity" sering disamakan dengan "Utter Depravity." Dalam teologi "Reformed", "Total Depravity" berarti bahwa seluruh kemanusiaan kita telah jatuh ke dalam dosa. Artinya tidak ada satu bagian pun dari diri kita yang tidak terkena pengaruh dari Kejatuhan itu. Dosa mempengaruhi kehendak kita, hati kita, pikiran kita, dan tubuh kita. Saya kira apabila Adam tidak pernah berdosa, ia tidak akan pernah membutuhkan kacamata plus pada waktu ia mencapai usia setengah baya. Bahkan istilah setengah baya tidak akan berarti apa-apa bagi Adam. Karena, apabila Adam tidak jatuh ke dalam dosa, maka Adam tidak akan mengalami kematian. Bila seseorang hidup untuk selama-lamanya, maka masa setengah baya tentu tidak berlaku bagi dirinya.

"Total Depravity" juga menekankan fakta bahwa dosa telah mencapai pusat dari keberadaan kita. Dosa bukan merupakan sesuatu yang berakibat pada kulitnya saja, atau setitik noda yang mengotori manusia yang sempurna. Dosa berakibat sangat radikal, oleh karena dosa telah menyentuh akar kehidupan kita.

"Total Depravity" bukan "Utter Depravity." "Utter Depravity" berarti bahwa kita semua adalah orang yang berdosa, dimana tidak ada kebaikan lagi yang dapat dihasilkan dari kita. Kita tahu bahwa bukan begitu yang terjadi pada diri manusia. Karena, seberapa pun jauhnya kita telah berbuat dosa, kita masih tetap dapat memikirkan dosa yang lebih buruk yang dapat kita lakukan. Bahkan Adolf Hitler tidak membunuh ibu kandungnya sendiri.

Oleh karena "Total Depravity" sering disamakan artinya dengan "Utter Depravity", maka saya lebih suka memakai istilah "radical corruption" (pencemaran yang radikal) dari manusia, meskipun itu akan mengacaukan singkatan kita. Pengertian karakter dosa yang radikal mungkin merupakan konsep yang paling penting untuk kita mengerti jika kita akan menjelaskan doktrin predestinasi yang Alkitabiah. Sebagaimana yang telah saya singgung dalam pembahasan kita tentang ketidakmampuan moral manusia, ini merupakan inti dari seluruh perdebatan tersebut.

Saya teringat pada waktu mengajar teologi di sebuah Sekolah Teologi. Kelas itu terdiri dari 25 mahasiswa yang berasal dari berbagai denominasi. Pada awal kuliah tentang predestinasi, saya bertanya kepada mereka, berapa orang di antara mereka yang menganggap dirinya memiliki pandangan predestinasi Calvinis. Hanya satu orang yang mengangkat tangannya.

Kami mulai dengan pelajaran tentang keberdosaan manusia. Setelah saya memberikan kuliah selama beberapa hari tentang topik ini, kemudian saya bertanya lagi, "Berapa banyak di antara kalian yang yakin bahwa apa yang baru saja kalian pelajari itu merupakan doktrin keberdosaan manusia yang diajarkan oleh Alkitab?" Semua mahasiswa mengangkat tangannya. Saya bertanya, "Apakah kalian yakin?" Mereka menegaskan bahwa mereka sungguh-sungguh yakin. Saya memberi peringatan selanjutnya, "Hati-hatilah sekarang. Hal ini bisa datang lagi membayangi kalian dalam kuliah-kuliah yang berikutnya." Tetapi, mereka tetap menegaskan bahwa mereka yakin.

Pada waktu itu saya menulis tanggal hari itu di sudut papan tulis. Tepat di samping tanggal itu saya menuliskan angka 25. Saya melingkari catatan itu dan memohon supaya petugas tidak menghapus tulisan tersebut.

Beberapa minggu kemudian, kami mulai belajar doktrin predestinasi. Ketika saya tiba pada topik mengenal ketidakmampuan moral manusia, maka timbul protes keras dari para mahasiswa. Saya kemudian menunjuk pada sudut papan tulis serta menunjukkan catatan persetujuan mereka. Saya membutuhkan waktu dua minggu untuk meyakinkan mereka bahwa jika mereka sungguh-sungguh menerima pandangan Alkitab tentang pencemaran yang terjadi pada umat manusia, maka perdebatan tentang predestinasi telah selesai.

Secara singkat, saya akan berusaha untuk melakukan hal yang sama dalam bagian ini. Saya melanjutkan dengan peringatan yang sama.

PANDANGAN ALKITAB TENTANG PENCEMARAN UMAT MANUSIA

Marilah kita mulai pelajaran kita ini tentang tingkat kejatuhan manusia dengan memperhatikan surat Roma Pasal 3. Di sini Paulus menulis:

"Tidak ada yang benar, seorang pun tidak.
Tidak ada seorang pun yang berakal budi,
tidak ada seorang pun yang mencari Allah.
Semua orang telah menyeleweng,
mereka semua tidak berguna,
tidak ada yang berbuat baik, seorang pun tidak."
(Rm. 3:10-12)

Di sini kita melihat pencemaran umat manusia yang bersifat universal. Dosa itu berakibat sangat luas dan telah mencapai setiap orang tanpa terkecuali. Paulus memakai kata-kata yang tegas untuk memperlihatkan bahwa tidak ada pengecualian di antara manusia yang telah jatuh dalam dosa. Tidak ada seorang pun yang benar, tidak ada seorang pun yang berbuat baik.

Pernyataan "tidak ada yang berbuat baik, seorang pun tidak" adalah menentang asumsi kita yang telah membudaya. Kita bertumbuh menjadi dewasa serta mengetahui bahwa tidak ada seorang pun yang sempurna. Pernyataan bahwa kita adalah orang-orang berdosa merupakan pernyataan yang mudah kita terima, tetapi kita tidak dapat menerima pernyataan bahwa tak seorang pun diantara kita yang berbuat baik. Tidak ada satu orang pun di antara seribu orang yang mau mengakui bahwa dosa adalah masalah yang seserius ini.

Tidak ada seorang pun yang berbuat baik? Bagaimana mungkin hal itu dapat terjadi? Setiap hari kita melihat orang-orang tidak percaya kepada Allah yang berbuat kebaikan. Kita melihat mereka bersedia untuk berkorban, bekerja dengan rajin, hati-hati, dan jujur. Dan kita melihat orang-orang yang tidak percaya itu dengan seksama menaati batas kecepatan, sedangkan mobil-mobil lain, yang menempelkan slogan-slogan Kristen, melaju cepat menyusul mereka.

Paulus pasti menggunakan gaya bahasa hiperbola di sini. Ia pasti dengan sengaja membesar-besarkan dengan maksud menekankan apa yang ia ingin sampaikan. Tetapi sesungguhnya pasti ada manusia yang berbuat baik. Tidak, anggapan itu salah! Allah yang benar, melalui Paulus menyatakan bahwa tidak ada orang yang berbuat baik, seorang pun tidak.

Kita tersandung di sini, karena kita mempunyai pengertian yang relatif tentang arti "baik" itu. Sesungguhnya baik itu adalah istilah yang relatif pula. Sesuatu itu hanya dapat dinilai baik menurut standar tertentu. Kita memakai istilah itu sebagai perbandingan di antara manusia. Ketika kita mengatakan bahwa orang itu baik, maksud kita adalah orang itu baik bila dibandingkan dengan orang-orang lain. Tetapi standar tertinggi untuk kebaikan, yaitu standar yang akan dipakai untuk menghakimi kita, adalah Hukum Allah. Hukum itu bukanlah Allah, tetapi hukum itu datang dari Allah dan merefleksikan karakter Allah yang sempurna. Jika penilaian terhadap manusia didasarkan pada standar Allah itu, maka tidak ada seorang pun yang baik.

Menurut kategori Alkitab, kebaikan diukur dari dua segi. Pertama, kesesuaian lahiriah dengan hukum Allah. Artinya, jika Allah melarang mencuri, maka adalah baik untuk tidak mencuri. Adalah baik untuk mengatakan kebenaran. Adalah baik untuk membayar hutang atau rekening kita tepat pada waktunya. Adalah baik untuk menolong orang lain yang sedang membutuhkan. Perbuatan-perbuatan lahiriah ini dilakukan setiap hari. Oleh karena itu, pada waktu kita melihat orang melakukan kebaikan-kebaikan itu, maka dengan cepat kita menyimpulkan bahwa orang itu sesungguhnya melakukan hal-hal yang baik.

Kedua, cara penilaian yang kedua inilah yang membawa kita pada kesulitan. Karena, sebelum Allah menyatakan bahwa perbuatan itu "baik", Ia tidak hanya menilai kesesuaian tindakan luarnya dengan Hukum Allah, melainkan juga motivasinya. Kita melihat secara lahiriah saja, tetapi Allah melihat apa yang ada di dalam hati kita. Suatu tindakan dinilai baik apabila tindakan itu sesuai dengan Hukum Allah secara lahiriah, dan dilakukan dengan motivasi yang tulus yaitu untuk mengasihi Allah.

Kita ingat Hukum Allah yang terutama, yaitu mengasihi Tuhan Allahmu dengan segenap hati, dengan segenap kekuatan, dan dengan segenap akal budi...dan mengasihi sesama manusia seperti mengasihi diri sendiri. Setiap tindakan yang kita perbuat harus dimulai dari hati yang sepenuhnya mengasihi Allah.

Dari kerangka berpikir seperti ini, maka mudahlah bagi kita untuk melihat kenyataan bahwa tidak ada seorang pun yang berbuat baik. Tindakan-tindakan kita yang terbaik dinodai oleh motivasi yang tidak murni. Tidak ada seorang pun di antara kita yang pernah mengasihi Allah dengan segenap hati atau dengan segenap akal budinya. Ada unsur kedagingan kita yang selalu terlibat dalam semua tindakan kita, sehingga membuat tindakan kita tidak sempurna.

Jonathan Edwards menyatakan tentang konsep Pencerahan Interes Pribadi. Pencerahan Interes Pribadi menunjuk pada motivasi yang mendorong kita untuk melakukan tindakan lahiriah yang benar dan menahan diri terhadap dorongan-dorongan dari dalam diri kita sendiri yang mendorong kita untuk melakukan yang jahat. Ada waktu-waktu tertentu dan tempat-tempat tertentu di mana tindakan kriminal itu tidak menguntungkan. Jika tindakan kriminal itu menanggung resiko hukuman yang lebih berat dari pada upah yang kita terima, maka kita cenderung untuk tidak melakukannya. Sebaliknya, kita mungkin melakukan tindakan-tindakan yang saleh, tetapi hanya untuk mendapatkan sanjungan dari orang. Kita mungkin melakukan perbuatan-perbuatan tertentu yang baik, tetapi hanya untuk mendapat pujian dari guru atau penghargaan dari teman-teman kita.

Seluruh dunia menghargai para artis ketika mereka bersama-sama memproduksi rekaman sebuah album dengan tujuan khusus, yakni mengumpulkan dana untuk membantu bencana kelaparan di Etiopia. Tepukan dan sorakan biasanya tidak merugikan karier seorang artis. Meskipun ada pernyataan sinis yang mengatakan bahwa etika dan bisnis tidak berjalan bersama-sama. Sebaliknya, kebanyakan dari kita telah belajar bahwa etika mengembangkan reputasi kita dalam bisnis.

Saya tidak berpikir sebegitu sinis dengan anggapan bahwa apa yang dilakukan oleh para artis bagi Etiopia itu hanya sekedar untuk mendapatkan pujian bagi si artis itu sendiri semata-mata atau sekedar pertunjukan umum. Pasti ada motivasi yang kuat atas dasar belas kasihan dan perhatian terhadap orang-orang yang kelaparan. Tetapi, saya tidak berfikir sebegitu naif bahwa motivasi mereka sama sekali terlepas dari interes (kepentingan) pribadi. Belas kasihan mereka dapat dikatakan lebih besar dari pada interes pribadi mereka sendiri, tetapi betapapun kecilnya, pasti ada unsur interes pribadi yang terkandung di dalamnya. Hal ini selalu terjadi di dalam diri kita. Jika kita menyangkal akan hal ini, maka saya curiga bahwa penyangkalan kita tersebut sebagian dimotivasi oleh interes pribadi kita.

Kita mau menyangkali dugaan ini. Kita merasakan dalam hati kita sendiri bahwa kadang-kadang kita memiliki perasaan untuk melakukan sesuatu hanya sekedar untuk memenuhi kewajiban belaka. Kita suka beranggapan bahwa kita benar-benar tidak mementingkan diri sendiri. Tetapi tidak pernah seorang pun menyanjung kita lebih dari kita menyanjung diri kita sendiri. Kadang-kadang motivasi kita mungkin lebih cenderung kepada hal mementingkan orang lain, tetapi motivasi kita tidak pernah secara sempurna demi kepentingan orang lain.

Allah menuntut kita untuk sempurna. Tidak seorang pun di antara kita yang dapat melakukan perbuatan sampai pada taraf yang sempurna. Kita tidak pernah melakukan apa yang Allah perintahkan. Karena itu, tentu rasul Paulus tidak berlebih-lebihan. Penilaian-Nya adalah akurat. Tidak ada orang yang berbuat baik, seorang pun tidak. Tuhan Yesus sendiri menekankan hal ini pada waktu Ia berbicara dengan orang muda yang kaya. "... Tak seorangpun yang baik selain dari pada Allah saja" (Luk. 18:19).

Pernyataan yang lain dalam surat Roma, yang sama sukarnya dengan pernyataan ini, bisa lebih mencemaskan kita, khususnya bagi orang Kristen Injili yang berbicara dan berpikir bertentangan dengan pernyataan tersebut. Paulus menyatakan, "Tidak ada seorang pun yang mencari Allah."

Berapa kalikah Anda mendengar orang Kristen berkata, atau Anda sendiri pernah mengatakannya, "Si anu bukan orang Kristen, tetapi ia sedang mencari-cari?" Ini merupakan pernyataan yang biasa di dengar di kalangan orang Kristen. Idenya adalah bahwa ada manusia di dunia ini yang sedang mencari Allah. Persoalan mereka adalah bahwa mereka belum mampu untuk menemukan Dia. Ia sedang bermain "sembunyi-sembunyian". Ia sukar untuk diketemukan.

Di Taman Eden, pada saat dosa masuk ke dalam dunia, siapakah yang bersembunyi? Yesus datang ke dunia ini untuk mencari dan menyelamatkan yang tersesat. Bukan Yesus yang bersembunyi. Allah bukanlah buronan. Kita yang terus melarikan diri. Alkitab menyatakan bahwa orang fasik melarikan diri padahal tidak ada seorang pun yang mengejarnya. Seperti apa yang ditandaskan oleh Luther, "Orang yang tidak percaya Allah gemetar pada bunyi kerisik sehelai daun yang tertiup oleh angin." Ajaran Alkitab yang sama menyatakan bahwa manusia yang jatuh dalam dosa melarikan diri dari Allah. Tak seorang pun yang mencari Allah.

Ajaran Alkitab begitu jelas memaparkan bahwa tidak ada seorang pun yang mencari Allah. Tetapi, mengapa orang Kristen bersikeras untuk menyatakan bahwa ada orang yang sedang mencari Allah tetapi orang itu belum menemukan Dia? Thomas Aquinas memberikan sedikit penjelasan tentang hal ini. Aquinas berkata bahwa kita dibingungkan dengan dua tindakan manusia yang serupa tapi tak sama. Kita melihat orang-orang yang berusaha sekuat tenaga untuk mendapatkan pikiran yang damai, kebebasan dari kesalahan, makna dan tujuan hidup, dan penerimaan yang penuh kasih. Kita tahu bahwa akhirnya hal-hal ini hanya dapat ditemukan di dalam Allah. Karena itu kita menyimpulkan bahwa oleh karena manusia sedang mencari hal-hal ini, maka mereka pasti sedang mencari Allah.

Manusia tidak mencari Allah. Mereka mencari keuntungan-keuntungan yang hanya dapat diberikan oleh Allah. Dosa dari manusia yang telah jatuh ke dalam dosa adalah: Manusia mencari keuntungan-keuntungan dari Allah dan pada waktu yang sama mereka melarikan diri dari Allah itu sendiri. Kita pada dasarnya adalah buronan.

Alkitab berulang kali memerintahkan kepada kita untuk mencari Allah. Perjanjian Lama berseru, "Carilah Tuhan selama Ia berkenan ditemui..." (Yes. 55:6). Yesus bersabda,"... Carilah, maka kamu akan mendapat; ketoklah, maka pintu akan dibukakan bagimu" (Mat. 7:7). Kesimpulan yang dapat kita ambil dari teks ini adalah bahwa oleh karena kita diperintahkan untuk mencari Allah, maka hal itu pasti berarti bahwa, biarpun kita dalam status telah jatuh ke dalam dosa, tetapi kita tetap mempunyai kemampuan moral untuk mencari-Nya. Tetapi kepada siapakah sebenarnya ayat-ayat ini ditujukan? Di dalam Perjanjian Lama, mereka adalah bangsa Israel yang dipanggil untuk mencari Tuhan. Di dalam Perjanjian Baru, ayat-ayat itu ditujukan kepada orang percaya yang dipanggil untuk mencari kerajaan Allah.

Kita mungkin pernah mendengar seorang hamba Tuhan mengutip dari kitab Wahyu: "Lihat, Aku berdiri di muka pintu dan mengetok; jikalau ada orang yang mendengar suara-Ku dan membukakan pintu, Aku akan masuk mendapatkannya dan Aku makan bersama-sama dengan dia, dan ia bersama-sama dengan Aku" (Wahyu 3:20). Biasanya hamba Tuhan mengaplikasikan ayat ini kepada orang yang belum bertobat, dengan berkata, "Yesus sedang mengetok pintu hatimu. Jika engkau membuka pintu, maka Ia akan masuk." Padahal sebenarnya Yesus menujukan ayat ini kepada jemaat-Nya. Ayat ini sebenarnya bukan merupakan seruan penginjilan.

Jadi, orang yang tidak percaya tidak pernah mencari Allah berdasarkan kekuatannya sendiri atau inisiatifnya sendiri. Orang yang tidak percaya tidak akan mencari. Orang yang tidak percaya tidak akan mengetok. Mencari adalah urusan/kesibukan orang-orang percaya. Edwards berkata, "Mencari kerajaan Allah adalah urusan/kesibukan utama dalam kehidupan orang Kristen." Mencari adalah akibat atau hasil dari iman, bukan penyebab dari iman.

Ketika kita bertobat kepada Kristus, kita memakai kata menemukan untuk mengekspresikan pertobatan kita. Kita mengatakan bahwa kita telah menemukan Kristus. Kita mungkin mempunyai sejumlah stiker dengan tulisan, "SAYA TELAH MENEMUKANNYA" Pernyataan ini benar. Tetapi dalam arti sebagai berikut: Pada saat kita menemukan Kristus, saat itu bukan merupakan akhir dari pencarian kita, melainkan awal dari pencarian kita. Biasanya, pada saat kita mendapatkan apa yang kita cari, hal itu merupakan tanda berakhirnya pencarian kita. Tetapi, ketika kita "mendapatkan" Kristus, itu adalah awal dari pencarian kita. Kehidupan orang Kristen dimulai pada saat pertobatan, dan kehidupan ini tidak berakhir pada saat dimulai. Kehidupan ini bertumbuh, bergerak dari iman kepada iman, dari anugerah kepada anugerah, dari hidup kepada hidup. Gerakan pertumbuhan ini digerakkan oleh pencarian akan Allah secara terus menerus.

Ada satu hal lagi yang perlu kita pelajari secara singkat dari surat Roma pasal 3. Rasul Paulus tidak hanya menyatakan bahwa tidak ada seorangpun yang mencari Allah, tetapi ia juga menambahkan bahwa "mereka semua tidak berguna." Kita harus ingat bahwa di sini Paulus sedang berbicara mengenai manusia yang telah jatuh ke dalam dosa, manusia alamiah, manusia yang belum bertobat. Ini adalah gambaran tentang manusia yang masih berada di dalam kedagingannya.

Apa yang dimaksudkan Paulus dengan "Tidak berguna"? Sebelumnya Yesus pernah berbicara tentang hamba yang tidak berguna. Berguna harus dikaitkan dengan nilai yang positif. Orang yang belum bertobat, berjalan dalam kedagingan, tidak menghasilkan nilai yang kekal. Dalam kedagingannya ia boleh mendapatkan seluruh dunia ini tetapi kehilangan hal yang paling berharga dari dirinya sendiri, yaitu jiwanya sendiri. Harta milik yang paling bernilai yang dapat dimiliki seseorang adalah Kristus. Ia adalah mutiara yang termahal. Memiliki Yesus Kristus berarti memiliki keuntungan/manfaat yang terbesar.

Seseorang yang mati secara rohani, maka ia, dengan kedagingannya, tidak dapat mendapatkan manfaat apa-apa dari Kristus. Ia dilukiskan sebagai orang yang tidak memiliki rasa takut akan Allah (Roma 3:18). Orang yang tidak benar, yang tidak berbuat baik, yang tidak pernah mencari Allah, yang sama sekali tak berguna, dan yang tidak takut akan Allah, tidak pernah mengarahkan hatinya kepada Kristus.


Pasal 5 (Bag. 2)
KEMATIAN ROHANI DAN KEHIDUPAN ROHANI: KELAHIRAN BARU DAN IMAN

(Oleh : R.C. Sproul)

KEBANGKITAN DARI KEMATIAN ROHANI

Penyembuhan bagi kematian rohani adalah dengan cara penciptaan kehidupan rohani di dalam jiwa kita oleh Allah Roh Kudus. Ringkasan pekerjaan ini diberikan kepada kita dalam Surat Efesus:

"Kamu dahulu sudah mati karena pelanggaran-pelanggaran dan dosa- dosamu. Kamu hidup di dalamnya, karena kamu mengikuti jalan dunia ini, karena kamu mentaati penguasa kerajaan angkasa, yaitu roh yang sekarang sedang bekerja di antara orang-orang durhaka. Sebenarnya dahulu kami semua juga terhitung di antara mereka, ketika kami hidup di dalam hawa nafsu daging dan menuruti kehendak daging dan pikiran kami yang jahat. Pada dasarnya kami adalah orang-orang yang harus dimurkai, sama seperti mereka yang lain. Tetapi Allah yang kaya dengan rahmat, oleh karena kasih- Nya yang besar, yang dilimpahkan-Nya kepada kita, telah menghidupkan kita bersama-sama dengan Kristus, sekalipun kita telah mati oleh kesalahan-kesalahan kita--oleh kasih karunia kamu diselamatkan-- dan di dalam Kristus Yesus Ia telah membangkitkan kita juga dan memberikan tempat bersama-sama dengan Dia di sorga, supaya pada masa yang akan datang Ia menunjukkan kepada kita kekayaan kasih karunia-Nya yang melimpah-limpah sesuai dengan kebaikan-Nya terhadap kita dalam Kristus Yesus. Sebab karena kasih karunia kamu diselamatkan oleh iman; itu bukan hasil usahamu, tetapi pemberian Allah, itu bukan hasil pekerjaanmu: jangan ada orang yang memegahkan diri. Karena kita ini buatan Allah, diciptakan dalam Kristus Yesus untuk melakukan pekerjaan baik, yang dipersiapkan Allah sebelumnya. Ia mau, supaya kita hidup di dalamnya"(Ef. 2:1-10).

Di sini kita menemukan satu perikop tentang predestinasi yang sangat baik dan jelas. Perhatikanlah bahwa sepanjang perikop tersebut Paulus sangat menekankan akan kekayaan anugerah Allah. Kita tidak boleh meremehkan anugerah Allah itu. Perikop ini memproklamasikan kehidupan yang baru yang diciptakan oleh Roh Kudus di dalam diri kita.

Pekerjaan Roh Kudus ini kadang-kadang disebut "quickening" (pembangkitan kembali/pekerjaan menghidupkan kembali). Kata ini hampir tidak pernah kita dengar dalam percakapan sehari-hari. Istilah ini secara eksklusif dipakai untuk melukiskan suatu peristiwa yang terjadi pada waktu kehamilan. "Quickening" menunjuk pada perasaan yang pertama kali dirasakan oleh seorang wanita, yaitu adanya suatu kehidupan dari bayi yang ada di dalam kandungannya.

"Quickening" (pembangkitan kembali/hal menghidupkan kembali) di bagian lain dari Alkitab disebut "regeneration" (kelahiran baru). Istilah "regeneration" itu sendiri berarti "a generating again" (hal membangkitkan lagi atau hal menyebabkan terjadi/mulai lagi). "To generate" berarti menyebabkan terjadi/mulai. Contohnya kitab pertama dalam Alkitab merupakan tentang permulaan-permulaan yang disebut "Genesis". kata depan re berarti "lagi". Kata regeneration berarti memulai lagi sesuatu. Jadi yang kita bicarakan di sini adalah permulaan yang baru suatu kehidupan, yaitu permulaan kehidupan rohani.

Gambaran mengenai kehidupan ini dikontraskan dengan gambaran mengenai kematian. Manusia yang telah jatuh ke dalam dosa dilukiskan sebagai manusia yang telah "mati di dalam dosanya". Untuk membuat manusia yang telah mati di hadapan Allah ini menjadi hidup di hadapan Allah, maka Allah harus melakukan sesuatu "terhadap" dan "untuk" dia. Orang yang telah mati tidak dapat menghidupkan dirinya sendiri. Orang yang telah mati tidak dapat menciptakan kehidupan rohani di dalam dirinya sendiri. Paulus dengan sangat jelas menyatakan bahwa hanya Allah yang dapat menghidupkan kembali manusia itu, dan hanya Allah saja yang dapat membangkitkan/menghidupkan kita dari kematian rohani.

Manusia yang telah jatuh dalam dosa adalah mati di dalam dosa. Ia dilukiskan di sini sebagai orang yang "pada dasarnya adalah orang yang dimurkai." Pola kehidupan orang yang telah jatuh ke dalam dosa adalah "mengikuti jalan dunia ini." Ketaatannya bukanlah kepada Allah, melainkan kepada penguasaan kerajaan angkasa. Paulus menandaskan bahwa ini bukan hanya merupakan kondisi dari orang-orang berdosa yang paling buruk, melainkan kondisi Paulus sendiri dan saudara-saudaranya yang seiman sebelum bertobat. ("Sebenarnya dahulu kami semua juga terhitung di antara mereka, ketika kami hidup di dalam hawa nafsu daging dan menurut kehendak daging dan pikiran kami yang jahat...").

Kebanyakan, pandangan presdestinasi dari "Non-Reformed" tidak secara serius memperhatikan fakta bahwa manusia yang telah jatuh dalam dosa itu adalah mati secara rohani. Kaum Injili yang lain mengakui bahwa manusia telah jatuh ke dalam dosa dan kejatuhan manusia itu merupakan hal yang serius. Mereka bahkan mengakui bahwa dosa merupakan persoalan yang berakibat radikal. Mereka tidak ragu-ragu untuk mengemukakan bahwa manusia itu tidak hanya sekedar sakit, tetapi sakit yang bersifat kekal, sakit sampai mati. Tetapi manusia belum mati. Manusia masih memiliki nafas kehidupan rohani yang kecil yang tertinggal di dalam tubuhnya. Manusia masih memiliki sedikit kebenaran dalam hatinya, sedikit kemampuan moral yang tertinggal dalam kejatuhannya.

Saya pernah mendengar dua ilustrasi dari seorang hamba Tuhan yang memohon pertobatan dari para pendengarnya. Ilustrasi pertama adalah sebuah analogi tentang seseorang yang menderita penyakit yang mematikan. Orang berdosa sama seperti seseorang yang menderita penyakit yang mematikan. Ia tidak mampu untuk menyembuhkan dirinya sendiri dari penyakit itu. Ia terbaring di atas tempat tidur dengan keadaan hampir lumpuh total. Ia tidak dapat sembuh jika Allah tidak memberikan obat yang dapat menyembuhkannya. Orang itu sedemikian buruk kondisinya sehingga ia tidak mampu mengulurkan tangannya untuk menerima obat itu. Oleh karena itu, Allah bukan hanya menawarkan obat itu tetapi Allah harus meletakkan obat itu pada sebuah sendok dan kemudian menyodorkan pada mulut orang itu. Kalau Allah tidak melakukan hal itu, maka orang itu pasti meninggal. Tetapi walaupun Allah telah melakukan 99% dari apa yang harus diperbuat-Nya, orang itu masih tetap harus melakukan yang 1%lagi. Ia harus membuka mulutnya untuk memakan obat itu. Ini adalah saatnya bagi kehendak bebas untuk berperan, di mana keputusan yang diambil oleh orang itu akan menentukan apakah dia akan ke surga atau ke neraka. Orang yang membuka mulutnya untuk menerima pemberian obat itu akan diselamatkan. Sebaliknya, orang yang tetap mengatupkan mulutnya akan binasa.

Analogi ini hampir saja dengan benar menafsirkan pengajaran Alkitab dan pengajaran Paulus tentang anugerah kelahiran baru. Tetapi analogi tersebut tidak sepenuhnya tepat. Alkitab tidak membicarakan orang berdosa yang menderita sakit yang mematikan. Menurut Paulus, orang berdosa telah mati. Tidak ada sedikitpun kehidupan rohani yang teringgal di dalam dirinya. Jikalau orang berdosa mau dijadikan hidup, Allah harus berbuat lebih banyak dari pada sekedar memberikan obat baginya. Orang mati tidak akan membuka mulutnya untuk menerima apapun yang disodorkan. Rahang mereka sudah terkunci dalam kematian itu. Orang berdosa harus dibangkitkan dari kematiannya itu. Orang berdosa harus dibangkitkan dari kematian. Orang berdosa harus menjadi ciptaan baru yang diciptakan oleh Kristus dan dilahirkan kembali oleh Roh Kudus.

Ilustrasi kedua berikut ini merupakan ilustrasi yang juga sangat terkenal dalam usaha penginjilan. Dalam ilustrasi yang kedua ini, manusia yang telah jatuh ke dalam dosa digambarkan sebagai seseorang yang sedang tenggelam dan tidak dapat berenang. Orang ini telah timbul tenggelam cukup lama di dalam air. Jikalau ia terbenam ke dalam air sekali lagi, maka ia akan mati. Harapan satu-satunya ialah Allah melemparkan alat penyelamat kepadanya. Allah lalu melemparkan alat penyelamat itu tepat di sisi jari-jari orang yang akan tenggelam itu. Yang harus dilakukan orang itu supaya diselamatkan adalah memegang erat penyelamat itu. Jika ia memegang alat itu, maka Allah akan menariknya ke darat. Sebaliknya apabila ia menolak alat penyelamat itu, maka ia pasti akan binasa.

Sekali lagi, dalam ilustrasi ini jelas menunjukkan penekanan yang sama: ketidakberdayaan manusia tanpa pertolongan Allah. Orang yang tenggelam itu berada dalam kondisi serius. Ia tidak dapat menyelamatkan dirinya sendiri. Tetapi, ia masih hidup. Ia masih dapat mengulurkan jari-jarinya serta memegang erat alat penyelamat itu. Jari-jarinya merupakan penghubung yang krusial dengan keselamatan dirinya. Nasibnya dalam kekekalan bergantung kepada apa yang dilakukannya dengan jari-jari tangannya itu.

Paulus berkata bahwa manusia telah mati. Manusia tidak hanya akan tenggelam, melainkan ia telah tenggelam di dasar lautan. Oleh karena itu, tidak ada gunanya melemparkan alat penyelamat kepada seorang yang sudah tenggelam. Menurut saya, apa yang dimaksudkan oleh Paulus ialah Allah menyelam ke dalam air serta menarik orang mati itu dari dasar lautan dan kemudian melakukan tindakan ilahi, yaitu menghembuskan nafas kepada orang mati itu dan memberikan hidup yang baru kepadanya.

Adalah penting untuk mengerti bahwa regenerasi itu berhubungan dengan hidup baru. Regenerasi berarti kelahiran baru atau dilahirkan kembali. Orang sering kali bingung dalam hal ini. Kelahiran baru yang disebut dalam Alkitab dikaitkan dengan kehidupan baru yang merupakan milik kita di dalam Kristus. Sama seperti di dalam ilmu biologi natural bahwa tidak akan ada kehidupan tanpa kelahiran, demikian pula halnya dalam hal-hal yang supranatural, yaitu tidak akan ada kehidupan baru tanpa kelahiran baru.

Kelahiran dan kehidupan memang berkaitan erat, tetapi keduanya bukan hal yang sama. Kelahiran adalah awal dari kehidupan yang baru. Kelahiran merupakan saat yang menentukan. Kita mengerti hal itu dalam masalah biologi yang umum. Setiap tahun kita merayakan hari kelahiran kita. Kita tidak sama dengan ratu dalam cerita Alice in wonderland yang merayakan semua hari yang bukan hari kelahirannya. Kelahiran adalah pengalaman satu kali. Hari itu bisa dirayakan tetapi tidak bisa di ulangi. Ini adalah momen transisi yang menentukan apakah seseorang itu sudah dilahirkan atau belum.

Demikian pula halnya dengan kelahiran kembali secara rohani. Kelahiran kembali menghasilkan kehidupan yang baru. Kelahiran kembali itu merupakan awal dari kehidupan baru tetapi bukan merupakan keseluruhan dari kehidupan yang baru. Kelahiran baru adalah momen transisi yang penting dari kematian rohani kepada kehidupan rohani. Seseorang tidak pernah dilahirkan kembali secara sebagian. Oleh karena itu, hanya ada satu kemungkinan: orang itu sudah dilahirkan baru atau belum dilahirkan baru.

Pengajaran Alkitab dengan jelas menyatakan bahwa regenerasi merupakan pekerjaan Allah semata-mata. Kita tidak dapat melahirbarukan diri kita sendiri. Daging tidak dapat menghasilkan roh. Regenerasi merupakan tindakan penciptaan. Allah yang melakukan penciptaan itu.

Dalam teologi ada istilah teknis yang dapat membantu kita untuk lebih mengerti masalah ini, yaitu monergisme, yang berasal dari dua akar kata. Mono artinya "satu". Monopoli merupakan suatu usaha yang memiliki pasaran untuk dirinya sendiri. "Monoplane" merupakan pesawat terbang dengan single-winged (berbaling-baling satu). Erg menunjuk pada satuan usaha. Dari kata itu kita mendapat kata umum yang selalu dipakai yaitu energi.

Menggabungkan kedua akar kata tersebut, maka kita mendapatkan arti "one-working" (usaha satu pihak). Ketika kita mengatakan bahwa regenerasi adalah monergistik, maksud kita adalah bahwa hanya satu pihak saja yang melakukan pekerjaan itu. Pihak itu adalah Allah Roh Kudus. Dialah yang melahirbarukan kita. Kita tidak mampu untuk melakukannya sendiri, atau membantu-Nya untuk melaksanakan tugas itu.

Seolah-olah kita memperlakukan manusia seperti boneka. Boneka dibuat dari bahan kayu. Boneka tidak dapat memberikan tanggapan. Boneka itu lembam, tanpa kehidupan. Boneka itu digerakkan dengan tali-tali dalam pertunjukan panggung boneka. Tetapi, kita tidak berbicara tentang boneka. Manusia tidak sama dengan boneka. Kita berbicara tentang manusia yang merupakan mayat secara rohani. Manusia ini tidak memiliki hati yang terbuat dari serbuk gergaji, tetapi terbuat dari batu. Manusia ini tidak digerakkan oleh tali-temali. Secara biologis manusia ini masih hidup. Manusia ini dapat bergerak dan bertindak. Manusia ini membuat keputusan-keputusan, tetapi mereka tidak pernah mengambil keputusan bagi Allah.

Setelah Anda melahirbarukan jiwa manusia, yaitu setelah Allah membuat kita hidup kembali secara rohani, kita melakukan pemilihan. Kita percaya. Kita memiliki iman. Kita bersandar kepada Kristus. Perihal kita percaya kepada Kristus itu tidak diputuskan oleh Allah. Allah tidak memutuskan hal percaya itu bagi kita. Tetapi, kita sendirilah yang memutuskan untuk percaya kepada Kristus setelah kita dilahirbarukan oleh Allah. Jadi, iman itu tidak bersifat monergistic (one-working atau usaha satu pihak) seperti kelahiran baru.

Sebelumnya, kita telah membahas tentang keadaan yang buruk dari manusia yang telah jatuh ke dalam dosa dan status dari kehendak manusia itu. Kita menegaskan bahwa walaupun manusia telah jatuh ke dalam dosa, tetapi ia tetap memiliki kehendak bebas, dalam pengertian bahwa ia masih dapat melakukan pemilihan/memilih. Masalah manusia berdosa, yang kita definisikan sebagai ketidakmampuan secara moral, adalah tidak adanya keinginan untuk memilih Kristus. Manusia itu tidak mau dan tidak mempunyai inklinasi untuk memilih Kristus. Manusia harus memiliki keinginan untuk memilih Kristus terlebih dahulu, sebelum ia dapat memilih Kristus. Oleh karena itu, jika manusia manusia itu tidak mempunyai keinginan untuk memiliki Kristus, maka ia tidak akan pernah bersedia menerima Kristus.

Dalam kelahiran baru, Allah mengubah hati kita. Allah memberikan kepada kita karakter yang baru dan kecenderungan yang baru. Ia menanamkan keinginan terhadap Kristus di dalam hati kita. Kita tidak akan pernah percaya kepada Kristus untuk memperoleh keselamatan jika kita tidak terlebih dahulu memiliki keinginan akan Kristus. Itulah sebabnya kami mengatakan bahwa regenerasi mengawali atau mendahului iman. Tanpa kelahiran baru, kita tidak memiliki keinginan akan Kristus, kita tidak memilki keinginan akan Kristus. Tanpa keinginan akan Kristus, kita tidak akan pernah memilih Kristus. Karena itu, kita menyimpulkan bahwa sebelum seseorang akan percaya, dan sebelum seseorang akan percaya, dan sebelum seseorang dapat percaya, Allah terlebih dahulu harus mengubah karakter hati orang tersebut.

Tindakan Allah untuk melahirbarukan kita adalah merupakan tindakan anugerah. Mari kita lihat kembali Efesus 2:4-5.

"Tetapi Allah yang kaya dengan rahmat, oleh karena kasih-Nya yang besar, yang dilimpahkan-Nya kepada kita, telah menghidupkan kita..."

Ada sebuah cindera mata pada meja tulis saya yang disulam oleh seorang wanita di sebuah gereja yang pernah saya layani. Pada cindera mata yang sederhana itu tertulis satu kata saja yakni "Tetapi". Ketika Paulus berbicara mengenai keadaan kerohanian manusia yang telah jatuh ke dalam dosa, pembicaraan itu cukup membuat kita putus asa. Akhirnya sampai kepada kata penting yang membuat kita bisa bernafas lega. "Tetapi". Tanpa kata "tetapi" ini, maka kita diperhadapkan pada kebinasaan. Kata "tetapi" ini menunjuk pada esensi dari kabar baik itu.

Paulus berkata, "Tetapi Allah, yang kaya dengan rahmat..." Perhatikan bahwa ia tidak berkata, "Tetapi manusia, yang kaya dengan rahmat." Hanya Allah saja yang membuat kita hidup. Kapankah Ia melakukan hal itu? Paulus tidak membiarkan kita untuk menebak. Ia berkata, "...ketika kita telah mati oleh kesalahan-kesalahan kita." Ini adalah anugerah yang sangat ajaib, karena diberikan kepada kita ketika kita berada dalam kematian rohani.

Paulus menyimpulkan bahwa hal itu semata-mata merupakan anugerah dan bukan hasil usaha manusia. Sebagaimana yang ia nyatakan dalam kesimpulan berikut, "Sebab karena kasih karunia kamu diselamatkan oleh iman, itu bukan hasil usahamu, tetapi pemberian Allah." Ayat ini harus menjadi meterai bagi masalah ini untuk selama-lamanya. Iman yang menyelamatkan kita merupakan pemberian. Ketika rasul Paulus mengatakan bahwa itu bukan keluar dari diri kita, ia tidak bermaksud bahwa iman itu bukan iman kita. Sekali lagi, Allah tidak membuat kepercayaan itu untuk kita. Iman merupakan iman kita sendiri, tetapi iman itu tidak berasal dari kita. Iman itu diberikan kepada kita. Pemberian itu bukan merupakan hasil usaha kita atau diberikan oleh karena kita layak menerimanya, tetapi merupakan pemberian yang berdasarkan anugerah semata-mata.

Sepanjang "Reformed" Protestan, ada tiga slogan yang menjadi sangat terkenal. Slogan itu dinyatakan dalam bahasa latin: Sola fide, Sola gratia, dan Solo deo gloria. Ketiga slogan ini saling berkaitan erat satu dengan yang lain. Ketiga slogan itu tidak boleh dipisahkan satu dengan yang lain. Slogan itu berarti: Hanya dengan iman, Hanya dengan anugerah, dan Kemuliaan hanya bagi Allah saja.

ANUGERAH YANG TIDAK DAPAT DITOLAK (IRRESSISTIBLE GRACE)

Kebanyakan orang Kristen setuju bahwa pekerjaan Allah dalam regenerasi merupakan anugerah. Titik permasalahan yang telah membuat kita menjadi kelompok-kelompok adalah persoalan tentang apakah anugerah ini dapat ditolak atau tidak dapat ditolak. Apakah mungkin jika seseorang menerima anugerah kelahiran baru tetapi di dalam diri orang itu tetap tidak timbul iman kepada Kristus?

Kaum Calvinis akan menjawab dengan tegas : "Tidak!" Tetapi bukan dalam pengertian bahwa anugerah keselamatan Allah itu secara harfiah tidak bisa ditolak. Sekali lagi kita terbentur pada singkatan TULIP. Kita telah merubah singkatan TULIP menjadi RULIP dan sekarang kita akan mengubahnya lagi menjadi RULEP.

Istilah Irresitible grace dapat menyelewengkan arti yang sebenarnya. Kaum Calvinis percaya bahwa manusia dapat menolak dan benar-benar menolak anugerah Allah. Pertanyaannya adalah, "Apakah anugerah regenerasi dapat gagal untuk menyelesaikan tujuannya?" Patut diingat bahwa manusia yang mati secara rohani adalah masih hidup secara biologis. Mereka masih memiliki kehendak untuk berpaling dari Allah. Mereka akan berusaha sekuat tenaga untuk menolak anugerah Allah. Sejarah Israel merupakan sejarah kekerasan hati manusia dan sejarah ketegartengkukan manusia yang berulang kali menolak anugerah Allah.

Anugerah Allah dapat ditolak dalam pengertian bahwa kita dapat menolaknya dan memang pada dasarnya kita menolaknya. Anugerah Allah tidak dapat ditolak dalam pengertian bahwa anugerah Allah pasti mencapai tujuannya. Anugerah Allah telah menjadikan kerinduan Allah menjadi kenyataan. Oleh karena itu, saya lebih suka memakai istilah effectual grace, atau anugerah yang efektif.

Kita sedang berbicara mengenai anugerah kelahiran baru. Pada waktu kelahiran baru, Allah menciptakan keinginan terhadap Diri-Nya Sendiri di dalam diri manusia. Dan pada saat keinginan itu ditanamkan dalam diri kita, kita tetap akan bertindak sebagaimana biasanya, yakni kita membuat pilihan/memilih berdasarkan motivasi yang terkuat pada waktu itu. Jadi, apabila Allah memberikan kepada kita keinginan terhadap Kristus, maka kita akan bertindak berdasarkan keinginan itu. Kita pasti akan memilih objek dari keinginan yang ada di dalam diri kita itu, yaitu kita akan memilih Kristus. Pada saat Allah menghidupkan kita secara rohani, maka kita menjadi hidup secara rohani. Allah tidak sekedar menciptakan suatu kemungkinan untuk menjadi hidup secara rohani. Allah sungguh-sungguh menciptakan kehidupan secara rohani di dalam diri kita. Pada saat Allah berfirman, maka terciptalah segala sesuatu yang Ia Firmankan.

Kita berbicara mengenai "panggilan internal dari Allah." Panggilan internal dari Allah memiliki kuasa dan keefektifan yang sama dengan penggilan-Nya ketika ia menciptakan dunia ini. Allah tidak mengundang dunia untuk menjadi ada. Dengan mandat Ilahi-Nya Allah berfirman, "Jadilah terang!" maka jadilah terang itu, dan tidak dapat terjadi sesuatu yang berbeda dengan apa yang difirmankan oleh Allah. Terang itu harus mulai bersinar seketika itu juga.

Apakah Lazarus dapat tinggal dalam kuburan pada waktu Yesus memanggilnya keluar? Yesus berseru, "Lazarus marilah ke luar!" Lazarus segera keluar dari kuburan itu. Ketika Allah melakukan tindakan menciptakan, Allah menggunakan kuasa yang hanya dimiliki oleh Allah sendiri. Hanya Allah yang memiliki kuasa untuk menjadikan sesuatu dari yang tidak ada, dan menjadikan kehidupan dari kematian.

Sampai pada pernyataan ini, kita menemukan lebih banyak kebingungan lagi. Saya teringat akan pelajaran pertama yang pernah saya dengar dari John Gerstner, yaitu berkenaan dengan topik predestinasi. Pada waktu pelajaran diberikan, Dr. Gerstner diinterupsi oleh seorang murid yang mengangkat tangannya. Gerstner kemudian memberikan kesempatan kepada murid itu. Murid itu bertanya, "Dr. Gerstner, apakah saya dapat berasumsi bahwa Bapak adalah seorang Calvinis?" Gerstner menjawab, "Ya!" dan ia melanjutkan lagi pelajarannya. Beberapa menit kemudian Gerstner berbalik bertanya kepada muridnya, "Apakah definisimu tentang seorang Calvinis?"

Murid itu menjawab, "Seorang Calvinis adalah orang yang percaya bahwa Allah memaksa sejumlah orang untuk memilih Kristus dan menghalangi yang lain untuk dapat memilih Kristus." Gerstner sangat terkejut. Ia berkata, "Jikalau itu merupakan definisi seorang Calvinis, maka saya pasti bukan termasuk seorang Calvinis."

Pengertian yang salah akan anugerah yang tidak dapat ditolak telah tersebar luas. Pada suatu waktu saya pernah mendengar seorang rektor dari sebuah Seminari Presbiterian menyatakan, "Saya bukan seorang Calvinis, karena saya tidak percaya bahwa Allah memaksa sejumlah orang untuk masuk ke dalam Kerajaan Surga, padahal sebenarnya orang-orang tersebut menolak mati-matian akan kehendak Allah ini. Dan pada saat yang sama, Allah mengesampingkan orang-orang yang mati-matian ingin masuk ke dalam Kerajaan Surga."

Saya menjadi tercengang mendengar perkataan ini. Saya tidak mengira bahwa seorang rektor seminari Presbiterian dapat memiliki pandangan yang begitu menyimpang dan mengajarkan teologi itu pada gerejanya. Ia sedang menunjukkan gambaran dirinya yang sangat menyimpang dari Calvinisme yang sebenarnya.

Calvinisme tidak pernah mengajarkan bahwa Allah memaksa sejumlah orang yang mati-matian tidak mau untuk masuk ke dalam Kerajaan Surga, dan mengesampingkan orang-orang yang sangat ingin masuk ke sana. Perlu diingat bahwa butir yang paling utama dari doktrin predestinasi "Reformed" adalah terletak pada pengajaran Alkitab tentang kematian rohani manusia. Manusia secara natural tidak menginginkan Kristus. Manusia baru dapat menginginkan Kristus jika Allah menanamkan keinginan terhadap Kristus di dalam hatinya. Pada waktu kerinduan itu telah ditanamkan di dalam dirinya, maka manusia yang datang pada Kristus itu tidak akan datang sambil berteriak-teriak oleh karena dipaksa untuk melakukan sesuatu yang melawan kehendaknya sendiri. Mereka datang karena mereka ingin datang. Mereka sekarang menginginkan Kristus. Mereka segera berlari kepada Sang Juru selamat. Anugerah yang tidak dapat ditolak adalah kelahiran baru yang menghidupkan seseorang ke dalam kehidupan rohani sedemikian rupa, sehingga dapat melihat sifat baik Yesus yang tidak dapat mereka tolak. Yesus menjadi Pribadi yang tidak dapat ditolak oleh orang-orang yang telah dihidupkan keinginannya pada hal-hal yang berhubungan dengan Allah. Setiap jiwa yang hatinya berdegup dengan kehidupan di dalam Allah, maka orang itu akan selalu rindu kepada Kristus yang hidup. Semua yang Bapa berikan kepada Kristus akan datang kepada Kristus (Yoh. 6:37).

Istilah "Anugerah yang Efektif" dapat menghindarkan kita dari kebingungan. Anugerah yang Efektif merupakan anugerah yang secara efektif mewujudkan apa yang Allah inginkan.

Apakah perbedaan pandangan ini dengan pandangan regenerasi dari "Non-Reformed"? Alternatif lain yang sangat populer adalah pandangan Prevenient Grace.

PREVENIENT GRACE

Prevenient Grace adalah anugerah yang datang sebelum/mendahului sesuatu. Secara umum didefinisikan sebagai suatu pekerjaan yang Allah lakukan bagi setiap orang. Allah memberikan kepada semua orang anugerah yang cukup sehingga setiap orang dimungkinkan untuk dapat memberikan tanggapan yang benar kepada Yesus. Dengan kata lain, anugerah Allah cukup untuk memungkinkan seseorang dapat memilih Kristus. Orang-orang yang bersedia untuk bekerja sama dengan Allah dan mau menerima anugerah Allah ini adalah "orang-orang pilihan." Mereka yang menolak untuk bekerja sama dengan anugerah Allah ini adalah orang-orang yang terhilang."

Keunggulan dari pandangan ini adalah mengakui bahwa kondisi rohani menusia yang telah jatuh ke dalam dosa adalah sangat parah sehingga anugerah Allah dibutuhkan untuk menyelamatkannya. Kelemahan pandangan ini dapat dilihat dari dua segi. Pertama, jikalau prevenient grace ini hanya sekedar merupakan terobosan secara eksternal bagi manusia, maka keadaannya sama dengan analogi obat dari tali penyelamat yang sudah dibahas sebelumnya. Apakah manfaat prevenient grace jika diberikan dari luar kepada ciptaan yang mati secara rohani?

Pada segi lain, jikalau "prevenient grace" menunjuk pada sesuatu yang Allah perbuat di dalam hati manusia yang telah jatuh ke dalam dosa, maka pertanyaan kita adalah: "Mengapa anugerah Allah ini tidak selalu efektif?" Mengapa ada manusia yang memutuskan untuk bekerja sama dengan "prevenient grace", dan ada manusia yang tidak mau? Bukankah setiap orang mendapatkan porsi "prevenient grace" yang sama?

Cobalah memikirkan hal ini, bagaimana kalau saudara sendiri yang mengalami secara pribadi. Saudara sebagai orang Kristen tentu dapat melihat orang-orang di sekitar Saudara yang bukan Kristen. Apakah yang membuat Saudara memilih Kristus? Mengapa Saudara berkata, "ya" kepada "prevenient grace" sedangkan mereka mengatakan "tidak"? Apakah karena saudara lebih benar daripada mereka? Apabila demikian, maka itu berarti Saudara memiliki sesuatu yang dapat dibanggakan. Apakah kebenaran Saudara itu merupakan hal yang dicapai oleh usaha Saudara sendiri, atau kebenaran itu merupakan hasil pemberian Allah? Apabila kebenaran itu merupakan hasil usaha Saudara sendiri, maka pada dasarnya keselamatan Saudara bergantung kepada kebenaran Saudara sendiri. Apabila kebenaran itu merupakan pemberian Allah, lalu mengapa Allah tidak memberikan hal yang sama kepada setiap orang?

Mungkin bukan karena Saudara lebih benar dari pada orang lain. Mungkin karena Saudara lebih pandai dari mereka. Mengapa Saudara dapat lebih pandai? Apakah karena Saudara belajar lebih banyak (yang artinya sama dengan Saudara lebih benar dari orang lain)? Atau Saudara lebih pandai oleh karena Allah mengaruniakan kepandaian kepada Saudara yang Allah tidak berikan kepada orang lain?

Yang pasti, kebanyakan orang Kristen yang menganut pandangan "prevenient grace" ini menjadi kecil nyalinya menghadapi jawaban-jawaban seperti di atas. Mereka melihat kecongkakan terselubung di dalam jawaban itu. Walaupun biasanya mereka akan menjawab, "Tidak, saya memilih Kristus karena saya menyadari kebutuhan saya yang sangat serius akan Dia."

Ungkapan tersebut tentu saja nampaknya lebih rendah hati. Tetapi saya harus mengajukan pertanyaan lain. Mengapa Saudara dapat menyadari kebutuhan yang sangat serius akan Kristus sementara sesama Saudara tidak demikian? Apakah karena Saudara lebih benar dari sesama Saudara, atau lebih pandai dari mereka?

Pertanyaan utama bagi pendukung pandangan "prevenient grace" adalah: Mengapa ada orang yang bekerja sama dengan anugerah Allah dan ada orang yang tidak? Jawaban kita terhadap pertanyaan ini akan menyatakan kepercayaan atas keselamatan: keselamatan macam apa yang kita dapatkan.

Pertanyaan berikutnya adalah: "Apakah Alkitab mengajarkan doktrin "prevenient grace" kepada kita? Apabila "ya", di mana?

Kita menyimpulkan bahwa keselamatan kita adalah dari Tuhan. Dialah yang melahirbarukan kita. Orang yang telah dilahirbarukan pasti akan datang kepada Kristus. Jika tidak ada regenerasi maka tak seorang pun akan pernah datang kepada Kristus. Jika kita mengalami regenerasi, maka tidak ada seorang pun yang akan pernah menolak Dia. Anugerah keselamatan Allah itu mengefektifkan apa yang akan Allah kehendaki atas diri seseorang, sehingga apa yang Allah kehendaki itu terlaksana dengan efektif.

RINGKASAN PASAL LIMA:

  1. Keselamatan kita terjadi berdasarkan inisiatif Allah. Allah Roh Kudus yang membebaskan manusia dari belenggu dosa. Allah Roh Kudus yang telah meniupkan nafas kehidupan rohani ke dalam diri kita dan membangkitkan kita dari kematian rohani.
  2. Kondisi kita sebelum dibangkitkan adalah mati secara rohani. Kematian secara rohani ini lebih parah dari pada penyakit yang mematikan. Tidak ada kehidupan rohani sedikitpun di dalam diri kita jika Allah sendiri tidak menghidupkannya.
  3. Jika tidak ada kelahiran baru, maka tak seorang pun akan datang kepada Kristus. Semua orang yang telah dilahirkan baru pasti datang kepada kepada Kristus. Orang yang mati terhadap hal-hal yang berhubungan dengan Allah akan tetap mati terhadap Allah jika Allah tidak menghidupkannya kembali. Orang yang dibangkitkan oleh Allah akan hidup di hadapan Allah. Keselamatan adalah berasal dari Tuhan.

Sumber: 

Sumber diambil dari:
(Bag. 1)

Judul Buku
Judul Artikel
Penulis
Penerbit
Halaman
:
:
:
:
:
Kaum Pilihan Allah
Kematian Rohani dan Kehidupan Rohani: Kelahiran Baru dan Iman
R.C. Sproul
SAAT Malang, 1998
93-104

(Bag. 2)
Judul Buku
Judul Artikel
Penulis
Penerbit
Halaman
:
:
:
:
:
Kaum Pilihan Allah
Kematian Rohani dan Kehidupan Rohani: Kelahiran Baru dan Iman
R.C. Sproul
SAAT Malang, 1998
104-119

Doktrin Sola Scriptura

Editorial: 

Dear e-Reformed netters,

Kiriman artikel bulan Juli ini diambil dari Majalah Veritas (Vol. 3, Nomor 1 - April 2002). Judul dan isi artikel ini saya yakin sangat menarik dan penting, yaitu "Doktrin Sola Scriptura", yang ditulis oleh Sdr. Yohanes Adrie Hartopo. Artikel sebelumnya telah disampaikan dalam Retreat Pembinaan Doktrinal yang diselenggarakan oleh Seminari Alkitab Asia Tenggara dalam rangka Hari Reformasi ke-484, di Hotel Kusuma Agrowisata, Batu, pada 29-31 Oktober 2001.

Selamat membaca.

In Christ,
Yulia

Penulis: 
Yohanes Adrie Hartopo
Edisi: 
031/VII/2002
Isi: 

[Catatan : **Angka merah dalam artikel adalah Catatan Kaki yang dapat ditemukan pada akhir artikel]

PENDAHULUAN

"Unless I am convinced by Sacred Scriptura or by evident reason, I will not recant. My consience is held captive by the Word of God and to act against conscience is neither right nor safe."

Kata-kata ini diucapkan oleh Martin Luther pada 18 April 1521 ketika ia diajukan pada sidang kekaisaran di kota Worms di hadapan kaisar Charles V yang menjadi penguasa Jerman (dan beberapa bagian Eropa lainnya) pada saat itu, serta di hadapan para pemimpin gerejawi. Luther dipanggil ke kota ini dengan tujuan supaya ia menarik kembali perkataan dan pengajarannya. Ia diminta mengaku salah di depan publik untuk apa yang ia tuliskan dan ajarkan tentang Injil, keselamatan melalui iman, dan hakikat gereja. Tetapi ia tidak bersedia melakukannya.**1

Mengapa Luther tidak bersedia? Sebab hati nuraninya dikuasai sepenuhnya oleh firman Tuhan. Ia yakin sepenuhnya bahwa Alkitab dengan jelas mengajarkan kebenaran tentang manusia, jalan keselamatan, dan kehidupan Kristen. Ia melihat bahwa kebenaran-kebenaran yang penting ini sudah dikaburkan dan diselewengkan oleh gereja-gereja pada saat itu, yang seharusnya justru menjadi pembela yang setia. Di mata Luther, dasar penyelewengan gereja pada saat itu adalah pengajaran yang tidak sesuai dengan Alkitab.**2 Ia tidak dapat tahan lagi melihat kerusakan gereja yang telah melawan Alkitab, yang juga sudah mencemari aspek-aspek kehidupan gereja lainnya.

Di sinilah kita melihat sikap Reformasi terhadap Alkitab. Prinsip penting yang ditegakkan dalam gerakan Reformasi adalah Sola Scriptura (hanya percaya kepada apa yang dikatakan oleh Alkitab yang adalah firman Tuhan, karena hanya Alkitab yang memiliki otoritas tertinggi). Kita mengetahui dua ungkapan yang mewakili gerakan Reformasi yaitu Sola Fide dan Sola Scriptura. Sering dikatakan bahwa Sola Fide adalah prinsip material dari pengajaran Reformasi, sedangkan Sola Scriptura adalah prinsip formalnya.**3 Kalau ditelusuri lebih dalam lagi maka jelaslah bahwa prinsip Sola Scriptura ada di balik semua perdebatan mengenai pembenaran melalui iman, karena Luther yakin sekali bahwa kebenaran ini diajarkan di dalam Alkitab.**4

SOLA SCRIPTURA DAN KEWIBAWAAN ALKITAB

Para Reformator tidak pernah berusaha menegakkan doktrin yang baru atau berminat mendirikan gereja yang lain, yang mereka inginkan ialah mereformasi gereja,**5 dalam pengertian mereka ingin menghidupkan kembali kepercayaan-kepercayaan dan praktek-praktek gerejawi yang murni berdasarkan Alkitab. John R. de Witt mengatakan, "The Reformation rediscovered and accentuated afresh the authority of the Bible."**6 Para Reformator memiliki semangat untuk mengembalikan iman orang Kristen dan kekristenan kepada otoritas Alkitab. John Calvin mengemukakan,

Biarlah hal ini kemudian menjadi suatu aksioma yang pasti: bahwa tidak ada yang lain yang harus diakui di dalam gereja sebagai firman Allah kecuali apa yang termuat, pertama dalam Torah dan Kitab Nabi- nabi, dan kedua dalam tulisan-tulisan para Rasul; dan bahwa tidak ada metode pengajaran lain di dalam gereja yang berlainan dari apa yang sesuai dengan ketentuan dan aturan dari firman-Nya.**7

Prinsip Sola Scriptura dengan jelas mendobrak tirani dari suatu hierarki gerejawi yang sudah "corrupt" karena gereja menempatkan dirinya lebih tinggi dari firman Tuhan. Padahal, berdasarkan Efesus 2:20 dapat dikatakan bahwa otoritas Alkitab sudah lebih dulu ada sebelum gereja berdiri karena gereja didirikan di atas dasar pengajaran para rasul dan para nabi. Pengajaran para rasul dan nabi adalah pengajaran firman Tuhan, yang jelas bukan hanya lebih tua tetapi juga lebih tinggi dari pengajaran gereja. Alkitab mampu memberikan penilaian atas gereja sekaligus memberikan model bagi gereja yang benar.

Para Reformator memiliki pendapat yang tegas bahwa wewenang gereja dan para penjabatnya (para Paus, dewan-dewan dan teolog-teolog) berada di bawah Alkitab. Ini tidak berarti mereka tidak memiliki wewenang. Namun, sebagaimana diungkapkan Alister McGrath, wewenang tersebut berasal dari Alkitab dan berada di bawah Alkitab.**8 Kewibawaan mereka dilandaskan pada kesetiaan mereka pada firman Allah. Selanjutnya McGrath mengatakan, "Bila orang-orang Katolik menekankan pentingnya kesinambungan historis, para Reformator dengan bobot yang sama menekankan makna penting dari kesinambungan ajaran.**9

Jadi, prinsip Sola Scriptura menolak otoritas tradisi gereja yang disetarakan dengan otoritas Alkitab. Sebuah catatan perlu diberikan di sini guna menghindari kesalahpahaman yang sudah cukup umum. Banyak orang berpikir bahwa para Reformator percaya kepada otoritas Alkitab yang tanpa salah, sedangkan gereja Roma Katolik percaya hanya kepada otoritas gereja dan tradisinya yang tanpa salah. Ini suatu kekeliruan. Pada masa Reformasi, kedua pihak sama-sama mengakui otoritas Alkitab.**10 Contohnya, bagi sebagian besar teolog abad pertengahan, Alkitab merupakan sumber yang mencukupi untuk ajaran Kristen.**11 Yang menjadi pertanyaan dan perdebatan ialah: "Is the Bible the only infallible source of special revelation?"**12

Gereja Roma Katolik mengajarkan ada dua sumber wahyu khusus, yaitu Alkitab dan tradisi. Tradisi di sini dimengerti sebagai satu sumber yang berbeda, di samping Alkitab. Alkitab tidak berkata apa-apa mengenai sejumlah pokok masalah atau doktrin, dan Allah telah menetapkan suatu sumber wahyu kedua untuk melengkapi kekurangan ini. Ini adalah suatu tradisi yang tidak tertulis. Jikalau ditelusuri lebih mendalam, tradisi yang diturunkan dari satu generasi ke generasi berikutnya di dalam gereja, itu dianggap berasal dari para rasul. Jadi tradisi yang dimaksud di sini adalah "a separate, unwritten source handed down by apostolic succession."**13 Dengan demikian, suatu kepercayaan yang tidak ditemukan dalam Alkitab, dapat dibenarkan dengan mengacu pada tradisi yang tidak tertulis tersebut.

Gereja Roma Katolik memberikan otoritas kepada tradisi ini, karena itu mereka tidak mengizinkan siapapun menafsir Alkitab dengan cara yang bertentangan dengan tradisi tersebut. Jelas mereka meninggikan tradisi melebihi Alkitab, bahkan menganggap bahwa Alkitab hanya bisa ditafsirkan dan diajarkan dengan perantaraan Paus atau konsili gerejawi. Para Reformator dengan tegas melawan konsep ini. Dalam perdebatan dengan teolog-teolog Roma Katolik, Luther dengan berani menegaskan bahwa adalah mungkin bagi Paus dan konsili gerejawi untuk melakukan kesalahan.

Prinsip Sola Scriptura juga tidak dapat dilepaskan dari masalah kanon Alkitab. Istilah "kanon" (aturan, norma) digunakan untuk merujuk pada kitab-kitab yang oleh gereja dianggap otentik. Bagi teolog-teolog abad pertengahan dan gereja Roma Katolik, yang dimaksud dengan Alkitab ialah karya-karya yang tercakup dalam Vulgata. Di dalamnya terdapat tambahan kitab-kitab yang sering disebut kitab-kitab Apokrifa, yang tidak terdapat dalam PL bahasa Ibrani. Para Reformator tidak setuju dengan adanya tambahan tersebut, dan mereka merasa berwenang untuk mempersoalkan penilaian ini. Menurut mereka, tulisan-tulisan PL yang dapat diakui untuk masuk ke dalam kanon Alkitab hanyalah yang asli terdapat di dalam Alkitab Ibrani.**14 Kitab-kitab Apokrifa memang merupakan bacaan yang berguna, tetapi tidak bisa digunakan sebagai dasar ajaran.**15 Penegasan Sola Scriptura mengakibatkan mereka menyingkirkan semua kitab di luar keenam puluh enam kitab dalam Alkitab. Perbedaan ini tetap ada sampai sekarang.**16

Mengapa para Reformator sangat menjunjung tinggi otoritas Alkitab? Jawabannya sederhana sekali: karena Alkitab adalah firman Tuhan, maka Alkitab dengan sendirinya memiliki kewibawaan atau otoritas. Luther berkata, "The Scriptures, although they also were written by men, are not of men nor from men, but from God."**17 Sedangkan menurut Calvin,

The Scriptures are the only records in which God has been pleased to consign his truth to perpetual rememberance, the full authority which they ought to possess with faithful is not recognized, unless they are believed to have come from heaven, as directly as if God had been heard giving utterance to them.**18

Jadi ada konsensus bahwa Alkitab harus diterima seakan-akan Allah sendirilah yang sedang berbicara.

Otoritas Alkitab berakar dan berdasarkan pada fakta bahwa Alkitab diberikan melalui inspirasi Allah sendiri (2Tim. 3:16). Inspirasi adalah cara di mana Allah memampukan penulis-penulis manusia dari Alkitab untuk menulis semua perkataan di bawah pengawasan Allah sendiri. Kepribadian dan kemanusiawian para penulis Alkitab diakui aktif dalam proses di mana Roh Allah memimpin mereka dalam proses inspirasi tersebut. Karena itu apa yang ditulis bukan semata-mata tulisan mereka sendiri tetapi firman Allah yang sejati. Calvin memberi komentar mengenai 2Timotius 3:16,

This is the principles that distinguishes our religion from all others, that we know that God hath spoken to us and are fully convinced that the prophets did not speak of themselves, but as organs of the Holy Spirit uttered only that which they had been commissioned from heaven to declare. All those who wish to profit from the Scriptures must first accept this as a settled principle, that the Law and the prophets are not teachings handed on at the pleasure of men, or produced by men's minds as their source, but are dictated by the Holly Spirit.**19

Bagaimana sebenarnya cara atau metode mengenai inspirasi ilahi ini tidak dipaparkan secara jelas dalam Alkitab.**20 Butir yang lebih krusial adalah fakta bahwa "the Scriptures are the direct result of the breathing out of God."**21 B.B. Warfield memberikan komentar yang sangat baik mengenai kata Yunani theopneustos:

The Greek term has...nothing to say inspiring or of inspiration: it speaks only of a "spiring" or "spiration." What it says of Scripture is, not that it is "breathed into by God" or that it is the product of the Divine "inbreathing" into its human authors, but that it is breathed out by God...when Paul declares, then, that "every scripture," or "all scripture" is the product of the Divine breath, "is God-breathed," he asserts with as much energy as he could employ that Scripture is the product of a specifically Divine operation.**22

Ini berarti semua yang ditulis para penulis Alkitab itu berasal dari Allah. Jadi, Alkitab berotoritas adalah karena kenyataan dirinya sebagai penyataan ilahi yang diberikan melalui inspirasi ilahi.

Pertanyaan penting berkaitan dengan otoritas Alkitab ialah: Berdasarkan apa kita menerima otoritas Alkitab tersebut? Bagaimana kita tahu dan yakin bahwa yang kita tegaskan tentang otoritas Alkitab itu benar adanya? Apakah melalui gereja kita mengerti dan diyakinkan akan otoritas Alkitab sebagai firman Allah (pandangan gereja Roma Katolik yang tradisional)? Di dalam sejarah gereja kita melihat ada banyak orang berusaha memberikan argumen-argumen yang rasional guna mendukung klaim bahwa Alkitab adalah firman Tuhan. Tetapi kita pun tahu bahwa sering argumen-argumen itu, meskipun perlu dan penting, tidak sepenuhnya "convincing."

Di sini kita melihat satu pokok pikiran Calvin yang sangat penting berkaitan dengan masalah ini. Ia dengan tidak henti-hentinya menegaskan bahwa dasar satu-satunya yang meyakinkan mengapa kita percaya otoritas Alkitab adalah kesaksian Roh Kudus sendiri. Kita percaya bahwa Alkitab adalah firman Allah karena kesaksian Roh Kudus. Ia mengatakan:

The testimony of the Spirit is more excellent than all reason. For as God alone is a fit witness of himself in his Word, so also the Word will not find acceptance in men's hearts before it is sealed by the inward testimony of the Spirit. The same Spirit, therefore, who has spoken through the mouths of the prophets must penetrate into our hearts to persuade us that they faithfully proclaimed what had been divinely commanded.**23

Jadi, otoritas Alkitab tidak tergantung pada bukti-bukti kehebatan dan kesempurnaannya, tetapi oleh karena iman yang Roh Kudus sudah kerjakan dalam hidup orang-orang percaya sehingga mereka mempercayai kebenaran Alkitab dan menaklukkan diri di bawah otoritas tersebut. James M. Boice mengutarakan bahwa kesaksian Roh Kudus ini adalah "the subjective or internal counterpart of the objective or external revelation."**24

Apa yang Calvin ajarkan di sini sesuai dengan perkataan Paulus di 1Korintus 2:13-14. Jadi, jelas sekali bahwa terlepas dari karya Roh Kudus seseorang tidak akan menerima kebenaran-kebenaran rohani dan secara khusus tidak akan menerima kebenaran bahwa perkataan-perkataan Alkitab adalah firman Allah. Calvin juga mengatakan, "But it is foolish to attempt to prove to infidels that the Scripture is the Word of God. This it cannot be known to be, except by faith."**25

Keyakinan yang datangnya dari kesaksian Roh Kudus adalah keyakinan yang muncul ketika kita membaca firman Tuhan dan mendengar suara Tuhan berbicara melalui perkataan-perkataan Alkitab tersebut serta menyadari bahwa ini bukanlah kitab biasa. Roh Kudus berbicara di dalam (in) dan melalui (through) perkataan-perkataan Alkitab dalam memberikan keyakinan ini.**26 Tepatlah apa yang dikatakan oleh seorang pastor, "If you have the Bible without the Spirit, you will dry up. If you have the Spirit without the Bible, you will blow up. But if you have both the Bible and the Spirit together, you will grow up."

Setelah zaman Reformasi, pandangan ortodoks mengenai Alkitab mendapat serangan demi serangan. Gereja Roma Katolik bahkan secara resmi pada tahun 1546 (konsili Trent) menempatkan tradisi gereja berdampingan dan setara dengan Alkitab sebagai sumber penyataan. Serangan lain datang dari golongan rasionalis pada abad 18 dan 19. Alkitab bukanlah "God word to man" tetapi "man's word about God and man." Alkitab hanya berisi kesaksian atau catatan manusia tentang karya penyataan dan keselamatan Allah dalam sejarah. Sifat ilahi yang unik dari Alkitab ditolak, sehingga otoritasnya pun ditolak. Otoritas tertinggi ialah rasio manusia. Rasio menusia memiliki kebebasan mutlak yang harus terlepas dari klaim-klaim teologis.**27

Bagaimana dengan sikap gereja-gereja Tuhan terhadap Alkitab? Sola Scriptura adalah doktrin yang menegaskan bahwa Alkitab, dan hanya Alkitab, yang memiliki kata akhir untuk semua pengajaran dan kehidupan kita. Seluruh aspek pemikiran dan kehidupan kita harus tunduk pada firman Allah. Benarkah demikian? David Well, dalam bukunya, No Place for Truth,**28 memberikan kritik tajam kepada golongan injili yang sudah jatuh ke dalam berbagai pencobaan zaman modern, sehingga akhirnya kebenaran Allah sudah tidak lagi mengatur gereja-gereja. Hal-hal apa sajakah yang menjadi mentalitas zaman ini? Menurut Well ada beberapa, yakni:

  1. Subjectivism: basing one's life upon human experience rather than upon objective truth
  2. Psychological therapy as the way to deal with human needs
  3. A preoccupation with "professionalism," especially business management and marketing techniques as the model for achievement any kind of common enterprise
  4. Consumerism: the notion that we must always give people what they want or what they can be induced to buy
  5. Pragmatism: the view that results are the ultimate justification for any idea or action

Akibatnya, masih menurut Wells, Allah tidak lagi menjadi sesuatu yang penting dalam hidup manusia. Kebenaran tidak lagi menguasai gereja. Teologi tidak memberikan daya tarik. Khotbah-khotbah hanya berpusatkan pada "felt needs." Teori-teori marketing dan manajemen dalam pertumbuhan gereja menggantikan prinsip-prinsip Alkitab. Hal ini perlu menjadi pemikiran serius bagi gereja-gereja Tuhan.

Bagaimana sikap para hamba Tuhan terhadap Alkitab? Panggilan hamba Tuhan ialah panggilan untuk mempelajari dan menguraikan firman Tuhan (bdk. Kis 20:27, dimana Paulus mengajarkan "the whole counsel of God" selama pelayanannya di Efesus). Menurut de Witt, salah satu ciri khas teologi Reformed ialah pandangan mengenai berkhotbah (preaching) yang distingtif. Ia menulis, "It is by preaching that God confronts people and draws them to himself, conforming them to the pattern of his Son; indeed, it is by preaching that Jesus addresses himself to the hearts and consciences of men (Rom. 10:14)."**29 Berdasarkan apa yang dinyatakan di dalam Alkitab, preaching adalah eksposisi dan aplikasi firman Tuhan. Tugas ini dipercayakan kepada para hamba Tuhan (bdk. Kis. 6:1 dst.). John Stott dengan keras berkata, "Sehat tidaknya keadaan jemaat-jemaat kita lebih banyak tergantung pada mutu pelayanan pemberitaan firman Tuhan daripada hal-hal lainnya...apa yang terjadi di bangku jemaat memancarkan apa yang terjadi di mimbar."**30 Apakah tugas ini sudah kita jalankan dengan penuh kesungguhan dan keseriusan karena kita memberitakan firman yang memiliki otoritas dari Allah?

SOLA SCRIPTURA DAN PENAFSIRAN ALKITAB

Elemen baru di dalam pengajaran Sola Scriptura dari para Reformator sebenarnya bukanlah permasalahan otoritas Alkitab, karena gereja Roma Katolik juga berpegang pada hal itu. Elemen yang baru berkaitan dengan masalah penafsiran Alkitab. Bukanlah hal yang berlebihan kalau dikatakan bahwa Reformasi pada abad 16 tersebut pada dasarnya adalah suatu revolusi hermeneutik.**31 Gerakan Reformasi menolak penafsiran otoritatif terhadap Alkitab, khususnya dari gereja Roma Katolik yang menekankan bahwa Paus atau konsili gerejawilah yang memiliki otoritas untuk menafsirkan Alkitab. Sampai zaman Reformasi Alkitab masih dianggap oleh kebanyakan orang sebagai kitab yang "obscure." Orang awan biasa tidak dapat diharapkan untuk mengertinya, sehingga mereka tidak didorong untuk membacanya. Bahkan Alkitab tidak tersedia dalam bahasa yang mereka mengerti. Mereka jelas bergantung sepenuhnya pada penafsiran gereja yang bersifat otoritatif. Pengajaran Alkitab dikomunikasikan kepada orang-orang Kristen hanya melalui perantaraan Paul, konsili, atau pastor.

Para Reformator sangat menekankan prinsip "private interpretation," yakni hak untuk menafsirkan Alkitab secara pribadi. Dengan demikian setiap orang Kristen memiliki hak untuk membaca dan menafsirkan Alkitab untuk dirinya sendiri.**32 Tetapi ini bukan berarti kepada setiap individu diberikan hak untuk menyelewengkan atau mendistorsi Alkitab. Ini adalah prinsip yang berasumsi bahwa Allah yang hidup berbicara kepada umat-Nya secara langsung dan otoritatif melalui Alkitab. Karena itu orang Kristen harus didorong untuk membaca Alkitab. Alkitab harus diterjemahkan kedalam bahasa umum. Luther, contohnya, sangat menekankan hal ini, sehingga ia menerjemahkan Alkitab ke dalam bahasa Jerman.

Para tokoh Reformator sendiri tampaknya menekankan pengertian mereka terhadap Alkitab dengan tidak mempedulikan apakah pengajaran mereka bertentangan dengan keputusan-keputusan konsili atau penafsir-penafsir gerejawi lainnya. Bagi mereka gereja bukanlah penentu arti Alkitab, justru Alkitablah yang harus mengoreksi dan menghakimi gereja. Tetapi pertanyaannya: apakah memang tidak ada peranan pengajaran (tradisi) gereja sama sekali dalam hal ini? Reformasi sering kali dilihat mempunyai ciri khas yaitu suatu "massive break" dengan tradisi gereja. Yang benar adalah, para Reformator menentang otoritas tradisi dan otoritas gereja, hanya sejauh otoritas tersebut mengungguli otoritas Alkitab.**33

Para Reformator tidak pernah menolak tradisi eksegetis dan teologis dari gereja yang didasarkan dan tunduk pada kebenaran Alkitab. Mereka menghormati tradisi, khususnya yang diajarkan oleh bapa-bapa gereja (terutama Agustinus). Luther berkata, "The teachings of the Fathers are useful only to lead us to the Scriptures as they were led, and then we must hold to the Scriptures alone."**34 Calvin, sebagai contoh, menulis edisi Institutes pertama pada tahun 1536 ketika ia masih berusia dua puluhan. Buku ini mengalami revisi beberapa kali, dan edisi akhir adalah tahun 1559. Selama masa dua dekade tersebut ia berkecimpung dan sibuk memberikan eksposisi Alkitab dan berkhotbah. Dalam hal ini ia berinteraksi banyak dengan penafsiran penafsir-penafsir sebelumnya. T. H. L. Parker berkata tentang Calvin:

As his understanding of the Bible broadened and deepened, so the subject matter of the bible demanded ever new understanding in its interrelation within itself, in its relations with secular philosophy, in its interpretation by previous commentators.**35

Maka jelaslah, seperti yang Silva katakan, "the reformation marked a break with the abuse of tradition but not with the tradition itself."**36 Kritik yang diberikan adalah terhadap ajaran dan praktek yang sudah menyeleweng dari, atau bertentangan dengan, Alkitab. Para Reformator masih mempertahankan ajaran-ajaran gereja yang paling tradisional (seperti keilahian Kristus, Trinitas, baptisan anak, dan sebagainya) karena ajaran-ajaran tersebut sesuai dengan Alkitab. Mereka menghargai tulisan-tulisan bapa-bapa gereja yang adalah pembela-pembela kebenaran Alkitab.

Hak "private interpretation" haruslah disertai dengan tanggung jawab untuk memakai dan menafsirkan Alkitab dengan hati-hati dan akurat. Karena itu dalam hal ini kebutuhan akan penafsir dan guru sangat diperlukan. Memang Alkitab dapat dibaca dan dimengerti oleh orang-orang percaya (doktrin the clarity or perspicuity of Scripture), tetapi masih ada hal-hal tertentu yang masih belum jelas dan sulit bagi banyak orang yang sudah tentu membutuhkan suatu penyelidikan dan penelitian akademik. Ketidakjelasan atau kekaburan tersebut lebih banyak disebabkan oleh ketidaktahuan akan bahasa, tata bahasa, dan budaya dari penulis Alkitab, daripada dikarenakan isi pengajaran atau subject-matter-nya. Oleh sebab itu, "biblical scholarship" sangat penting dan diperlukan.

Kontribusi penting dari para Reformator terhadap penafsiran Alkitab ialah penegasan mereka mengenai "plain meaning" (arti yang alamiah atau wajar) dari Alkitab. Secara khusus kepedulian mereka adalah menyelamatkan Alkitab dari penafsiran alegoris yang masih terus ada saat itu.**37 Luther mengungkapkan, "The Holy Spirit is the plainest writer and speaker in heaven and earth and therefore His words cannot have more than one, and that the very simplest sense, which we call the literal, ordinary, natural sense." Apa yang ditekankan di sini bukanlah penafsiran harafiah yang kaku. Prinsip ini menegaskan bahwa "the Bible must be interpreted according to the manner in which it is written."**39 Arti yang "plain" dari Alkitab adalah arti yang dimaksudkan oleh penulis manusia, dan hal itu hanya dapat dimengerti melalui analisa konteks sastra dan sejarah. Jadi jelaslah ada aturan- aturan dalam penafsiran yang harus diikuti untuk menghindari penafsiran yang subjektif dan aneh-aneh. Pengaruh dari semangat Renaissance dalam hal ini tidak bisa dipungkiri. Kita melihat adanya suatu ketertarikan baru terhadap sifat historis dari tulisan-tulisan kuno, di mana Alkitab termasuk di dalamnya.**40

Ada yang mengatakan, "It is almost a truism to say that modern historical study of the Bible could not have come into existence without the Reformation."**41 Prinsip Reformasi ini terkait erat dengan apa yang kita sebut metode penafsiran "Grammatical-Historical," yang berfokus pada "historical setting" dan "grammatical structure" dari bagian-bagian Alkitab. Dalam hal ini para Reformator berfokus pada sifat manusiawi dari Alkitab itu sendiri. Ekses negatif dari pendekatan ini adalah pendapat yang mengatakan bahwa Alkitab harus dimengerti dan ditafsirkan seperti buku biasa lainnya. Inilah yang membuka jalan untuk pendekatan "Historical-Critical" yang berkembang pada abad 18-19. Bedanya dengan pendekatan Reformasi adalah, iman atau komitmen teologi tidak diperbolehkan mempengaruhi penafsiran.**42 Mereka berusaha untuk netral, tetapi sebenarnya tidak dapat netral karena mereka sudah berpegang pada "teologi" (iman) mereka sendiri yaitu teologi yang tidak percaya adanya intervensi Allah dalam dunia ini. Sumbangsih gerakan Reformasi dalam hal penafsiran Alkitab sangat penting, di mana prasuposisi iman tidak mungkin dilepaskan dari penafsiran Alkitab.

Pemikiran Reformasi mengenai penafsiran Alkitab juga menolong kita untuk berhati-hati di dalam merespons segala bentuk pendekatan atau metode penafsiran posmodernisme, yang secara khusus memberikan penekanan pada respons dari pembaca masa kini (reader-response approach). Pendekatan ini beranggapan bahwa tidak ada "meaning" yang pasti dan benar, yang ada hanyalah "meanings" yang muncul atau dihasilkan dari pembaca sendiri. Bahaya subjektivisme dan relativisme sangat terlihat di sini. Memang betul penafsiran Alkitab tidak hanya berhenti pada interpretasi, tetapi aplikasi. Kendati demikian ini bukan berarti aplikasi yang tidak terkontrol dan sembarangan di mana seolah-olah pembacanya yang menentukan arti dan aplikasinya.**43

Gerakan Reformasi juga menetapkan suatu prinsip penting dalam penafsiran yaitu "Scripture is to interpret itself" (Sacra Scriptura sui interpres). Kita menafsirkan Alkitab dengan Alkitab. Oleh sebab itu, kita tidak mempertentangkan satu bagian Alkitab dengan bagian lainnya. Apa yang tidak jelas di suatu bagian mungkin dapat dijelaskan oleh bagian lain. Di balik prinsip ini ada sebuah keyakinan bahwa jikalau Alkitab ialah firman Allah maka ia bersifat koheren dan konsisten pada dirinya sendiri. Allah tidak mungkin berkontradiksi dengan diri-Nya sendiri. Memang benar Alkitab dituliskan oleh orang-orang yang berbeda, yang hidup pada zaman yang berbeda pula. Tetapi kita juga menyadari bahwa Allah adalah Penulis aslinya, sehingga jelas ada kesatuan dan koherensi. Ini tidak sama artinya dengan uniformitas (keseragaman). Para penulis manusia menunjukan tulisan mereka pada situasi yang nyata, tetapi Allah dalam kedaulatan-Nya menuntun mereka dan situasi mereka, bahkan secara langsung mempengaruhi dan mengajar mereka (bdk. 2Ptr. 1:21), sehingga kita melihat kesatuan pikiran di balik semua itu. Untuk mengetahui maksud Allah tidak mungkin kita memperhatikan "bits" dan "pieces" saja. Kita harus melihat Alkitab secara keseluruhan, sama seperti ketika kita bermaksud mengetahui maksud penulis manusia, yaitu dengan membaca hasil akhir karyanya.

Jelaskan bahwa Alkitab menyajikan tujuan ilahi. Concern Alkitab adalah memberitahukan kepada kita suatu "story," yaitu cerita mengenai karya penebusan Allah bagi umat-Nya melalui Yesus Kristus. Alkitab menyajikan kepada kita "Redemptive History." Oleh sebab itu ayat-ayat dalam Alkitab tidak pernah dapat ditafsirkan lepas dari konteks kesatuan keseluruhan Alkitab. Setiap bagian Alkitab berkaitan erat dan tidak boleh ditafsirkan di luar konteks rencana dan aktivitas Allah yang bersifat "redemptive-historical" dan "covenantal" (relasi antara Allah dan umat-Nya).

PENUTUP

Apakah doktrin Sola Scriptura masih relevan untuk dipertahankan? Melihat situasi yang kita hadapi saat ini maka penegasan doktrin yang mendasar ini masih sangat penting. Kita sekarang hidup pada zaman yang sering kali disebut sebagai zaman pascamodernisme. Apa yang menjadi mentalitas zaman ini? William Edgar mengemukakan, "at the heart of the postmodern mentalily is a culture of extreme skepticism... According to many postmodernists, knowledge is no longer objective-nor even useful-and ethics is not universal."**44 Inilah dunia yang tidak kompatibel dengan kebenaran injil, dan di dalam dunia yang seperti ini Tuhan memanggil kita untuk mempertahankan kebenaran firman-Nya.

Daftar Catatan Kaki

**1. Earle E. Cairns, Christianity Through the Centuries (Edisi ketiga; GrandRapids: Zondervan, 1996) 284.

**2. Stephen Tong, Reformasi & Teologi Reformed (Jakarta: LRII, 1991) 13.

**3. Alister E. McGrath, Sejarah Pemikiran Reformasi (Jakarta: Gunung Mulia, 1999) 174.

**4. R. C. Sproul, Grace Unknown: The Heart of Reformed Theology (Grand Rapids: Baker, 1997) 42.

**5. Tony Lane, The Lion Concise Book of Christian Thought (Tring: Lion, 1984) 110-111.

**6. What is the Reformed Faith? (Edinburgh: Banner of Truth, 1981) 5.

**7. McGrath, Sejarah Pemikiran Reformasi 182.

**8. Ibid. 185. McGrath juga mengutip Calvin yang mengatakan, "... kita berpegang bahwa....bapa-bapa gereja dan dewan-dewan hanya berwibawa sejauh mereka sesuai dengan aturan dari firman itu, kita masih memberikan kepada dewan-dewan dan bapa-bapa gereja kehormatan dan kedudukan seperti yang sesuai untuk mereka miliki di bawah Kristus" (Sejarah Pemikiran Reformasi 186).

**9. Ibid. 186.

**10. J.M. Boice, Foundations of the Christian Faith (Downers Grove: IVP, 1986) 48.

**11. Alister McGrath, The Intellectual Origins the European Reformation (Oxford: Oxford University Press, 1987) 140-151.

**12. Sproul, Grace Unknown 42.

**13. J. Van Engen, "Tradition" dalam Evangelical Dictionary of Theology (ed. Walter Elwell; Grand Rapids: Baker, 1984) 1105.

**14. McGrath, Sejarah Pemikiran Reformasi 182-183.

**15. Contohnya, pengajaran Roma Katolik mengenai doa untuk orang mati didasarkan pada 2Makabe 12:40-46. Bagi para Reformator, kebiasaan ini tidak mempunyai dasar alkitabiah, karena kitab tersebut adalah kitab Apokrifa.

**16. Konsili Trent 1546 tetap mendifinisikan kanon sesuai dengan apa yang ada di dalam Alkitab Vulgata.

**17. "That Doctrines of Men Are to Be Rejected" dalam What Luther Says: An Anthology (ed. Elwald M. Plass; St. Louis:Concordia, 1959) 1.63.

**18. Institutes of the Cristian Relegion (tr. H. Beveridge; London: James Clarke, 1953) I.vii.1.

**19. Calvin's New Testament Commentaries (tr. T. A. Small; Grand Rapids: Eerdmands, 1964) 10.330.

**20. Luther sendiri juga tidak pernah mengembangkan teologi tentang inspirasi Alkitab.

**21. Boice, Foundations 39.

**22. The Inspiration and Authority of the Bible (ed. Samuel G. Craig London: Marshall & Scott, 1959) 133.

**23. Institutes I. vii. 4.

**24. Foundation 49.

**25. Institutes I.viii. 13.

**26. Dalam hal inilah kita berbeda dengan pandangan Neo-Ortodoksi mengenai Alkitab. Kita percaya bahwa tulisan-tulisan dalam Alkitab adalah perkataan Allah kepada kita, terlepas dari apakah kita membacanya, mengerti, menerimanya atau tidak. Status Alkitab tidak ditentukan oleh respons manusia. Neo-Ortodoksi menekankan bahwa Alkitab menjadi firman Allah pada saat ada "encounter." Ketika tidak ada encounter, maka Alkitab hanyalah kata-kata manusia belaka yang menuliskannya. Sebenarnya pengertian wahyu sebagai suatu "encounter" tersebut adalah apa yang kita mengerti sebagai iluminasi. Pada saat seseorang diyakinkan akan suatu kebenaran tertentu, itu berarti illuminasi sedang terjadi.

**27. Robert M. Grant dan David Tracy, A Short History of the Interpretation of the Bible (Edisi kedua; Minneapolis: Fortress, 1984) 100-109. Tepatlah apa yang dikatakan Boice, "The Catholic Church weakened the orthodox view of the Bible by exalting human traditions to the stature of Scripture. Protestans weakened the orthodox view of Scripture by lowering the Bible to the level of traditions" (Foundations 70)

**28. Atau Whatever Happened to Evangelical Theology? (Grand Rapids: Eerdmans,1993).

**29. What is the Reformed Faith? 17-18

**30. Alkitab: Buku Untuk Masa Kini (tr. Paul Hidayat; Jakarta: PPA, 1987)60-61.

**31. Moises Silva, Has the Church Misread the Bible? (Grand Rapids:Zondervan, 1987)77.

**32. Sproul, Grace Unknown 55.

**33. Silva, Has the Church 95.

**34. Dikutip dari Dan McCartney dan Charles Clayton, Let the Reader Understand: A Guide to Interpreting and Applying the Bible (Wheathon: Bridgepoint, 1994) 93.

**35. John Calvin: A Biography (Philadelphia: Westminster, 1975) 132.

**36. Silva, Has the Church 96.

**37. Ibid. 77-78.

**38. Works of Martin kLuther (Philadelpia: Holman, 1930) 3.350

**39. Sproul, Grace Unknown 56.

**40. Edgar Krentz, The Historical-Critical Method (Philadelphia: Fortress, 1975) 7-10.

**41. Grant and Tracy, A Short History 92.

**42. Krentz, The Historical 16-30.

**43. Lihat ulasan yang menarik oleh Kevn J. Vanhoozer, Is There A Meaning in the Text? The Bible the Reader, and the Morality of Literary Knowledge (Grand Rapids: Zondervan, 1998) khususnya pasal 4 & 7.

**44. Reasons of the Heart: Recovering Christian Persuasion (Grand Rapids: Baker, 1996) 25.

Sumber: 

Sumber diambil dari:

Judul Buku : Majalah Veritas (Vol. 3, Nomor 1 - April 2002)
Judul Artikel : Doktrin Sola Scriptura
Penulis : Yohanes Adrie Hartopo
Penerjemah : -
Penerbit : -
Halaman : -

Kita Percaya bahwa Kita adalah, dan Selalu akan Menjadi Pakar dalam Berbuat Dosa

Editorial: 

Dear e-Reformed netters,

Beberapa waktu yang lalu saya mendapat kesempatan untuk berkunjung ke sebuah toko buku Kristen. Di antara buku-buku menarik yang saya amati ada satu buku yang berjudul:

"12 Langkah Penyembuhan bagi Orang Farisi (seperti saya); Temukan Kasih Karunia agar Hidup Tanpa Topeng". [John Fischer]

Dari membolak-balik buku itu saya mulai melihat beberapa poin yang menarik dan membuat saya melihat diri saya sendiri (sebagai orang Reformed) dengan kacamata yang lain.....

Nah,... lepas dari setuju atau tidak setuju pendapat anda dengan isi keseluruhan dari buku tsb., ada satu Bab dalam buku itu yang ingin sekali saya bagikan dengan anda semua. Mudah-mudahan ini bisa menjadi pemacu untuk kita terpaksa mengintrospeksi diri kita sendiri ....

Selamat membaca!

In Christ,
Yulia

Penulis: 
John Fischer
Edisi: 
030/VI/2002
Isi: 

"Dosa adalah sifatku, satu-satunya hal yang aku tahu bagaimana melakukannya."
(Brother Lawrence)

Dalam sebuah percakapan pribadi antara ibu saya dan istri saya, ibu saya mengatakan bahwa saya tidak pernah berbuat dosa. Istri dan saya sudah 10 tahun hidup bersama jadi tentu saja ia mempunyai pendapat yang berbeda tentang masalah ada atau tidaknya dosa pada saya. Saya sendiri kaget mendengar tanggapan ibu saya bahwa saya sempurna, dan meskipun saya ingin seperti yang dikatakan ibu saya, saya takut bahwa istri saya tahu lebih baik. Sekalipun kami sekarang sering berkelakar mengenai hal itu, saya bertanya-tanya apa yang membuat ibu saya berpendapat yang tidak masuk akal seperti itu. Selain dari mitos "anak-saya-tidak-dapat-berbuat-salah" milik para ibu, adakah hal lain yang lebih diungkapan dalam penilaian ini? Saya percaya mungkin ada.

Banyak penginjil salah mengerti bahwa kerohanian dan kedekatan seseorang dengan Tuhan dapat menunjukkan jumlah dosa yang ada di dalam diri orang itu. Banyak dosa, kurang dekat dengan Tuhan. Dekat Tuhan, sedikit, tujuan terakhir adalah untuk menjadi tidak berdosa -- suatu keadaan yang tak seorang pun di dunia ini telah benar-benar meraihnya, tetapi secara teori ini sepertinya masuk akal. Mungkin ibu saya berpikir karena saya dekat dengan Tuhan maka saya tidak mempunyai dosa.

Kenyataan ini memang didukung oleh kesaksian yang menakjubkan dan reputasi mendekati-sempurna dari mereka yang dekat dengan Tuhan. Pendeta-pendeta dan mereka yang berada dalam "pelayanan Kristen purnawaktu" lebih dekat Tuhan daripada siapa pun dan oleh karenanya paling jauh dari dosa. Inilah sebabnya begitu menghancurkan gereja bila orang-orang mendekati-sempurna ini menjadi mangsa kegagalan moral yang mengerikan. Hasilnya, keterkejutan dan ketidakpercayaan. Mereka begitu rohani; bagaimana ini bisa terjadi?

Kebohonongan Besar Orang Kristen

Dalam novelnya yang menarik untuk zamannya yang berjudul "Portofino", Frank Schaeffer, putra Francis dan Edith Schaeffer, dua orang pemikir Kristen yang penting dalam tiga abad terakhir ini mengikis lapisan pengertian peradaban dari apa yang dianggap banyak orang sebagai keluarga Kristen ideal.

Frank -- dahulunya Franky -- menceritakan tentang keluarga penginjil yang tengah berlibur di Itali selama dua musim panas. Kesamaan antara cerita itu dengan kejadian sebenarnya yang dialami Frank sewaktu kecil ditemukan pada banyak bagian dari novel itu. Di dalam cerita itu kita mendapatkan gambaran seorang ayah yang pendiam, yang di luar terlihat mempertahankan kekolotan yang secara budaya cocok dengan Alkitab, tetapi di rumah cenderung tidak stabil dan berperangai keras. Lalu seorang istri yang bertengkar dengan suaminya mengenai siapa di antara mereka yang lebih rohani, dan anak-anak yang dipaksa untuk menjadi lebih "alkitabiah" sebelum mereka tahu apa pun mengenai artinya. Kendati sejumlah situasi itu lucu dan menarik, sisanya terlalu menyakitkan untuk ditertawakan. Karena bertumbuh dalam keluarga injili yang serupa dan standar ganda, baik di rumah maupun di luar rumah, saya memandang "Portofino" ini setidaknya bisa dianggap sebagai obat pencuci perut.

Dalam mencermati buku ini, saya mempunyai dua reaksi terhadap keluarga Kristen ini. Yang pertama, saya senang melihat kekurangan mereka karena saya merasa lebih baik. Reaksi kedua, saya kecewa karena hati kecil saya berharap bahwa seharusnya Frank tidak menelanjangi potret keluarga yang tidak sempurna ini sehingga saya kemudian bisa tetap percaya bahwa setidaknya orang yang saya hormati, seperti Francis dan Edith Schaeffer, telah menjadi orang benar.

Terlintas dalam pikiran saya bahwa reaksi kedua ini bisa dianggap sebagai kebohongan besar yang dilakukan orang Kristen. Artinya, kepercayaan bahwa seseorang, entah di mana, bisa menjadi benar. Bukankah kita selalu berkumpul dengan pembicara dan penyanyi yang berada di depan dan penting karena mereka sudah menjadi benar, dan bukankah mereka berada di atas mimbar sana karena kita berharap bahwa mereka benar? Bila dengan menyakitkan kita tahu jelas bahwa mereka tidak benar dalam sejumlah segi kehidupan, bukankah mereka langsung disingkirkan dari kedudukan mereka? Bukankah semua orang yang tengah tersenyum di kulit muka buku-buku Kristen memberi tahu kita bagaimana kita, juga, dapat menjadi benar jika mengikuti saran mereka?

Tetapi jangan khawatir, para pengusaha Kristen, pasaran buku Kristen tidak sedang goyah, karena imbauan ini telah tertanam sejak Musa turun dari gunung Sinai dengan Sepuluh Perintah Allah untuk menjadi benar. Dan kita terus membawa kebohongan ini.

Daya Pikat dari "Hampir"

Ternyata bukan menjadi benar yang merupakan persoalannya. Bila kita semua menghadapi dosa dengan lebih realistis, kita tidak akan begitu terkejut ketika muncul dosa dalam kehidupan seorang pemimpin rohani. (Saya takut apa yang akan ditulis anak-anak saya tentang saya nanti.) Bila kita jujur pada diri sendiri tentang siapa kita -- semua di antara kita -- kita akan tahu bahwa pemimpin kita juga manusia biasa, sama seperti kita.

Kadang-kadang saya ingin tahu apakah kita ingin para pemimpin rohani kita menjadi sempurna agar kita tidak perlu sempurna. Selama kita percaya ada orang yang sempurna, kita bisa terus mengabadikan mitos bahwa kesempurnaan itu mungkin dan kita terus membungkus dosa kita sendiri dengan baik di balik dusta dari "hampir". Kita hampir berada di sana. Kita hampir tiba di sana. Kita hampir kudus. Satu buku lagi, satu seminar lagi, satu pelayanan kebangunan rohani lagi, dan kita akan persis seperti orang yang ada di kulit muka buku itu atau brosur itu. Tiba-tiba saja, kehidupan rohani yang kita coba miliki ini makin jauh daripada yang kita inginkan. "Hampir" bahkan belum dekat. Pendeta saja jatuh, bagaimana dengan kesempatan untuk kita jatuh?

Bila kita jujur kepada diri sendiri, kita tahu bahwa pertanyaan riilnya bukanlah bagaimana orang yang begitu tinggi dapat jatuh begitu dalam, tetapi kenapa terjadinya tidak lebih awal di dalam atmosfer yang tidak mustahil? Apa yang dilakukan orang-orang ini di atas sana, dan mengapa kita tempatkan mereka di sana? Persoalan riilnya dalam hal ini bukanlah dengan dosa, tetapi dengan pengertian kita yang salah mengenai siapa diri kita menurut kita. Kita perlu mengerti bahwa bila seseorang jatuh, itu bukan akhir dari segalanya; itu baru kebenaran yang akhirnya terungkap. Sebetulnya baik bila kita semua kembali pada Injil, di mana seharusnya kita sudah sejak dahulu berada di sana (kejatuhan).

Saya sering bertanya-tanya bagaimana Injil yang hanya didasarkan pada jasa-jasa seseorang yang sudah mati untuk menghapus dosa dapat diabadikan pada jasa-jasa mereka yang kelihatannya tidak memerlukannya. Bila seluruh maksud dari Injil adalah pengampunan dosa, mengapa kita selalu memaksa untuk memamerkan kehidupan yang "hampir sempurna" di depan sesama kita? Bagaimana orang yang menyatakan tidak mempunyai dosa untuk diampuni? Bagaimana sebuah gereja yang dahulunya bahagia dan terdiri atas nelayan, pelacur, dan pemungut cukai sekarang berubah menjadi tempat kaum elit rohani? Tak pelak lagi, banyak jawaban rumit atas pertanyaan-pertanyaan ini, tetapi saya percaya pada akar dari semua pertanyaan itu sedang tersembunyi masalah orang Farisi.

PANGGILAN ORANG FARISI ZAMAN DAHULU

Dosa hanya muncul ke permukaan pada bagian awal dari keselamatan. Orang-orang berdosa adalah mereka yang perlu diselamatkan, tetapi begitu mereka diselamatkan, kita jarang mendengar tentang dosa lagi. Benar, dosa masih muncul dalam pengertian pada semua orang berdosa yang ada "di luar sana" yang memerlukan Kristus, tetapi bukankah kita yang "di sini" memerlukan Yesus sebanyak ketika kita telah diselamatkan?

Seakan-akan kita percaya ada suatu standar lain yang terjadi begitu kita menjadi orang Kristen. Orang yang tidak percaya perlu menerima pengampunan dosa, akan tetapi orang percaya hanya perlu berhenti berdosa. Darah Yesus menutup dosa saya ketika saya menjadi orang Kristen, tetapi bahwa sekarang saya sudah diselamatkan, saya harus berbenah diri dan menjadi benar. Keselamatan dimaksudkan bagi mereka yang perlu diselamatkan, bukan bagi mereka yang sudah diselamatkan. Dan apabila "tidak berdosa" harus lebih diutamakan daripada "pengampunan dosa" ,... berhati-hatilah hai orang Farisi.

"Siapa di antara kamu yang tidak berdosa?" itu adalah pertanyaan keras yang Yesus ajukan kepada orang-orang Farisi. Kita seharusnya mengajukan kepada diri kita pertanyaan yang sama. Yohanes mengatakannya demikian, "Jika kita berkata, bahwa kita tidak berdosa, maka kita menipu diri kita sendiri dan kebenaran tidak ada di dalam kita" (1Yohanes 1:8). Walaupun demikian, kita ingin terus ditipu -- untuk mengabadikan mitos tentang diri kita sendiri dan pemimpin-pemimpin kita yang membuat dosa kita tersembunyi karena alternatifnya --menjadi bersih -- begitu menakutkan. Kendati tidak berdosa bukannya tidak mungkin, kita lebih suka untuk mengabadikan keyakinan palsu bahwa ia memang palsu, bukannya menghadapi kenyataan. Kita menciptakan pendeta dan pemimpin terutama untuk membuktikan bahwa tidak berdosa itu dapat dilakukan; tetapi orang-orang itu menjalani kehidupan di luar nilai-nilai rohani. Jika penilaian saya benar, ini sebetulnya karena kasih karunia Tuhan yang diwahyukan sehingga kita semua bisa menghadapi kondisi yang sebenarnya.

Saya bertumbuh dewasa berdasarkan lirik lagu pujian berikut ini: "Siapa yang dapat membasuh dosaku? Tak seorang pun kecuali darah Yesus." Saya perhatikan bahwa penulisnya menggunakan keterangan waktu sekarang, yang berarti bahwa dosa adalah sebuah realitas yang terjadi setiap hari dalam kehidupan orang percaya. Tetapi banyak orang menyanyikannya seakan-akan itu sudah terjadi di masa lalu, "apa yang telah menghapus dosaku?" Seolah-olah dosa kini berada di belakang kita -- sisa dari dosa kita sebelum menjadi orang Kristen.

Orang dapat melihat bagaimana dengan tidak kelihatan kita dapat menjadi calon utama untuk masuk dalam kelompok Farisi. Ketika menjadi sempurna lebih penting daripada diselamatkan -- ketika tidak berdosa lebih diutamakan daripada menangani dosa dengan jujur -- semua kekuatan yang menggoda Saulus dari Tarsus, sekarang siap untuk memberi kita kekuatan yang palsu. Yang dianggap kesempurnaan, susunan standar untuk membuat penghancurannya nyaris tidak mungkin dilakukan, penghakiman atas orang lain, persembunyian, dan tentu saja, kemunafikan, semata-mata terlalu menggoda untuk ditolak.

ORANG GALATIA YANG BODOH

"Hai orang-orang Galatia yang bodoh, siapakah yang telah mempesona kamu?" tulis Paulus. "Adakah kamu sebodoh itu? Kamu telah mulai dengan Roh maukah kamu sekarang mengakhirinya di dalam daging?" (Galatia 3:1,3).

Agaknya, ini bukan persoalan baru. Kita memulai dengan Roh; kita mulai dengan keselamatan; dengan kasih karunia Tuhan yang tidak patut kita terima, tetapi kemudian upaya manusia merayap kembali masuk ke dalam kehidupan kita seperti tanaman liar di kebun. Kita mulai melihat ke dalam diri kita sendiri sambil berpikir bahwa kita harus menemukan apa yang kita perlukan untuk menjadi orang Kristen yang baik, dan pada detik kita mulai melihat diri kita sendiri, kita mulai menutupi dan melindungi dan membandingkan diri kita dengan orang lain, sama seperti orang-orang Farisi. Ini tidak dapat dihindari. Di mana ada perpaduan rohani dengan upaya manusia, di situlah akan ada kejatuhan dari orang-orang Farisi yang menggeliat seperti ular berbisa sedang menunggu ada orang terjerat jatuh.

Jika diperlukan Roh untuk menyelamatkan kita, Paulus berkata, maka dengan Rohlah kita tetap selamat. Mulailah dengan Roh, tetaplah dengan Roh; mulailah dengan keselamatan, tetaplah dengan keselamatan; mulailah dengan kasih karunia, tetaplah dengan kasih karunia. Bagaimana kita dapat menambahkan sesuatu pada apa yang telah Kristus lakukan? Kita diselamatkan setiap kalinya. Kita menyerahkan hidup kita yang penuh dosa kepada-Nya, dengan berbalik dari ketergantungan pada diri sendiri lalu berserah kepada-Nya, dengan berbalik dari ketergantungan pada diri sendiri lalu berserah kepada-Nya, dan menerima hidup-Nya sebagai ganti hidup kita. Kini tidak ada bedanya. Ini adalah transaksi detik-demi-detik.

Orang-orang Galatia mencoba untuk menyempurnakan lewat upaya sendiri apa yang telah dimulai oleh Roh, sementara itu mereka mengingkari Roh yang benar bagi hidup mereka. Masalah mereka sama seperti masalah orang Farisi: ingin menguasai proses itu. Mereka ingin mengembalikan apa yang telah mereka hentikan. Agaknya, mereka merasa terlalu tidak nyaman kalau tidak menguasai. siapa lagi yang mau menolak kasih karunia Tuhan kecuali orang yang tidak ingin mendapat kasih karunia itu? Tragis sekali bahwa sementara ada kasih karunia untuk menutup semua dosa kita, masih ada orang-orang berdosa yang tidak tahu tentang itu dan orang-orang Farisi yang tidak ingin tahu.

KESELAMATAN: DAHULU, SEKARANG, DAN KEMUDIAN

Pengakuan dosa dalam kebanyakan gereja kita berasal dari mereka yang baru saja diselamatkan. Kita mendengar kisah-kisah mereka sebagai gambaran-gambaran "masa lalu" seperti dalam iklan penyedotan lemak dengan semua gelambir lemak yang menjijikkan dan bergantungan ke luar dari baju renang yang tidak pas. Anggapannya adalah, banyak di antara kita telah membuat semua dosa tersedot ke luar dari perut dan bagian belakang tubuh kita, dan sekarang kita sedang menikmati tubuh langsing "sesudah" lemak disedot. Jika dosa dapat mencuat di kemudian hari dalam hidup orang percaya, ini adalah hasil dari kebiasaan kembali ke hidup lama untuk sekian waktu. Kadang kala ini kebetulan menjadi yang terbaik dari kita. Ini dapat "dipecahkan" dengan penyerahan kembali hidup kita kepada Tuhan -- semacam "penyegaran keselamatan". Dosa jarang, seandainya pernah, disebut sebagai bagian yang normal dari pengalaman orang percaya setiap hari.

Apakah keselamatan terjadi satu kali dalam hidup kita atau sesuatu yang kita perlukan setiap hari dalam hidup kita? Jawabannya ya dan ya. Ini sebenarnya dua aspek dari sebuah proses tiga cabang dari keselamatan -- masa yang lalu, sekarang, dan kemudian. Nama teologinya adalah dibenarkan, dikuduskan, dan dimuliakan. Dibenarkan adalah apa yang terjadi terhadap kita dalam kaitannya dengan dosa kita, sekali dan selamanya, di kayu salib. Kematian Yesus sebagai ganti kita telah membenarkan kita selamanya di hadapan Allah sehingga kita dapat bersatu dengan Allah.

Tetapi ini bukan berarti bahwa kita tidak mempunyai dosa. Paulus menyebutnya sebagai "tubuh kematian" yang masih harus kita bawa dalam kehidupan, meskipun kita sudah menerima buah sulung Roh, di dalam hati (Roma 8:23). Kita sering kali terperangkap antara kemuliaan abadi bagi kita ketika kita menerima tubuh yang sudah dibangkitkan seperti Kristus, dan pembenaran kita di masa lalu yang sudah dilakukan oleh Yesus di salib. Segala sesuatu di antara itu adalah pengalaman masa kini dari proses pengudusan.

Orang percaya tidak selalu kembali ke hidup lama yang tercela. Juga tidak selalu tidak taat dengan sengaja. Sering kali, bentuknya hanya dinyatakan atau diperlihatkan karena karya Roh Kudus dalam mengelupasi sifat dosa kita seperti lapisan-lapisan bawang bombay. Kadang kala diungkapkan karena kerja Roh Kudus yang mengupas kita seperti bawang. Makin lama kita mengikut Kristus, makin kita tahu betapa dalam dosa itu berakar, dan betapa dalam dan lebarnya kemurahan dan kasih-Nya. Menyadari dosa, mengaku dosa, dan meminta pengampunan berlangsung sementara kita makin mengenali diri sendiri. Ini menyakitkan, karena kita terus menemukan seberapa jauh kita masih harus pergi, tetapi bermanfaat karena kita terus menemukan, juga, seberapa banyak Kristus telah lakukan untuk kita. Itulah sebabnya mengapa orang percaya yang lebih lama selalu merasa mempunyai pertalian dengan orang percaya baru. Ini adalah proses yang sama. Orang percaya baru mungkin mengalami pengampunan Allah untuk pertama kali, tetapi pengalaman ini langsung, nyata dan perlu bagi keduanya.

Ini juga yang menjadi alasan mengapa orang percaya baru dan orang percaya lama dapat menyanyikan lagu yang sama, menceritakan kisah Injil yang sama, membicarakan pengampunan yang sama yang langsung dari pengalaman masing-masing yang paling mutakhir. Perhatikan lagu ini: [diterjemahkan bebas dari lagu "At the Cross"]

Disalib, disalib, pertama kulihat t'rang, Dan beban hatiku lenyap; Dengan iman kudicelikkan Kini, kusenang selamanya.

Apakah orang yang sudah 20 tahun percaya menyanyikan lagu ini sambil mengingat ke masa 20 tahun yang lalu ketika ia menerima pengampunan? Apakah ia mengingat dan mengalami sendiri pengampunannya itu melalui tangisan seorang petobat baru? Ataukah air matanya tergenang sementara menyanyikan lagu ini untuk kesekian kalinya, karena ia menyadari maknanya jauh lebih dalam dibandingkan ketika ia menyanyikannya karena dosanya baru saja diampuni?

"Tell Me the Old, Old Story" adalah lagu lain yang sering dinyanyikan sewaktu saya kecil. Tetapi lagu lama bisa menjadi lagu baru bila kita mengerti dan mengalami proses pengudusan yang menyakitkan tetapi memuliakan.

MAKIN BANYAK DOSA, MAKIN BANYAK DARI TUHAN

"Tetapi hukum Taurat ditambahkan, supaya pelanggaran menjadi semakin banyak; dan di mana dosa bertambah banyak, di sana kasih karunia menjadi berlimpah-limpah" (Roma 5:20).

Pada permulaan bab ini, saya membicarakan tentang persamaan yang salah: makin banyak dosa, kurang dari Tuhan; makin banyak dari Tuhan, sedikit dosa. Sekarang saya ingin memberi persamaan yang berbeda. Saya ingin memberitahukan bahwa lebih banyak dosa di sini artinya lebih sadar bahwa dosa saya banyak. Jadi, orang yang dekat Tuhan menjadi makin sadar akan dosa daripada yang jauh, dan oleh karenanya, orang itu akan mempunyai lebih banyak pengalaman terkait dengan Tuhan sementara imannya bertumbuh.

Inilah sebabnya mengapa orang-orang Kristen yang dewasa terus menjadi lebih rendah hati sementara mereka semakin tua. Mereka terus menemukan betapa berdosanya mereka dan betapa sabarnya Tuhan terhadap mereka.

Paulus menyatakannya demikian. "Perkataan ini benar dan patut diterima sepenuhnya: 'Kristus Yesus datang ke dunia untuk menyelamatkan orang berdosa,' dan di antara mereka akulah yang paling berdosa. Tetapi justru karena itu aku dikasihani, agar dalam diriku ini, sebagai orang yang paling berdosa, Yesus Kristus menunjukkan seluruh kesabaran-Nya. Dengan demikian, aku menjadi contoh bagi mereka yang kemudian percaya kepada-Nya dan mendapat hidup yang kekal" (1Timotius 1:15-16).

Di sini Paulus membuatnya pernyataan yang benar-benar menantang. Orang akan berpikir bahwa pemimpin besar seperti Paulus dapat menyatakan dirinya sebagai teladan untuk orang benar dan orang kudus, tetapi Paulus tidak melakukannya. Ia menyatakan kebalikannya; ia membanggakan diri sebagai orang yang paling hina di antara orang berdosa. Ia lebih suka menjadikan dirinya contoh dengan cara ini sehingga orang-orang lain bisa mempunyai harapan. Jika Kristus masih bisa bersabar terhadap Paulus -- orang berdosa terbesar -- tidak ada orang berdosa yang tidak bisa dijangkau oleh kasih Tuhan.

Inilah hak membanggakan yang benar-benar tidak biasa. Pada hakikatnya, Paulus berkata ia lebih berdosa dibandingkan orang lain, jadi tidak seorangpun dapat mempunyai alasan yang sah untuk tidak diampuni Tuhan. Bila ada harapan untuk Paulus, pasti ada buat yang lain. "Karena aku adalah yang paling hina dari semua rasul, sebab aku telah menganiaya Jemaat Allah. Tetapi karena kasih karunia Allah aku adalah sebagaimana aku ada sekarang, dan kasih karunia yang dianugerahkan-Nya kepadaku tidak sia-sia. Sebaliknya, aku telah bekerja lebih keras daripada mereka semua; tetapi bukannya aku, melainkan kasih karunia Allah yang menyertai aku" (1Korintus 15:9-10).

Untuk memperhitungkan kemungkinan-kemungkinan dalam pernyataan Paulus, saya menyodorkan alinea berikut:

Apakah engkau pikir dosamu terlalu besar sehingga Tuhan tidak mungkin mengampunimu? Nah, pikirkan sekali lagi. Aku membunuh orang-orang Kristen karena iman mereka. Aku menghakimi orang-orang yang Tuhan panggil untuk melaksanakan pekerjaan-Nya. Jubah yang dipakai ketika membunuh teronggok di kakiku. Hal-hal menjijikkan telah dilaksanakan, atas perintahku, terhadap lebih banyak orang yang, dibandingkan yang dapat kuhitung, dahulu dan sekarang adalah saudaraku; dan tanggung jawab untuk ini semua ada dipundakku.

Lebih banyak dari Tuhan, lebih peka terhadap dosa. Semakin saya mencari Tuhan, semakin saya sadar bahwa yang ada di dalam saya bukan berasal dari Tuhan. Itulah sebabnya mengapa pernyataan Paulus di sini menggunakan keterangan waktu sekarang. "Yesus datang ke dunia untuk menyelamatkan orang berdosa -- di mana akulah yang paling berdosa. Kenyataan bahwa ia berdosa semutakhir dan sesegar kenyataan kasih karunia Tuhan. Ia tahu bahwa ia tidak benar-benar mengenal kasih karunia Tuhan tanpa mengetahui dosanya dan betapa ia kurang layak untuk mendapat apa yang sedang ia terima. Jika layak, maka itu bukan lagi kasih karunia.

Bila kita ingin sembuh dari kepalsuan Farisi ini, kita harus sadar dosa-dosa kita sekarang. Kita perlu menjadi ahli dalam menemukan dan menggali dosa-dosa kita sendiri -- bukan dosa orang lain. Kita punya banyak dosa yang harus dibereskan dengan segenap hati tanpa harus mengurus dosa orang lain untuk dikaji. Saya tahu saya adalah orang berdosa paling besar, semata-mata karena saya lebih mengenal diri saya dibandingkan orang lain. Dosa saya adalah yang terburuk karena itu adalah dosa saya. Saya sangat terlibat dalam dosa itu. Saya tahu semua nuansanya yang tak kelihatan, pandangannya yang menyesatkan, pencarian dalihnya dan bagaimana dosa itu ditutup-tutupi. Tentang dosa saya, sayalah pakarnya. Dosa orang lain bukan urusan saya.

Dan ikutilah ini: Yeremia mengatakan bahwa pengetahuan kita "yang canggih" dalam hal dosa masih terbatas. Lebih dalam dari apa yang kita ketahui tentang dosa kita terletak dari apa yang tidak kita ketahui. "Betapa liciknya hati, lebih licik daripada segala sesuatu, hatinya sudah membatu: siapakah yang dapat mengetahuinya" (17:9). Ini suatu sarana pengingat bahwa, bagaimanapun banyaknya kita ketahui mengenai dosa kita, kita masih tidak tahu sama sekali.

Paulus menggunakan tema ini dalam 1Korintus 4:4, "Sebab memang aku tidak sadar akan sesuatu, tetapi bukan karena itulah aku dibenarkan. Dia, yang menghakimi aku, ialah Tuhan." Dosa yang Paulus sadari telah ia bawa kepada Tuhan dan ia sudah menerima pengampunan; apa yang tidak ia ketahui telah diketahui oleh Tuhan dan akan dinyatakan pada waktunya.

Maka, sebuah hati nurani yang bersih tidak berarti kita tidak berdosa. Sebaliknya, ini berarti bahwa kita ditutup oleh darah Yesus untuk apa yang kita ketahui dan apa yang tidak kita ketahui. Ini harus membuat kita rendah hati sampai Dia datang kembali. "Sebab Allah yang telah berfirman: 'Dari dalam gelap akan terbit terang!', Ia juga yang membuat terang-Nya bercahaya di dalam hati kita, supaya kita beroleh terang dari pengetahuan tentang kemuliaan Allah yang tampak pada wajah Kristus" (2Korintus 4:6).

PERNYATAAN IMAN ORANG FARISI YANG INGIN SEMBUH

Bila saya berbicara tentang dosa, saya tidak lagi membicarakannya sebagai sesuatu yang terjadi dahulu sekali. Bila saya membicarakan pengampunan, maksud saya bukan pengampunan yang saya terima pertama kali ketika saya menjadi orang Kristen. Saya akan membicarakan dosa dan pengampunan yang saya alami setiap hari -- yang saya alami sekarang ini -- yang memungkinkan saya menjadi manusiawi, riil dan jujur tentang siapa saya sekarang dan siapa saya kelak. Dan, bila percakapan berubah membahas tentang orang berdosa, saya sadar bahwa percakapan itu benar-benar tentang saya. Saya akan selalu tahu bahwa saya adalah orang yang paling hina dari semua orang berdosa. Saya menempatkan Yesus di salib; dosa saya memaku-Nya di sana. Dan, jika saya pernah sengaja merenungkan bahwa ada orang berdosa yang lebih buruk daripada saya di dunia ini, apa pun kadar kejahatannya, maka pada saat itu saya telah melangkahi batas kemunafikan dan saya sedang membicarakan sesuatu yang saya sendiri tidak tahu apa-apa. Mengenai dosa, saya hanya bisa berbicara tentang diri sendiri tanpa kepastian yang mutlak, dan dalam kaitan dengan diri saya dan dosa, saya yakin mengenai yang satu ini: bahwa saya ahli dalam dosa dan pengampunan. Dosa mendatangkan kesedihan dan pengampunan mendatangkan kebahagiaan. Yang luar biasa bukanlah bahwa saya berdosa, tetapi bahwa, sekalipun saya berdosa, saya masih bisa bersekutu dengan Tuhan dan dipakai oleh Dia untuk rencana-rencana-Nya di dunia ini.

"Sebab itu siapa yang menyangka bahwa ia teguh berdiri, hati-hatilah supaya ia jangan jatuh!" (1Korintus 10:12).

ORANG FARISI TANPA NAMA

Penyembuhan dari kecanduan, baik alkohol, obat-obatan, seks, atau apa saja, tidak pernah sempurna. Tidak pernah selesai. Itulah sebabnya mengapa selalu ada kelompok penyembuhan. Kelompok ini dibentuk bukan saja untuk membantu melepaskan seseorang dari kecanduannya. Pencandu yang berpengalaman tahu bahwa mereka tidak pernah benar-benar "sembuh", artinya bahwa mereka tidak pernah sepenuhnya tidak berisiko untuk kembali pada kecanduan. Peminum tidak berhenti jadi peminum, ia hanya berhenti minum, dan keputusan ini dibuat setiap hari.

Dosa sama saja. Kita tidak menghentikan perjuangan kita untuk mengalahkan dosa setelah kita selamat, seakan-akan tidak lagi bisa berdosa, tetapi kita berupaya dengan kuasa Roh Kudus yang ada di dalam kita agar berhenti berdosa. Bahkan upaya menutupi dosa juga sama. Peminum yang tidak berani menghadapi kebiasaan minumnya, tetapi berpura-pura menjalani kehidupan normal di dalam masyarakat seakan-akan tidak ada yang tidak beres, bagaimanapun juga akan mencuri-curi untuk minum. Dengan cara-cara yang sama, orang Kristen yang berpura-pura menang atas dosa sedang menyembunyikan sesuatu. Orang Farisi selalu pandai menyamar.

Cara penyembuhan ini sama persis dengan orang berdosa yang sudah diselamatkan. Walaupun menyakitkan untuk masuk ke dalam ruang itu dan mengakui siapa kita sebenarnya, tetapi amat menenteramkan dan melegakan untuk menghadapi kebenaran dan tidak melarikan diri dari diri kita sendiri lagi. "Hai, saya John. Saya orang berdosa," tiba-tiba saja tidak lagi menjadi suatu kutukan, melainkan cara memperkenalkan diri kepada kelompok orang yang tahu dan sedang melihat bersama saya apa artinya. Inilah proses penyucian diri yang dibawa ke dalam masyrakat. Setelah bertahun-tahun mencoba dan gagal melawan dosa dengan cara sendiri, kita bisa mendapatkan bantuan, dukungan, dan pertanggungjawaban dari diri orang lain. Dan, orang-orang ini tidak menolak Anda. Tidak pernah. Tidak ada yang lebih buruk daripada yang lain di dalam kelompok ini. Ceritakan kisah Anda di situ dan itu tidak akan membuat satu orang pun terkejut.

Cobalah dan rasakan hasilnya. "Hai, saya ----, dan saya orang berdosa." Dalam kelompok penyembuhan yang sejati ini seruan itu akan segera dibalas dengan "Hai, -----!" yang tulus dari yang berada di kelompok tersebut. Dengan cara itu, mereka sebetulnya menyatakan bahwa mereka mengerti bagaimna rasanya menjadi orang berdosa. Bukan karena dosa atau mabuk-mabukkan itu dianggap benar tetapi bahwa itu tidak masalah karena kita sama-sama di dalam pertempuran ini dan ada harapan. Ada pengampunan. Orang lain mengatakan mereka berdosa juga; mereka ingin melakukan sesuatu seperti kita, dan itulah sebabnya kita semua ada di situ. Bukankah senang rasanya kalau berada di antara sesama teman? Bukankah enak rasanya kalau tidak perlu berbohong lagi? Tidakkah Anda ingin bahwa gereja bisa menjadi lebih daripada sekadar seperti sekarang?

Seperti gereja, dalam setiap kelompok ini, orang ada di dalam bermacam tingkatan dan tahapan dalam pertumbuhan mereka. Beberapa orang sudah ada di sana selama bertahun-tahun dan sekarang sedang mensponsori orang lain dengan membantunya agar sanggup melewati satu hari lagi, bersedia ditelepon atau siap ditemui di kantor bila ada yang jatuh dan perlu ditolong segera. Ada yang baru tiba dan masuk dengan gelisah dan tidak tahu apa yang harus mereka harapkan. Mereka semua berada di sana untuk mendapatkan kasih dan pengertian, dan yang paling utama -- pertolongan.

Di sinilah sebenarnya gereja bisa lebih berperan daripada kelompok A.A. atau kelompok penyembuhan lain apa pun namanya. "Alcoholiscs Anonymous", yang menjadi pencetus penyembuhan ini, dengan tujuan menjaga dua sikap bertentangan yang agamawi, hanya dapat menuntun para pecandu pada satu "Kuasa yang Lebih Tinggi". Gereja menawarkan kepada semua orang sebuah persekutuan yang akrab dengan Yesus Kristus, yang telah mati untuk membebaskan kita dari dosa. Ini sukar ditandingi.

Jadi, sekarang saya menghadapi dosa-dosa saya dan saya telah diampuni dan disokong oleh orang berdosa lain yang sudah mendapat pengampunan juga. Saya hanya berharap bahwa ada sesuatu yang dapat saya lakukan sehubungan dengan kecenderungan membenarkan diri sendiri setelah saya sudah menjadi orang Kristen. Mungkin ada caranya ....

"Hai, saya John, dan saya orang Farisi."

Sumber: 

Sumber diambil dari:

Judul Buku : 12 Langkah Penyembuhan bagi Orang Farisi
Judul Artikel : -
Penulis : John Fischer
Penerjemah : -
Penerbit : Yayasan Pekabaran Injil IMMANUEL
Halaman : 86 - 98

Apakah Tujuan Kematian Kristus?

Editorial: 

Dear e-Reformed Netters,

Pada kesempatan perayaan Hari PASKAH 2002 ini, saya tertarik untuk mengutipkan dua bab pendek dari buku klasik karya John Owen yang berjudul "The Death of Death in the Death of Christ". Dalam 2 bab ini dijelaskan tentang untuk siapa Kristus mati dan untuk tujuan apa Kristus mati.

Kiranya sebagian tulisan John Owen ini menolong kita untuk sekali lagi menyadari betapa pentingnya arti kematian Kristus bagi hidup kita masing-masing pribadi yang telah ditebus-Nya. Kematian Kristus bukan hanya menjadi fakta sejarah yang harus kita terima tetapi juga menjadi fakta pembebasan kita dari kuasa dosa dan si jahat, dan sekaligus menjadi kekuatan yang memungkinkan kita untuk hidup kudus di hadapan- Nya. Oleh karena kematian-Nya, maka kita sekarang boleh hidup dengan kuat kuasa-Nya!

Selamat PASKAH!

In Christ,
Yulia

Penulis: 
John Owen
Edisi: 
027/III/2002
Isi: 

Pada kesempatan perayaan Hari PASKAH 2002 ini, saya tertarik untuk mengutipkan dua bab pendek dari buku klasik karya John Owen yang berjudul "The Death of Death in the Death of Christ". Dalam 2 bab ini dijelaskan tentang untuk siapa Kristus mati dan untuk tujuan apa Kristus mati.

Kiranya sebagian tulisan John Owen ini menolong kita untuk sekali lagi menyadari betapa pentingnya arti kematian Kristus bagi hidup kita masing-masing pribadi yang telah ditebus-Nya. Kematian Kristus bukan hanya menjadi fakta sejarah yang harus kita terima tetapi juga menjadi fakta pembebasan kita dari kuasa dosa dan si jahat, dan sekaligus menjadi kekuatan yang memungkinkan kita untuk hidup kudus di hadapan- Nya. Oleh karena kematian-Nya, maka kita sekarang boleh hidup dengan kuat kuasa-Nya!

BAB 2
UNTUK SIAPAKAH KRISTUS MATI?

Kita perlu memiliki kejelasan tentang untuk siapakah yang sebenarnya mendapatkan manfaat dari kematian Kristus. Ada tiga kemungkinan:

  1. Mungkin Allah Bapa, atau
  2. Mungkin Kristus sendiri, atau
  3. Mungkin kita

Ingatlah bahwa di sini saya sedang berbicara mengenai tujuan sekunder dari kematian Kristus; dengan pengertian ini, kita dapat menunjukkan bahwa kematian Kristus bukan bertujuan untuk memberikan manfaat bagi Allah Bapa.

Kadangkala ada pendapat yang menyatakan bahwa Kristus mati untuk memungkinkan Allah mengampuni orang-orang berdosa, seakan-akan jika tidak menggunakan cara demikian Allah tidak mampu mengampuni kita. Pernyataan tersebut mengesankan bahwa tujuan sekunder kematian Kristus adalah untuk memberikan maanfaat kepada Bapa. Pandangan semacam ini tidak benar dan bodoh berdasarkan alasan-alasan berikut:

  1. Hal itu berarti Kristus mati untuk membebaskan Allah Bapa dari hal-hal yang menghalangi-Nya untuk berbuat yang Ia inginkan (misal, mengampuni orang berdosa) ketimbang membebaskan kita dari dosa kita. Tetapi seluruh bagian Alkitab mengatakan dengan jelas bahwa Kristus mati untuk membebaskan kita dari dosa.
  2. Pernyataan tersebut berarti bahwa tidak ada seorangpun yang secara aktual telah diselamatkan dari dosa. Jika Kristus hanya mendapatkan kebebasan dari Bapa mungkin menggunakan - atau tidak menggunakan kebebasan tersebut! Jadi kematian Kristus tidak secara aktual telah mendatangkan keselamatan kita. Namun Alkitab mengatakan dengan jelas bahwa Kristus benar-benar datang untuk menyelamatkan yang terhilang.

Berikutnya, kita dapat menunjukkan dengan pasti bahwa kematian Kristus bukan untuk memberikan manfaat bagi diri-Nya sendiri.

  1. Karena Kristus adalah Allah, Ia telah memiliki semua kemuliaan dan kuasa yang dapat Ia miliki. Maka, di penghujung kehidupan-Nya di dunia, Ia tidak meminta kemuliaan lain selain kemuliaan yang telah Ia miliki sebelumnya (Yoh. 17:5). Ia tidak perlu mati untuk mendapatkan manfaat baru lainnya bagi diri-Nya sendiri.
  2. Kadangkala muncul pendapat bahwa dengan kematian-Nya, Kristus memperoleh hak untuk menjadi Hakim atas segala sesuatu. Tetapi jika tujuan kematian-Nya adalah demi mendapatkan kuasa untuk menghukum sebagian manusia, maka tidak mungkin Ia telah mati untuk menyelamatkan mereka! Jadi sekalipun seandainya kita menerima pendapat tersebut, kita tidak dapat menggunakannya untuk membuktikan bahwa Kristus mati untuk menyelamatkan seluruh manusia.

Karena itu, dapat kita simpulkan bahwa kematian Kristus pastilah bertujuan untuk memberikan manfaat bagi kita. Kematian Kristus bukanlah supaya Bapa dapat menolong kita, jika Ia menginginkan. Bukan juga untuk mendapatkan beberapa manfaat baru bagi Kristus sendiri. Oleh karena itu, pastilah bahwa kematian Kristus secara aktual menghasilkan semua hal baik yang dijanjikan berdasarkan persetujuan-Nya dengan Bapa, yaitu untuk memberikan manfaat bagi mereka yang untuknya Ia telah mati. Jadi Ia mati hanya untuk mereka yang secara aktual menerima manfaat tersebut. Juga untuk membuktikan apa yang dikatakan Alkitab mengenal semua hal baik yang sekarang kita miliki.

Bab 3
APAKAH TUJUAN DARI KEMATIAN KRISTUS?

Kita akan mengulas tiga bagian ayat Alkitab yang berbicara mengenai apa yang dicapai melalui kematian Kristus.

Pertama, terdapat ayat-ayat Alkitab yang menunjukkan apa yang Allah ingin kerjakan melalui kematian Kristus. Saya telah memilih delapan ayat untuk kita amati walaupun masih banyak ayat lain yang dapat kita lihat.

  1. Lukas 19:10. "Sebab Anak Manusia datang untuk mencari dan menyelamatkan yang hilang." Jelaslah bahwa Allah sungguh-sungguh bermaksud menyelamatkan yang terhilang melalui kematian Kristus.
  2. Matius 1:21. "... engkau akan menamakan Dia Yesus, karena Dialah yang akan menyelamatkan umat-Nya dari dosa mereka." Segala hal yang perlu dilakukan untuk secara aktual menyelamatkan orang-orang berdosa akan dilakukan oleh Yesus Kristus.
  3. 1 Timotius 1:15. "Kristus Yesus datang ke dunia untuk menyelamatkan orang berdosa." Ayat ini tidak mengijinkan kita untuk beranggapan bahwa Kristus datang semata-mata untuk membuat keselamatan orang-orang berdosa dimungkinkan; ayat tersebut menegaskan bahwa Ia datang untuk secara aktual menyelamatkan mereka.
  4. Ibrani 2:14, 15. "... supaya oleh kematian-Nya Ia memusnahkan dia, yaitu Iblis, yang berkuasa atas maut; dan supaya dengan jelan demikian Ia membebaskan mereka ... yang ... berada dalam perhambaan ..." Apa lagi yang dapat lebih jelas dari ayat ini? Kristus datang untuk secara aktual membebaskan orang-orang berdosa.
  5. Efesus 5:25-27. "Kristus telah mengasihi jemaat dan telah menyerahkan diri-Nya baginya [jemaat] untuk menguduskannya ... supaya dengan demikian Ia menempatkan jemaat di hadapan diri-Nya dengan cemerlang ... kudus dan tidak bercela." Saya tidak dapat mengatakan yang lebih jelas daripada yang telah dikerjakan Roh Kudus dalam ayat ayat tersebut; Kristus mati untuk menyucikan, menguduskan dan memuliakan gereja.
  6. Yohanes 17:19. " ... Aku menguduskan diri-Ku bagi mereka, supaya merekapun dikuduskan dalam kebenaran." Tentu saja kita harus mendengar sang Penebus sendiri menyatakan maksud kematian-Nya? Ia mati agar sebagian manusia (bukan seluruh manusia, karena Ia tidak berdoa bagi seluruh manusia - ayat 9) benar-benar dikuduskan.
  7. Galatia 1:4. " ... yang telah menyerahkan diri-Nya karena dosa-dosa kita, untuk melepaskan kita ..." Sekali lagi, ayat ini menyatakan maksud kematian Kristus, yaitu untuk secara aktual membebaskan kita.
  8. 2Korintus 5:21. "Dia yang tidak mengenal dosa telah dibuat-Nya menjadi dosa karena kita, supaya dalam Dia kita dibenarkan oleh Allah." Demikianlah kita menjadi tahu bahwa Kristus datang supaya orang- orang berdosa menjadi orang benar.

Dari semua ayat-ayat tersebut, jelaslah bahwa kematian Kristus dimaksudkan untuk menyelamatkan, membebaskan, menguduskan dan membenarkan semua yang untuknya Ia mati. Saya bertanya, apakah dengan demikian semua manusia akan diselamatkan, dibebaskan, dikuduskan dan dibenarkan? Ataukan Kristus telah gagal mencapai maksud-Nya? Karena itu, baiklah kita bertanya kepada diri kita sendiri, apakah Kristus mati untuk semua manusia, atau hanya untuk mereka yang secara aktual diselamatkan dan dibenarkan!

Kedua, terdapat ayat-ayat Alkitab yang berbicara bukan hanya mengenai apa maksud kematian Kristus, tetapi juga mengenai apa yang secara aktual telah dicapai oleh kematian tersebut. Saya telah memilih enam perikop:

  1. Ibrani 9:12, 14. "dengan membawa darah-Nya sendiri ... Ia telah mendapat kelepasan yang kekal ... dan ... menyucikan hati nurani kita dari perbuatan yang sia-sia." Di sini disebutkan dua akibat langsung dari kematian Kristus - kelepasan yang kekal dan hati nurani yang disucikan. Barangsiapa memiliki hal-hal yang tersebut adalah salah seorang dari mereka yang untuknya Kristus mati.
  2. Ibrani 1:3. "Dan setelah Ia selesai mengadakan penyucian dosa, Ia duduk di sebelah kanan Yang Maha-besar, di tempat yang tinggi." Jadi ada penyucian rohani bagi mereka yang untuknya Kristus mati.
  3. 1Petrus 2:24. "Ia sendiri telah memikul dosa kita." Di sini kita mendapatkan pernyataan mengenai apa yang dilakukan Kristus - Ia memikul dosa kita di atas kayu salib.
  4. Kolose 1:21,22. "Juga kamu ... sekarang diperdamaikan-Nya ..." Suatu keadaan damai secara aktual telah tercapai antara mereka yang untuknya Ia telah mati dengan Allah Bapa.
  5. Wahyu 5:9-10. "Engkau telah disembelih dan dengan darah-Mu Engkau telah membeli mereka bagi Allah dari tiap-tiap suku dan bahasa dan kaum dan bangsa. Dan Engkau telah membuat mereka menjadi suatu kerajaan, dan menjadi imam-imam ..." Jelas ayat-ayat ini berbicara mengenai apa yang terjadi kepada mereka yang untuknya Kristus mati, bukan mengenai semua manusia.
  6. Yohanes 10:28. "Aku memberikan hidup yang kekal kepada mereka ..." Kristus sendiri menjelaskan bahwa hidup diberikan kepada domba- domba-Nya (ayat 27). Kehidupan rohani yang dinikmati orang-orang percaya didapati mereka melalui kematian Kristus.

Dari keenam ayat-ayat ini (dan masih banyak lagi yang digunakan), kita dapat mengatakan bahwa jika kematian Kristus secara aktual membawa pembebasan, pembersihan, penyucian, penghapusan dosa, perdamaian, hidup kekal dan kewarganegaraan surgawi, maka Ia pasti telah mati hanya untuk mereka yang benar-benar mendapatkan hal-hal tersebut. Jelas, bahwa tidak semua orang memperoleh semua anugerah tersebut! Oleh karena itu tidak mungkin kematian Kristus bertujuan untuk keselamatan seluruh manusia.

Ketiga, ayat-ayat Alkitab yang menjelaskan mengenai orang-orang yang untuknya Kristus mati, dimana mereka sering disebut "banyak" - contohnya: Yesaya 53:11; Markus 10:45; Ibrani 2:10. Tetapi kata-kata "banyak" ini di banyak ayat Alkitab juga disebut sebagai:

Domba-domba Kristus
Anak-anak Allah
Anak-anak yang telah diberikan Allah kepada Kristus
Umat pilihan
Umat yang dipilih Allah
Jemaat Allah
Mereka yang dosanya ditanggung-Nya
  Yohanes 10:15
Yohanes 11:52
Yohanes 17:9; Ibrani 2:13
Roma 8:33
Roma 11:2
Kisah 20:28
Ibrani 9:28

Sebutan-sebutan semacam itu tentu saja tidak ditujukan pada semua manusia. Jadi anda lihat bahwa tujuan kematian Kristus seperti yang tertuang dalam Alkitab, tidak dimaksudkan bagi keselamatan setiap manusia.

Sumber: 

Sumber diambil dari:

Judul Buku : Kematian yang Menghidupkan
(The Death of Death in the Death of Christ)
Judul Bagian : Tujuan Sebenarnya dari Kematian Kristus;
Apa yang Telah Ia Capai
Judul Artikel : Bab 2: Untuk Siapakah Kristus Mati? ;
Bab 3: Apakah Tujuan dari Kristus Mati?
Penulis : John Owen
Penerjemah : -
Penerbit : Momentum
Halaman : 47 - 55

Teologia Reformed dan Relevansinya bagi Gereja Masa Kini

Editorial: 

Dear All,

Pertama-tama, mohon maaf karena pengiriman artikel bulan ini agak terlambat.

Artikel yang saya muat bulan ini diambil dari buku "Sebuah Bunga Rampai dalam Peringatan 25 Tahun Kependetaan Caleb Tong."
Mudah-mudahan artikel ini menjadi berkat dan mendorong kita untuk semakin mengenal dan menghargai semangat gerakan Reformed. Selain itu harapan saya inti dari gerakan Reformed dapat semakin nampak di gereja kita dan kehidupan kita masing-masing.

In Christ,
Yulia

Penulis: 
Stephen Tong
Edisi: 
026/III/2002
Isi: 

PENDAHULUAN

Teologia Reformed merupakan sesuatu gerakan pengertian firman Tuhan yang berdasarkan hati nurani yang murni dan perasaan tanggung jawab yang sungguh-sungguh kepada Tuhan. Baik dari Martin Luther, Zwingli maupun Calvin mereka sebenarnya tidak ada maksud untuk memecah gereja, mengajarkan doktrin-doktrin yang baru atau memisahkan sebagian orang untuk memihak mereka, melainkan mereka benar-benar terdorong oleh suatu keadaan yang menyedihkan yaitu penyelewengan-penyelewengan yang terjadi dalam gereja terhadap Alkitab dan doktrin-doktrin yang diajarkan dari jaman ke jaman.

Para Reformator adalah orang-orang jujur yang mau kembali setia kepada Allah dan mereka juga mau mempengaruhi gereja agar kembali setia kepada Allah. Mereka tidak menegakkan doktrin yang baru, melainkan menjelaskan doktrin yang dari kekal sampai kekal tidak berubah berdasarkan firman Tuhan yang diwahyukan dalam Kitab Suci. Khususnya Calvin, dalam "Institutes of the Christian Religion", mempunyai motivasi supaya manusia mengenal bahwa ajaran-ajaran Reformed adalah sesuai dengan ajaran-ajaran Kitab Suci. Boleh dikatakan ini adalah semacam kebangunan doktrinal yang bersangkut-paut dengan pengertian kepada interpretasi yang sah terhadap iman rasuli. Selain daripada pengaruh dalam hal doktrin yang benar, kekristenan juga membawa kita sebagai anak-anak Tuhan yang setia menjalankan tugas kehidupan di dalam dunia ini untuk mempunyai perasaan tanggung-jawab kultural dan sosial. Baik di dalam aliran Lutheran maupun Calvinis keduanya memiliki gagasan bagaimana orang Kristen hidup sebagai warga negara yang harus menjadi terang dunia dan dapat mempengaruhi kebudayaan serta membawa Kekristenan kepada Kristus yang sebenarnya adalah Raja di atas segala bidang dan aspek kebudayaan. Dengan demikian di mana teologi Reformed berada, daerah itu menerima pengaruh daripada kebenaran di dalam semua aspek kebudayaan.

Selain kembali kepada ajaran Kitab Suci dan hidup bertanggung jawab dan memberi pengaruh kebudayaan, Calvin juga mementingkan:

  1. Kedaulatan Allah di dalam seluruh dunia, khususnya di dalam Tubuh Kristus,
  2. hanya berdasarkan iman saja manusia dibenarkan.

Di dalam kedua hal di atas, boleh dikatakan bahwa kedua Reformator mendapat pengaruh dari Agustinus. Doktrin anugerah, doktrin keselamatan, doktrin Allah dan Injil yang murni ditegakkan kembali di dalam ajaran teologia Reformed sehingga kita tidak asing dengan istilah-istilah: sola scriptura, solagratia, sola fide, soli Deo gloria dan lain-lain. Kesemuanya adalah cetusan istilah yang begitu singkat namun tepat untuk melukiskan tekanan-tekanan dari gerakan Reformasi pada jaman itu yang berpengaruh ke segala jaman.

Itulah sebabnya sejak Reformasi, 470 tahun lebih y.l., kita melihat pengaruh Teologi Reformed sangat menonjol, seperti:

  1. Di mana pengajaran Reformed disebarkan di sana penghargaan terhadap kehormatan atau martabat manusia tidak terlepas dari gerakannya. Dan akibat dari penghargaan terhadap hak manusia ini maka di mana Calvinisme berada di sana boleh dikatakan menjadi tempat-tempat suburnya demokrasi di dalam pembentukan masyarakat dan politik mereka.
  2. Selain daripada itu aliran Lutheran dan Calvinis juga berpengaruh di bidang sastra, bahasa maupun musik. Ini merupakan suatu kontribusi yang penting. Sesudah beberapa ratus tahun kemudian, mandat kultural menjadi sesuatu aspek yang dipentingkan dan ditekankan oleh kaum Calvinis. Maka kita melihat semua negara Protestan mencapai kemajuan di dalam bidang industri, ilmiah lebih pesat daripada negara-negara yang tidak dipengaruhi oleh teologia Protestan. Sampai hari ini produksi-produksi yang paling akurat dan dapat diandalkan, misalnya, adalah berasal dari Jerman, Swedia dan sebagainya. Ini adalah pengaruh tidak langsung dari Reformasi. Hal yang sama juga terjadi di bidang musik. Jadi boleh dikatakan bahwa pengaruh ini telah meluas dan mencapai segala bidang, seperti yang dikatakan oleh Abraham Kuyper bahwa tidak ada satu inci pun di dalam bidang hidup manusia yang Kristus tidak ada takhtanya.

TEOLOGIA REFORMASI DI TENGAH-TENGAH KONTEKS BERGEREJA DI INDONESIA

Indonesia pernah dijajah oleh Belanda sehingga gereja Protestan merupakan gereja yang sangat luas dan berakar di Indonesia semasa penjajahan. Kami pikir gereja pada waktu itu merupakan gereja dari lapisan kelompok masyarakat yang agak tinggi sehingga Keristenan sebenarnya masih belum terlalu mendarat dan berakar dalam masyarakat umum. Menunggu sampai Gereja Pentakosta timbul di Indonesia, barulah Injil dikabarkan kepada khalayak yang lebih banyak. Khususnya melalui karunia-karunia seperti kesembuhan dan sebagainya. Hal ini menarik banyak orang miskin datang kepada Kekristenan sehingga Kekristenan menurun kepada lapisan yang lebih rendah.

Sedikit berbeda dengan penginjilan di daratan Tiongkok yang pada waktu itu lapisan masyarakat atasnya adalah penganut Konfusianisme, mereka bersikap antipati kepada Keristenan. Karena itu Kekristenan melalui OMF (dahulu CIM) hanya mencapai kebanyakan orang dari lapisan bawah atau rendah. Sedangkan di Indonesia karena gereja adalah milik lapisan yang agak atas atau tinggi, kecuali di beberapa tempat yang dahulunya merupakan daerah animisme dan kemudian ada sebagian yang menjadi daerah Kristen, maka kami tidak berpandangan bahwa orang-orang Kristen itu sudah menerima dengan jelas atau mempunyai posisi teologia Reformed dengan pengertian dan kepercayaan yang kuat di dalam kondisi sedemikian. Setelah gereja-gereja harus menghadapi kultur yang lebih bersifat pluralistik, kita melihat banyak gereja Protestan mempunyai gejala yang sangat tidak normal. Misalnya sebagian dari mereka tidak puas dengan pelayanan gereja masing-masing sehingga banyak yang terpengaruh dan menuju kepada gereja-gereja yang lebih bercorak emosional maupun gerakan pengalaman ke gerakan Karismatik atau Pentakostal dan sebagainya. Sementara banyak orang yang dulunya anggota Protestan masih menyimpan jimat-jimat dan berhala-berhala sebagai pengaruh kebudayaan lama yang tidak mereka lepaskan sesudah menamakan dirinya Kristen. Di sini terlihat bahwa gerakan Protestan sendiri masih berusaha di dalam suatu ketidak-stabilan teologia maupun iman kepercayaan dan pengalaman agama yang sesuai dengan teologia itu. Karenanya teologia Reformed perlu cepat-cepat ditanamkan dengan sebenar-benarnya dan sekokoh-kokohnya kepada jemaat yang ada bahkan hendaknya mulai berpengaruh dinamik kepada orang-orang yang belum mengenal teologia Reformed.

Pada dewasa ini sebagian dari pemimpin-pemimpin gereja Reformed sudah terlalu menyimpang dan jauh dari ajaran Reformed yang asli. Misalnya mereka tidak lagi memegang prinsip-prinsip dari jaman Reformasi, termasuk sola scriptura, sola gratia, sola fide dan sebagainya sehingga orang-orang gereja Protestan sudah dipengaruhi oleh teologia- teologia kontemporer yang menamakan dirinya tetap bertradisi Reformed tetapi yang sebenarnya sudah banyak menyimpang. Misalnya: aliran neo- ortodoks, baik dari Karl Barth maupun Emil Brunner semuanya menganggap diri beraliran Reformed. Mereka menganggap sendiri tetap membela teologia Reformed tetapi dari semangat dan prinsip dasarnya sudah jauh sekali dari Reformed yang asli. Kalau orang Kristen di Indonesia sudah banyak terpengaruh oleh mereka sehingga mereka menganggap diri juga termasuk orang-orang Reformed yang bersifat lebih dinamis karena merasa gereja harus menyesuaikan atau mempunyai semangat adaptasi di dalam setiap jaman dan sebagainya, maka kami kira ada bahaya yang harus cepat disadari oleh para pemimpin gereja maupun orang-orang Kristen di Indonesia pada jaman ini.

PERKEMBANGAN MANDAT KULTURAL DAN SOSIAL DALAM TRADISI REFORMASI

Teologia Reformed mempunyai satu ciri khas selain memberitakan Injil sebagai mandat utama juga ada mandat kultural yang harus kita kerjakan sehingga ini memungkinkan orang Kristen menjadi terang di dalam segala bidang kehidupan. Jikalau kita mau menyaksikan Kristus bukan hanya di dalam lingkup gereja, maka kita harus mempunyai semangat Kekristenan yang harus dibawa ke dalam bidang-bidang di mana kita diutus sebagai hakim, profesor, presiden, guru, dokter, pedagang dan sebagainya seharusnya membawa "tanda" dari iman Kristen dan semangat Kekristenan untuk mempengaruhi bidang-bidang di mana mereka berada. Di dalam hal ini terlihat bahwa negara-negara Barat menjunjung tinggi kejujuran lebih daripada negara-negara yang bukan dipengaruhi oleh Kekristenan. Sedangkan kejujuran ini menjadi suatu hal yang dianggap sangat merugikan diri di banyak kebudayaan Timur yang kuno, maka akhirnya kita melihat nilai kejujuran itu bukan saja tidak merugikan Barat karena negara-negara yang menjunjung tinggi kejujuran malah diberkati oleh Tuhan dengan kekuatan yang melebihi negara-negara agama lain maupun negara-negara komunis. Bagi Mao Ze Dong dan bagi Moscow, Watergate Affair merupakan suatu hal yang tidak perlu diperjuangkan, tetapi bagi orang-orang yang dipengaruhi oleh Protestantisme, hal itu merupakan suatu hal yang penting sekali bagi filsafat negara mereka. Ini adalah suatu contoh kasus untuk membuktikan pengaruh tidak langsung dari Kekristenan di Barat.

Selain daripada itu pengaruh pertemuan-pertemuan ilmiah menjadi makin pesat sekali bertumbuh di bawah pengaruh langsung maupun tak langsung Kekristenan di Barat sehingga negara-negara Protestan jauh lebih cepat maju dibanding dengan negara-negara Katholik maupun negara-negara beragama lainnya. Dan di bidang politik karena mereka meninggikan hak azasi manusia sebagai ciptaan Allah menurut peta dan teladan-Nya, ini mengakibatkan kesama-rataan dan penghormatan terhadap harkat manusia menjadi mungkin. Hal inilah yang menjadi dasar yang penting dari demokrasi di Barat. Meskipun banyak yang belum bisa menjalankan demokrasi ini, seperti politik Apartheid (diskriminasi) dan sebagainya, namun hal ini sebenarnya bertentangan dengan semangat Kekristenan.

Musik sebelum Johan Sebastian Bach dikatakan kebanyakan dimonopoli di Italia daerah Katholik, tetapi Jerman merupakan suatu negara yang mengalami Reformasi sehingga semacam semangat keketatan dan semangat ketelitian diwarisi di sana sampai sekarang ini. Dan Martin Luther adalah seorang petani yang mempunyai semangat keakuratan, ketelitian, kejujuran serta kesungguhan yang tak bisa dikompromikan. Hal seperti ini juga mengakibatkan timbulnya semacam pengalaman peitisme ditambah dengan semangat keakuratan yang telah berakar menyebabkan Johann Sebastian Bach dan lain-lainnya mencetuskan musik-musik yang sampai kini diakui amat tepat dengan presisi yang tinggi bahkan setelah diuji dan dianalisa dengan komputer. Baik George Frederick Handel maupun Bach adalah orang-orang Protestan. Semuanya ini merupakan permulaan kebangunan musik di daerah Jerman yang sebelumnya tidak pernah mencapai mutu setinggi ini di dalam dunia musik. Kedua orang Jerman ini telah dikagumi baik oleh Joseph Haydn, Mozart maupun Ludwig van Beethoven. Dan ketiga orang yang disebutkan belakangan ini adalan orang-orang Katholik, namun pengaruh dari Handel dan Bach sudah meresap mendalam kepada mereka.

MISI DAN PEKABARAN INJIL DALAM TRADISI REFORMASI

Sepanjang sejarah penginjilan terlihat Reformasilah yang mengembalikan Kekristenan kepada Injil yang paling murni dengan pemberitaan, kepercayaan dan dasar teologi yang tidak berkompromi. Skop Injil ini adalah bahwa hanya dengan mengenal Tuhan Yesus saja kita diselamatkan, hanya melalui iman saja kita diterima dan hanya melalui kedaulatan Tuhan kita boleh menjadi anak-anakNya serta hanya melalui Kristus saja kita ditebus. Maka Reformasi ini merupakan satu-satunya era yang begitu kompak dan murni untuk kembali kepada Injil yang asli sehingga teologi Reformed itu juga disebut teologia Injili. Dan dari permulaan gereja Lutheran disebut evangelical church sehingga nama "Injili" merupakan suatu istilah yang tak terpisahkan dari gereja-gereja Protestan. Misalnya pada waktu Injil disebarkan di Indonesia, gereja-gereja Protestan selalu tidak lupa mencantumkan istilah tersebut dalam nama lengkapnya. Contohnya: Gereja Masehi Injili Minahasa (GMIM), Gereja Masehi Injili Timor (GMIT), Gereja Masehi Injil Sangir-Talaud (GMIST) dan istilah-istilah ini adalah suatu indikasi yang menunjukkan bahwa Injil memang sangat penting. Dan di mana gereja Protestan berada di sana banyak orang kembali kepada Tuhan sehingga boleh dikatakan bahwa gereja Protestan mempunyai jiwa injili yang luar biasa. Namun fakta juga menunjukkan banyak gereja Reformed sesudah melalui suatu jangka waktu mereka lupa akan anugerah Tuhan atau menginterpretasikannya secara tidak benar. Kita mengambil contoh: karena segala sesuatu berdasarkan anugerah maka kalau berdosapun akan diampuni dan lain sebagainya. Ini mengakibatkan etika dan moral gereja-gereja Protestan itu tidak ditekankan. Dengan perkataan lain kesalah-pengertian ini telah mengakibatkan banyak orang Kristen hidup tak sesuai dengan ajaran kepercayaannya. Hal ini tentu sangat disesalkan dan menyedihkan.

Itulah sebabnya juga setelah 150 tahun dari gerakan Reformasi Martin Luther, gerakan Pietisme berusaha merubah kesulitan-kesulitan yang timbul. Di Indonesia banyak orang Kristen di daerah Protestan yang sangat tidak mementingkan hidup sesuai dengan panggilan sebagai saksi Kristus di dalam dunia ini. Salah satu sebab lainnya adalah karena di dalam gerakan Reformed, Protestan sangat mementingkan penanaman dan penyebaran gereja, maka banyak yang menjadi anggota gereja tanpa mempunyai pengalaman sendiri bergumul untuk bertobat, menerima Kristus secara pribadi dan lain sebagainya. Karena di dalam gereja Protestan umumnya orang mempercayai akan perjanjian keluarga sehingga seisi keluarga menjadi orang Kristen, maka amat mungkin sebagian dari anak- anak yang dibaptiskan itu belum atau tidak mengalami pertobatan pribadi. Dapat dikatakan inilah letak titik kelemahan jiwa atau semangat penginjilan dalam gereja-gereja bertradisi Reformed.

ANTARA PROTESTANTISME DAN KAPITALISME

Bagi kami, Kapitalisme adalah semacam hasil dari keserakahan manusia yang egosentris dan usaha mendapatkan uang melalui cara-cara yang tidak adil di dalam masyarakat. Maka menurut Max Webber, hal sedemikian ini makin menonjol sesudah Protestantisme timbul. Tetapi kita harus mengetahui dan memisahkan hal ini dengan jelas. Sebelum terjadi Reformasi, Kapitalisme sudah ada. Kapitalisme merupakan semacam gejala masyarakat yang konsisten semenjak permulaan sejarah sampai akhir jaman. Tetapi mengapakah kapitalisme dianggap menonjol sesudah Reformasi timbul, khususnya Calvinisme? Ini adalah karena ajaran penatalayanan (stewardship) yaitu manusia adalah juru kunci di hadapan Allah yang harus mempertanggungjawabkan segala sesuatu termasuk kesehatan, waktu, uang, bakat dan seluruh karunia yang diberikan-Nya. Ajaran ini menyebabkan semua orang Kristen harus baik- baik memakai waktunya untuk bekerja. Uang yang mereka dapatkan tidak boleh dihamburkan untuk berjudi, bermabuk-mabukan, berzinah dan sebagainya sehingga dengan penghematan sedemikian mereka justru menyimpan uang lebih banyak lagi. Uang yang banyak ini ditambah dengan rasa tanggungjawab terhadap Tuhan mengakibatkan mereka tidak secara sembarangan mempergunakannya. Maka mereka menanam modal dan bekerja lagi sampai mendapatkan uang (kapital) yang lebih besar lagi. Jadi kita tidak bisa tidak mengakui bahwa karena konsep bekerja keras, penghematan dan rasa tanggungjawab kepada Tuhan telah mengakibatkan dimana Protestantisme sejati berada di sana pasti ada kekayaan yang lebih besar dibandingkan masyarakat yang bukan Protestan.

Sebagai contoh kita melihat bahwa masyarakat Bali memakai uang yang banyak hasil kerja mereka untuk upacara pemakaman dan sebagainya, sehingga bagaimanapun juga mereka tidak akan menjadi terlalu kaya. Ini merupakan kenyataan bagaimana agama mempengaruhi hidup perekonomian manusia.

Tetapi karena sesudah negara-negara kapitalis menjadi kaya, lalu mereka berusaha meminjamkan uang kepada negara-negara miskin, maka secara tidak langsung ini menimbulkan penindasan antara manusia dengan manusia melalui penerimaan suku bunga dan sebagainya. Semuanya ini merupakan suatu hal yang tak bisa dihindarkan. Namun sekalipun demikian, kita harus membedakan antara Kapitalisme dengan prinsip Kekristenan. Banyak negara meskipun mayoritas penduduknya Kristen tetapi tidak menjalankan prinsip Kekristenan karena pemerintahan di sana dipegang oleh orang-orang yang tidak setia kepada Kekristenan yang sejati.

MEMPERTAHANKAN TRADISI REFORMASI DALAM KONTEKS GEREJA KONTEMPORER MASA KINI

Kita harus membagi teologia dan aplikasinya secara jelas. Teologia berarti pengertian manusia secara ilmiah akan Allah, sedangkan aplikasinya yaitu bagaimana menyatakan iman kita dan fungsi iman di dalam hidup sehari-hari. Teologia Reformed mengajarkan tentang Allah Tritunggal, Kristus adalah Mediator satu-satunya, Roh Kudus adalah diri-Nya Allah, dan Alkitab adalah firman Tuhan yang diwahyukan serta gereja adalah orang-orang Kristen yang ditebus oleh Tuhan, juga melalui pertobatan dan diperanakkan pula manusia menjadi anak-anak Allah dan lain sebagainya. Kesemuanya adalah ajaran yang bukan saja harus dipertahankan, melainkan tidak boleh berubah dari selama-lamanya sampai selama-lamanya. Dan ini dimasukkan ke dalam kategori iman kepercayaan yang bersifat mutlak dan melampaui segala jaman dan daerah. Kita harus mempertahankan, memperjuangkan dan memperdebatkan hal ini dalam keadaan bagaimanapun demi menjaga kemurnian kepercayaan maupun substansi dari Kekristenan itu sendiri.

Sedangkan di dalam masyarakat orang Kristen harus menjadi terang atau cahaya kesaksian melalui pengamalan akan sifat kasih, keadilan dan kesucian Allah dalam hidup kita. Hal ini merupakan sesuatu yang harus kita pelajari yakni bagaimana memancarkan kemuliaan Allah di dalam setiap jaman yang berbeda. Di samping itu harus diketahui bagaimana mempertahankan hidup Kekristenan dan bahkan bisa mempengaruhi orang lain melalui sifat-sifat ilahi yang bersangkut-paut dengan etika serta penerapannya di dalam masyarakat yang sangat pluralistik.

Dalam katekismus Heidelberg dikatakan bahwa gereja yang benar dan sejati harus mengajarkan kebenaran firman Tuhan dengan benar dan ketat, lalu menjalankan sakramen dengan benar serta melaksanakan disiplin gereja dengan benar pula. Selain itu gereja harus memberitakan Injil demi menjamin kelangsungan dan kesehatan pertumbuhan gereja secara konsisten.

Apa yang seharusnya gereja bina pada masa kini?

Gereja yang baik, pertama, harus membenahi doktrin-doktrin kepercayaannya sehingga berakar dengan mengetahui siapa, apa dan mengapa kita percaya. Kedua, pengajaran tentang hidup bertanggung jawab kepada Allah menurut etika yang sesuai dengan ajaran Alkitab yakni memancarkan sifat ilahi di bidang moral kepada sesama manusia. Ketiga, membenahi akan makna hidup dan pelayanan. Sebagaimana kita adalah orang-orang Kristen maka kita harus hidup dan melayani orang lain sesuai dengan prinsip-prinsip Alkitab. Keempat, kita harus berusaha membina orang Kristen untuk memuliakan Tuhan di bidang- bidang yang berbeda dalam masyarakat luas. Kelima, bagaimana gereja mendorong pelebaran pekabaran Injil di dalam melaksnakan tugas Amanat Agung.

Akhirnya, bagaimana gereja bisa mempunyai orang-orang yang mampu memimpin di dalam masyarakat?

Kecuali gereja bisa memberikan isi pemberitaan dan pengajaran yang dirasakan cukup oleh orang-orang berpotensi maka barulah kita bisa mendapatkan orang-orang yang bermutu bagi Kekristenan. Mereka yang berkualitas ini harus membimbing agar lebih berkembang, potensi mereka perlu digali serta diarahkan dengan benar. Dengan demikian, untuk mengharapkan munculnya pemimpin-pemimpin yang menjadi kunci dalam masyarakat maka seharusnya para pemimpin gereja pada masa kini memiliki hati yang lapang, visi yang jauh, pandangan yang tepat serta cinta kasih yang limpah dan bijaksana. Jikalau tidak, maka Kekristenan akan selalu tertinggal di belakang. Di lain pihak kepemimpinan itu bukanlah sekedar bisa dilatih atau dicetak oleh usaha manusia, melainkan dibangkitkan oleh Tuhan ditambah dengan penggalian dan latihan sehingga segenap potensi dapat diperkembangkan. Juga harus diciptakan kemungkinan praktek di ladang sebagai sarana output dari apa yang sudah ada padanya ditambah dengan ujian yang lama barulah seseorang bisa menjadi pemimpin yang kuat yang hebat!

Sumber: 

Sumber diambil dari:

Judul Buku : Menuju Tahun 2000; Tantangan Gereja
Di Indonesia
Judul Artikel : Teologia Reformed dan Revelansinya Bagi
Gereja Masa Kini
Penulis : -
Penerjemah : -
Penerbit : Momentum
Halaman : 47 - 55

Jika Kristus Tidak Dibangkitkan

Editorial: 

Dear Reformed Netters,

Saya ingin mengucapkan, "SELAMAT PASKAH" kepada semua anggota e-Reformed. Sehubungan dengan perayaan PASKAH 2001 kita akan menikmati kotbah Pak Bob Jokiman yang disampaikan pada perayaan PASKAH y.l.

"Thanks, Pak Bob."

In His mercy,
Yulia

Edisi: 
015/IV/2001
Isi: 

Rasul Paulus, salah seorang pengikut Kristus yang sebelumnya bertobat menjadi penantang Tuhan bahkan membunuh orang-orang Kristen, menulis bahwa jika Kristus tidak dibangkitkan, maka sia-sialah kepercayaan kita (1Korintus 15:14,17), karena seluruh iman kristiani di dasarkan pada kebangkitan tersebut. Josh McDowell, seorang apologet dari Campus Crusade for Christ, dalam bukunya yang telah menjadi klasik "Evidence That Demands a Verdict", mengutip H.P.Liddon yang berkata: "Faith in the resurrection is the very keystone of the arch of Christian faith, and, when it is removed, all must inevitably crumble into ruin." Iman kristiani yang didasarkan pada kenyataan dan kepercayaan bahwa Tuhan Yesus Kristus, yang disalibkan dan bangkit kembali pada hari yang ketiga kurang-lebih 2000 tahun yang lalu di Yerusalem, bukan saja merupakan dasar iman kristiani yang kokoh tetapi juga bila terus-menerus dihayati akan menjadi sumber sukacita dan harapan yang tidak dapat surut dalam hidup kita sebagai orang-orang percaya. Tanpa Kebangkitan Kristus tiada Jaminan Pengampunan Dosa. Kebangkitan Kristus dapat menjadi sumber sukacita karena menjamin pengampunan bagi umat manusia.

Sejak manusia jatuh dalam dosa, manusia telah berusaha dengan berbagai cara untuk kembali kepada Allah. Umat manusia yang berdosa menganggap bahwa untuk memperoleh pengampunan Allah adalah dengan melakukan perbuatan baik, amal dan memberikan korban atau sesajian. Namun sayang semuanya itu tidak berhasil, semuanya itu tidak menjamin pengampunan dosa umat manusia. Firman Allah menyatakan dengan tegas bahwa kita sekalian seperti orang najis dan segala kesalehan kita seperti kain kotor, kita seperti daun yang layu dan akan dilenyapkan oleh kejahatan kita seperti daun layu yang dilenyapkan oleh angin (Yesaya 64:6). Itulah sebabnya semua agama di dunia ini mendoakan kerabat dan keluarganya yang meninggal supaya dosa-dosa mereka diampuni dan semoga diterima disisi Allah, membuktikan bahwa pengampunan dosa bagi mereka belum merupakan suatu kepastian, pengampunan dosa belum terjamin. Sekalipun selama hidupnya mereka dikenal saleh bahkan menjadi tokoh agama atau rohaniwan sekalipun.

Namun tidak demikian dengan iman kristiani. Alkitab mengajarkan bahwa pengampunan dosa dan kepastian memasuki sorga hanya dapat tercapai apabila kita mengikuti cara yang ditentukan oleh Allah, yang empunya sorga. Seperti halnya kita yang datang ke Amerika, kita baru dapat masuk ke Amerika secara sah apabila kita mendapatkan visa yang dikeluarkan Pemerintah Amerika, yang punya negara ini. Hanya dengan visa tersebut barulah kita dapat masuk ke negara ini. Anda boleh menganggap, berpikir, merencanakan dan melakukan apa saja, tetapi tanpa visa anda tidak boleh masuk, titik! Siapapun anda, pejabat atau jelata, konglomerat atau kaum melarat, profesor atau buta huruf persyaratannya sama, harus punya visa! Kita tidak boleh masuk menurut kehendak dan cara sendiri, tanpa visa kita adalah ilegal dan dapat dideportasi. Kalau dideportasi dari Amerika, masih lumayan kita bisa kembali ke negara kita; Indonesia tercinta. Namun kalau dideportasi dari sorga, mau ke mana kita, tiada tempat lain hanya neraka jahanam, yang sebenarnya disediakan bagi iblis dan para begundalnya!

Kita patut bersyukur, karena begitu besar kasih Allah akan dunia ini sehingga dikaruniakanNya AnakNya yang tunggal supaya barang siapa yang percaya padaNya tidak binasa melainkan peroleh hidup yang kekal (Yohanes 3:16). AnakNya itu telah mati di kayu salib dan dikuburkan, namun pada hari yang ketiga telah bangkit dari antara orang mati, seperti yang dinubuatkan-Nya sendiri (Markus 9:30-32). Kebangkitan tersebut bukan saja menyatakan kebenaran Yesus dengan tergenapi nubuatan tersebut, tetapi juga menyatakan bahwa pengorbanan-Nya diterima Allah. Dalam surat Roma 4:25 dikatakan bahwa Yesus, yang telah diserahkan karena pelanggaran kita dan dibangkitkan karena pembenaran kita! Itulah permakluman Allah terhadap karya penebusan Kristus! Kematian Kristus menyatakan kasih serta pengorbannanNya bagi umat manusia dan kebangkitanNya menyatakan pembenaran Allah terhadap pengorbanan Kristus, pengorbananNya untuk penebusan umat manusia telah diterima Allah! KebangkitanNya adalah bukti bahwa Allah mengesahkan pengorbanan Kristus dan dengan demikian mengesahkan pula pengampunan dan penebusanNya bagi umat manusia! Itulah berita sukacita teragung dan yang didambakan seluruh umat manusia. Pengampunan dan penebusan bagi umat manusia dijamin oleh kebangkitan Kristus. Yesus Kristus adalah visa ke sorga, Dialah satu-satunya jalan menuju sorga (Yohanes 14:6)!

Tanpa Kebangkitan Kristus tiada Harapan Hidup Kekal Kebangkitan Kristus dapat menjadi sumber harapan kekal karena menyatakan bahwa Kristus adalah Allah yang tidak terkalahkan oleh maut, sehingga kematian bagi orang percaya tidak lagi menakutkan. Dalam pergaulan sehari-hari, di mana dan kapan saja, kita sering mendengar keluhan- keluhan tanpa harapan dalam hidup seseorang entah ia itu anggota keluarga, teman sekerja maupun sesama umat beragama. Mengapa banyak orang tidak punya harapan dalam hidupnya? Memang ada banyak alasan yang dapat kita berikan, namun dalam pengamatan penulis semua itu terjadi karena kita tidak mempunyai konsep yang benar terhadap kematian sehingga kita tidak memiliki perspektif yang tepat dalam hidup ini.

Salah satu cara untuk mendapatkan konsep yang benar terhadap kematian dan perspektif yang tepat terhadap hidup ini adalah melalui penghayatan Kebangkitan Tuhan Yesus Kristus yang kita peringati pada Paskah tanggal 15 April ini. Sebagai Gembala Sidang, penulis sering memimpin dan menghadiri Kebaktian-kebaktian Pemakaman, Pengenangan (Memorial Service) atau Penghiburan yang diadakan bagi saudara/i seiman yang ditinggalkan oleh ayahanda, ibunda atau anggota keluarga dekat baik di Los Angeles maupun di Indonesia. Khusus bagi mereka yang ditinggalkan oleh anggota keluarga yang di Indonesia tentu membawa kesedihan tersendiri. Sebagai perantau-perantau di negara asing ini, adalah merupakan kesedihan tersendiri apabila kita tidak sempat mendampingi orang-tua kita tatkala beliau akan menghembuskan nafas terahkir ataupun menghadiri pemakaman orang yang melahirkan, mengasuh, membesarkan serta yang kita kasihi dan hormati. Sebagai manusia biasa; kita patut bersedih namun sebagai orang-orang percaya bagaimanakah kita menanggapi dan menyikapi kematian tersebut?

Melalui kebangkitan Tuhan, maut dan kematian telah dikalahkan. Kebangkitan Tuhan menyatakan bahwa maut tidak sanggup dan tidak berkuasa menawan atau mengalahkan Kristus, karena Dia adalah Allah, Sumber Hidup itu sendiri, bahkan sebaliknya Kristus telah mengalahkan maut! Sehingga dengan gagah kita dapat berkata seperti Paulus:" Hai maut di manakah kemenanganmu? Hai maut dimanakah sengatmu?" (1Korintus 15:54-55). Karena kebangkitan Kristus, maut dan kematian tidak lagi menakutkan bagi orang-orang percaya bahkan maut telah menjadi batu loncatan bagi kita menuju kebahagiaan yang tidak bersudahan di sorga.

Maut bukanlah akhir dari segala-galanya melainkan awal dari kekekalan. Kematian bagi orang percaya bukanlah perpisahan yang abadi melainkan perpisahan sementara yang menuju ke pertemuan kekal, penuh sukacita sorgawi. Dan kelak pada kedatanganNya yang kedua kali, semua orang percaya baik yang sudah mati atau yang masih hidup dalam sekejap mata akan memperoleh tubuh yang mulia, tubuh yang akan hidup selama- lamanya, tubuh yang tidak dapat binasa, tubuh yang layak sebagai penghuni sorga karena kebangkitan Kristus adalah buah sulung dan jaminan bagi kebangkitan semua orang percaya! Maut bukan lagi sesuatu yang perlu kita takuti atau sesuatu yang menakutkan, itulah konsep yang benar terhadap kematian. Oleh karena itu perpisahan dengan orang-orang yang kita kasihi tidak harus melarutkan kita dalam kesedihan terus- menerus melainkan menghibur kita bahwa mereka telah bersama Tuhan Yesus, di rumah Bapa di mana masih banyak tempat yang tersedia bagi kita. Di sana mereka telah bebas dari semua penderitaan duniawi! Andaikata Kristus tidak dibangkitkan mereka semua akan binasa selama- lamanya, kita menjadi orang-orang yang tidak berpengharapan.

Rasul Paulus mengajarkan bahwa tanpa kebangkitan Kristus, kita adalah orang-orang yang paling malang dari segala manusia (1Korintus 15:19b), namun kita bersyukur bahwa kubur yang kosong bukan suatu khayalan melainkan kenyataan. Kebangkitan Kristus, adalah fakta sejarah, sehingga iman kristiani tidak didasarkan pada dongeng. Tubuh kebangkitan Kristus mungkin sesuatu yang misterius namun tubuhNya yang lenyap dari kubur adalah bukti sejarah yang tidak dapat disangkal. Kebangkitan Kristus bukan hanya penting sebagai bukti sejarah serta makna teologis; tetapi sangat penting dalam membentuk perspektif yang tepat dalam kehidupan umat manusia yaitu hidup dengan penuh harapan yang tidak pernah mengecewakan di tengah dunia yang mengecewakan ini, sehingga hidup ini dapat menjadi berkat bagi orang banyak dan lebih bermakna. Tuhan yang Bangkit Menantikan Undangan Anda. Allah tidak pernah menghendaki umat manusia mati.

Di dalam Taman Firdaus tidak ada kematian, tidak ada kesakitan, tidak ada air-mata dan tidak ada penderitaan. Tetapi karena dosa, maut telah datang dan menguasai seluruh umat mansuia hingga hari ini. Alkitab mengajarkan bahwa upah dosa adalah maut (Roma 6:23), seluruh umat manusia; termasuk anda dan saya tanpa terkecuali adalah orang- orang berdosa, itulah sebabnya kita menjadi tua dan merosot kesehatan kita untuk menuju kepada kematian. Semua itu adalah akibat dosa! Namun Alkitab juga mengajarkan bahwa musuh tersebut, yaitu dosa dan maut telah dikalahkan oleh kematian Kristus di kayu salib dan kebangkitanNya dari kubur. Di atas kayu salib Yesus mati menggantikan kita, di situ Dia menanggung dosa dan hukuman yang harus kita terima. Namun kisah tersebut tidak berhenti sampai di sana saja, pada hari yang ketiga setelah kematianNya Dia bangkit, kuburNya telah kosong! Dia hidup dan akan datang kembali untuk menjemput umatNya.

Keyakinan dan kepastian pengampunan dosa serta hidup kekal di dalam Kristus yang bangkit itu terungkap dengan jelas dalam iman Rasul Paulus:"Karena bagiku hidup adalah Kristus dan mati adalah keuntungan. Tetapi jika aku harus hidup di dunia ini, itu berarti bagiku bekerja memberi buah. Jadi mana yang harus kupilih, aku tidak tahu. Aku didesak dari dua pihak: aku ingin pergi dan diam bersama-sama dengan Kristus--itu memang jauh lebih baik; tetapi lebih perlu untuk tinggal di dunia ini karena kamu (Filipi 1:21-24). Orang percaya yang mati di dalam Tuhan, rohnya tidak akan menjelajah atau singgah ke mana-mana, tempat yang akan dituju sudah pasti yaitu rumah Bapa di sorga, karena Tuhan berkata:'... apabila Aku telah pergi ke situ dan telah menyediakan tempat bagimu, Aku akan datang kembali dan membawa kamu ke tempat-Ku, supaya di tempat di mana Aku berada, kamupun berada." (Yohanes 14:3).

Di mana sekarang Tuhan Yesus yang telah dibangkitkan itu berada? Ibrani 8:1 menyatakan:"Inti segala yang kita bicarakan itu ialah: kita mempunyai Imam Besar yang demikian, yang duduk di sebelah kanan takhta Yang Mahabesar di sorga," Hanya di dalam iman kepada Tuhan Yesus Kristus ada pengampunan dosa dan kepastian keselamatan kekal. Apakah Anda telah memiliki keyakian tersebut? Apakah Anda merindukan keyakinan yang sama dengan keyakinan yang dimiliki Rasul Paulus? Sudahkah Anda percaya pada-Nya? Maukah Anda percaya pada- Nya? Ucapkanlah dengan iman dan penuh percaya doa yang singkat dan sederhana ini: "Tuhan Yesus, saya bersyukur mengetahui dengan pasti bahwa hanya di dalam Dikau yang telah mati disalibkan dan dibangkitkan ada pengampunan dan keselamatan kekal. Saya adalah orang berdosa, saya mengakui dan menyesali dosa-dosa saya saat ini. Ampunilah saya dan masuklah dalam hati serta hidup saya sebagai Juruselamat dan Tuhan. Dalam nama-Mu yang berkuasa saya berdoa. Amin." Jika Anda sudah dengan tulus dan sungguh-sungguh hati mengundang Tuhan Yesus masuk ke dalam hati Anda maka percayalah bahwa sekarang juga ia sudah berada dalam hati Anda, Sebab Dia berkata:'Lihat, Aku berdiri di muka pintu dan mengetok; jikalau ada orang yang mendengar suara-Ku dan membukakan pintu, Aku akan masuk mendapatkannya dan Aku makan bersama-sama dengan dia, dan ia bersama-sama dengan Aku' (Wahyu 3:20) Semoga dalam merayakan Paskah kali ini bukan saja Anda lebih mengenal Tuhan yang bangkit itu, tetapi juga telah mengundang-Nya dalam hati dan hidup Anda, serta memperoleh Jaminan serta Harapan kekal di dalam Dia. Semoga Anda hidup dengan penuh sukacita dan harapan kekal.

Selamat Hari Paskah. Amin.

Sumber: 

Sumber : Khotbah Pdt. Bob Jokiman,
(Gembala Sidang Gereja Kristen Indonesia Monrovia di California)

Christ The Mediator

Editorial: 

Dear e-Reformed Netters,

No comment.

Happy reading....!
Yulia

Penulis: 
R.C. Sproul
Edisi: 
012/II/2001
Isi: 

The saving ministry of Jesus Christ is summed up in the statement that He is the "Mediator between God and men" (1 Tim 2:5). A mediator is one who brings together parties who are out of communication and who may be alienated, estranged, or at war with each other. The mediator must have links with both sides so as to identify with and maintain the interests of both, and represent each to the other on a basis of goodwill. Thus Moses was mediator between God and Israel (Gal. 3:19), speaking to Israel on God's behalf when God gave the law (Ex. 20:18-21) and speaking to God on Israel's behalf when Israel had sinned (Ex. 32:9-33:17).

Every member of our fallen and rebellious race is by nature in "enemity against God" (Rom 8:7), standing under God's wrath, the punitive rejection whereby as Judge He espresses active anger at our sins (Rom 1:18; 2:5-9; 3:5, 6). Reconcilliation of the alienated parties is needed, but can only occur if God's wrath is quenched and the human heart, that opposes God and motivates a life against God, is changed. In mercy, God sent His Son into the world to bring about the needed reconciliation. It was not that he kindly Son acted to placate the harsh Father; the initiative was the Father's own. In Augustine's words, "in a wonderful and divine way even when He hated us, he loved us" (Commentary on John 110.6; cf. John 3:16; Rom. 5:5-8; 1 John 4:8-10). In all His mediatorial ministry the Son was doing His Father's will (see "The humble Obedience of Christ" at John 5:19).

Objectively and once for all, Christ achieved reconciliation for His people through penal substitution. On the cross He took our place, carried our identity as it were, bore the curse due to us (Gal. 3:13), and by His sacrificial shedding of blood made peace for us (Eph. 2: 16-18; Col. 1:20). Peace here means an end to hostility, guilt, and exposure to the retributive punishment that was otherwise unavoidable - in other words, forgiveness for all the past, and eternal, personal acceptance for the future. Those whio have received reconcilitation through faith in Christ are justified and have peace with God (Rom. 5:1, 10). The Mediator's present work, which He carries forward through human messengers, is to persuade those for whom He achieved reconciliation actually to receive it (John 12:32; Rom. 15: 18; 2 Cor. 5:18-21; Eph. 2:17).

Jesus is "the Mediator of the new covenant" (Heb. 9:15; 12:24), the initiator of a new relationship of conscious peace with God, going beyond what was known under the Old Testament arrangements for dealing with the guilt of sin (Heb. 9:11-10:18).

One of Calvin's great contributions to Christian understanding was his observation that the New Testament writers expound Jesus' mediatorial ministry in terms of the three "offices" (defined roles) of prophet, priest, and king. These three aspects of Christ's work are found together in the letter to the Hebrews, where Jesus is both the messianic King, exalted to His throne (1:3, 13; 4:16; 2:9), as well as the great High Priest (2:17' 4:14 - 5:10 chs. 7:10), who offered Himself to God as a sacrifice for our sins. In addition, Christ is the massage concerning Himself (2:3). In Acts 3:22 Jesus is called a "Prophet" for the same reason that Hebres calls Him "Apostle," namely, because He instructed people by declaring to them the word of God.

While in the Old Testament the mediating roles of prophet, priest, and king were fulfilled by separate individuals, all three offices now coalesce in the one person of Jesus. It is His glory, given Him by the Father, to be in this way the all-sufficient Saviour. We who believe are called to understand this, and to show ourselves His people by obeying Him as our king, trusting Him as our priest, and learning from Him as our prophet and teacher. To center on Jesus Christ in this way is the hallmark of authentic Christianity.

Sumber: 

Sumber diambil dari:

Judul Buku : New Geneva Study Bible
Judul Artikel : -
Penulis : R.C. Sproul
Penerjemah : -
Penerbit : Thomas Nelson
Halaman : 1910

Roh Kudus dan Doa

Editorial: 

Dear Reformed Netters,

Selamat berjumpa lagi dan salam sejahtera dalam Kristus!

Publikasi e-Reformed kali ini akan menyajikan sebuah kotbah dari Pdt. Dr. Stephen Tong, yang telah ditulis dan dimuat di Buletin SURAT DOA -- No. 4, diterbitkan oleh Lembaga Reformed Injili Indonesia. Kotbah dengan tema "ROH KUDUS dan DOA" ini dibawakan oleh Pdt. Dr. Stephen Tong dalam pertemuan Persekutuan Doa Momentum (12 tahun yang lalu). Sebuah tema kotbah yang penting dan sangat relevan bagi kedewasaan hidup iman Kristen kita. Selamat membaca!

In His grace,
Yulia

Penulis: 
Stephen Tong
Edisi: 
009/IX/2000
Isi: 

"Demikian juga Roh membantu kita dalam kelemahan kita; sebab kita tidak tahu, bagaimana sebenarnya harus berdoa; tetapi Roh sendiri berdoa untuk kita kepada Allah dengan keluhan-keluhan yang tidak terucapkan. Dan Allah yang menyelidiki hati nurani, mengetahui maksud Roh itu, yaitu bahwa Ia sesuai dengan kehendak Allah, berdoa untuk orang-orang kudus."
(Rom 8 : 26,27)

Doa merupakan napas orang Kristen, suatu komunikasi antara yang diselamatkan dan Juruselamat. Doa merupakan persatuan dari kehendak yang diciptakan dengan kehendak yang menciptakan, "the unity of the will of the created one and the Creator". Doa merupakan persatuan dari kehendak kita, kemauan kita, yang disesuaikan dengan kehendak Allah Pencipta.

Doa penting sekali, tetapi Alkitab dengan jujur mengatakan kepada kita, bahwa kita sebenarnya tidak tahu bagaimana seharusnya berdoa. Ini jujur sekali. Siapa yang mengetahui bagaimana seharusnya berdoa? Kita selalu hanya minta-minta kalau berdoa, meminta menurut kemauan kita sendiri. Dalam berdoa kita mau supaya Tuhan menyesuaikan dengan kehendak kita.

Ada suatu cerita tentang sepasang suami-istri di provinsi Shantung di Cina. Suami-istri ini hidup dari menjual kain dengan berkeliling, karena mereka tidak mempunyai toko. Setiap akhir tahun mereka mempunyai kebiasaaan berlutut di hadapan Tuhan dan berdoa, "Oh Tuhan, saya berterima kasih kepadaMu, karena Engkau sudah memberkati kami sehingga untung 100 bal kain. Tuhan, saya minta tahun depan beri saya keuntungan 200 bal kain." Sebelum doanya selesai si istri memotong, "Tuhan, jangan dengar doa suami saya, dengar doa saya. Kalau tahun ini Tuhan beri keuntungan 100 bal kain, tahun depan juga sama, 100 bal saja cukup." Si suami marah-marah, "Saya belum amin, kenapa kamu ikut campur, kita akan susah kalau cuma mendapat 100 bal kain." Tetapi si istri tidak peduli, ia melanjutkan doanya, "Tuhan, pokoknya doaku saja yang didengar. Jangan beri 200 bal. Kalau Engkau beri 100 bal ia akan tetap setia dan mencintai saya. Kalau 200 bal ia nanti akan cari istri kedua." Inilah doa orang dunia, kedua-duanya berdoa untuk mencari keuntungannya sendiri, bukan mencari kehendak Tuhan dan kerajaanNya.

Saya ingin bertanya kepada Saudara, apakah doa kita sudah sesuai dengan kehendak Tuhan? Apakah kita berdoa dengan pengertian akan apa yang dikehendaki oleh Tuhan? Saudara, Alkitab dengan terus terang berkata kepada kita bahwa kita sebenarnya tidak tahu bagaimana seharusnya berdoa. Apa yang kita doakan? Bagaimana kita harus mendoakannya? Kita sendiri tidak tahu. Banyak orang Kristen waktu berdoa asal buka mulut saja, "Tuhan, saya mau ini, mau itu". Sebelum saya melayani ke luar negeri saya tanya istri saya, "Kalau saya pulang engkau perlu saya bawakan apa?" Jawabnya, "Jangan bawakan apa-apa, saya tidak perlu apa-apa." Lalu saya tanya anak-anak saya, mau minta apa. Yang satu bilang, kali ini tidak ada keperluan apa-apa, tetapi saya pikirkan sendiri, dia perlu apa, nanti saya belikan untuk dia. Demikian juga Tuhan mau tahu hati kita waktu kita berdoa, bagaimanakah sikap kita terhadap kedaulatan, keinginan, rencana dan kehendak Allah.

Kedua ayat di atas menjelaskan bahwa kita sebenarnya tidak tahu bagaimana harus berdoa. Itulah sebabnya Roh Kudus diberikan menjadi Penolong kita masing-masing, untuk menolong kita berdoa, menolong kita menguatarakan hati kita sepenuhnya kepada Tuhan menurut kehendak Tuhan. Dan sebelum ayat ini selesai dikatakan, Roh Kudus mengetahui bagaimana berdoa bagi kita. Dia berdoa menurut kehendak Allah bagi orang-orang suci. Dalam keadaaan demikian kita melihat hubungan antara doa dan Roh Kudus. Bukan doa kita yang menggerakkan Roh Kudus, melainkan sebaliknya Roh Kudus menggerakkan roh kita untuk berdoa. Roh Kudus yang berdoa bagi kita sesuai dengan kehendak Allah yang menerima doa kita. Di sini kita menegasakan sekali lagi doktrin dan teologia doa yang benar.

BERDOA DALAM ROH DAN KEBENARAN

Saudara-saudara, makin saya memikirkan, makin limpah, makin saya merenungkan makin mendalam, makin saya mengerti makin saya kagum akan ajaran Alkitab mengenai doa yang begitu berlimpah. Banyak orang Kristen dan gereja pada waktu berdoa tidak menyelidiki baik-baik teologi doa yang diajarkan Alkitab. Alkitab berkata, "Tetapi saatnya akan datang dan sudah tiba sekarang, bahwa penyembah-penyembah yang benar akan menyembah Bapa dalam roh dan kebenaran." (Yoh. 4:23). Dalam sembah sujud dan berbakti kepada Tuhan ada dua unsur penting. Pertama yaitu berbakti dengan jujur, berbakti di dalam kebenaran; ini suatu aspek fungsi rasio. kedua, berbakti di dalam roh, berbakti di dalam kuasa Roh Kudus, ini aspek rohani. Iman mencakup dua wilayah; wilayah rasional dan wilayah spiritual. Wilayah rasional bersangkut-paut dengan fungsi pikiran. Wilayah spiritual bersangkut paut dengan fungsi kita berbakti dan memuliakan Allah.

Yesus Kristus berkata, "Barangsiapa menyembah Allah, harus menyembahNya dalam roh dan kebenaran." Aku berbakti kepada Tuhan, baktiku berdasarkan kebenaran yang memimpin pikiranku. Berbahagialah orang yang pikirannya dipimpin oleh kebenaran dan hati nuraninya dipimpin oleh Roh Kudus, dan kedua aspek itu bekerja bersama-sama. Dwi fungsi berintegrasi di hadapan Tuhan. Jika kita mempunyai otak yang tidak dipimpin oleh Roh Kudus, bakti kita tidak diterima dengan baik. Jika kita mempunyai roh yang sungguh-sungguh tetapi tidak ada kebenaran yang memimpin kita, kita tidak mungkin memuliakan Tuhan dengan sungguh-sungguh. Berbahagialah orang yang punya integrasi, suatu penggabungan yang mencakup kedua aspek ini. Di bagian rasio ada kebenaran yang memimpin, di bagian rohani ada Roh Kudus yang bertakhta. Saudara-saudara, bakti sudah mencakup aspek fungsi hidup rohani yang disebut berdoa; berdoa dengan roh, berdoa dengan pengertian. "Aku akan berdoa juga dengan akal budiku," demikian Paulus berkata dalam 1Kor 14:15. Doa dalam roh dan doa dalam pikiran, doa dalam roh dan doa dalam akal, dalam pengertian. Betapa banyak orang berani menafsirkan ayat itu secara salah dengan mengatakan, kalau engkau berdoa tanpa memakai pikiran, hanya berglosolali atau roh yang memimpin, sehingga pikiranmu kabur atau tidak jelas. Saya kira itu bukan ajaran Alkitab. Kalau Saudara meneliti surat korintus, Paulus menekankan bukan hanya berdoa dalam roh tetapi juga memakai pengertian. Jadi di sini keseimbangan yang ditekankan. Roh Kudus memimpin rohmu dan Firman memimpin pikiranmu.

Tidak ada seorangpun yang berhak memisahkan Roh Kudus dari kebenaran, dan tidak ada seorang pun yang berhak memisahkan pimpinan Roh Kudus dengan roh kita. Jika pikiran kita tidak dipimpin oleh kebenaran, kita belum bisa berbakti kepada Allah. Jika hati dan nurani kita tidak dipimpin oleh Roh Kudus, kita belum mengerti bagaiman aberdoa kepada Tuhan. Jadi, berbakti kepada Tuhan dalam kebenaran dan roh, berdoa kepada Tuhan dalam pikiran dan hati nurani yang dipimpin oleh Roh. Roh Kudus tidak mungkin memimpin seseorang tanpa memakai kebenaran. Dengan kebenaran Dia memimpin kita dengan Firman Tuhan menjadi pedoman hidup, Firman Tuhan menjadi pelita dalam jalan kita, Firman Tuhan menjadi penerang bagi hati nurani, dengan cahaya Firman kita dipimpin. Saudara-saudara, seorang yang rohani adalah seorang yang taat kepada kebenaran Alkitab. Seorang yang bijaksana adalah seorang yang menaklukkan pikiran di bawah kuasa Roh Kudus dan kedaulatan Tuhan Allah.

BERDOA SESUAI DENGAN KEHENDAK BAPA

Roh Kudus dan doa. Doa dan Roh Kudus. Pada waktu Yesus, Anak Allah yang tunggal, berada di dunia, Dia tidak bisa berdoa tanpa pimpinan Roh Kudus. Ketika Anak Manusia yang menjadi wakil engkau dan saya berada dalam dunia, Allah menjadi daging, Kalam menjadi manusia, Firman menjadi Imanuel, Dia perlu pimpinan Roh Kudus. Siapakah engkau, yang berdoa tidak perlu dipimpin oleh Roh Kudus? Siapakah engkau, yang sudah belajar menghafal doa sehingga engkau sudah pintar berdoa di luar kepala dan tidak perlu dipimpin oleh Roh Kudus? Dalam Lukas 4 dan Matius 4 dikatakan, Roh Kudus memimpin Yesus ke padang belantra untuk dicobai dan di situ Doa berdoa 40 hari. Dia berdoa, berdoa, berdoa dan sebagai puncak doanya kita melihat Roh Kudus memimpin Dia. Selama 40 hari Dia berada dalam pergumulan doa. Roh Kudus mendampingi dan akhirnya doaNya sudah memuncak, sudah mencapai suatu status, kuat untuk bisa mengadapi pencobaan-pencobaan yang berat. Di dalam duania, Yesus berdoa dan dipimpin oleh Roh Kudus.

Saudara-saudara, bukan hanya itu; Alkitab berkata bahwa Roh menolong kita dengan keluhan-keluhan yang tak terucapkan. Apakah artinya ini? Yang tidak terkatakan, yang tidak dimengerti oleh manusia, demikianlah keluhan-keluahan Roh Kudus. Orang yang belajar sabar tahu betapa berat arti S-A-B-A-R ini. Sabar ini sulit. Dalam bahasa Tionghoa kata sabar tersusun oleh dua suku kata, yang artinya jantung ditusuk oleh pisau. Itulah arti sabar. Kadang-kadang saudara tidak bisa sabar tetapi mesti sabar juga, sudah tidak bisa tetapi mesti sabar, saudara paksa-paksakan, persis seperti jantung ditusuk pisau. Goyang sedikit, pecah jantungmu. Itu namanya sabar. Siapakah yang paling sabar? Yang paling sabar ialah Roh Kudus. Waktu Dia memperanakkan kita, Dia sudah bertekad untuk mendampingi anak yang dilahirkan itu. Dia mau hidup ditengah-tengah kita, Dia mau hidup di dalam kita. Roh Kudus mendampingi kita seperti seorang ibu, dengan penuh kesabaran Ia mendidik kita, memimpin kita menuju ke jalan yang benar, menuju jalan yang bercahaya dengan terang yang mulia.

Dalam bahasa Yunani Roh Kudus disebut Parakletos. "Para" artinya di samping. Parakletos adalah Penghibur yang mendampingi kita. Pada waktu engkau dicela, dihina, waktu engkau sendiri melayani Tuhan dan tidak dimengerti oleh orang lain, bahkan oleh kawan dan rekan sendiri, ingatlah akan Parakletos, Roh Kudus Penghibur yang mendampingi engkau di sampingmu dan terus menguatkan engkau, berdoa ganti engkau, karena Dia mengatahui isi hati Tuhan dan Bapa mengetahui doa Roh Kudus. Ini adalah komunikasi antara ketiga oknum; Bapa, anak dan Roh Kudus. Bapa mencintai Anak. Anak mencintai Bapa, Bapa mencintai Roh Kudus, dan Roh Kudus mencintai Bapa. Ketiga Oknum berkomunikasi, ketiga Oknum saling mencintai, dan pengertian antara ketiga Oknum demikian jelas, demikian tuntas, sempurna dan demikian indah. Disebut di sini bahwa Roh Kudus tahu maksud Bapa dan Bapa juga mengerti isi hati Roh Kudus. Karena Roh Kudus mengetahui kedalaman dan keajaiban segala rahasia yang tersembunyi sedalam-dalamnya di dalam diri Allah Bapa, maka Roh Kudus bisa berdoa sesuai dengan kehendak Bapa, sedangkan engkau dan saya tidak mungkin.

Roh Kudus membantu engkau dan saya berdoa di hadapan Tuhan. Saudara, dulu di desa-desa di Tingkok banyak wanita tidak sekolah. Kalau mereka mau menulis surat kepada suami atau anaknya di kota lain, mereka harus meminta bantuan seorang tukang tulis surat. Nah, tukang tulus surat tidak ada modal berdagang tetapi ada modal sekolah. Jadi mereka pasang satu menja dengan tempat tinta, sebuah pena dengan kuas dari bulu, dan banyak kertas di lacinya. Wanita-wanita itu lalu mendiktekan apa yang mereka mau katakan. Biasanya bahasa mereka selalu jelek, tata bahasanya tidak teratur, tetapi yang menulis langsung mengubah menjadi kalimat-kalimat yang indah, tata bahasanya baik dan tulisannya bagus; kalau kata-katanya terlalu kasar dihaluskan, supaya dapat mengungkapkan apa yang diinginkan dengan sebaik-baiknya. Nah, Saudara demikianlah pekerjaan Roh Kudus, dalam membantu kita berdoa. Doa kita sering ngawur, Roh Kudus membetulkan. Dia mengeluh dan mengeluh mendengar doa kita, tetapi Ia memperindah doa kita sehingga diterima oleh Bapa. Saudara mau doa Saudara diterima oleh Bapa? Caranya tidak lain, kecuali hidup menurut kehendakNya dan diperkenan olehNya, dan Roh Kudus akan membantu kita berdoa.

Saudara, sejak saya berumur sepuluh tahun saya mempunyai beban doa untuk penginjilan dunia, tetapi tidak tahu bagaimana harus berdoa. Kemudian Tuhan menolong saya untuk mulai melihat siapa memberitakan Inji, dukunglah mereka; siapa yang diinjili, cari kesulitan mereka; orang-orang yang paling sulit menerima Injil, temukan rintangannya apa. Mulai Tuhan mengajar dengan kebenaran, seperti mengupas lapisan-lapisan bawang yang luarnya sudah rusak, mengupas satu per satu sampai ditemukan inti di dalamnya yang sesuai dengan hidup yang Allah ingini. Pelan-pelan saya belajar mengatahui bagaimana berdoa sesuai dengan kehendak Tuhan. Dalam berdoa saya dididik, saya dibantu, sehingga lambat laun mulai tidak lagi berdoa untuk hal-hal yang sekunder, hal-hal yang tidak perlu, tidak lagi berdoa untuk keuntungan dan kepentingan diri sendiri, melainkan mengutamakan Tuhan. Lambat laun saya merasakan perasaan saya lain sekali; kalau Tuhan sudah mau begini, hati ingin begitu, tidak ada sejahtera. Setelah berdoa untuk pekerjaan Tuhan, berdoa untuk orang lain, untuk penginjilan seluruh dunia, ada suatu ketenangan dalam hati.

Saudara akan mengalami damai sejahtera yang luar biasa kalau Saudara mengingat orang lain, bukan mengingat diri sendiri. Di dalam Alkitab ini merupakan suatu prinsip! Pada waktu Ayub bersungut-sungut tidak habis-habisnya, mencela Allah, ia tidak ada jalan pembebasan. Tetapi ketika Ayub berdoa untuk kawan-kawannya dan untuk orang lain, Allah melepaskan dia dari kesusahan. Ayat ayng indah! Hanya Roh Kudus bisa menolong kita, mengarahkan kita keluar dari hidup doa yang egosentris menuju hidup doa yang altruistis, yaitu berdoa untuk orang lain. Hidup berdoa untuk melihat lebih lebar, lebih luas, penyangkalan diri lebih besar, melihat kerajaan allah.

Roh Kudus menolong kita berdoa karena Ia mengetahui isi hati Tuhan. Kiranya Tuhan memperbarui, menormalkan dan mengarahkan kebenaran di dalam hidup doa kita masing-masing.

Sumber: 

Sumber diambil dari:

Judul Buku : Buletin Surat Doa -- No. 4
Judul Artikel : -
Penulis : Pdt. Dr. Stephen Tong
Penerjemah : -
Penerbit : Lembaga Reformed Injili Indonesia
Halaman : -

Bagaimana Theolog Reformed Bertheologi pada Masa Kini (II)

Editorial: 

Artikel ini diambil dari artikel di Majalah Momentum; No. 32/IV/1996, hal. 44-50, yang diterbitkan oleh Lembaga Reformed Injili Indonesia

Penulis: 
-
Edisi: 
005/II/2000
Isi: 

(Artikel ini dikutip dari buku Doing Theology in Today's World, editor John D. Woodbrige & Thomas Edward McComiskey, Grand Rapids, Michigan: Zondervan Publishing House, 1991.)

MENELITI NATUR THEOLOGI SEBAGAI BIDANG SAINS

Pertanyaan penting mengenai natur theologi dan sains, yang jarang diperhatikan sebelum periode Pencerahan, tetapi harus dipertimbangkan terlepas dari apakah seseorang memilih theologi Reformed dalam jalur Princeton Kuno atau Amsterdam Kuno. Pada masa kini pertanyaan tersebut harus dihadapi walaupun tidak ada jawaban yang disetujui bersama. Baik Warfield maupun Kuyper menganggap theologi adalah bidang sains dan sepakat dalam presuposisi yang tercakup di dalamnya walaupun mereka memiliki perbedaan pribadi yang cukup penting.

Sains jelas melibatkan aktivitas tertentu yang membedakannya dari pengalaman sehari-hari. Kita mengalami hal-hal dalam hidup sehari-hari secara penuh dan berelasi satu sama lain. Pada musim gugur, misalnya, kita berjalan di antara pepohonan untuk menikmati warna dan aromanya. Kita terpesona akan pemandangannya dan bertanya-tanya mengapa ada daun yang merah atau kuning sedangkan yang lain masih hijau. Pengalaman sehari-hari melibatkan refleksi atau analisa pribadi atas pertanyaan-pertanyaan seperti itu.

Pada saat kita mulai berusaha menemukan mengapa sebagian daun berubah warna pada musim gugur, mengapa warnanya berlainan dan mengapa waktunya berlainan, kita mulai melakukan aktifitas sains. Berbeda dari pengalaman sehari-hari, sains memerlukan analisa sekunder dan penelitian mendalam. Kita harus mengambil contoh daun dan membawanya ke laboratorium. Kita harus melakukan test dan eksperimen dengan menggunakan mikroskop atau peralatan khusus lainnya. Kita mencari jawaban atas pertanyaan-pertanyaan bagaimana, kapan dan mengapa melalui analisa sains.

Aktivitas serupa diperlukan dalam bertheologi. Kadang-kadang istilah theologi digunakan dalam arti populer, yaitu pembicaraan mengenai Allah, Alkitab atau hal-hal religi, tetapi sebenarnya itu hanya arti di permukaan. Theologi melibatkan lebih dari sekedar aktivitas atau pembicaraan religi. Orang Kristen membaca Alkitab dan berdoa kepada Tuhan secara individu. Mereka bersekutu, membaca Alkitab, mengakui iman dan mendiskusikan khotbah secara persekutuan. Keterlibatan dalam aktivitas tersebut memerlukan perhatian, refleksi, dan analisa primer. Tetapi sains sebagai aktivitas pendidikan memerlukan analisa sekunder. Laboratorium dan peralatan khusus tidak diperlukan dalam bertheologi, tetapi analisa masalah harus bersifat mikroskopis dan pembahasan dalam terang sejarah harus bersifat teleskopik. Natur Alkitab, karakteristik doa, kualitas pengakuan iman gereja dan arti mutlak suatu teks adalah topik-topik yang menjadi obyek investigasi theologi. Karena memiliki karakterisitik yang terdapat dalam sains, theologi haruslah dilihat sebagai bidang sains.

Keberadaan presuposisi dalam setiap bidang sains masih menjadi bahan perdebatan, tetapi keberadaannya lebih banyak diterima dalam dekade terakhir ini karena runtuhnya positivisme. Saya pribadi yakin bahwa sains tanpa presuposisi adalah mustahil, tetapi tidak perlu di bahas di sini. Bagaimanapun keberadaan presuposisi dalam theologi hampir tidak perlu diperdebatkan. Schleiermacher mungkin berfikir bahwa sainsnya memenuhi persyaratan objektivitas Pencerahan, tetapi kita dapat mengenal presuposisinya sekarang. Barth mengakui bahwa penekanannya terhadap wahyu tidak memungkinkan ia memenuhi kriteria positivisme yang digariskan H. Scholz Bultmann untuk menyatakan bahwa kebangkitan tidak mungkin terjadi. Kita bahkan dapat mengatakan bahwa Reformasi terjadi ketika Luther dipaksa untuk mengganti presuposisi theologisnya. Analisanya yang teliti terhadap Roma 1 menyebabkan ia menolak presuposisi dualisme iman dan usaha, dan dengan demikian menemukan dan meyakini bahwa keselamatan hanya oleh anugerah melalui iman.

Sebagai kesimpulan, kita berpendapat bahwa bidang sains, termasuk sains theologi, melibatkan seorang manusia -- kita sebut `knower' -- yang selalu mulai dari presuposisi religi tertentu, diakui atau tidak. Secara positif atau negatif, presuposisi ini selalu berkaitan dengan Tuhan, Alkitab dan pengakuan iman tertentu. Presuposisi ini dapat berupa presuposisi Kristen, atau presuposisi non-Kristen. Untuk Kristen, presuposisi ini mungkin Katholik Roma, Lutheran atau Reformed. Berpijak pada presuposisi ini, `knower' mengarahkan kemampuan analitisnya terhadap suatu aspek untuk dipelajari secara detail dan hati-hati. Knower melakukan analisa sekunder terhadap aspek tsb. Semua ini adalah ciri umum semua bidang sains, termasuk theologi. Seorang theolog harus menyadari karakteristik sains karena karakteristik ini dapat menjadi cobaan unik atau kesempatan indah.

Apa yang membedakan antara bidang sains? Pertanyaan ini merupakan pembahasan berikut, investigasi theologi, khususnya theologi Reformed.

MENGENALI WILAYAH INVESTIGASI

Bidang sains dibedakan satu sama lain oleh wilayah investigasinya. Untuk theologi apa wilayahnya? Sebagian mengatakan Tuhan, wahyu, Alkitab atau pengalaman religi. Jawaban kontemporer merujuk pada berbagai sumber atau faktor pembentukan dalam theologi sistematis. Jika kita tidak ingin jawaban tak berbobot, maka pertanyaan ini sulit dijawab.

Dunia ciptaan Tuhan ini memperlihatkan berbagai aspek berbeda sehingga sains dasar yang serupa ada di seluruh dunia. Contohnya, biologi yang menyelidiki aspek biotik dan memfokuskan analisa sekundernya pada kehidupan tumbuhan, satwa dan manusia. Sains sejarah, sosiologi dan ekonomi memiliki wilayah investigasi yang jelas. Natur wilayah investigasi yang menyebabkan adanya perbedaan antara sains natural dengan kemanusiaan dalam hal test, eksperimen dan objektivitas. Tetapi setiap disiplin ilmu ini menunjukkan karakteristik sains, atau dalam bahasa Jerman "Wissenschaft". Dalam studi sains ada juga analisa sekunder sebuah aspek realita yang diabstraksikan secara teoritis dari keseluruhan konteks agar dapat diteliti secara mendalam. Lagipula orang yang melakukan aktivitas sains melakukannya dari perspektif keyakinan pribadi atau presuposisi pribadi. Sains dibedakan satu sama lain oleh wilayah investigasinya.

Apakah wilayah investigasi theologi? Definisi umum theologi adalah "sains Allah". A. Kuyper menantang definisi tersebut dengan mengatakan bahwa Allah tidak dapat ditaruh di bawah mikroskop; Allah hanya dapat dikenal sejauh Ia membuka Diri-Nya untuk dikenal. Dalam pandangan itu, definisi theologi yang lebih umum menjadi "sains wahyu" atau "sains Alkitab." Di bawah pengaruh Schleiermacher istilah ini diganti dengan "sains agama". Pandangan Barth mengenai wahyu membuatnya menganggap "khotbah Hari Minggu sebagai bahan baku dogma". Paul Tillich menganggap "pandangan Alkitab Neo-ortodoks" terlalu sempit dan menyebut "sumber-sumber theologi sistematis" adalah Alkitab, sejarah gereja, sejarah agama, dan kebudayaan. John Macquarrie menyebut bahwa "faktor-faktor pembentukan dalam theologi" adalah pengalaman, wahyu Alkitab, tradisi, kebudayaan, dan rasio. Seorang theolog berkulit hitam, James Cone, mengadaptasikan hal-hal tersebut dengan perspektifnya, menjadi pengalaman kulit hitam, sejarah kulit hitam, kebudayaan kulit hitam, wahyu, Alkitab dan tradisi. Walaupun theolog liberal berasal dari beberapa gereja berbeda, mereka bersama-sama menekankan "pengalaman penderitaan" sebagai sumber penting dan mengadaptasikannya terhadap hal-hal tersebut di atas.

Buku-buku theologi Reformed yang terbit sebelum munculnya Neo-ortodoks memberikan jawaban yang sama terhadap pertanyaan mengenai wilayah investigasi theologi. Untuk theologi Katholik Roma, wilayah investigasinya adalah Alkitab dan tradisi. Untuk theologi Protestan, khususnya Reformed, wilayah tersebut hanya Alkitab. Untuk theologi liberal, wilayah tersebut adalah pengalaman religi manusia. Itulah yang kupelajari dan merupakan jawaban awalku ketika mulai mengajar theologi sistematis pada awal tahun 1950-an.

Setelah beberapa tahun mengajar theologi, saya menemukan bahwa semua elemen tersebut di atas masuk ke dalam wilayah investigasi saya sebagai seorang theolog Reformed. Alkitab memang yang terutama, tetapi saya harus juga meletakkan pengakuan iman gereja, termasuk yang kuyakini secara pribadi, ke bawah analisa sekunder. Sebenarnya seluruh tradisi Reformed dan juga tradisi seluruh gereja Kristen adalah bagian wilayah investigasiku. Saya harus juga meneliti berbagai tipe theologi dan menyelidiki sumber dan faktor formatifnya, termasuk semua hal yang relevan dalam bidang filsafat, psikologi, sosiologi dan lainnya. Bahkan pengalaman, yang sulit didefinisikan dan selalu dicurigai sejak masa Schleiermacher, mempunyai peranan tertentu, walapun pengalaman kulit hitam atau pengalaman penderitaan bukan bagian sejarah pribadiku. Bagi saya sebagai theolog Reformed, semua faktor ini harus dipertimbangkan dan dapat menjadi obyek analisa sekunder.

Hal yang penting adalah: dalam seluruh keragaman wilayah investigasi theologi ini, tetapi ada kriteria atau norma untuk mengambil keputusan akhir. Apa yang berfungsi sebagai norma dalam wilayah studi yang beragam ini? Mungkin itulah yang sebenarnya dimaksudkan dalam buku-buku Reformed lama ketika memfokuskan pada Alkitab dan tradisi, hanya Alkitab atau pengalaman religi manusia. Seorang theolog Reformed harus berusaha menilai semua sumbernya berdasarkan otoritas Alkitab. Tradisi, pengalaman religi, theologi-theologi lain dan semua hal lain dalam wilayah investigasi harus tunduk kepada norma Alkitab. Sulit untuk menemukan istilah khusus untuk wilayah investigasi ini. H. Dooyeweerd menyebutnya "aspek pistic" atau "aspek iman", dengan Alkitab sebagai normanya dan gereja sebagai subyek atau agen primer dalam aspek pistis tsb. Mungkin itu cara yang cukup baik dalam mengenali wilayah investigasi, tetapi pembahasan terdahulu diperlukan untuk mengkonkritkan istilah apapun yang menjadi kesimpulan. Keutamaan Alkitab sebagai norma theologi Reformed perlu dibahas lebih lanjut.

MENERIMA KEUTAMAAN ALKITAB

Theolog Reformed harus memperhatikan semua hal yang merupakan bagian wilayah investigasi theologi, termasuk semua tipe theologi. Dalam semua segi investigasi, Alkitab harus diprioritaskan oleh theolog Reformed. Alkitab adalah sumber utama dan otoritas tertinggi untuk menilai apapun. Apa yang disebut "proof texts" dalam theologi sistematik (dogma) lebih tepat disebut "source texts" kunci. Hampir tidak perlu diperdebatkan lagi apa yang merupakan hal paling dasar dalam theologi Reformed, yaitu prioritas dan normativitas Alkitab dalam bertheologi. Saya akan membahas singkat hal-hal berikut: perhatian terhadap seluruh Alkitab (tota Scriptura), sejarah Alkitab, theologi Alkitabiah, exegese yang berhati-hati dan masalah hermeneutika.

Theolog Protestan setuju bahwa hanya Alkitab (sola Scriptura) yang menjadi otoritas atas semua aktivitas theologi. Keyakinan ini tetap mendasari theolog Reformed dan theolog Injili lainnya pada masa kini. Alkitab adalah norma mutlak dan otoritas tertinggi untuk menilai apapun yang diamati oleh theolog, mulai dari pengakuan gereja, dogma atau tradisi, pengalaman religi manusia, pegalaman penderitaan, sampai pada karya theolog lain --- termasuk mereka yang berada dalam tradisi yang sama. Hanya Alkitablah Firman Allah yang diwahyukan dan memiliki otoritas. Seluruh aktivitas manusia, termasuk theologi, dapat salah dan harus dinilai oleh hukum iman dan praktek yang tak mungkin bersalah.

Namun demikian di antara kaum Reformed terdapat perbedaan-perbedaan penting. Perbedaan tersebut sampai kini terdapat di antara theolog Protestan klasik. Sampai belum lama ini doktrin perjanjian masih merupakan perhatian eksklusif theolog Reformed walaupun Alkitab mempertahankan referensi-referensi perjanjian. Perjanjian dalam Alkitab sangat banyak diperhatikan dalam theologi Reformed sehingga "theologi perjanjian" menjadi label yang umum dipakai banyak theolog, terutama theolog dispensasi. Contoh lain adalah penekanan theologi Reformed terhadap kerajaan Allah sebagai alat penyelamatan dalam sejarah yang dipakai Allah untuk menyatakan kedaulatan-Nya dalam sejarah. Perspektif kerajaan ini berakar pada tulisan Agustinus "City of God" dan pada tulisan Calvin dan praktek Jenewa, lalu dikembangkan terutama oleh A. Kuyper dan theolog Reformed Belanda, dan sekarang menjadi tanda resmi theologi Reformed. Saya yakin bahwa berbagai perjanjian dalam Alkitab semuanya merupakan instrumen atau pelaku administrasi kerajaan Allah dalam sejarah. Kerajaan Allah berkaitan erat dengan kedaulatan Allah dan pandangan hidup dan dunia yang merupakan karakteristik Calvinisme.

Apa yang menyebabkan perbedaan dalam tipe-tipe theologi Protestan klasik? Bagaimana penjelasan mengenai perhatian unik Reformed terhadap perjanjian dan kerajaan? Hal-hal ini tentu penting dalam seluruh Perjanjian Lama dan Perjanjian Baru dan harus diperhatikan oleh semua yang menganut sola Scriptura. Saya yakin bahwa penekanan Reformed ini berasal dari perhatian seimbang terhadap sola Scriptura dan tota Scriptura. Walaupun tota Scriptura tidak pernah menjadi slogan populer, perhatian terhadap keseluruhan berita Alkitab merupakan karakteristik unik theologi Reformed. Keunikan theologi Reformed tidak hanya ditandai oleh pandangan terhadap sakramen atau penekanan terhadap kedaulatan Allah atau pembelaan yang bersemangat terhadap predestinasi atau "lima butir Calvinisme", tetapi keunikan tersebut harus dilihat dari tujuannya untuk setia terhadap seluruh Alkitab. Inti theologi Calvin adalah dorongan untuk berbicara mengenai hal-hal yang dibicarakan Alkitab dan berdiam diri mengenai hal-hal yang tidak dibicarakan Alkitab. Tujuan ini harus menjadi tujuan semua theolog Reformed pada masa kini. Theolog harus bertujuan untuk bertheologi dalam seluruh kanon Alkitab dan menghindari godaan untuk bertahan pada hanya satu kanon. Memang theologi Reformed belum (dan mungkin tidak akan pernah) mencapai tujuan tsb. Belum ada seorang theolog Reformed pun yang berhasil menggali seluruh kedalaman dan kekayaan tambang emas Alkitab. Masih banyak yang dapat dikerjakan oleh siapapun yang ingin bertheologi Reformed pada masa kini!

SEJARAH ALKITAB

Alkitab tidak memiliki koleksi "teks bukti" yang dapat dipilih dan dikutip seperti memilih ilustrasi dari Bartlett's Familiar Quotations. Wahyu Alkitab diberikan kepada kita dalam konteks sejarah dan dalam periode yang panjang. Perjanjian Lama ditulis dalam lebih dari 1000 tahun dan periode sejarah yang lebih panjang lagi. Perjanjian Baru ditulis dalam kurang dari 100 tahun dan dalam satu generasi. Periode sejarah tersebut harus selalu diingat ketika menginterpretasikan bagian Alkitab.

Sejarah Alkitab terbagi dalam beberapa epik yang sangat berbeda. Pada saat merenungkan bagian tertentu, kita harus memperhatikan buku yang di dalamnya bagian tersebut berada dan kerangka waktu bagian tersebut dituliskan. Hal ini harus diperhatikan baik oleh theolog sistematika maupun oleh pelajar-pelajar Perjanjian Lama dan Perjanjian Baru. Periode-periode utama dimulai pada nama-nama berikut: Kejadian, Kejatuhan, Air Bah, Babel, Abraham, Musa, Yosua, Hakim-hakim, kerajaan, perpecahan kerajaan, kerajaan Yehuda saja (periode antara), inkarnasi Yesus, pelayanan-Nya, kenaikan-Nya, dan Pentakosta. Dalam hal ini kita perlu mengingat konteks sejarah dari kitab-kitab nubuat selama 5 abad, mulai dari perpecahan kerajaan sampai akhir kanon Perjanjian Lama. Untuk dapat mengerti bagian-bagian Alkitab tertentu dan menerapkan theologi sistematika, kita harus mengenali kapan dan kepada siapa kalimat-kalimat tersebut dituliskan dan ditujukan. Memahami seluruh sejarah Alkitab dan situasi sejarah dalam bagian yang direnungkan adalah sangat penting jika kita ingin bersikap benar terhadap seluruh Alkitab, tota Scriptura.

THEOLOGI ALKITABIAH

Theologi sistematika atau dogma mengarah kepada ringkasan atau ikhtisar menyeluruh dari pengajaran Alkitab. Cara paling umum menyusun bahan tersebut adalah dengan bekerja secara berturutan atas doktrin-doktrin wahyu (prolegomena), Allah, kemanusiaan (antropologi), Kristus (Kristologi), keselamatan (soteriologi), gereja (eklesiologi), dan masa depan (eskatologi). Theolog sistematika menemukan bahwa disiplin theologi lain, yaitu theologi Alkitabiah, ternyata sangat menolong untuk mengerti dan mempersentasikan seluruh berita Alkitab. Theologi Alkitabiah tidak terlihat sebagai disiplin yang berbeda sebelum akhir abad 18. Theologi Alkitabiah sebelumnya merupakan produk penolakan rasional periode Pencerahan terhadap Alkitab yang diwahyukan dan berotoritas. Theologi tersebut lalu dikembangkan oleh Geerhadus Vos (1862-1949) dalam theologi Reformed.

Theologi alkitabiah mengikuti pendekatan penyelamatan-sejarah dan menaruh perhatian pada berbagai tahap dalam sejarah wahyu khusus. Vos berpendapat bahwa theologi Alkitabiah menarik garis, sedangkan theologi sistematis membentuk lingkaran. Theologi Alkitabiah memperhatikan proses sejarah dalam menarik garis tersebut dan menggunakan korelasi dan sistematisasi dalam kerangka waktu yang diperhatikannya. Dengan demikian theologi Alkitabiah dapat saja membatasi diri pada kelima Kitab Musa dan menggambarkan perkembangan doktrin yang terjadi dalam periode tersebut. Demikian juga theologi Alkitabiah dapat bekerja terhadap salah satu kitab nabi atau beberapa kitab yang kontemporer. Theologi Alkitabiah juga dapat membatasi diri pada seluruh Perjanjian Baru saja, juga dapat membatasi diri pada perjanjian dalam kelima kitab Musa atau pada kerajaan dalam Injil Sinoptik.

Karena berkonsentrasi pada struktur sejarah dalam proses pewahyuan, theologi Alkitabiah menjadi sangat penting untuk melakukan theologi sistematika Reformed. Memperhatikan wahyu tertentu pada suatu subyek dalam periode sejarah tertentu bukan hanya mempertajam perhatian kita pada hal baru dalam tahap berikutnya, tetapi juga menolong kita memperoleh berita Alkitab secara keseluruhan sampai masa konsumsi pada kedatangan Kristus dan Perjanjian Baru. Kontak teratur dengan theologi Alkitabiah menolong orang yang melakukan theologi sistematika untuk menghindari bahaya mendistorsikan Alkitab dan menolong mengerti abstraksi dan formulasi tanpa waktu yang muncul dalam pendapat theolog Protestan abad 17 yang berpaling kepada Aristoteles atau Descartes untuk mencari pertolongan filsafat ketika menulis theologi dogmatik.

Jika kita ingin bagian-bagian Alkitab berfungsi sebagai sumber teks asli untuk theologi sistematika, maka kita tidak dapat mengabaikan konteks sejarah Alkitab dan juga karakter organik dari kesatuan berita Alkitab. Theologi Alkitabiah sangat menolong untuk mengembangkan theologi sistematika yang vital dan hidup, terutama jika dikembangkan dalam perspektif Reformed.

EXSEGESE ALKITABIAH

Bagi theolog Reformed yang ingin setia kepada seluruh Alkitab, interpretasi Alkitab menjadi tanggung jawab terberat yang harus dipenuhi. Setiap orang percaya harus terlibat interpretasi Alkitab agar dapat mengerti beritanya. Jika interpretasi tersebut dilakukan dalam suatu disiplin ilmu, sebagai pelajaran atau secara ilmiah, hal itu disebut exegese. Tidak ada cara mudah untuk menunaikan tugas ini.

Berlawanan dengan Katholik Roma, kaum Reformasi menekankan bahwa berita keselamatan sangat jelas untuk setiap orang percaya yang awam. Namun demikian hal itu tidak membuat mereka mengabaikan pendidikan formal yang dibutuhkan oleh para pengajar dan pendeta mereka agar dapat mengexegese Alkitab dengan bertanggung jawab. Mereka menerima perkataan Petrus mengenai tulisan Paulus: "Dalam suratnya ada hal-hal yang sukar difahami, sehingga orang-orang yang tidak memahaminya dan yang tidak teguh imannya, memutarbalikkannya menjadi kebinasaan mereka sendiri, sama seperti yang juga mereka buat dengan tulisan-tulisan yang lain." (2Petrus 3:16). Dan theolog sistematika mungkin akan menemukan juga surat-surat Petrus yang bahkan lebih sulit dari tulisan Paulus! Tentu saja Roh yang sama yang menginspirasikan Alkitab harus juga mengiluminasikan orang percaya agar dapat menginterpretasikan Alkitab dengan tepat. Namun hal ini tidak dapat diharapkan terjadi tanpa kerja keras manusia yang menginterprestasikan. Kerja keras tersebut memerlukan perhatian terhadap bagian-bagian dalam bahasa asli, yaitu Ibrani atau Yunani, dalam terang seluruh berita Alkitab.

Metode exsegese tokoh-tokoh Reformasi, terutama Calvin dan penerus-penerusnya, disebut metode interprestasi theologi-sejarah-tatabahasa. Secara sederhana hal tersebut berarti analisa tulisan Alkitab harus mempertimbangkan sejarah Alkitab dan juga theologi Alkitabiah seperti disebutkan di atas. Pada masa kini metode tersebut mungkin lebih tepat disebut metode exegese kanon-theologi-sejarah-literal-tatabahasa. Tugas exegese dasar yang kompleks ini perlu dijelaskan secara singkat.

Alkitab adalah Firman Allah yang tertulis; wahyu Alkitab adalah dalam bentuk bahasa verbal. Karena itu exegese harus berusaha memahami dan menginterpretasikan kata-kata dalam kalimat dan kalimat dalam konteks. Kalimat-kalimat tersebut adalah bagian komposisi literal. Dalam Alkitab terdapat beragam tipe literal atau genre. Theolog harus memperhatikan karakteristik genre dalam menginterprestasikan teks tertentu. Jadi exsegese literal-tatabahasa diperlukan dalam theologi Reformed. Ini tentu termasuk pengetahuan akan bahasa asli Alkitab.

Perkataan dalam Alkitab melaporkan, menginterprestasikan, mewahyukan dan memproklamasikan hal-hal yang Allah kerjakan dalam sejarah. Alkitab mempresentasikan hal-hal yang diwahyukan mengenai kejadian dan penyelamatan, termasuk tindakan dan kata-kata Allah. Alkitab mewahyukan kabar baik, kabar tentang hal-hal yang benar-benar terjadi dalam sejarah --- peristiwa sejarah yang nyata. Lebih lanjut, penuturan Alkitab tentang peristiwa penyelamatan historis ini dilakukan dalam konteks sejarah. Interpretasi tepat tentang peristiwa dan perkataan sejarah ini memerlukan pemahaman Alkitab dalam konteks sejarah. Jadi exegese sejarah diperlukan dalam theologi Reformed.

Alkitab mempresentasikan berita dari Allah dan tentang Allah dan tentang karya keselamatan-Nya dalam sejarah. Exegese harus berusaha untuk memahami berita "theologi" Alkitab ini. Seluruh ekspresi bahasa tentang wahyu bersifat parsial dan terpotong-potong. Tetapi orang yang menginterpretasikan harus berusaha mengerti keseluruhan berita melalui bagian-bagiannya. Berita seluruh kanon harus dicapai dari kontribusi setiap buku secara individual. Jadi exegese Alkitabiah secara kanon-theologi diperlukan dalam theologi Reformed. Walaupun hal ini adalah segi-segi exegese yang saling berbeda, theolog Reformed yang menginterpretasikan Alkitab harus berusaha memperoleh kesatuan berita melalui segi-segi yang saling berbeda tetapi saling berkaitan dalam exegese kanon-theologi-sejarah-literal-tata bahasa.

Jadi selain terlibat dalam analisa mikroskopis teks Alkitab, theolog Reformed harus juga mengejar pandangan teleskopik dengan meneliti spesimen-spesimen dalam sejarah interpretasi. Penelitian interpretasi dengan kontemporari dari beberapa tradisi theologi lain dapat menantang theolog untuk melihat perspektif teks yang mungkin dapat luput dari perhatian. Semua hasil valid dari exegese demikian kemudian harus dirangkum dalam theologi sistematis Reformed yang sungguh-sungguh merefleksikan seluruh berita Alkitab.

HERMENEUTIKA

Sebelum Schleiermacher hermeneutika umumnya dianggap hanya merupakan aturan exegese. Schleiermacher menyadari bahwa theologi barunya memerlukan hermeneutika baru. Sejak itu masalah hermeneutika berkembang menjadi lebih luas dan semakin penting. Beberapa pengikut R. Bultmann mengklaim bahwa hermeneutika mencakup seluruh theologi. Walaupun hal itu mungkin berlebihan, masalah hermeneutika memerlukan perhatian khusus pada masa kini.

Perbedaan hasil exegese tidak selalu dapat dijelaskan karena perbedaan kompentensi pelakunya atau karena kesalahan satu atau beberapa pelakunya. Interpretasi yang bertujuan mencapai pemahaman sebuah bagian Alkitab merupakan hal yang sangat kompleks seperti tampak melalui studi exegese. Hal-hal seperti yang dibahas di atas --- natur sains theologi dan peranan presuposisi atau pra-pemahaman seseorang --- sekarang dikenal sebagai masalah hermeneutika. Perbedaan antara theolog Lutheran dan Reformed mengenai sakramen mungkin hanya mengenai pertanyaan apakah kata kerja "adalah" dalam perkataan Yesus, "Ini adalah tubuh-Ku" harus dimengerti secara literal atau secara figuratif dan spriritual. Tetapi perbedaan-perbedaan lain dalam theologi Lutheran timbul dari perbedaan hukum-Injil yang berfungsi hermeneutika dalam karya exegese Lutheran. Perbedaan hermeneutika yang bahkan lebih besar telah membedakan theologi Reformed dari Katholik Roma, Liberal, Neo-ortodoks, dan theologi setelah Bultman.

Dimensi-dimensi masalah hermeneutika tidak dapat dibahas di sini tetapi refleksi mengenai masalah yang dibahas sebelumnya akan membawa kita makin dalam kepada wilayah yang kompleks ini. Semakin secara sadar seseorang terlibat dalam interpretasi Alkitab dalam bertheologi, semakin terkesan orang tersebut akan masalah-masalah hermeneutika. Dan seseorang yang terlibat dalam studi dan melakukan theologi Reformed akan bertambah sadar akan pentingnya hal tersebut walaupun masalah-masalahnya tidak dibahas secara eksplisit.

MENYIMPULKAN IMPLIKASI TERHADAP IMAN DAN KEHIDUPAN

Pendalaman theologi memiliki konsekuensi terhadap iman dan kehidupan. Memang masalah-masalahnya tentang hidup dan mati! Melakukan theologi Reformed dapat dan seharusnya menjadi pengalaman yang menyenangkan. Dengan menggunakan analisa sekunder dan refleksi terhadap bagian-bagian kunci dalam Alkitab seseorang dapat bertumbuh secara pribadi dalam iman maupun kehidupan. Melakukan theologi Reformed adalah pengalaman yang memperkaya diri, karena tidak seperti bidang sains lainnya, theologi Reformed menawarkan relasi akrab antara presuposisi religi seseorang dengan wilayah investigasi. Pada saat hasil aktivitas theologi yang baik dituangkan kembali ke dalam pengalaman hidup seseorang, akan terjadi pertumbuhan pribadi yang mengejutkan.

Jika seseorang sungguh-sungguh berusaha memahami Alkitab dan wilayah investigasinya, sesuatu yang lebih dari sekedar kemajuan intelektual terjadi. Memahami sesungguhnya melibatkan hati, mempengaruhi keseluruhan pribadi, intelektual, kemauan dan emosi. Pemahaman hati menjangkau iman dan kehidupan: mempercayai Allah dan melakukan kehendak-Nya. Aktivitas theologi demikian bertujuan bukan mencapai dominasi, tetapi pelayanan terhadap Allah dan sesama manusia melalui pembangunan gereja Kristus dan pengembangan kerajaan Allah. Proses mendengarkan perkataan Allah, menginterpretasikannya ketika melakukan sains theologi, seharusnya memberi sumbangsih kepada semakin dekatnya seorang percaya dengan Allah dan firman-Nya, sehingga hidup ini dijalani menurut pimpinan Allah yang diwahyukan dalam Alkitab. Pemberian Allah (Gabe) memberikan tugas kepada kita (Aufgabe) untuk hidup dalam masa kini bagi kemuliaan-Nya.

Saya menyimpulkan ini dengan deskripsi doxologi tentang kemuliaan tugas tersebut, seperti yang dituliskan sesorang theolog Reformed yang berdedikasi sbb:

Pada saat kita mempertimbangkan dengan tepat proposisi

bahwa Alkitab adalah deposito wahyu khusus
bahwa Alkitab adalah orakel Allah
bahwa di dalamnya Allah menemui dan berbicara kepada kita,
menyatakan kemuliaan-Nya yang tak terpahami
memanggil kita ke dalam pengenalan dan pemenuhan kehendak-Nya
menyingkapkan kepada kita misteri pimpinan-Nya,
dan membukakan maksud-maksud anugerah-Nya,
maka theologi sistematika, daripada semua sains dan disiplin
ilmu,
tampak sebagai yang paling mulia,
bukan refleksi dingin tanpa perasaan,
tetapi sesuatu yang membangkitkan kekaguman
dan mengklaim, penggunaan kemampuan kita yang paling suci.
Theologi sistematika adalah yang paling mulia dari semua
studi karena berusaha memahami seluruh pimpinan Allah
dan berusaha, tidak seperti disiplin ilmu lain,
menegakkan kekayaan wahyu Allah
dalam cara yang teratur dan hormat
yang merupakan metode dan fungsinya yang khusus
Semua bagian lain disiplin theologi
mengkontribusikan penemuannya kepada theologi sistematika
dan membawa semua kekayaan pengetahuan
yang diperoleh dari semua disiplin tersebut
untuk diberikan kepada sistematisasi yang lebih inklusif
yang dilakukannya. (hs)
Sumber: 

Sumber diambil dari:

Judul Buku : Momentum
Judul Artikel : -
Penulis : -
Penerjemah : -
Penerbit : Lembaga Reformed Injili Indonesia
Halaman : 44-50

Bagaimana Theolog Reformed Bertheologi pada Masa Kini (I)

Editorial: 

Artikel ini diambil dari Majalah Momentum; Edisi: 31 Triwulan III/1996, hal. 44-50, yang diterbitkan oleh Lembaga Reformed Injili Indonesia

Penulis: 
-
Edisi: 
004/I/2000
Isi: 

Kata "Reformed" dan "Reformasi" sebenarnya satu rumpun. Gerakan Reformasi abad 16 menolak atau memodifikasikan beberapa doktrin dan praktek Katolik Roma. Tokoh-tokoh Reformasi mengakui Alkitab sebagai satu-satunya otoritas. Karena itu, dengan kembali kepada keyakinan gereja mula-mula mereka mendirikan gereja Protestan, membuat pengakuan iman baru, dan mengembangkan theologi baru. Dalam kamus Webster, kata "reformed" berarti "berubah menjadi lebih baik."
Kata "Reformed" pada mulanya adalah sinonim untuk "Protestan", yang meliputi Lutheran, Zwinglian dan Calvinian. Secara bertahap istilah tersebut akhirnya hanya dipakai untuk gereja Calvinis di benua Eropa, sedangkan di Inggris gereja Calvinis disebut Presbyterian.

Sebagai nama gereja, istilah Reformed dan Presbyterian sering dipakai bergantian. Contohnya adalah nama 3 organisasi oikumene yang mencakup kedua gereja tersebut, yaitu "World Alliance of Reformed Churches (WARC) yang merupakan organisasi internasional tertua, "Reformed Ecumenical Council" (REC) yang secara organisasi lebih kecil, dan "National Association of Presbyterian and Reformed Churches" (NapaRC) yang berada di Amerika Serikat. Secara gamblang, "Reformed" merujuk kepada tipe doktrin, pengakuan iman atau aliran theologi, sedangkan "Presbyterian" merupakan bentuk pemerintahan gereja. Hal ini terlihat dalam nama lengkap WARC waktu dibentuk, yaitu "Alliance of the Reformed Churches throughout the world holding the Presbyterian system" (Perserikatan Gereja-gereja Reformed di seluruh dunia yang berpegang pada sistem Presbyterian). Bab ini bertujuan menggambarkan bagaimana theolog Reformed dalam tradisi Reformed dan Presbyterian bertheologi.

Biasanya theolog tidak menjelaskan bagaimana cara mereka bertheologi; pokoknya mereka bertheologi. Apa dan bagaimana cara melakukan sesuatu pekerjaan sering sulit dijelaskan, terutama jika pekerjaan itu sesuatu yang sangat lumrah. Saya sering merasa senang dengan pertanyaan yang diajukan anak tetangga saya jika saya sedang memotong rumput, mencuci mobil atau mencat rumah. "Apa yang sedang anda kerjakan, Pak Klooster?" Biasanya saya memberi jawaban yang konyol sehingga ia berkata "Tidak, bukan itu yang sedang anda kerjakan." Cara demikian tentu tidak tepat di sini. Saya harus berusaha menjawab pertanyaan yang biasanya diabaikan atau tidak diperhatikan theolog Reformed. Saya terpaksa berusaha menggambarkan apa yang saya pikir mereka kerjakan. Akibatnya saya harus menggambarkan bagaimana saya, sebagai seorang theolog Reformed, bertheologi dan bagaimana seharusnya bertheologi. Walaupun tidak semua theolog Reformed akan setuju, saya berharap gambaran saya ini valid secara umum.

Theologi Reformed merupakan satu spesies dalam genus theologi, maka theologi Reformed tentu memiliki karakteristik dasar yang sama dengan tipe theologi lainnya. Saya akan memfokuskan pada yang biasa disebut theologi sistematik atau theologi dogmatik atau theologi saja. Tetapi pembahasan saya akan melibatkan juga cabang-cabang theologi lainnya. Bab ini terutama akan membahas kata "Reformed? Bagaimana theolog Reformed melakukan pekerjaan mereka? Apa yang penting dari beragam hasil aktivitas bertheologi? Pertanyaan-pertanyaan sulit ini yang akan kita bahas.

Bekerja dalam bidang sains memerlukan kesabaran karena melibatkan proses yang lambat dan sangat teliti. Begitu juga bertheologi. Membahas cara bertheologi juga dapat membosankan. Tetapi menyadari apa yang kita lakukan itu berguna, dan jika kita melakukan pekerjaan dengan sadar maka kita akan semakin menyadari pekerjaan kita ketika sedang mengerjakannya. Contohnya, kita harus dapat membuktikan rasa dari puding jika kita memakannya.

Pembahasan saya mengenai cara theolog Reformed bertheologi pada masa kini meliputi 7 langkah berikut:

  1. melakukan survey pustaka dan sejarah bertheologi sistematik;
  2. membedakan tipe tipe-tipe utama theologi dan mencatat karakteristik utamanya;
  3. menyadari dua pilihan utama ketika mulai bertheologi dalam bidang Reformed;
  4. mengamati natur aktivitas sains agar bisa memahami natur theologi sebagai sains;
  5. mengenali wilayah investigasi theologi dan norma-normanya;
  6. mengakui Alkitab sebagai norma tertinggi, berusaha untuk mengerti seluruh Alkitab dalam terang sejarah Alkitab, theologi Alkitabiah, eksegese yang cermat dan perhatian terhadap masalah hermeneutika; akhirnya,
  7. menarik implikasi theologi Reformed untuk iman dan kehidupan baik pribadi maupun kelompok.

MELAKUKAN SURVEY SEJARAH THEOLOGI

Theolog Reformed menyadari bahwa mereka membangun theologinya di atas dasar yang sudah diletakkan oleh generasi sebelumnya. Tidak seorangpun dapat membangun theologi tanpa dasar. Seorang theolog harus memahami sejarah masa lalu dan situasi masa kini. Theologi melakukan pekerjaannya dalam persekutuan dengan theolog dari segala abad, termasuk mereka yang tidak sealiran, dan dengan demikian harus mengetahui theolog-theolog besar dalam sejarah dam membaca tulisan-tulisan mereka. Masalah utama apa yang dihadapi oleh theolog besar ini? Terhadap hal-hal apa mereka bereaksi dan apa yang mereka berusaha capai? Sumbangsih apa yang mereka berikan dan mengapa mereka penting bagi theologi Reformed masa kini? Apa yang dapat dipelajari dari mereka, baik hal-hal positif maupun negatif? Menjawab semua pertanyaan tersebut dengan melakukan survey awal terhadap sejarah theologi merupakan langkah yang baik untuk mulai bertheologi. Pada umumnya membaca sebuah buku tipis cukup sebagai orientasi.

Pembagian periode dalam sejarah selalu agak sembarang. Dari perspektif theologi sistematis, sejarah dibagi menjadi enam periode sbb: periode kuno atau patristik (tahun 90-800), Abad Pertengahan (800-1500), era Reformasi (1500-1650), periode Pencerahan (1650-1800), periode setelah Pencerahan, (1800-1920), periode antara dua Perang Dunia (1920-1939), dan periode kontemporer (1939-sekarang). Kejadian-kejadian dalam semua periode ini penting diketahui secara detail untuk bertheologi Reformed secara bertanggung jawab. Seluruh periode Reformasi pasti menarik perhatian theolog Protestan. Pengetahuan tentang Abad Pertengahan sangat membantu untuk memahami perkembangan Katholik Roma pada periode tersebut--- perkembangan ini pada umumnya ditolak oleh kaum Reformasi.

Sejarah theologi gereja permulaan juga penting. Pada abad ke 2 gereja berjuang keras melawan aliran Gnostik yang liberal. Berlawanan dengan pendapat umum, theologi tidak dimulai dari menara gading akademis, tetapi justru bangkit dalam konteks misi gereja yang membawa Injil Keselamatan Yesus Kristus kepada dunia kafir. Dalam melakukan misi ini, beberapa pertanyaan theologi terpenting harus dihadapi --- pertanyaan mengenai Tritunggal, kemanusiaan Yesus Kristus, dosa manusia, dan anugerah Allah. Keputusan 6 konsili Oikumene yang pertama (tahun 325-680) memberikan perspektif dan formulasi yang menjadi dasar theologi Reformed dan harus diperhatikan oleh semua tipe theologi.

Survey singkat terhadap seluruh sejarah theologi dan literarturnya mungkin membingung- kan seorang pemula, namun tetap harus dilakukan agar lambat laun merasa nyaman dalam arena theologi. Seorang theolog pemula harus akrab dengan perpustakaan yang berisi tulisan-tulisan utama theolog penting dan harus memiliki perpustakaan sendiri yang berisi yang selektif dan terus berkembang. Peta yang baik, kamus theologi dan ensiklopedia harus tersedia jika sedang belajar theologi, terutama bagi pemula. Irenaeus dan Tertullian, Athanasius dan Agustine, Anselm dan Aquinas, dan banyak lagi segera menjadi nama-nama yang sering terdengar dalam percakapan antar theolog.

MEMBEDAKAN TIPE-TIPE THEOLOGI

Survey terhadap sejarah dan literatur theologi memperlihatkan beberapa tipe theologi. Kita terlibat dalam theologi Reformed dengan menyadari keberadaan theologi lain yang berkompetisi. Dalam periode patristik sudah ada theolog yang muncul tetapi belum tampak jelas tipenya. Kecenderungan Barat dan Timur mencapai puncakknya dalam masa Agustinus dan John dari Damaskus.

Tipe theologi utama yang pertama muncul dalam Katholik Roma pada Abad Pertengahan. Theologi ini terutama dibangun di atas Summa Thomas Aquinas dan merefleksikan pendekatan "both-and". Keristenan dikombinasikan oleh Aristoteles sehingga menghasilkan dualisme antara natural dan supra-natural, rasio dan iman, theologi natural dan supra-natural. Alkitab dan tradisi sama-sama diakui otoritasnya dalam dualisme "both-and" ini. Iman dan usaha sama-sama menghasilkan keselamatan, dan banyak kombinasi serupa lainnya. Tantangan kaum Reformasi menyebabkan Roma meneguhkan posisinya dalam persetujuan Trent (1545-1563) dan memperjelas dan mengembangkan beberapa dogmanya dalam Konsili Vatican I (1869-1870). Walaupun ada semangat baru dalam Konsili Vatican II (1962-1965), pendekatan dualisme ini tetap merupakan pegangan resmi gereja Katolik Roma.

Slogan Reformasi menggambarkan kontras mendasar antara dualisme Katholik Roma dengan sola (hanya) theologi Protestan. Sola scriptura menekankan otoritas tunggal. Alkitab yang berlawanan dengan dualisme Alkitab dan tradisi. Ketaatan pada berita Alkitab membawa kepada sola fide dan sola gratia karena keselamatan hanya dari Kristus, hanya oleh anugerah melalui iman, bukan oleh iman dan usaha. Lutheran, Zwinglian dan Calvinian sepakat dalam hal-hal dasar, tetapi berbeda dalam sakramen dan aspek-aspek Kristologi. Munculnya aliran Zwinglian dan Calvinian dalam Persetujuan Zurich pada tahun 1549 menimbulkan 2 cabang theologi utama Protestan, yaitu Lutheran dan Calvinistic. Siapapun yang ingin bertheologi Reformed pada masa kini akan berada dalam tradisi Calvinistik namun tetap memperhatikan tipe aliran Lutheran dan Anabaptis.

Pada masa bangkitnya filsuf Imanuel Kant dan masa Pencerahan, sebuah tipe theologi baru berkembang, yaitu liberalisme atau modernisme yang muncul dari gereja Reformed (F. Schleiermacher) dan Lutheran (A. Ritschl) di Jerman. Aliran baru ini menolak ajaran pengakuan iman Protestan serta keputusan-keputusan doktrin patristik, dan menggambungkan ajaran bidat mengenai Tritunggal, Kristologi dan antropologi ke dalam struktur sistematisnya. Karena berpijak pada otonomi manusia, theolog liberal menolak otoritas Alkitab dan memfokuskan perhatian theologi pada pengalaman religi manusia dalam fenomena yang dapat dijelaskan secara rasional. Alkitab hanya dianggap sebagai catatan pengalaman-pengalaman religi suku Semit kuno. Pertanyaan mengenai hal yang baru dan salah dalam agama dan theologi digantikan dengan kategori- kategori evolusi. Gereja-gereja Protestan di seluruh dunia sangat terpengaruh oleh theologi baru yang radikal ini. Meskipun kaum Lutheran dan Calvinistik ortodoks masih ada dalam jumlah kecil di gereja-gereja besar, pemisahan gereja dianggap perlu terutama di Belanda dan Amerika Utara.

Karena dorongan Karl Barth sebuah theologi baru, yaitu Neo-ortodoks, muncul dari keruntuhan liberalisme dalam masa Perang Dunia I. Neo-ortodoks, yang mengetahui bahwa doktrin liberalisme Pelagian hancur karena perang, mengklaim kembali kepada Alkitab, kaum Reformasi dan theolog Patristik. Kalangan theolog di Amerika masih memperdebatkan apakah Neo-ortodoks sebenarnya merupakan langkah kembali kepada prinsip Reformed. Saya sendiri yakin bahwa Neo- ortodoks adalah sebuah theologi baru karena Neo-ortodoks menganggap bahwa Alkitab hanya sebagai saksi wahyu dan bukan wahyu itu sendiri dan karena Neo-ortodoks memiliki posisi doktrinal baru. Reaksi aliran ini terhadap liberalisme, dikontraskan dengan theologi Reformed klasik, bersifat docetik secara historis. Pewahyuan tidak berakar pada kejadian- kejadian nyata dan historis tetapi melibatkan kejadian misterius dan transeden pada masa kini dalam konteks kotbah. Neo-ortodoks adalah tipe theologi yang sangat kompleks dan merefleksikan pengaruh filsafat eksistansialisme.

Situasi periode kontemporer juga kompleks dan beragam. Theologi kuno sering dimodifikasikan dan dikombinasikan dengan yang lebih baru. Hal ini terutama nyata dalam perkembangan Katolik Roma. Theologi yang mengikuti mode seperti theologi "kematian Allah" digemari pada tahun 1960-an. Variasi Neo-liberalisme juga sedang bangkit. Tetapi W. Pannenberg dan J. Moltmann bereaksi terhadap theolog Barth dan Bultman dengan mengembangkan theologi yang lebih berakar pada sejarah. Theologi proses memiliki beberapa pengikut di Amerika Utara. Beberapa variasi theologi liberal, termasuk theologi kulit hitam dan theologi feminin, telah menjadi fenomena yang mendunia sejak tahun 1970an. Theolog pemula harus waspada terhadap semua variasi theologi dalam periode kontemporer ini, tetapi sebelumnya harus lebih dahulu berusaha memahami 4 theologi utama, yaitu Katholik Roma, Protestan (Reformed dan Lutheran), Liberal dan Neo-Ortodoks.

MENYADARI PILIHAN AWAL

Setelah menyelesaikan 2 tahap survey sejarah mungkin kita ingin segera mulai bertheologi. Tetapi pertanyaan pernting segera muncul: Bagaimana cara memulainya? Ada 2 cara yang berbeda dalam theologi Reformed. Seorang theolog pemula harus mengambil keputusan penting mengenai posisinya secara rasional atau haruskah presuposisi ini diterima hanya dengan iman?

Nama kedua posisi tersebut merefleksikan tempat asal mereka. Posisi Princeton Kuno dikembangkan dalam gereja Presbyterian yang berakar di Inggris dan diwakili oleh B.B. Warfield (1851-1921). Posisi Amterdam Kuno dikembangkan di Eropa, terutama di Belanda, dan diwakili oleh A. Kuyper (1837-1920). Kedua posisi Reformed ini dikembangkan dalam masa dominasi liberalisme dan ketika sains modern telah muncul. C. Hodge adalah penerus Schleiermacher, sedangkan Warfield dan Kuyper adalah penerus Ritschl dan khususnya Harnack, Hermann dan Troeltsch. Baik Kuyper maupun Warfield berakar pada Calvin, tetapi mereka menginterprestasikan bagian-bagian tertentu secara berbeda. Perdebatan mengenai kedua cara ini, terutama dalam kaitannya apolotegika, sering cukup sengit dalam kalangan Injili.

Pendekatan Princeton Kuno (Old Princeton) sangat dipengaruhi oleh filsafat Scottish Common Sense dan tradisi empiris. Warfield berpendapat bahwa sains mereduksi bagian pengetahu- an kita menjadi orde dan harmoni dan selalu mempresuposisikan 3 hal dasar. Sains theologi mempresuposisikan eksistensi Allah, natur religi manusia yang mampu mengetahui adanya Allah, dan wahyu yang menyatakan Allah ada. Sains yang bertanggung jawab adalah disiplin ilmu yang secara rasional membangun presuposisi ini, dan karena itu apologetika adalah titik awalnya. Presuposisi ini harus dibangun di atas dasar argumen rasional dan tanpa mengarah pada Alkitab atau iman. Dengan cara ini apologetika meletakkan fakta mengenai Allah, agama (Kekristenan) dan wahyu (Alkitab) di dalam tangan kita. Setelah presuposisi ini dibangun secara rasional oleh apoligetika, barulah kita dapat bertheologi dalam 4 cabang aliran utama.

A. Kuyper yang mewakili posisi Amsterdam Kuno menggunakan ketiga presuposisi dasar tersebut dalam aktivitas theologinya. Tetapi ia berpendapat bahwa presuposisi ini diberi oleh Alkitab dan seharusnya diterima dengan iman. usaha membangun presuposisi secara rasional bukan hanya mustahil, tetapi juga berlawanan dengan perspektif iman Reformed. Tidak seorangpun dapat menempatkan diri lebih tinggi dari Allah atau lebih tinggi dari Alkitab atau di luar iman. Kejatuhan Adam mempengaruhi rasio manusia. Akibatnya manusia mustahil dapat membangun presuposisi secara rasional. Posisi seorang Kristen jelas dan berlimpah, tetapi pikiran manusia yang sudah dicemari dosa tidak mampu berespons secara tepat tanpa iman kepada Alkitab. Manusia perlu `kaca-mata' Alkitab agar dapat menerima wahyu umum secara tepat. Menurut Kuyper, apologetika merupakan subdivisi theologi sistematis yang berfungsi sebagai pertahanan terhadap serangan-serangan filsafat non-Kristen, bidat dan agama-agama lain. Tetapi apologetika harus bekerja sama dengan presuposisi-iman yang diperlukan untuk semua sains theologi. Kuyper tidak bekerja mulai dari posisi filfafat yang didefinisikan dengan jelas, tetapi filsafat yang sejalan dengan Kuyper dikembangkan kemudian oleh filsuf Belanda, H. Dooyeweerd dan DH Vollenhoven; C. Van til juga kemudian mengikuti jejak Kuyper dalam pengembangan apologetika yang berbeda dengan pendekatan Warfield dan Princeton Kuno.

Keputusan yang diambil antara 2 pilihan utama theologia Reformed ini tentu di- pengaruhi oleh latar belakang gereja dan pendidikan seseorang. Keputusan ini cukup mendasar karena melibatkan bagian-bagian Alkitab seperti Mazmur 19, Roma 1:18 dst, Kisah 14 dan 17, 1Korintus 2, dan Ibrani 11. Hal-hal dasar seperti wahyu umum, pengaruh dosa dan kemungkinan theologi natural menjadi bahan perdebatan, bahkan mungkin lebih lagi. Warfield berpendapat bahwa seluruh Kekristenan dibangun oleh ketiga presuposisi tsb. Keberatannya atas "rasionalisme vulgar" bukan pada rasionalismenya tetapi karena aliran itu berusaha membangun sampah Kekristenan melalui perdebatan jangka panjang.

Pemahaman saya mengenai hal-hal dan tulisan-tulisan tersebut di atas membuat saya memegang posisi Amsterdam Kuno pada saat mulai bertheologi. Seorang theolog pemula tidak boleh mengambil keputusan, agar kita dapat memahami tulisan-tulisan theologi. Pilihan pribadi memang tidak terelakkan dan sebaiknya dilakukan sedini mungkin dan secara bertanggung jawab. (hs).

(bersambung ke edisi berikutnya)

Sumber: 

Sumber diambil dari:

Judul Buku : Momentum
Judul Artikel : -
Penulis : -
Penerjemah : -
Penerbit : Lembaga Reformed Injili Indonesia
Halaman : 44-50