Allah yang Pemurah

Editorial: 

Dear e-Reformed Netters,

Peristiwa Keluaran, yakni seluruh kisah Musa memimpin bangsa Israel keluar dari Mesir dan berjalan melintasi padang gurun selama empat puluh tahun, cenderung identik dengan kemahakuasaan Allah yang menghancurkan musuh-Nya serta keadilan Allah yang menuntut manusia untuk hidup kudus sempurna. Namun, ada satu aspek di dalamnya yang kerap terlupakan -- suatu atribut kekal Allah yang seolah tertimbun di bawah tumpukan hukum Taurat yang ketat -- yakni kemahahadiran Allah, kesetiaan-Nya yang lembut. Inilah sisi yang secara unik diangkat dalam artikel di bawah.

Dalam tulisannya ini, Sinclair Ferguson mengajak kita menjelajahi kisah Keluaran yang dahsyat dan riuh dengan kembali pada suatu hari yang tampak biasa di Gunung Horeb, saat Musa sedang sendirian di tengah keheningan alam bersama kambing domba mertuanya. Peristiwa nyala api di atas semak duri yang telah familiar ini dikaji sedemikian hingga kita melihat kedalaman karakter ilahi yang jarang digali dari kisah ini. Allah bukan saja tiang api raksasa yang bisa menyelubungi ribuan orang, tetapi Ia juga bisa mewahyukan diri dalam bentuk kobaran api yang kelihatannya tidak berbahaya sehingga menarik perhatian Musa untuk datang mendekat. Itulah Tuhan kita, akbar tak terukur, tetapi bisa dan mau mengecilkan diri sedemikian rupa untuk ada bersama manusia. Merendahkan diri hingga seolah hilang kemegahan-Nya supaya bisa didekati umat-Nya. Inilah Allah pemurah.

Eksposisi terhadap episode pemanggilan Musa dalam artikel ini secara jeli menyibakkan kesinambungan antara penyingkapan pribadi Allah dalam Perjanjian Lama dan Perjanjian Baru, terutama dalam aspek kemahahadiran-Nya yang senantiasa setia di tengah umat manusia. Ia mendengar jerit pilu penderitaan anak-anak-Nya di bawah perbudakan, sehingga, sekalipun bersemayam dalam surga tanpa duka, Ia memilih untuk turun ke dunia penuh nestapa untuk hadir bersama kita yang dikasihi-Nya.

Joy

Pemimpin Redaksi e-Reformed,
Joy

Edisi: 
Edisi 1976/Februari 2018
Isi: 

Musa sangat terpesona dengan api yang nyalanya tak tergantung dari semak duri yang di atasnya ia menyala. Akan tetapi, ada satu hal lagi yang menarik perhatian Musa. Musa berkata, "Baiklah aku menyimpang ke sana untuk memeriksa penglihatan yang hebat itu. Mengapakah tidak terbakar semak duri itu?" (Kel. 3:3) Kenyataan ini berlawanan dengan apa yang Musa ingin lihat: Api itu tidak menghanguskan semak duri.

Gambar: burning bush
"Moses before the Burning Bush" karya Domenico Fetti

Musa tidak menyadari hal ini sampai pada akhirnya Allah memberitahukan apa maksud dari semua itu. Dia bermaksud untuk diam di tengah-tengah umat-Nya -- Allah yang adalah api yang menghanguskan (Ibr. 12:29) -- tetapi umat-Nya itu dapat tetap selamat dan tidak turut dihanguskan. Mereka akan belajar untuk berkata, "Tak berkesudahan kasih setia TUHAN, tak habis-habisnya rahmat-Nya" (Rat. 3:22).

Maksud Allah dalam peristiwa ini digarisbawahi lebih lanjut oleh Musa pada waktu Allah menyatakan nama-Nya. Berbagai terjemahan modern mengindikasikan bahwa nama itu dapat diterjemahkan dengan lebih dari satu cara. Nama itu memang mengandung lebih dari satu arti penting. Nama itu tidak hanya berarti "AKU ADALAH AKU", tetapi juga dapat berarti "Aku akan menjadi seperti apa Aku mau menjadi". Allah juga mengatakan kepada Musa bahwa hal itu akan tampak dalam karya penyelamatan dan penghukuman Allah pada saat Ia melepaskan Israel dari tangan bangsa Mesir, yang melaluinya Allah akan menunjukkan siapa Ia sebenarnya dan apa yang sedang Ia rencanakan. Lebih lanjut Allah berkata:

TUHAN berfirman: "Aku telah memperhatikan dengan sungguh kesengsaraan umat-Ku di tanah Mesir, dan Aku telah mendengar seruan mereka yang disebabkan oleh pengerah-pengerah mereka, ya, Aku mengetahui penderitaan mereka. Sebab itu Aku telah turun untuk melepaskan mereka dari tangan orang Mesir dan menuntun mereka keluar dari negeri itu ke suatu negeri yang baik dan luas, suatu negeri yang berlimpah-limpah susu dan madunya, ke tempat orang Kanaan, orang Het, orang Amori, orang Feris, orang Hewi, dan orang Yebus. Sekarang seruan orang Israel telah sampai kepada-Ku; juga telah Kulihat, betapa kerasnya orang Mesir menindas mereka. Jadi sekarang, pergilah, Aku mengutus engkau kepada Firaun untuk membawa umat-Ku, orang Israel, keluar dari Mesir. (Kel. 3:7-10)

Kata kerja yang dipakai di ayat ini memberikan banyak pengertian penting kepada kita. Berulang kali, kata kerja yang dipakai ialah kata kerja orang pertama tunggal -- "Aku telah ...." Musa tidak banyak diberi tahu mengenai apa sebenarnya yang akan ia kerjakan, tetapi apa yang akan Allah kerjakan dalam kuasa-Nya yang berdaulat. Allah berencana untuk menyelamatkan umat-Nya dengan tangan-Nya sendiri. Dia sendiri yang akan mengalahkan musuh mereka dan membebaskan mereka. (Pada pasal berikutnya dari kitab Keluaran, ilustrasi lain digunakan untuk menggambarkan pembebasan ini: Allah menukik bagaikan rajawali, merampas umat-Nya dari tangan Firaun, dan membawa mereka keluar dari Mesir di atas kepakan sayap-Nya -- Kel. 19:4. Dia melakukan apa yang tidak dapat mereka lakukan sendiri.)

Perhatikan, ada beberapa jenis aktivitas Allah yang disebutkan di sini; Dia melihat penderitaan mereka, Dia mendengar tangisan mereka, Dia memperhatikan penderitaan mereka; Dia turun untuk menyelamatkan mereka.

Semuanya ini menunjukkan perhatian Allah
atas penderitaan dan kebutuhan umat-Nya.
Semuanya ini menggambarkan kasih Allah
kepada umat-Nya.

Kita juga harus melihat bagian Alkitab lain yang mungkin merupakan gambaran paling hidup mengenai perhatian yang diberikan oleh "AKU ADALAH AKU" kepada umat-Nya saat Ia melepaskan mereka dari tangan Mesir. Adalah Nabi Yehezkiel, yang mengajarkan kepada kita untuk tidak menyalahartikan ketidaktergantungan Allah dalam keberadaan-Nya yang kekal dan ketidakacuhan-Nya terhadap kebutuhan umat-Nya. Justru sebaliknyalah yang terbukti benar:

Kelahiranmu begini: Waktu engkau dilahirkan, pusatmu tidak dipotong dan engkau tidak dibasuh dengan air supaya bersih; juga dengan garampun engkau tidak digosok atau dibedungi dengan lampin. Tidak seorang pun merasa sayang kepadamu sehingga diperbuatnya hal-hal itu kepadamu dari rasa belas kasihan; malahan engkau dibuang ke ladang oleh karena orang pandang enteng kepadamu pada hari lahirmu. Maka Aku lalu dari situ dan Kulihat engkau menendang-nendang dengan kakimu sambil berlumuran darah dan Aku berkata kepadamu dalam keadaan berlumuran darah itu: Engkau harus hidup dan jadilah besar seperti tumbuh-tumbuhan di ladang! Engkau menjadi besar dan sudah cukup umur, bahkan sudah sampai masa mudamu. Maka buah dadamu sudah montok, rambutmu sudah tumbuh .... (Yeh. 16:4-7)

Ya, Musa akan menyaksikan kedahsyatan kuasa Allah yang menyelamatkan. Akan tetapi, kuasa itu juga mengekspresikan kelembutan dan keindahan kasih dari rahmat Allah yang tak berkesudahan. Allah kita adalah Allah yang menghanguskan (lihat Ul. 4:24; Yes. 33:14; Ibr. 12:29). Dia tampil sebagai Api yang menyala untuk selama-lamanya, dan tinggal di tengah-tengah umat-Nya. Namun, Dia tidak menghanguskan mereka, Dia menyelamatkan mereka!

Api itu tidak bergantung pada semak duri; Api itu tidak menghanguskan semak duri, tetapi api itu hadir di dalam semak duri.

Semua ini menunjuk pada karakter ilahi ketiga
yang Allah wahyukan kepada Musa:
kemahahadiran Allah.

Allah memang berkata kepada Musa, "Aku akan beserta denganmu." Akan tetapi, dengan cara bagaimana Allah akan menyertai Musa? Jawabannya kembali terdapat pada peristiwa keluarnya orang Israel dari Mesir. Arti dari peristiwa itu adalah bahwa Allah mengingat perjanjian yang telah diadakan-Nya dengan bangsa ini (Kel. 2:24 dan 6:5). Dia akan tetap memegang janji yang telah Dia ikat dengan Abraham, Ishak, dan Yakub. Inti perjanjian itu (sebagaimana inti dari seluruh perjanjian yang terdapat di Alkitab) adalah "Aku akan menyertai engkau" (Kel. 3:12). Penyertaan Allah atas kita adalah inti dari apa yang Ia janjikan kepada kita. Kita dapat merasa yakin atas penyertaan Allah karena Dia telah memberikan kepada kita janji ini. Terlebih lagi, apabila Allah beserta kita, tak ada suatu apa pun yang dapat melawan kita!

Semakin lama kita menjadi seorang Kristen, semakin kita melihat dengan jelas betapa penting kebenaran yang tampaknya sederhana ini. Dalam beberapa hal, inilah pusat dari Injil -- "Imanuel, Allah beserta kita". Ini juga merupakan fakta yang paling dasar dari pengalaman hidup kita sebagai orang Kristen.

Ketika Anda membaca cerita "semak duri yang terbakar", pernahkah Anda memperhatikan siapa yang berbicara kepada Musa dan berjanji untuk menyertainya? Dia yang berbicara kepada Musa di dalam Keluaran 3:2 digambarkan sebagai "Malaikat TUHAN". "Malaikat TUHAN" inilah yang menyingkapkan nama-Nya, yang berjanji untuk membebaskan Israel dan menebus mereka dari perbudakan. Siapakah sebenarnya Malaikat TUHAN ini? Apakah Ia adalah pesuruh yang diutus oleh Allah ataukah Allah sendiri? Bagian Alkitab selanjutnya akan memberikan jawabnya bagi kita.

Gambar: transfiguration
"The Transfiguration of Christ" karya Tiziano Vecellio

Malaikat yang muncul di hadapan Musa di dalam semak duri adalah sama dengan Bayi yang muncul di hadapan manusia di sebuah palungan di kota Betlehem. Malaikat yang berbicara kepada Musa di padang gurun untuk membawa keluar orang Israel dari perbudakan Mesir adalah juga Dia yang berbicara dengan Musa dan Elia ketika mereka berdua menampakkan diri di hadapan-Nya di atas gunung dan berbicara dengan-Nya mengenai kematian-Nya untuk membawa keluar umat-Nya dari perbudakan dosa. Seperti yang telah kita bicarakan sebelumnya, kata Yunani yang dipakai dalam Lukas 9:31 mempunyai makna yang sama dengan kata yang dipakai dalam Keluaran. Dia yang "menamakan" diri-Nya "AKU ADALAH AKU" sama dengan Dia yang menyebut diri-Nya: Roti Hidup; Jalan dan Kebenaran dan Hidup; Tidak ada seorang pun yang datang kepada Bapa kalau tidak melalui Aku; Kebangkitan dan Hidup. Dialah Pribadi yang pada saat berkata, "Akulah Dia," membuat jatuh para tentara yang bertanya kepada-Nya, "Apakah Engkau Yesus?" Mereka jatuh karena terkena dampak dari perkataan-Nya ketika Ia menyatakan identitas-Nya sebagai sang Kekal (Yoh. 18:6). Musa melihat dalam kekaburan, tetapi sekarang kita dapat melihat dengan jelas. Yesus telah menggenapi perjanjian Allah. Di dalam-Nya, kita menemukan hadirat Allah, Imanuel, Allah beserta kita.

Saat kita menyadari kebenaran ini, yaitu bahwa hadirat Allah beserta dengan kita, beberapa hal penting seharusnya mengikuti kehidupan kita, seperti halnya itu mengikuti kehidupan Musa. Kita seharusnya dipenuhi dengan kerendahan hati yang baru karena kita telah bertemu dengan Allah. Kita seharusnya mempunyai rasa aman di dalam diri kita karena kita telah bertemu dengan Allah dan tetap hidup. Apa lagi yang perlu ditakuti? Kita seharusnya penuh dengan perasaan syukur karena Allah telah bekerja bagi kepentingan kita.

Inikah Allah yang Anda kenal? Dengan cara inikah Anda mengenal-Nya? Jika ya, tak ada hal lain apa pun yang menjadi masalah bagi kita. Segala sesuatu yang lain akan berada di tempat yang seharusnya untuk melayani Allah. Pada akhirnya, inilah lagu yang baik sekali untuk dinyanyikan:

Allah menyatakan kehadiran-Nya
Marilah kita sekarang memuji Dia,
dan dengan perasaan takjub
menghadap di hadirat-Nya

Allah hadir di Bait-Nya
Semua yang ada di dalamnya berdiam diri
sujud menyembah
dengan penghormatan yang terdalam

Dia sajalah
Allah yang kita miliki
Dialah Allah dan Juru Selamat kita
Pujilah nama-Nya selamanya

(Gerhard Tersteegen)

Audio Allah yang Pemurah

Diambil dari:
Judul buku : Hati yang Dipersembahkan kepada Allah
Judul asli artikel : Allah yang Pemurah
Penulis : Sinclair B. Ferguson
Penerbit : Momentum, Surabaya 2016
Halaman : 65 - 70

Komentar