Tentang KamiArtikel TerbaruUpdate Terakhir |
Klik x untuk menutup hasil pencarianCari di situs SOTeRI Penyebab Utama Stagnasi Total dalam Pelayanan
Editorial:
Dear e-Reformed Netters, Stagnasi dalam pelayanan kerap dialami oleh hamba-hamba Tuhan dalam kehidupan pelayanan mereka. Tak jarang, stagnasi atau kemacetan hubungan dengan rekan sepelayanan ini membuahkan perpecahan dalam gereja atau tubuh Kristus. Paulus dan Barnabas pun mengalami stagnasi dalam pelayanan mereka sehingga menimbulkan perpisahan di antara keduanya. Walau keduanya adalah nama besar dalam gereja mula-mula, mereka toh tetap dapat tersandung akibat perbedaan pendapat. Untuk mengulas lebih jauh mengenai stagnasi dalam pelayanan ini, artikel e-Reformed kali ini akan membahas mengenai stagnasi total dalam pelayanan dari contoh kasus Paulus dan Barnabas yang terdapat dalam Kisah Para Rasul, serta cara-cara untuk mengatasinya. Selamat membaca, kiranya ini menjadi berkat bagi pelayanan Anda. Staf Redaksi e-Reformed, N. Risanti < http://reformed.sabda.org >
Edisi:
Edisi 158/November 2014
Isi:
Kisah Para Rasul mencoba mengetengahkan dan menerjemahkan stagnasi dalam pelayanan menurut konsep dan pemikiran Lukas. Kisah Para Rasul 9:11-13 mengisahkan indah persahabatan Barnabas dan Paulus. Barnabas adalah seorang yang penuh Roh Kudus dan mempunyai karunia khusus "mengajar", yang telah membina dan memberikan kesempatan kepada Paulus untuk menjadi seorang pahlawan besar rohani untuk segala zaman. Barnabas adalah seorang berhati mulia, juga seorang yang berpikir positif yang telah menjadikan Paulus seorang rasul besar yang dipakai oleh Tuhan Yesus pada abad permulaan. Ia merekomendasikan Paulus agar diterima oleh jemaat Yerusalem, dan ia juga menghargai karunia dan panggilan Paulus. Ketika gereja Antiokhia berkembang dan membutuhkan seorang hamba Tuhan yang melayani, ia memilih Paulus karena mengerti dan menghargai panggilan Paulus. Untuk kepentingan itu, Barnabas tak segan-segan pergi ke Tarsus dan membawa Paulus ke Antiokhia. Ia berusaha seobjektif mungkin dan ingin menerapkan sistem "the right man in the right place" di bawah terang pimpinan Roh Kudus. Dalam perjalanan misi mereka yang pertama, Barnabas dan Paulus telah mengukir keberhasilan besar -- mendirikan banyak jemaat dan memilih para pemimpin Kristen melalui bimbingan Roh Kudus, dan hal ini merupakan awal sejarah perkembangan kekristenan di dunia kafir. Akan tetapi, siapakah yang mampu menghindarkan kegagalan dari tengah-tengah keberhasilan? Hal ini dapat dilihat dari tim Paulus dan Barnabas. Betapa pun hebatnya seseorang, pasti pernah mengalami kegagalan, satu atau dua kali. Barnabas dan Paulus telah mendirikan banyak gereja dan melahirkan banyak pemimpin Kristen pada perjalanan misi mereka yang pertama. Jemaat pengutusnya, Antiokhia, sangat bersukacita mendengar laporan mereka yang telah dipilih oleh Roh Kudus, dan yang mereka ulas melalui doa yang diadakan oleh jemaat. Mereka telah pulang kembali kepada jemaat dengan penuh tanggung jawab. Tidak dapat disangkal dan ditutup-tutupi oleh siapa pun, bahwa mereka telah mengalami suatu kegagalan yang akhirnya memisahkan persahabatan mereka. Hal ini terkuak pada permulaan perjalanan misi mereka yang kedua. Pertengkaran Paulus dan Barnabas memang tidak sedap didengar karena mereka berdua adalah tokoh-tokoh Kristen yang menjadi contoh bagi orang Kristen lainnya. Namun, kejadian tersebut harus dilihat dari sudut sejarah keselamatan dunia. Pada perjalanan misi mereka yang kedua, Barnabas mengusulkan Yohanes Markus yang pernah mengikuti mereka di Salamis untuk menjadi tim mereka kembali. Barnabas menyadari bahwa Yohanes Markus pernah meninggalkan mereka di Perga dan kembali ke Yerusalem. Yang menjadi alasan memang tidak disebutkan secara jelas, tetapi dapat diperkirakan bahwa yang menjadi masalah utama adalah Markus telah meninggalkan tim mereka karena masih terlalu muda dan belum siap mental menjadi seorang misionaris di dunia orang kafir. Barnabas ingin memberikan kesempatan kedua kepada Markus. Hal ini justru menjadi masalah besar yang menimbulkan bukan hanya stagnasi dalam berkomunikasi, melainkan juga pertengkaran yang seru dan tajam, dan berakhir dengan perpisahan yang menyedihkan. Peristiwa sedih ini kemungkinan besar disebabkan karena kurang bersandarnya mereka kepada pimpinan Tuhan. Dalam hal ini, Paulus dilihat sebagai seorang yang menekankan dan menerapkan disiplin keras dalam mencapai suatu tujuan akhir dari perjalanan misinya, sedangkan Barnabas adalah seorang tokoh pendidik yang sabar, yang siap memberikan kesempatan kedua bagi orang lain seperti Yohanes Markus yang pernah melakukan kesalahan. Selanjutnya, Kisah Para Rasul mengisahkan keberhasilan Paulus menjelajah provinsi Galatia, Asia, Makedonia, Akhaya, dan akhirnya sebagai seorang tawanan, ia sampai di pusat dunia: kota Roma. Injil telah diberitakan dari Yerusalem sampai ke kota Roma. Sedangkan Barnabas bersama Yohanes Markus berlayar menuju Siprus dan kehidupan mereka seterusnya tidak diceritakan lagi oleh Lukas dalam buku sejarahnya. Namun, karena kesabaran, Barnabas telah menjadikan Markus sebagai penulis Injil Sinoptik Pertama, yang kemungkinan besar menjadi buku acuan Matius dan Lukas dalam menulis Injil. Dapat dipastikan, meskipun tidak diungkapkan oleh Lukas, bahwa Barnabas telah memperkenalkan Yohanes kepada murid-murid Yesus lainnya. Dari merekalah, Yohanes Markus mendapatkan sumber sejarah dari para saksi mata tentang hidup dan kegiatan Yesus, yang kemudian ditulis di dalam Injilnya. Nama Barnabas memang tidak begitu populer dalam Kisah Para Rasul, tetapi harus diakui dialah orang yang telah menjadikan Paulus dan Markus hamba-hamba Tuhan besar yang mengawali penulisan sejarah keselamatan dalam Perjanjian Baru. Meskipun Paulus telah menolak Markus dengan keras, tetapi ketika menulis surat kepada Filemon, ia menyampaikan salam dari Markus yang disebut sebagai teman sekerja (Filipi 2:24,25), dan juga dalam suratnya kepada jemaat Kolose, ia menyampaikan salam Markus yang adalah kemenakan Barnabas (Kolose 4:10). Paulus adalah orang yang sangat objektif, siap berekonsiliasi dan melupakan segala peristiwa, dan membangun kembali persahabatan dan kerja sama baru, seperti yang dilakukannya kepada Yohanes Markus. Sampai akhir hidupnya, ia tetap menghormati Barnabas sebagai orang yang pernah berjasa dalam hidup dan pelayanannya. Walaupun tidak ada uraian yang jelas tentang jalannya rekonsiliasi antara Paulus dan Barnabas beserta Yohanes Markus, kalau diteliti dari surat-surat Paulus secara keseluruhan, pasti ia adalah seorang yang terbuka untuk minta maaf kepada orang lain atau menerima maaf dari orang lain, karena itulah yang menjadi inti dalam pengajarannya. Paulus, Barnabas, dan Markus adalah hamba-hamba Tuhan yang berjiwa besar dan berpikir positif, berani berbeda pendapat tetapi tetap memelihara kualitas persahabatan mereka, dan hal itulah yang mendorong untuk rekonsiliasi dan bekerja sama kembali seperti semula. Kalau Paulus telah menerima Yohanes Markus, ia pasti juga telah menerima Barnabas. Penyebab utama dari stagnasi adalah ketertutupan dan sikap arogansi seseorang serta penyakit "vested interest". CARA-CARA MENGATASI STAGNASI DALAM PELAYANAN Banyak orang berkomentar bahwa sebenarnya tidak perlu terjadi stagnasi apabila para pemimpin Kristen itu dewasa, berjiwa besar, berpikir positif, dan saling menghargai seorang terhadap yang lain. Mungkin ungkapan ini dapat dikatakan sebagai suatu yang terlalu ekstrem, tetapi kalau mau mengerti maksud yang sesungguhnya, ungkapan itu mengandung kebenaran yang sejati. Kalau dilihat dari sederet daftar panjang masalah yang dianggap sangat potensial menyebabkan stagnasi, baik di dalam gereja maupun di dalam organisasi sekuler, dapat dikatakan bahwa yang menjadi penyebab utama dari stagnasi adalah manusianya, dan bukan sistemnya. Sudah jelas dari awal bahwa modernisasi, arus globalisasi, penerapan teknologi canggih, dan profesionalisme tidak dapat dijadikan jaminan mutlak untuk tidak terjadinya "deadlock" atau "stagnasi total" atau "kemacetan total" dalam suatu organisasi. Segala ilmu pengetahuan hanyalah merupakan alat bagi manusia. Manusialah yang akan menentukan macet atau tidaknya suatu organisasi. Dipandang dari sudut perkembangan sejarah manusia, bahwa perbedaan pendapat justru akan memperkaya kepustakaan hidup manusia. Dari analisis secara praksis, stagnasi yang ditimbulkan oleh perbedaan pendapat ternyata jumlahnya sangat kecil sekali. Perbedaan pendapat dapat diperkecil melalui dialog, interaksi, komunikasi, dan apresiasi. Perbedaan pendapat justru menjadi sarana untuk mematangkan suatu ide, dan apabila dikembangkan melalui dialog akan menghasilkan suatu program yang dapat dilaksanakan dengan penuh rasa tanggung jawab. Yang sering kali menimbulkan kemacetan total dalam kehidupan bergereja atau pelayanan pada umumnya adalah masalah-masalah teologis yang berbau dogmatis, yang diwarnai dengan jiwa advonturir dan didorong oleh suatu gerakan untuk pemenuhan kepentingan pribadi serta ambisi pribadi. Bila diadakan analisis secara kritis terhadap stagnasi-stagnasi yang sedang terjadi sekarang ini dan dibandingkan dengan konsep Petrus dalam 2 Petrus 2:5-8, dapat disimpulkan bahwa kemacetan-kemacetan tersebut justru disebabkan oleh dangkalnya iman seseorang kepada Yesus Kristus, kurangnya kedisiplinan dan ketulusan yang dilandaskan di atas dasar kasih, yang telah menyebabkan menurunnya jiwa berpikir positif, sehingga mengakibatkan mengaburnya nilai suatu kebajikan. Dampak luas yang dirasakan oleh masyarakat adalah jalan buntu dalam pengambilan keputusan, yang disebabkan oleh macetnya komunikasi, dialog, dan interaksi dari pihak-pihak yang terkait. Untuk mengatasi masalah krusial ini diperlukan pemimpin-pemimpin yang dewasa, berjiwa besar, berlapang dada, berpikir positif, tidak berjiwa advonturir, bersedia mendengar, mengakui kelebihan dan kebenaran orang lain, serta mendahulukan kepentingan organisasi daripada kepentingan pribadi. Gereja dan lembaga kristiani seharusnya meletakkan prinsip-prinsip hidup bergereja dan bermasyarakat di bawah terang firman Tuhan dan menurut pimpinan Roh Kudus, di atas landasan teologia yang sesuai dengan Alkitab dan mampu berinteraksi dengan semua golongan melalui sistem komunikasi dan dialog yang jelas, serta menekankan kepada kepemimpinan yang partisipatif. Perlunya berpikir kritis, analitis, dan realistis, tetapi masih bersifat lentur dengan situasi lingkungan (konteksnya). Untuk mencegah timbulnya stagnasi dalam lingkungan bergereja diperlukan loyalitas yang tinggi terhadap sistem dan disiplin organisasi, dan memerhatikan nilai-nilai moral etis dalam melaksanakan aktivitas hidup bergereja dan berusaha menjunjung tinggi nilai-nilai kebersamaan. Sistem yang rapi dan terbuka dapat menghindarkan terjadinya stagnasi di semua aras organisasi. Sistem yang terbuka akan membangkitkan rasa saling menghargai, menghormati, dan saling mendukung sesama teman. Hal ini harus dijadikan filosofi hidup bergereja yang didukung dengan etos kerja yang tinggi, berdasarkan konsep yang jelas dengan menekankan kepada perencanaan terpadu dan kontrol yang memadai, dengan sistem "the right man in the right place", serta memberikan kesempatan kepada semua orang yang terlibat dalam organisasi untuk meningkatkan keterampilan dan kemampuan. Proses yang wajar dengan sistem yang jelas akan dapat menghilangkan kompetisi yang kurang sehat karena setiap orang yang menjadi bagian yang bersifat integral dalam organisasi pasti akan memiliki kesempatan yang besar, melalui peningkatan keterampilan yang sesuai dengan kemampuannya. Perlunya pelayanan pastoral yang kondusif bagi setiap orang yang terlibat dalam pelayanan. Dengan demikian, semua hal yang sangat potensial mendukung terjadinya stagnasi dapat diubah menjadi sarana yang dapat memperkaya dan memperkuat kehidupan organisasi melalui suatu sistem kepemimpinan yang partisipatif. Ancaman yang dapat menghancurkan dapat diubah menjadi suatu kesempatan untuk kemajuan dalam perkembangan suatu organisasi. KESIMPULAN Stagnasi dapat terjadi kalau penyebabnya dibiarkan hidup terus dan tidak dicarikan jalan keluar untuk mengatasinya. Sebagai murid-murid Yesus, yang telah dibekali dengan keterampilan dan pengetahuan, kita seharusnya berusaha dengan pimpinan Roh Kudus untuk menghindarkan terjadinya suatu stagnasi dalam organisasi yang kita pimpin. Ada banyak cara menyelesaikan masalah, tetapi ada satu cara yang terbaik, yaitu menjadi pelayan Tuhan yang memiliki loyalitas tinggi kepada Kristus dan firman-Nya, berjiwa besar, berpikir positif, dan terus berusaha memperkecil masalah dan tidak membuat sebaliknya, membesar-besarkan masalah, yang akan menyebabkan stagnasi total. Menempatkan seseorang sesuai karunia dan kemampuannya akan menghindarkan terjadinya stagnasi dalam suatu organisasi. Bagaimanapun, bergantung kepada Tuhan adalah inti dari segala-galanya karena modernisasi, globalisasi, dan teknologi bukanlah jaminan untuk tidak terjadinya suatu stagnasi. Bagi pemimpin Kristen, rekonsiliasi merupakan kebutuhan yang terutama bertujuan agar tidak terjadi benturan antarpemimpin secara terus-menerus, yang hanya akan berakhir pada stagnasi total serta perpisahan. Tentu, hal ini bukan yang diharapkan oleh semua pihak. Dengan demikian, Barnabas, Paulus, dan Markus adalah suatu ilustrasi yang sangat cocok bagi para pemimpin Kristen dalam melaksanakan rekonsiliasi untuk dapat mencairkan kebekuan dalam organisasi atau stagnasi dalam pelayanan.
Sumber:
Diambil dan disunting dari:
Komentar |
Kunjungi Situs Natalhttps://natal.sabda.org Publikasi e-Reformed |