Racun Kesetaraan Moral

Editorial: 

Dear e-Reformed Netters,

Dosa adalah masalah serius yang berusia sangat tua. Dosa telah ada sebelum manusia ada. Dosa membawa keterpisahan antara Sang Pencipta dan ciptaan. Dosa merusak alam semesta dan meracuni moralitas ilahi yang Tuhan tempatkan dalam peradaban manusia. Apakah semua dosa sama di mata Allah? Apakah berbohong punya nilai yang sama buruk dengan membunuh? Bagaimana kekristenan melihat hal ini? Samakah nilai semua dosa? Apakah konsekuensi yang ditanggung sama besarnya dengan orang bukan percaya? Pertanyaan-pertanyaan ini mungkin menjadi pertanyaan kita selama ini.

Ketika kita melihat kisah nyata dalam Perjanjian Lama, dosa kecil yang dilakukan umat Israel membawa dampak yang begitu besar bagi diri mereka sendiri dan orang lain, bahkan lingkungan tempat mereka berada. Tuhan kita adalah Tuhan yang kudus. Dosa akan hancur ketika bertemu Dia, dan Dia adalah pribadi yang sangat mudah murka ketika mendapati umat-Nya berdosa. Dalam Perjanjian Baru, akar segala masalah paling krusial dari segala masalah telah diselesaikan oleh Yesus Kristus di atas kayu salib. Darah suci-Nya telah siap membasuh setiap dosa. Darah Kristus berlaku sampai kapan pun. Anugerah pengampunan dari Tuhan membawa manusia untuk bisa kembali berelasi dengan Tuhan.

Dalam edisi berikut, kita akan bersama-sama melihat dua permasalahan mendasar yang menimbulkan kesalahpahaman terkait perspektif yang salah dari kebanyakan orang Kristen dalam memandang dosa dan bagaimana merespons konsekuensi dosa yang selalu berdampak melemahkan relasi orang percaya dengan Tuhan. Marilah memohon Roh Kudus menilik setiap diri kita dan kiranya kita mau dikoreksi dan dibersihkan dari setiap dosa yang masih mengikat kita. Selamat membaca, Soli Deo Gloria.

Ayub T.

Redaksi e-Reformed,
Ayub T.

Edisi: 
Edisi 186/Maret 2017
Isi: 

Ada dua kesalahpahaman mengenai sanktifikasi yang perlu kita perjelas dalam bab ini. Kesalahan yang pertama adalah bahwa semua dosa adalah sama di mata Allah. Pemahaman ini umum di kalangan orang Kristen. Bagi beberapa orang, pemahaman ini terlihat seperti sebuah kerendahan hati--"Saya juga selayaknya dimurkai oleh Allah. Jadi, apa hak saya menghakimi Anda?" Bagi orang lain, alasan ini dipakai untuk menghindari kritik terhadap isu tertentu--"Ya, menurut saya homoseksual itu salah, tetapi dosa itu tidak lebih buruk dari dosa-dosa yang lain." Bagi yang lain lagi, kesamaan itu adalah suatu bentuk relativisme yang dilunakkan--"Mereka yang tinggal dalam rumah kaca tidak seharusnya melempar batu."

Seperti banyak pepatah pada umumnya, konsep bahwa semua dosa itu sama saja tidaklah sepenuhnya salah. Setiap dosa adalah pelanggaran terhadap hukum Allah yang kudus. "Sebab barangsiapa menuruti seluruh hukum itu, tetapi mengabaikan satu bagian dari padanya ia bersalah terhadap seluruhnya" (Yak. 2:10).

Setiap dosa yang dilakukan untuk melawan Allah layak untuk mendapatkan penghukuman. Kita semua terlahir berdosa. Kita semua berbuat dosa. Setiap upah dosa adalah maut. Itulah mengapa konsep ini setengahnya benar.

Namun, konsep ini juga setengahnya tidak benar. R. C. Sproul berkata, "Konsep gradasi dosa penting untuk kita pahami agar kita dapat lebih memahami perbedaan antara dosa umum dengan dosa kotor." Semua dosa melawan Allah dan memerlukan pengampunan. Namun, berulang kali Alkitab mengajarkan bahwa ada beberapa dosa yang jauh lebih parah dari dosa yang lain.

  • Allah menunda empat ratus tahun untuk memberikan Tanah Perjanjian kepada orang Israel karena kedurjanaan orang Amori belumlah genap (Kej. 15:16). Mereka adalah pendosa, tetapi pada akhirnya dosa-dosa mereka mendapatkan penghukuman yang keras.- Taurat memberikan penghukuman yang berbeda untuk kesalahan yang berbeda serta korban bakaran yang berbeda-beda dan penggantian untuk pembayaran utang.
  • Bilangan pasal 15 menyinggung soal dosa yang tidak sengaja dan dosa yang dilakukan "dengan sengaja" (Bil. 15:29-30). Berkata kotor ketika Anda tidak sengaja memukul ibu jari dengan palu tidaklah seburuk mengacungkan jari tengah Anda kepada Allah (biar pun keduanya tidak disarankan.)
  • Dalam sejarah Israel, beberapa dosa dikatakan lebih berat dibandingkan yang lain. Berdasarkan reaksi Tuhan, mengorbankan anak-anak kepada Molokh jauh lebih buruk dibandingkan kehilangan kesabaran (Yer. 32:35).
  • Yesus mengindikasikan bahwa beberapa orang akan mendapatkan hukuman yang lebih berat pada hari penghakiman karena mereka sebenarnya punya kesempatan untuk bertobat (Mat. 10:15). Kita semua akan dihakimi berdasarkan apa yang kita perbuat.
  • Kornelius adalah seorang "pria saleh yang takut akan Allah", dan dia diselamatkan bukan karena perbuatannya (Kis. 10:2). Bahkan, di kalangan orang non-Kristen, tetap saja ada perbedaan antara manusia yang baik dengan manusia yang jahat.

Inilah masalahnya: biarpun semua dosa dianggap sama, kita sendiri belum tentu bergumul melawan dosa. Mengapa saya harus berhenti meniduri pacar saya selama hati saya masih penuh dengan hawa nafsu? Mengapa saya harus mengejar kekudusan jika satu dosa dalam hidup saya saja membuat saya sama seperti Osama bin Hitler di mata Allah? Sekali lagi, memang terlihat rendah hati jika kita bersikap seolah tidak ada dosa yang lebih berat dari dosa yang lain. Namun, kita akan kehilangan alasan untuk berjuang serta kesanggupan untuk mengoreksi satu sama lain jika kita menyamakan semua bobot moralitas. Seorang kakek yang bergumul melawan keinginan untuk melihat katalog Lands' End yang erotis menjadi tidak berani untuk menegakkan disiplin gerejawi kepada seorang anak muda yang berbuat cabul. Ketika kita tidak lagi dapat melihat gradasi tingkatan dosa, maka kita gagal mengerti keburukan kita sendiri. Kita telah menganggap murah kebaikan Allah. Jika sistem moral kita membedakan jenis pelanggaran, pastinya Allah juga tahu bahwa ada dosa-dosa yang lebih berat dari dosa-dosa yang lain. Jika kita mengerti perbedaannya, maka kita akan sanggup menghindari dosa-dosa yang paling menjijikkan di mata Allah.

Anak-Anak Sejati, Bukan Anak-Anak Gampang

Kesalahpahaman kedua yang perlu diperjelas adalah apakah orang Kristen yang sudah lahir baru dan telah diampuni, dibenarkan diperdamaikan, dan diadopsi dapat membuat hati Allah sedih. Logikanya berjalan sebagai berikut: "Saya telah mengenakan pakaian kebenaran Kristus. Tidak ada yang dapat memisahkan saya dari kasih Allah. Apa pun yang saya lakukan, Allah akan selalu melihat saya sebagai anak yang murni dan tidak bercacat." Memang benar jika dikatakan sudah tidak ada lagi penghakiman bagi mereka yang ada dalam Kristus Yesus (Rm. 8:1), tetapi tidak berarti bahwa Allah akan membenarkan setiap pikiran dan tindakan kita. Walaupun Dia tidak lagi menganggap dosa-dosa kita secara yudisial, tetapi bukan berarti Allah menutup mata.

Alkitab dengan jelas mengatakan bahwa Allah tidak suka ketika umat-Nya melakukan dosa. Kita dapat membuat Roh Kudus "berduka" (Ef. 4:30). Biarpun Allah selalu ada di pihak kita karena Kristus (Rm. 8:31-34), tetapi Kristus masih dapat menuntut kita (Why. 2:4). Fakta bahwa Allah mendisiplinkan anak-anakNya (Ibr. 12:7) berarti bahwa Allah dapat merasa kecewa dengan mereka. Akan tetapi, fakta ini adalah sebuah mata uang. Di sisi lain, fakta ini berarti bahwa Allah memberikan disiplin karena Dia mengasihi kita. Jika Allah tidak pernah peduli dengan dosa yang kita lakukan, maka Allah tidak akan mau repot-repot memberikan pendisiplinan. Jika Allah tidak memberikan pendisiplinan, maka kita adalah anak-anak gampang (ay. 8). Kasih tidak sama dengan persetujuan tanpa syarat. Kebaikan kita selalu bertumbuh dalam kekudusan. "Barangsiapa Kukasihi, ia Kutegor dan Kuhajar; sebab itu relakanlah hatimu dan bertobatlah," kata Yesus kepada jemaat di Laodikia (Why. 3:19).

Mungkin pemahaman teologis berikut dapat menolong. Melalui iman kita dipersatukan dengan Kristus dan bersekutu dengan Dia. Ikatan tersebut tidak dapat diputuskan. Persekutuan kita dengan Kristus adalah sebuah fakta yang teguh dan dijamin untuk selama-lamanya oleh Roh Kudus. Ketika kita berbuat dosa, ikatan kita dengan Kristus tidak putus. Yang terganggu adalah persekutuan kita dengan-Nya. Ada orang Kristen yang mendapat perkenanan yang lebih dari Allah. Kita dapat memiliki persekutuan yang indah dengan Allah, tetapi kita juga dapat mengalami hukuman dari-Nya. Hukuman ini bukanlah hukuman yang menghancurkan, melainkan hukuman yang mendidik kita untuk mengasihi dan berbuat baik (Ibr. 10:24). Saya suka dengan istilah John Calvin. Allah tidak berhenti untuk mengasihi anak-anak-Nya, namun Dia dapat menunjukkan "kemarahan yang indah" kepada mereka. Allah tidak akan pernah membenci kita, tetapi Dia akan membuat kita gentar dengan murka-Nya agar kita dapat "terlepas dari kemalasan". Allah memberi disiplin demi kebaikan kita, agar kita dapat hidup kudus (Ibrani 12:10). Sebagaimana yang dikatakan Konfesi Westminster, mereka yang sudah dibenarkan namun berbuat dosa "akan ada di bawah kekecewaan Allah Bapa dan tidak sanggup merasakan kehadiran-Nya sebelum mereka merendahkan diri, mengakui dosa, meminta pengampunan, dan memperbarui iman di dalam pertobatan" (Konfesi Westminster 11.5).

Salah satu motivasi ketaatan kita adalah menyenangkan Allah. Jika kita dengan sengaja bersikap seolah Allah tidak peduli dengan dosa kita karena pembenaran kita tidak dapat diganggu gugat, maka kita sedang menghambat diri kita untuk mengejar kekudusan. Allah adalah Bapa surgawi kita. Dia telah mengangkat kita oleh karena anugerah. Dia akan selalu mengasihi anak-anak-Nya. Jika kita adalah anak-anak-Nya, maka kita akan rindu untuk menyenangkan hati-Nya. Adalah sukacita bagi kita untuk bersukacita di dalam-Nya serta menyadari bahwa Allah pun juga bersukacita di dalam kita.

Download Audio

Diambil dari:
Nama buku : Hole In Our Holiness
Judul artikel : Apakah Semua Dosa Sama di Mata Allah?
Penulis artikel : Kevin DeYoung
Penerbit : Literatur Perkantas Jawa Timur, Surabaya, 2015
Halaman : 85 -- 90

Komentar