Tentang KamiArtikel TerbaruUpdate Terakhir |
Klik x untuk menutup hasil pencarianCari di situs SOTeRI Reformasi ProtestanPenulis_artikel:
Freddie Wilkinson
Tanggal_artikel:
17 Maret 2022
Isi_artikel:
Reformasi Protestan yang dimulai oleh Martin Luther pada tahun 1517 memainkan peran penting dalam perkembangan koloni-koloni Amerika Utara dan akhirnya Amerika Serikat. Reformasi Protestan adalah gerakan reformasi agama yang melanda Eropa pada tahun 1500-an. Hal ini mengakibatkan terciptanya cabang Kekristenan yang disebut Protestantisme, sebuah nama yang digunakan secara kolektif untuk merujuk pada banyak kelompok agama yang terpisah dari Gereja Katolik Roma karena perbedaan doktrin. Reformasi Protestan dimulai di Wittenberg, Jerman, pada tanggal 31 Oktober 1517, ketika Martin Luther, seorang guru dan seorang biarawan, menerbitkan sebuah dokumen yang disebutnya Disputation on the Power of Indulgences, atau 95 Tesis. Dokumen itu adalah serangkaian 95 gagasan tentang Kekristenan yang dia undang orang untuk berdebat dengannya. Ide-ide ini kontroversial karena secara langsung bertentangan dengan ajaran Gereja Katolik.
Pernyataan Luther menantang peran Gereja Katolik sebagai perantara antara manusia dan Allah, khususnya ketika menyangkut sistem indulgensi, yang sebagian memungkinkan orang untuk membeli sertifikat pengampunan atas hukuman dosa-dosa mereka. Luther menentang praktik membeli atau membayar untuk mendapat pengampunan, sebaliknya percaya bahwa keselamatan adalah karunia yang diberikan Allah kepada mereka yang memiliki iman. Keberatan Luther terhadap sistem indulgensi membuka jalan bagi tantangan lain terhadap doktrin Katolik di seluruh Eropa. Misalnya, John Calvin di Perancis dan Huldrych Zwingli di Swiss mengajukan gagasan baru tentang praktik Perjamuan Kudus, dan sebuah kelompok bernama Anabaptis menolak gagasan bahwa bayi harus dibaptis dan mendukung gagasan bahwa baptisan disediakan untuk orang Kristen dewasa. Secara umum, sebagian besar tantangan bagi Gereja Katolik berkisar pada gagasan bahwa setiap orang percaya seharusnya tidak terlalu bergantung pada Gereja Katolik, dan paus serta para imamnya, untuk bimbingan rohani dan keselamatan. Sebaliknya, Protestan percaya orang harus mandiri dalam hubungan mereka dengan Allah, mengambil tanggung jawab pribadi untuk iman mereka dan merujuk langsung ke Alkitab, kitab suci Kristen, untuk kebijaksanaan rohani. Reformasi Protestan di Inggris dimulai oleh Henry VIII pada tahun 1534 karena Paus tidak mau memberinya pembatalan pernikahan. Selanjutnya, Raja Henry menolak otoritas Paus, sebaliknya menciptakan dan mengambil alih otoritas atas Gereja Inggris, semacam gereja hibrida yang menggabungkan beberapa doktrin Katolik dan beberapa pola dasar Protestan. Selama 20 tahun berikutnya, terjadi pergolakan agama di Inggris ketika Ratu Mary (1553-1558) mengembalikan Katolik di Inggris sambil menganiaya dan mengasingkan orang Protestan, tetapi justru Ratu Elizabeth I dan Parlemennya berusaha untuk memimpin negara itu kembali ke Protestan selama pemerintahannya. (1558-1603). Beberapa warga Inggris yang tidak percaya upaya Ratu Elizabeth untuk mengembalikan Inggris ke Protestantisme bertindak cukup jauh. Warga ini terbagi menjadi dua kelompok, keduanya dicap Puritan oleh lawan-lawannya. Kelompok pertama, yang dikenal sebagai separatis, percaya bahwa Gereja Inggris begitu korup sehingga satu-satunya pilihan mereka adalah meninggalkan Inggris, terpisah dari gereja, dan memulai gereja baru. Mereka menyebutnya Gereja Separatis Inggris. Sekitar tahun 1607 atau 1609, sebagian kaum separatis mencoba memulai hidup baru yang mereka bayangkan di Belanda, di negeri Belanda. Pada akhirnya, usaha itu gagal karena kemiskinan dan perasaan bahwa anak-anak terlalu banyak berasimilasi dengan budaya Belanda, sehingga banyak separatis yang kembali ke Inggris. Pada 1620, anggota Gereja Separatis Inggris siap untuk mencoba kedua kalinya dalam membangun kehidupan dan gereja baru. Mereka yang berlayar dengan kapal Mayflower menuju New England dan akhirnya mendarat di dekat Plymouth, Massachusetts, yang akhirnya dikenal sebagai kaum peziarah. Kelompok warga negara Inggris lainnya yang tidak percaya upaya reformasi Ratu Elizabeth bertindak cukup jauh disebut nonseparatis; seiring waktu, istilah "Puritan" akan menjadi sinonim dengan nonseparatis. Mereka tidak berusaha untuk meninggalkan Gereja Inggris; mereka hanya ingin mereformasinya dengan menghilangkan sisa-sisa Katolik yang tersisa. Dalam hal teologi, kebanyakan dari mereka adalah Calvinis. Meskipun mereka tidak ingin berpisah dari Gereja Inggris, beberapa orang Puritan melihat emigrasi ke New England sebagai kesempatan terbaik mereka untuk reformasi sejati gereja dan kebebasan untuk beribadah sesuai pilihan mereka. Pada tahun 1630, satu dekade setelah para peziarah memulai perjalanan serupa untuk alasan yang sama, kaum Puritan pertama melakukan perjalanan ke New World dan mendirikan Massachusetts Bay Colony di Boston, Massachusetts. Meskipun golongan separatis dan nonseparatis tidak setuju tentang apakah akan memutuskan hubungan dengan Gereja Inggris, kedua kelompok kolonis Amerika Utara awal sama-sama tidak puas dengan gereja dan memiliki pola pikir bahwa mereka bebas untuk mendirikan gereja yang lebih selaras dengan pandangan rohani mereka. Mungkin bisa ditebak, kebebasan untuk menjalankan agama menurut keyakinan seseorang ini menyebabkan terciptanya banyak sekali gereja, denominasi, dan doktrin yang berbeda di berbagai koloni. Sama-sama dapat diprediksi, sepanjang sejarah keragaman ini telah menyebabkan ketidaksepakatan. Akan tetapi, keragaman pemikiran keagamaan ini juga telah menjadi bagian inti dari identitas Amerika Serikat: Bill of Rights (nama untuk sepuluh amendemen pertama terhadap Konstitusi Amerika Serikat - Red.) secara eksplisit melarang "pendirian agama, atau melarang pelaksanaannya secara bebas." Lebih dari 400 tahun dalam pembentukannya, keyakinan akan pemberdayaan pribadi dan kemandirian dalam masalah keagamaan, yang berakar pada Reformasi Protestan, telah menjadi bagian yang bertahan lama dalam pola pikir Amerika. (t/Jing-Jing) |