Spiritualitas Injili: Suatu Tinjauan Ulang

Editorial: 

Dear e-Reformed Netters,

Salam sejahtera,

Semoga Anda semua baik-baik saja dan menikmati anugerah sukacita dari Tuhan.

Beberapa waktu yang lalu saya sempat merenungkan tentang apa artinya spiritualitas. Hal ini bermula dari rasa penasaran karena pada kenyataannya tidak hanya para teolog atau orang beragama saja yang membicarakan tentang spiritualitas, tapi juga para intelektual (contohnya pencetus ide SQ -- Spiritual Intelligence). Sayangnya, rasa penasaran saya itu cepat sekali lenyap ketika mengetahui bahwa ternyata yang dimaksud dengan 'spiritual intelligence' tidak harus dihubungkan dengan hal-hal agamawi atau rohani, atau bahkan Tuhan. Menurut mereka, orang yang memiliki kecerdasan spiritualitas yang tinggi belum tentu memiliki agama atau tahu menahu tentang hal-hal rohani, apalagi mempercayai adanya Tuhan. Nah makanya jangan mudah terkecoh dengan istilah yang keren.

Namun, rasa penasaran saya kembali tertantang ketika melihat lunturnya semangat kaum Injili dalam menanggapi isu-isu tentang spiritualitas Kristen yang muncul akhir-akhir ini. Bahkan tidak lagi terdengar suara-suara orang Injili yang dapat menjadi tonggak dimana orang-orang Kristen bisa menambatkan perhatiannya sehingga terus menghargai keunikan spiritualitas Injili .... Saya tiba-tiba tersentak, ketika menyadari bahwa, mungkin, kalau kita tidak hati-hati, mungkin saja kita bisa kehilangan satu generasi orang Kristen yang tidak lagi menghargai, atau bahkan lebih parah lagi, mengenal apa itu semangat Injili, spiritualitas Injili ...?!

Ketika saya bertanya pada diri sendiri 'Apa yang bisa saya lakukan untuk generasi saya? Maka salah satu jawaban yang muncul adalah saya ingin terus menyuarakan kembali suara-suara kaum Injili. Inilah tujuan saya memilih artikel Stanley J. Grenz berikut ini. Saya harap melalui tulisan ini kita semua diingatkan lagi tentang "warisan" keyakinan yang sangat berharga, yang dibangun oleh para leluhur rohani kita sebelumnya, yang telah menggumuli poin-poin penting spiritualitas Injili yang penting untuk dilestarikan. Tulisan Stanley J. Grenz di bawah ini sekaligus dapat menjadi contoh bagaimana kita meneruskan semangat kaum Injili, misalnya dengan cara meninjau ulang agar menjadi semakin tajam dan aplikatif bagi generasi kita sekarang dan menjadi inspirasi bagi generasi anak-anak kita yang akan datang.

Mari kita suarakan kembali semangat Kaum Injili!

In Christ,
Yulia Oen

Penulis: 
Stanley J. Grenz
Edisi: 
051/VI/2004
Isi: 

Disadur dari buku Stanley J. Grenz Revisioning Evangelical Theology: A Fresh Agenda for the 21th Century Downers Grove, Illinois: IVP, 1993. Hal. 31-59

Lane Dennis mengatakan bahwa ciri khas Kaum Injili adalah penekanannya pada keselamatan yang dialami secara pribadi -- komitmen kepada Yesus Kristus sebagai Juruselamat saya (pribadi). Kehebatan gerakan ini adalah mempersatukan pengalaman religius dengan bahasa teologis yang sama. Pengertian tentang natur Injili ini menunjukkan perubahan mendasar dari kesadaran Kaum Injili. Perubahan identitas yang berdasar pada pengakuan iman menuju kepada identitas yang berdasarkan spiritualitas.

William W. Wells menyatakan tiga karakteristik unik Gerakan Injili ini: orang Kristen Injili mempercayai otoritas Alkitab; menekankan pengampunan Allah dan hubungan pribadi yang indah dengan Allah melalui Kristus; dan menekankan perjuangan untuk hidup suci melalui disiplin rohani. Meskipun Gerakan Neo-Injili tetap berpegang kepada otoritas Alkitab, penekanan sekarang lebih kepada aspek spiritualitas, yang sebelumnya sering terselubungi oleh dimensi intelektual atau doktrinal.

Penekanan kepada dimensi spiritualitas sebenarnya sejalan dengan sejarah Gerakan Injili itu sendiri. Sebelum abad kedua puluh, Puritanisme dan Pietisme memberikan pengaruh yang signifikan terhadap Gerakan Injili ini. Puritanisme membangkitkan suatu bentuk kesalehan hidup sebagai respon terhadap Doktrin Pilihan dari Calvinisme. Calvinisme meletakkan keselamatan manusia dalam konteks pilihan Allah yang bersifat misteri. Meskipun teologi ini memelihara kedaulatan Allah, manusia menjadi tidak mempunyai kepastian bahwa dia memiliki status sebagai orang pilihan atau tidak. Karena itu, tidak ada pengakuan iman yang sungguh, tidak ada kesetiaan mengikuti sakramen, maupun serangkaian hidup yang suci, yang dapat menjamin bahwa seseorang merupakan umat pilihan Allah. Di tengah-tengah ketidakpastian inilah kaum Puritan menemukan satu tanda umat pilihan: pengalaman rohani secara pribadi terhadap anugerah keselamatan Allah. Dengan demikian, kepastian status pilihan menjadi bergantung kepada kemampuan seseorang menceritakan pengalaman pertobatannya. Lebih lagi, penekanan kembali kepada hal-hal yang bersifat spiritual ini merupakan pengaruh dari gerakan Pietis, khususnya keinginan mereka untuk mereformasi hidup dan bukan mereformasi doktrin.

Karena itu, seperti John Wesley katakan, titik temu antara Pietisme dan Gerakan Injili adalah pada: panggilan hidup baru, buah-buah rohani, dan suatu hidup yang berbeda dengan kemalasan gereja dan anggota-anggotanya yang sangat duniawi. Kaum Injili bersifat pietist dalam hal fokusnya pada dinamika kehadiran Kristus dalam hidup orang percaya. Hal ini menandai pergeseran dari gerakan sebelumnya yang menekankan pada aktivitas (doing), kepada hal-hal yang bersifat kontemplasi (being). Pembahasan lebih lanjut akan difokuskan kepada keunikkan spiritualitas Kaum Injili.

Menuju Pengertian Spiritualitas Injili

Salah satu definisi ´spiritualitas´ yang cukup baik diberikan oleh Robert Webber:

"Secara luas, spiritualitas dapat didefinisikan sebagai hidup yang sesuai dengan hidup Kristus. Hidup yang menyadari bahwa karya salib Kristus membuat kita menjadi warga negara sorga, dan sorgalah yang menjadi tujuan hidup kita di dunia. Perjalanan hidup ini dikerjakan dalam konteks kita sebagai anggota tubuh Kristus. Melalui ibadah kepada Allah, spiritualitas kita terus menerus dibentuk. Dan misi kita di dunia adalah untuk memberitakan visi Kristen melalui perkataan dan tindakan kita."

Karena itu dapat dikatakan bahwa spiritualitas adalah suatu perjuangan mengejar kesucian di bawah pimpinan Roh Kudus bersama-sama dengan seluruh orang percaya. Mengejar hidup yang dihidupi untuk memuliakan Allah, dalam persatuan dengan Kristus dan hasil dari ketaatan kepada Roh Kudus.

Sesuai dengan ajaran Paulus dalam 1Korintus 2:14-3:3, Kaum Injili sangat menekankan akan ´pola pikir rohani´ yang dikontraskan dengan manusia duniawi. Dengan menggabungkan salib dan Pentakosta -- yaitu bergantung pada kemenangan Kristus dan kehadiran Roh Kudus -- Kaum Injili menjalani hidup yang disebut oleh Watchman Nee sebagai ´the Normal Christian life´, yaitu hidup yang semakin serupa dengan Kristus yang ditandai dengan ketaatan total kepada kehendak Allah. Dengan demikian Kaum Injili selalu menekankan hidup yang berkemenangan melalui peperangan melawan kuasa setan, manusia lama, dan dunia. Dan dengan kuasa Roh Kudus mengalahkan musuh-musuh rohani orang percaya.

Kita dapat melihat bahwa inti dari spiritualitas Injili adalah suatu usaha untuk menyeimbangkan dua prinsip yang kelihatan bertentangan, yaitu: bagian dalam dari manusia (inward) dengan bagian luar (outward), dan dimensi kesucian personal dengan komunal.

Keseimbangan Antara Inward dan Outward

Spiritualitas Kaum Injili mencoba menyeimbangkan kesucian hati dan aktivitas pelayanan. Hati orang percaya harus dipenuhi dengan kasih kepada Yesus Kristus. Komitmen ini lebih dari sekedar pengetahuan tentang karya Kristus dalam sejarah atau menerima doktrin tentang Kristus. Tetapi adanya suatu hubungan pribadi yang dekat dengan Yesus yang bangkit dan hidup. Karena itu, bagian dalam dari manusia (inward) merupakan fondasi dari spiritualitas. Akibatnya, Kaum Injili lebih tertarik kepada respon pribadi seseorang kepada Yesus daripada kemampuan mereka untuk memformulasikan atau menghafalkan pernyataan doktrinal tentang Yesus.

Kaum Injili juga lebih mementingkan motivasi hati dalam mengikuti ibadah dan perjamuan kudus daripada sekedar memenuhi kewajiban itu secara eksternal. Ibadah eksternal tanpa kesadaran internal hanya merupakan ritual yang mati. Karena itu, Kaum Injili tidak datang ke gereja demi memenuhi tuntutan ibadah secara eksternal, tetapi karena dorongan hati untuk memuliakan Allah dan bersekutu bersama umat percaya. Kita termotivasi dari dalam hati dan bukan dipaksa dari luar untuk menghadiri ibadah bersama. Sikap seperti ini dinyatakan dengan suatu pujian dari dari hati, "I´m so glad, I´m a part of the family of God."

Dalam kaitan dengan ini, spiritualitas Injili juga sangat menekankan pengalaman religius dalam hidup orang percaya. Penekanan ini berasal dari Gerakan Pietisme yang sangat menekankan teologi lahir baru yang bersumber pada Injil Yohanes: ´Iman harus menjadi nyata dalam pengalaman! Iman harus mentransformasi hidup!´ Pengalaman lahir baru merupakan bagian sentral dan titik awal perjalanan hidup orang percaya bersama Tuhan, yang tidak bisa digantikan oleh apapun. Tetapi kelahiran baru ini harus diikuti dengan perjalanan spiritual pribadi yang ditandai dengan pertumbuhan dalam kesucian. Di hadapan Kaum Injili, James Houston menggambarkan spiritualitas sebagai,

´The outworking ... of the grace of God in the soul of man, beginning with conversion to conclusion in death or Christ´s second advent. It is marked by growth and maturity in a Christlike life.´[1] (Karya anugerah Allah dalam jiwa manusia, yang dimulai dengan kelahiran baru dan diakhiri dengan kematian atau kedatangan Kristus ke dua kali. Hal ini ditandai dengan pertumbuhan dan kedewasaan dalam hidup seperti Kristus.)

Penekanan pada inward, sangat sentral dalam spiritualitas Injili dan akan membentuk ketegangan kreatif ketika digabungkan dengan bagian luar (outward) dari hidup Kristen. Spiritualitas memang bersumber pertama-tama dari dalam hati, tetapi hidup Kristen juga berarti pemuridan. Dan pemuridan bersifat outward. Faktanya, spiritualitas sejati harus dinyatakan dalam perbuatan yang kelihatan. Perubahan hati harus dinyatakan dalam hidup yang nyata. Tetapi perbuatan nyata ini bukan untuk mendapatkan anugerah Allah, melainkan sebagai wujud dari kerinduan kita untuk mengikuti jejak kaki Yesus. Natur dari kehidupan spiritualitas adalah meneladani Yesus (the imitation of Christ). Pemuridan berarti mengikuti model yang telah dinyatakan dalam hidup Yesus, karena orang Kristen sejati akan merefleksikan karakter Yesus dalam hidupnya.

Pengertian ini mempengaruhi Kaum Injili dalam memandang sakramen. Kita menolak pandangan ekstrem dari sakramentalisme maupun penghapusan sakramen. Di satu sisi, kita menolak memandang sakramen sebagai suatu alat magis untuk mendapatkan anugerah Allah (sakramentalisme), tetapi di lain sisi kita juga tidak membuang sakramen. Kita memandang sakramen (Baptisan dan Perjamuan Kudus) sebagai suatu ibadah yang sangat penting untuk mengekspresikan secara fisik apa yang sudah dikerjakan Allah di dalam hati. Sakramen merupakan tanda yang kasat mata dari anugerah Allah yang tidak kasat mata.

Penekanan Kaum Injili tentang pemuridan sebagai meneladani Kristus juga mempengaruhi pengertian kita tentang kehidupan gereja. Kita menekankan mengikut Kristus sebagai suatu ibadah setiap hari dan bukan hanya ibadah hari minggu. James Houston menekankan bahwa kekristenan bukanlah suatu acara khusus, tetapi merupakan gaya hidup (life style). Sikap seperti ini mengakibatkan motivasi utama untuk menghadiri ibadah bersama adalah untuk diajar, didorong, dan dikuatkan untuk memiliki gaya hidup yang berkenan kepada Allah. Poin yang terus-menerus ditekankan pada ibadah Minggu adalah: ´Jika engkau adalah orang percaya, hidup suci harus menjadi nyata bukan hanya pada hari Minggu tetapi dari Minggu sampai Sabtu. Apa yang Anda dengar pada hari Minggu harus diterjemahkan dalam perbuatan sepanjang minggu. Jika tidak demikian, imanmu hanya merupakan iman hari Minggu.´

Dapat disimpulkan bahwa spiritualitas Injili mencoba menyeimbangkan dimensi dalam dan dimensi luar dari hidup Kristen. Kita mencoba menyeimbangkan hati yang hangat oleh kasih kepada Allah dengan hidup yang mengikuti teladan Yesus. Kita memprioritaskan dimensi dalam sebagai sumber dari dimensi luar, tetapi kita menganggap dimensi dalam mati jika tidak menghasilkan ekspresi luar yang seharusnya dalam hidup pemuridan. Lagu yang sering kita nyanyikan mengekspresikan dengan baik kedua dimensi ini, ´Trust and obey, for there´s no other way, to be happy in Jesus, but to trust and obey.´

Keseimbangan Personal dan Komunal

Kekudusan hidup di antara Kaum Injili biasanya hanya dimengerti secara individu. ´Membaca Alkitab´ berarti membaca secara pribadi; ´berdoa´ berarti berdoa secara pribadi; ´keselamatan´ berarti diselamatkan secara pribadi; ´hidup dalam Kristus´ berarti memiliki hubungan pribadi dengan Kristus. Seperti dikatakan Daniel Stevick: "Perjalanan Kristen dijalani sendiri, keselamatan dari Allah ditujukan kepada pribadi. Pertolongan-Nya selalu dalam konteks pribadi. Perjalanan diisi dengan penyucian secara pribadi dan tujuannya adalah istana yang dibangun bagi pribadi."[2]

Dalam pengertian tertentu, karakteristik yang digambarkan ini memang cukup tepat. Namun, pendekatan Kaum Injili terhadap perjalanan iman orang percaya secara pribadi tidak pernah dilihat sebagai bagian yang terisolasi, melainkan selalu dilihat dalam konteks persekutuan orang percaya. Di sinilah terdapat keseimbangan antara kehidupan personal dan komunal dari hidup spiritualitas.

Jelas kita mengerti spiritualitas Kristen sebagai sesuatu yang bersifat individu atau personal. Kelahiran baru dan pertumbuhan iman harus pertama-tama dialami secara individu. Masing-masing orang percaya harus bertanggung jawab terhadap spiritualitasnya secara pribadi. Setiap individu bertanggung jawab untuk hidup suci dan meneladani Kristus.

Penekanan pada tanggung jawab pribadi ini sejalan dengan prinsip tradisional Prostestan tentang keimamatan orang percaya dan terutama penekanannya mengenai ´kompetensi individu´. Prinsip kompetensi individu menyatakan bahwa setiap pribadi bertanggung jawab secara pribadi kepada Allah dan dengan pertolongan Roh Kudus mampu berespons secara pribadi kepada Allah. Prinsip ini memberikan implikasi penting bagi spiritualitas. Hal ini berarti bahwa tidak ada seorang pun yang dapat diperdamaikan dengan Allah oleh orang lain ataupun oleh gereja. Tidak seorang pun dapat mengklaim dirinya sebagai orang Kristen berdasarkan iman orangtua, karena melakukan ritual tertentu, lahir dalam negara tertentu, atau bahkan karena beragama tertentu. Kaum Injili biasanya mengatakan: ´Allah hanya mempunyai anak-anak, tetapi tidak mempunyai cucu.´ Karena itu para penginjil selalu menekankan: ´Keputusan untuk menerima Kristus atau menolak-Nya ada padamu; tidak ada seorang pun yang dapat menjawabnya bagimu.´ Penekanan ini sangat jelas pada lagu yang begitu terkenal: ´Manis lembut, Tuhan Yesus memanggil. Memanggil saya dan kau ... pulang, pulang, kau yang berlelah pulang.´

Karena spiritualitas adalah persoalan pribadi, Kaum Injili sangat menekankan disiplin rohani sebagai sarana untuk pertumbuhan rohani. Disiplin dalam membaca Alkitab setiap hari dengan apa yang disebut sebagai ´saat teduh´; bersaksi secara pribadi; dan juga hal yang tidak kalah pentingnya adalah menghadiri kebaktian secara rutin.

Penekanan pada aspek personal ini juga mempengaruhi strategi dalam misi Kaum Injili. Dalam abad-abad permulaan kekristenan mulai tersebar di luar Kerajaan Romawi ke daerah-daerah yang masih belum tersentuh peradaban. Para misionaris biasanya memfokuskan pemberitaan Injil kepada para pemimpin suku atau raja, sehingga ketika pemimpin ini dibaptis, seluruh rakyatnya juga ikut dibaptis. Kaum Injili sangat kuatir bahwa strategi ini hanya menghasilkan kekristenan yang bersifat pura-pura, dangkal dan bahkan bisa bersifat sinkretistik. Meskipun tidak menolak peran penting yang dimiliki para pemimpin, Kaum Injili sangat menekankan Injil yang diberitakan kepada setiap individu. Karena kita mengerti bahwa spiritualitas adalah tugas dari setiap pribadi.

Meskipun sangat menekankan dimensi personal bagi spiritualitas orang Kristen, Kaum Injili juga menyeimbangkannya dengan dimensi komunal atau korporat. Tidak ada seorang pun dapat hidup dan bertumbuh dalam mengikuti Yesus dalam isolasi. Tetapi setiap kita harus bersekutu supaya dapat bertumbuh secara dewasa. Analogi yang sering digunakan adalah bara api. Bara api akan saling membakar ketika dikumpulkan bersama. Tetapi ketika satu bara api dikeluarkan dari kelompoknya, dia akan segera padam dan menjadi dingin. Begitu juga hidup Kristen: orang Kristen yang menarik diri dari komunitas orang percaya akan sulit untuk bertumbuh dan cepat menjadi dingin. Tetapi ketika bersekutu bersama, orang Kristen akan saling mendukung dan dengan demikian akan terus hidup dan berapi-api bagi Tuhan.

Jadi dalam pandangan Kaum Injili, meskipun setiap orang bertanggung jawab atas pertumbuhan imannya sendiri, setiap orang juga bergantung kepada kelompok orang percaya. Setiap orang percaya membutuhkan dorongan dan nasihat dari saudara-saudara seiman lainnya.

Pandangan ini memberikan pengertian yang penting mengenai gereja. Jemaat gereja lokal harus merupakan suatu komunitas yang saling menasihatkan, mendukung, dan mengajar satu dengan yang lainnya. Lebih jauh, setiap anggota dari persekutuan orang percaya harus terlibat dalam tugas-tugas yang dikerjakan bersama. Kita terpanggil bukan saja untuk beribadah bersama, tetapi juga untuk masuk menjadi bagian dari kehidupan keseharian anggota yang lain. Dengan demikian, setiap orang berpartisipasi dan berperan dalam kehidupan komunitas Kristen. Inilah esensi dari jemaat lokal dalam pandangan Injili.

Prinsip bahwa setiap orang percaya perlu bersekutu dengan yang lainnya menghasilkan suatu penekanan klasik Injili terhadap kehadiran dalam kebaktian. Kita harus hadir dalam kegiatan-kegiatan gerejawi secara bersama. Tetapi tujuan penekanan ini berbeda dengan gereja-gereja liturgikal. Kita tidak melihat kehadiran dalam kegiatan gereja sebagai sarana mendapat anugerah, tetapi dalam perkumpulan orang percaya inilah pengajaran dan kekuatan dinyatakan.

Pengertian di atas memberikan dampak terhadap apa yang dianggap paling penting dalam ibadah Minggu. Roma Katolik menekankan perjamuan kudus dalam ibadah, sedangkan gereja-gereja Injili memfokuskan ibadah Minggu pada pemberitaan Firman Tuhan. Di atas segalanya, kita datang untuk mendengar kotbah, yang kita pandang sebagai sarana utama manusia bertemu dengan Allah. Kita mendengarkan kotbah dengan kerinduan untuk mendengar ´Allah sedang berkata-kata kepada saya secara pribadi´. Sebagai akibatnya, kita mendapat peringatan, kekuatan, dan bahkan arahan hidup melalui kehadiran kita dalam ibadah bersama. Kita berkumpul untuk mendengar Firman (Word), supaya kita bisa tersebar sebagai umat Allah di tengah-tengah dunia (world).

Tetapi akhir-akhir ini Kaum Injili memiliki pengertian yang lebih dalam lagi mengenai kepentingan ibadah bersama sebagai elemen yang sentral di samping kotbah. Salah satu pemimpin dalam hal ini adalah Robert Webber yang mengatakan:

´Worship is the rehearsal of our relationship to God. It is at that point through the preaching of the Word and through the administration of the sacrament, that God makes himself uniquely present in the body of Christ. Because worship is not entertainment, there must be a restoration of the incarnational understanding of worship, that is, in worship the divine meets the human. God speaks to us in his Word. He comes to us in the sacrament. We respond in faith and go out to act on it!´[3] (Ibadah adalah gladi-bersih dari hubungan kita dengan Allah. Pada titik itulah melalui pemberitaan Firman dan pelaksanaan sakramen, Allah hadir secara khusus dalam tubuh Kristus. Karena ibadah bukan merupakan hiburan, harus ada pengertian baru dari ibadah yang bersifat inkarnasi, yaitu Allah bertemu dengan manusia dalam ibadah. Allah berbicara kepada kita melalui Firman. Dia datang kepada kita dalam sakramen. Kita berespon dengan iman dan keluar untuk hidup sesuai dengan itu!)

Seperti dikatakan Webber, penekanan pada ibadah bersama bukan berarti meniadakan sentralitas kotbah dalam ibadah Minggu. Tetapi hal ini lebih merupakan suatu usaha untuk kembali mendapat keseimbangan yang lebih baik demi menjalankan tugas gereja dengan lebih efektif.

Di tengah-tengah penekanan Injili untuk ´menemukan pelayanan dalam gereja´, kita mendiskusikan interaksi yang penting antara dimensi personal dan korporal dari iman Kristen. Kita mendorong setiap individu untuk ´menemukan pelayanan´ dalam konteks gereja lokal. Dan hal ini jelas berkaitan dengan dimensi korporal dari spiritualitas Kristen. Sewaktu kita terlibat pelayanan dalam komunitas Kristen, kita berpartisipasi dalam tugas mendorong pertumbuhan orang lain dan juga secara tidak langsung kepada diri kita sendiri. Keterlibatan dalam hidup orang lain merupakan kesempatan untuk mendorong, menasihati, dan memenuhi kebutuhan mereka. Tetapi tujuannya lebih dari itu: supaya mereka yang menerima pelayanan bisa bertumbuh dewasa secara rohani dan kemudian akhirnya ikut melayani anggota lain dalam tubuh Kristus.

Pandangan ini berimplikasi pada eklesiologi. Bagi kita, gereja adalah persekutuan orang percaya, persekutuan murid Kristus, komunitas orang- orang yang dengan serius bertanggung jawab secara pribadi bagi spiritualitasnya dan pada saat yang sama terjun dalam pelayanan untuk mendorong pertumbuhan rohani secara korporal. Kaum Injili yang bertanggung jawab bernyanyi bersama: ´Kami akan berjalan bersama, kami akan berjalan bergandengan tangan.´ Karena jalan spiritualitas adalah jalan yang mengikat setiap individu bersama-sama. (BS)

[1] James M. Houston, "Spirituality" in The Evangelical Dictionary of Theology, ed. Walter A. Elwell (Grand Rapids, Michigan: Baker Book House, 1984),1047.
[2] Daniel B. Stevick, Beyond Fundamentalism (Richmond, Va: John Knox Press, 1964),127.
[3] Robert Webber, The Majestic Tapestry (Nashville: Thomas Nelson,1986),129.
Sumber: 

Bahan di atas dikutip dari sumber:

Judul Buku: Momentum, Edisi 44, Triwulan III/Oktober 2000
Judul Artikel: Spiritualitas Injili: Suatu Tinjuan Ulang
Penulis: Stanley J. Grenz
Penerjemah : -
Penerbit: Lembaga Reformed Injili Indonesia
Halaman: 29-36

Komentar