Tentang KamiArtikel TerbaruUpdate Terakhir |
Klik x untuk menutup hasil pencarianCari di situs SOTeRI Kitab yang Terbuka
Editorial:
Dear e-Reformed Netters, Salam sejahtera, Artikel yang ingin saya bagikan kali ini mungkin agak lain dari biasanya. Tidak ada analisa teologis, yang ada adalah pengamatan sederhana (bahkan terkesan lambat) tentang hidup Kristen yang jujur. Sangat penting bagi kita untuk introspeksi ke dalam diri sendiri, khususnya para pelayan Tuhan yang aktif melayani Tuhan, betulkah hidup bak "Kitab yang Terbuka" itu menjadi salah satu ciri khas hidup Kristen kita, sebagaimana hal itu menjadi Trademark Tuhan? Artikel ini diambil dari buku "Trademark Tuhan" karangan George Otis Jr. Untuk menolong kita mengerti seluruh buku itu, maka berikut ini saya kutipkan Prakata bukunya: "Saya sering mengajukan pertanyaan kepada para pemirsa Kristen, apa yang perlu dibawa oleh seseorang, jika ia ingin memancing perhatian kawanan Winnie the Pooh (beruang kartun dari Walt Disney - red) yang lucu. Jawab mereka dengan cepat dan pasti: "Madu -- dan bila perlu dua atau tiga panci!". Sayangnya ketika para pendengar yang sama ditanya apa yang diperlukan untuk menarik hadirat Allah, jawaban mereka jauh dari mantap. Barangkali doa? Mungkin penyembahan? Atau kekudusan? Jawaban- jawaban yang tidak mengandung kepastian tersebut menunjukkan bahwa kita sesungguhnya lebih mengenal tokoh beruang kartun daripada karakter Bapa kita yang di sorga. Buku ini berusaha untuk mengubah ketidak-akraban kita terhadap sifat ilahi, dengan menyoroti tujuh karakteristik (atau Trademark) Tuhan yang menonjol -- otoritas, kejujuran, kerendahan hati, kasih, kreativitas, produktivitas, dan kesabaran. Karakter-karakter ini tidak hanya menunjukkan kepada kita seperti apa Bapa itu, tetapi juga apa yang akan terjadi terhadap diri kita jika kita mengizinkan hadirat-Nya meresap dalam hidup dan pelayanan kita." Nah, Anda tertarik untuk membaca buku ini? Baca terlebih dulu artikel di bawah ini. In Christ,
Edisi:
048/II/2004
Isi:
Kitab yang Terbuka"Satu-satunya cara supaya Anda dapat benar-benar mengendalikan perilaku Anda adalah dengan terus menerus bersikap jujur." Diskusi mengenai kejujuran terjadi jutaan kali dalam sehari di ribuan tempat yang berbeda. Ibu-ibu berbincang dengan putrinya mengenai teman- teman cowoknya yang baru; pemilik toko berbincang dengan pegawainya mengenai pelanggannya yang tidak jujur; para pria setengah baya berbincang dengan tukang cukur mengenai tokoh-tokoh politik. Kebanyakan dari perbincangan ini, khususnya yang menyangkut tokoh publik atau situasi yang berkembang, diselingi dengan anekdot dan lelucon sarkastis. Dua di antara peribahasa yang sering digunakan adalah "Anda tidak selalu dapat menilai sebuah buku hanya dari sampulnya" dan "Apa yang Anda lihat itulah yang Anda dapat". Yang pertama bertujuan untuk mengingatkan para pendengar dengan hikmat agar tidak terburu-buru memberikan suatu penilaian sedangkan yang kedua menegaskan bahwa penampilan adalah kenyataan -- kesan pertama merefleksikan dasar kebenaran. Yang pertama tadi menyamaratakan permasalahan dan objektif sedangkan yang kedua hampir sepenuhnya tergantung dari kejujuran yang menyatakannya. Keterangan-keterangan yang autentik sungguh membantu, sehingga seringkali kita berusaha keras untuk mendapatkannya. Para wartawan memeriksa dengan teliti pidato-pidato pembukaan, dan catatan-catatan pemungutan suara para kandidat politik, para majikan mewawancarai banyak referensi sebelum menggaji calon karyawan-karyawatinya; para wanita muda berusaha mengorek keterangan sebanyak mungkin dari cowok yang baru dikenalnya (terutama mengenai para mantan pacar). Sayangnya, sekalipun kita telah berhasil mengorek banyak keterangan, tetapi keterangan tersebut jarang yang memberikan kita suatu kepastian. Kebanyakan kita telah belajar dari pengalaman pahit bahwa apa yang kita lihat hampir tidak pernah kita dapatkan. Untuk lebih amannya kita mengambil pendekatan yang tidak terburu-buru dan menangguhkan penilaian. Salah satu kecenderungan manusia yang kurang menarik ialah adanya agenda-agenda tersembunyi. Sedemikian terampilnya kita dengan permainan ini, sehingga kita kadang dijuluki tukang sulap moral. Akan tetapi, inilah susahnya: Apa yang mampu kita lakukan terhadap orang lain, mereka juga mampu melakukannya terhadap kita. Memang inilah yang terus menerus menjadi kekhawatiran kita. Dalam percintaan yang sedang bersemi, dalam negosiasi bisnis, dalam wawancara media massa, dalam kemitraan pelayanan, otak kita selalu was-was: Bagaimana jika orang ini mengkhianati saya? Kita hampir terus menerus bersikap defensif. "Ada beberapa hal yang menyenangkan di dalam hidup ini," Malcolm Muggeridge menulis di dalam bukunya Chronicle of Waste Time, "mungkinkah persahabatan didasarkan atas pikiran yang benar-benar jujur dan transparan". Pertanyaannya adalah, di mana kita dapat menemukan pikiran-pikiran yang demikian? Jika semua itu bukanlah hal- hal yang asing di masyarakat kita, pastilah merupakan hal yang langka. Perjalanan kita menyelusuri pikiran yang benar-benar jujur harus dimulai, seperti yang berlaku untuk semua kebajikan mutlak, dari Allah sendiri. Hanya dengan kita datang ke hadirat-Nya tanpa syarat, barulah kita mampu menanggalkan semua hikmat manusia. Terbebas dari segala pertimbangan yang membebani pikiran kita, dan mengarahkan kembali waktu serta tenaga kita untuk menggali karakter ilahi. Trademark Tuhan yang kedua adalah apa yang saya sebut dengan "kitab yang terbuka", suatu pernyataan kejujuran dan integritas yang mutlak. Setiap penelitian terhadap cara-cara-Nya meyakinkan kita bahwa apa yang kita lihat sesungguhnya adalah apa yang kita dapatkan. Namun, juga sebaliknya dengan apa yang tidak kita lihat. Sebab kedalaman karakter-Nya tidak terukur -- bukannya seperti jurang maut yang gelap tetapi sebagai sumber kemuliaan yang tiada habis-habisnya. Meskipun pencerahan-pencerahan baru muncul setiap hari, tidak ada yang tidak konsisten dengan apa yang telah kita ketahui mengenai hal-hal pokok dalam Pribadi Allah. Wahyu-wahyu tersebut merupakan ekstrapolasi (perluasan data di luar data yang tersedia, tetapi masih mengikuti kecenderungan pola data yang tersedia - Red.) bukan penemuan-penemuan baru. Pewahyuan-pewahyuan tersebut memberi kita alasan untuk meneliti perkara-perkara ilahi yang belum terungkap bukannya menjadi takut terhadap hal-hal tersebut. Allah itu jujur, tetapi Ia tidak seperti sindiran yang ditulis oleh seorang pujangga abad ke 17, sebuah "bantal duduk yang empuk dan enak yang di atasnya para bajingan beristirahat dan menjadi gemuk." (Pelajarilah Pengkhotbah 8:11 dan Zefanya 1:12 mengenai bahaya dari penundaan hukuman.) Sebaliknya, sebagaimana ditulis oleh C.S. Lewis di dalam bukunya The Lion, the Witch dan the Wardrobe, "[Ia] bagaikan seekor singa -- Singa, Singa yang besar." "Ooh!" kata Susan, "Saya kira ia seorang manusia. Apakah ia - benar-benar aman? Saya merasa agak gugup kalau bertemu seekor singa." "Pasti Anda akan senang melihatnya, sayang, dan tidak salah," kata Nyonya Beaver, "jika ada orang-orang yang berani tampil di hadapan Aslan tanpa gemetaran kakinya, mereka itu pasti lebih berani dari orang kebanyakan atau orang bodoh. "Jadi, ia tidak aman?" kata Lucy. "Aman?" kata Tuan Beaver. "Apakah Anda tidak mendengar apa yang dikatakan Nyonya Beaver kepada Anda? Siapa yang bilang aman? Tentu saja tidak aman. Akan tetapi, Ia baik. Saya beritahukan kepada Anda, Ia adalah Raja." "Saya rindu melihatnya," kata Peter, "walaupun saya merasa takut ..." Di dalam buku-bukunya yang lain. Lewis menyebut reaksi ini sebagai "rasa hormat yang kudus". Hadirat Allah yang sebenarnya merupakan perasaan yang tidak terdefinisikan, menakutkan sekaligus membanggakan suatu kemuliaan yang tidak terlukiskan: ... Orang-orang Yahudilah yang sepenuhnya mampu mengidentifikasikan dengan jelas. Hadirat-Nya yang sangat dahsyat dan menakutkan di puncak gunung yang gelap, dengan awan dan guntur yang bergema "Tuhan yang adil" yang "mengasihi keadilan" ... (Mazmur 1:7). Ada seorang yang lahir di antara orang Yahudi ini yang mengklaim sebagai, atau menjadi anak dari, atau menjadi "satu dengan," suatu Pribadi yang sangat dahsyat dan menakutkan di alam ini yang memberi hukum moral." Melihat di Balik Sampul Benar jika dikatakan bahwa sebuah buku yang bagus berisi kekayaan yang lebih banyak daripada bank yang terkenal. Kekayaannya yang berlimpah dapat mencakup pengetahuan yang teruji, inspirasi-inspirasi baru dan kemampuan yang mengagumkan yang dapat mengantar kita ke alam yang nyata maupun alam khayal. Namun, sebelum kita dapat menambang kekayaan ini, pertama-tama kita harus menentukan apakah isi buku itu benar- benar baik. Sampul, sebagaimana pepatah kuno mengingatkan, hanya sedikit membantu. Bentuknya yang menarik dan kata-kata sambutannya yang mantap akan mendorong kita untuk menelaah lebih jauh buku tersebut, atau bahkan membelinya, tetapi sampul tersebut tidak dapat menjawab mengenai nilai intrinsiknya. Sampul dirancang untuk menarik perhatian kita, tidak untuk memberikan kita suatu analisis yang objektif mengenai bab-bab yang ada di dalamnya. Tidak mengherankan, sampul buku yang bagus kadang dapat mengecoh kita karena subjek pembahasannya ternyata tidak sesuai dengan apa yang kita cari. Sampul juga dipakai untuk menutupi keterbatasan atau bobotnya yang di bawah standar. Satu-satunya cara agar kita tidak terkecoh (dan timbul kekecewaan lagi) adalah buka sampulnya dan membaca semua huruf cetaknya yang halus. Hal yang seperti ini dapat kita lakukan dengan berjilid-jilid buku, tetapi tidak dengan manusia. Manusia lebih rumit dan seringkali segan membuka pintu masuk bagi orang luar untuk mengetahui keadaan diri mereka yang sebenarnya. Banyak yang memiliki kelemahan-kelemahan atau dosa-dosa tersembunyi. Yang lainnya cenderung mempertahankan suatu persepsi publik yang palsu (dan seringkali membumbung) mengenai karakter, kemampuan, prestasi atau tujuan-tujuan mereka. Sedemikian meresapnya kecenderungan membungkus diri dan "bersandiwara" sehingga orang jadi bertanya-tanya apakah ada pelayanan yang benar- benar dapat mengetahuinya. Beberapa orang, seperti pujangga abad 18 Susanna Centlivre merasa pesimis. "Dia hanya si jujur yang tidak dapat kutemukan," ia menulisnya dalam buku The Artifice. Sementara penilaian ini dihasilkan karena banyaknya perkataan-perkataan sinis, tanggapan tersebut dapat dipahami mengingat pola perilaku di antara para pemimpin Kristen dan organisasi-organisasinya yang semakin hari semakin menggelisahkan. Banyak "hamba Tuhan" yang bersikap manis dan terbuka sampai ada orang yang berani melontarkan pertanyaan-pertanyaan "salah", seperti: "Dari mana Anda memperoleh sumber mengenai kisah tersebut?" atau "Bagaimana Anda mengimbangi antara pelayanan dan kehidupan berkeluarga?" atau "Apakah laporan keuangan Anda sudah diperiksa oleh auditor luar?" Ketika perkataan ini meluncur dari mulut salah seorang jemaat atau pengerja gereja, segera sikap mereka menjadi gelap bagaikan hujan badai yang disertai kilat dan petir. Mereka ingin kita hanya melihat kepada sampul mereka, jangan membukanya. Barang siapa yang mengklaim reputasinya dapat dipertanggungjawabkan, tetapi secara diam-diam meremehkan tanggung jawab tersebut, umumnya memiliki sesuatu yang disembunyikan (atau paling tidak mempunyai keinginan untuk melakukan hal tersebut). Saya teringat kepada tiga orang -- diantaranya adalah seorang penginjil televisi, seorang pemusik Kristen terkenal, dan seorang pembicara radio terkenal -- yang akhir-akhir ini berjuang keras untuk membantah penyelidikan mengenai gaya hidup mereka yang bermewah-mewah. Saya mengenal seorang gembala yang masih memimpin suatu gereja besar di Northwest yang secara tidak sengaja tertangkap dalam foto, ketika baru keluar dari suatu bioskop XXX khusus untuk orang dewasa. Bukan tujuan saya untuk mempersalahkan orang-orang tersebut, tetapi hal ini mengingatkan kita bahwa isi suatu buku tidak selalu sebanding dengan sampulnya. Mereka seperti wanita yang merajah dandanannya, sehingga tetap kelihatan sempurna. Selama orang-orang tetap melihatnya dari kejauhan. Dan, selama ia tidak menjerit, tidak seorang pun yang tahu. Seorang pengusaha situs pornografi yang sudah bertobat, Steve Lane, pernah dipancing oleh pemirsa di ruang tanya jawab suatu acara Kristen. "Steve, apakah Anda mempunyai catatan tentang berapa dari mereka yang menjadi pelanggan situs tersebut," dengan menyesal Steve mengatakan "Kira-kira 5 dari 10." Lane percaya bahwa pornografi merupakan suatu rahasia kecil yang terdapat pada banyak pemimpin Kristen, terutama pria. "Saya mengenal gereja-gereja di mana semuanya kelihatan baik: penyembahan, persepuluhan; penutup kursinya yang indah dan panji-panjinya yang megah -- tetapi tidak seorang pun di gereja tersebut yang mengetahui bahwa gembala mereka sudah diperbudak oleh pornografi selama 20 tahun ..." Kejatuhan Lane sendiri ke dalam hawa nafsu dan kemarahan berawal dari masa kanak-kanaknya, ketika itu ibunya berselingkuh dengan sang gembala, yang kemudian dinikahinya. Tidak seorang pun yang mengetahui bahwa si pengkhotbah "api dan belerang" ini sangat ketagihan pornografi. "Dari luar kelihatannya seperti rumah tangga Kristen yang sempurna," kenang Lane, "tetapi di dalamnya kehidupan saya seperti di neraka. " Hamba yang saleh tidak boleh bermuka dua. Seperti yang dikatakan oleh Yesus kepada murid-murid-Nya, "(Haruslah) bagi seorang murid menjadi sama seperti gurunya dan bagi seorang hamba menjadi sama seperti tuannya" (Matius 10:25). Hidup kita seharusnya transparan sehingga kita dapat berkata seperti Kristus, "Barangsiapa telah melihat Aku, ia telah melihat Bapa" (Yohanes 4:9). Siapa pun yang memeriksa catatan sejarah Anda tidak boleh ada yang menemukan sampul yang lain atau bab yang hilang. Bila kita tidak menyembunyikan sesuatu, kita tidak perlu takut akan ada hal-hal yang terbongkar ketika ada yang menyelidiki kehidupan pribadi kita (lihat Lukas 2:2). Ciri-ciri moral yang transparan adalah, kita dapat berkata, "Penguasa dunia ini boleh datang (tetapi) ia tidak akan menemukan apa-apa atas diriku." (Yohanes 4:30) Para misionaris dan lembaga-lembaga yang berasal dari Tuhan, tidak akan pernah menolak penyelidikan terhadap karakter mereka. Memang, keterbukaan adalah salah satu dari trademark utama mereka. Mereka mengundang dunia untuk melihat dari dekat, karena mereka ingin melihat, dan memeluk kejujuran serta integritas yang sejati. Itulah sebabnya Rasul Paulus berani berkata, "(Teladanilah aku), sama seperti aku juga [meneladani] Kristus" (1Korintus 11:1; lihat juga Filipi 3:17; 4:9). Seperti yang dijelaskannya kepada jemaat di Korintus, Demikianlah pula, ketika aku datang kepadamu, saudara-saudara, aku tidak datang dengan kata-kata yang indah atau dengan hikmat untuk menyampaikan kesaksian Allah kepada kamu. ... Baik perkataanku maupun pemberitaanku tidak kusampaikan dengan kata-kata hikmat yang meyakinkan, tetapi dengan keyakinan akan kekuatan Roh, supaya iman kamu jangan bergantung pada hikmat manusia, tetapi pada kekuatan Allah. (1 Korintus 2:1, 4-5) Pendekatan yang terbuka dan rendah hati ini, disokong oleh Ann Kiemel Anderson, salah satu komunikator Kristen yang paling terkenal. Dalam bukunya yang segar dan jujur Seduced by Success, Anderson mengakui bahwa perspektifnya yang baru, adalah hasil dari suatu pernikahan yang hampir kandas, dan suatu ketergantungan diam-diam kepada pil penahan sakit. "Saya harus belajar bahwa sebagai seorang penulis buku- buku terlaris yang selalu dikelilingi dengan sambutan sorak sorai, tepuk tangan sambil berdiri tidak membuat diri seseorang menjadi utuh (sempurna)," katanya. "Allahlah yang harus melepaskan saya dari diri saya sendiri." Jika Ya, Katakan Ya Orang-orang Kristen yang ingin mempertahankan tujuan dan sumber pendapatan mereka sekaligus, seringkali terjebak ke dalam tindakan "melakukan setengah kebenaran" atau agenda-agenda tersembunyi dengan cara memukul semak-belukar yang padat. Hampir tidak ada di hutan modern ini yang terlihat apa adanya. Mereka yang memelihara bayang-bayangnya memanifestasikan khayalan akan kebesaran dan berpura-pura peduli. Mereka memutar kepalsuan hingga dalam dan merayakan keberhasilan yang sementara. Rela kehilangan seluruh hikmat, ketulusan, komitmen dan prestasi yang sejati. Sebagaimana yang ditulis oleh William Bennet dalam bukunya The Book of Virtues, "Ketidakjujuran selalu mencari tempat bernaung, sampul, atau tempat persembunyian. Itu adalah kecondongan hidup di dalam kegelapan." orang-orang yang tidak jujur adalah orang-orang yang tinggal di hutan. Mereka memerlukan bayangan-bayangan dan lampu warna- warni untuk menciptakan khayalan. Mereka "mempercayai dusta", Muggeridge menulis di dalam bukunya The Green Stick, "Bukan karena mereka diberi penjelasan yang masuk akal, tetapi karena mereka ingin mempercayainya." Sebaliknya, orang-orang yang jujur dan terbuka, menghindari jalan penyesatan (penipuan) apa pun bentuknya. Mereka menolak untuk melakukan manipulasi, tindakan yang membesar-besarkan atau bermain dengan agenda-agenda yang tersembunyi. Kedudukan mereka tidak bergeming. Komitmen-komitmen mereka tidak ditulis dengan tinta yang tidak kelihatan. Mereka sangat memerhatikan nasihat Tuhan Yesus, "Jika ya, hendaklah kamu katakan: ya, jika tidak, hendaklah kamu katakan: tidak" (Matius 5:37). Sayangnya, tulis Tozer, "Banyak dari guru dan pengkhotbah kita yang terkenal mengembangkan suatu teknik berbicara dengan suara perut agar suara mereka kelihatan lebih berwibawa dan seolah datang dari berbagai penjuru angin." John White menambahkan bahwa hal yang sama juga terjadi di kalangan eksekutif pelayanan; khususnya ketika meminta bantuan keuangan mereka seringkali menggunakan kata-kata sandi dan berputar-putar. Untuk memastikan maksud mereka, sering kali kita terpaksa mengartikan sendiri apa yang tersirat. Perkataan iman (telah) mendapat suatu pengertian teknis dan (sekarang) merupakan suatu tanda pengenal rohani yang terhormat. Dewasa ini kita hampir tidak pernah tersenyum lagi mendengar ketidak-konsistenan dari suatu program radio Kristen yang menutup siarannya dengan kata-kata, "Sebagaimana Anda ketahui usaha ini berjalan karena iman. Kami hanya berharap kepada Allah untuk memenuhi segala kebutuhan kami, dan juga kepada Anda sebagai umat-Nya yang memberi dengan murah hati untuk mendukung usaha ini yang akan menjangkau jutaan orang miskin dengan Injil. Program kami memerlukan biaya $50.000,- per minggu. Tulislah untuk memberikan dorongan kepada kami. Surat Anda sangat berarti bagi kami ... Kami akan mengirimkan Anda secara gratis sebuah buklet yang berjudul ...." Dan, seterusnya. Orang-orang Kristen yang dewasa paham bahwa Allah mempunyai andil dalam keberhasilan setiap pesan dan misi yang telah Ia tetapkan, Ia dapat diandalkan untuk mempersiapkan jalan bagi hamba-hamba-Nya. Ia ahli dalam melembutkan hati dari mereka yang terhilang dan menggerakkan hati para donatur. Para pelayan tidak perlu berkeliling memukul semak-belukar -- dan mereka yang melakukan hal tersebut menunjukkan kurangnya keyakinannya dalam panggilan Allah atau menunjukkan adanya suatu agenda yang tersembunyi. Fakta-Fakta Ketidakjujuran Para pendusta senang bergabung dengan para pembual. Keengganan mereka untuk berpegang teguh pada kebenaran membuatnya mudah bergaul dengan orang-orang yang suka membual. Sekali fakta-fakta ketidakjujuran ditolerir, ia akan meningkat menjadi penyesatan yang selektif dan pada gilirannya mereka akan menjadi terbiasa "mengubah kenyataan". Para pemimpin dan pengumpul dana Kristen berusaha keras untuk menyokong kampanye-kampanye besar yang terus terang, terlalu berat pencobaannya di bidang ini. Setelah mengumbar ,"janji-janji surga" kepada para pendukungnya, mereka harus memilih salah satu, yaitu memberikan yang besar sesuai dengan janji-janji mereka atau kehilangan kesempatan memperoleh uang banyak tanpa harus bersusah payah. Masalahnya adalah kebutuhan-kebutuhan dunia yang nyata ini terlalu besar dan terlalu rumit untuk ditanggulangi oleh satu organisasi saja. Jalan keluarnya (yang tidak jujur) ialah mereka memperkecil tantangan yang seharusnya dihadapi; dengan cara membuat program yang bertema umum-umun saja, agar tidak dapat diklaim, misalnya: Afrika bagi Kristus, Kampanye Untuk Memenangkan Jutaan Jiwa" dengan data statistik yang meragukan (biasanya hanya berdasarkan perkiraan kehadiran KKR atau pendengar siaran yang potensial). Kedua muslihat inilah yang paling sering digunakan untuk mencapai batas maksimal penghasilan mereka. Karena terus terang sulit untuk menguji perkiraan dan efektivitas mereka yang sebenarnya. Realita yang cenderung dibesar-besarkan ini, lebih terkesan lagi bila menyangkut data-data dari luar negeri. "Sungguh," Muggeridge menulis di dalam otobiografinya, "orang-orang terlanjur kagum terhadap berita yang direkayasa dari suatu tempat pengumpul berita, padahal sesungguhnya berbeda dengan kebenaran berita yang dikirim." Ditambah lagi naluri kita yang umumnya cenderung mudah mempercayai hal-hal berbau misi. Memang, diperlukan waktu dan biaya yang besar untuk mengecek ulang fakta-fakta di tempat yang jauh, itu sebabnya para operator yang tidak jujur sangat menyukai program-program internasional. John White menceritakan secara panjang lebar contoh sebuah organisasi Kristen yang melatih para pekerjanya untuk menetapkan kuota penginjilan dan kemudian mengemas kesaksian-kesaksian dari para petobat baru sebagai "kisah-kisah perang" untuk dipublikasikan. Namun, menurut salah seorang pekerja, "Sementara tintanya belum kering di kertas yang dicetak, kebanyakan dari petobat baru tersebut telah meninggalkan 'iman' mereka." Hal ini terjadi terus menerus. Sebagaimana disebutkan oleh White, informasi yang ada di dalam berita doa tersebut menyesatkan. "Kisah-kisah yang dituliskan dalam berita bukanlah kisah-kisah yang diceritakan ketika berita tersebut dibaca." Kisah ini, dan kisah-kisah lainnya yang seperti ini mendorong kita untuk bertanya beberapa pertanyaan penting. Pertama dan yang paling jelas, Apakah kemajuan organisasi ini merupakan prioritas yang lebih tinggi dari pada perluasan Kerajaan Allah? Apakah hal ini membuat para eksekutif pelayanan berkompromi dengan standar kebenaran yang alkitabiah? Apakah ini merupakan "keserakahan" yang dimaksud oleh Rasul Petrus, yang akan menyebabkan beberapa pemimpin Kristen berusaha "mencari untung dari kamu dengan cerita-cerita isapan jempol mereka" (2 Petrus 2:3)? Bisikan Roh Kudus versus Rayuan Manusia Banyak orang percaya merasa sulit untuk membedakan antara bisikan Roh Kudus dengan rayuan manusia. Kedua pendekatan tersebut merangsang pikiran dan perasaan. Keduanya mengajak kita untuk mendukung alasan- alasan yang layak dan bisa dilihat. Namun, ada satu perbedaan yang besar. Bisikan Roh Kudus tidak membuat risih, lembut, sopan dan jujur. Sedangkan rayuan manusia cenderung vulgar; melihat orang sebagai objek untuk mendapatkan keuntungan. Yang satu berorientasi kepada hubungan sedangkan yang lain berorientasi kepada program. Harus diakui bahwa dalam banyak kasus rayuan manusia ternyata berhasil. Kenyataannya adalah, seluruh industri telah tumbuh dan berkembang dengan mempraktikkan hal tersebut. Para penjajak pendapat menemukan apa yang dipikirkan atau dirasakan oleh orang-orang; para penerbit menyampaikan hasil-hasilnya ke dalam desktop kita; dan para konsultan serta pengajar di seminar mengajar kita bagaimana mendapatkan keuntungan dari apa yang kita ketahui. Karena banyaknya orang Kristen yang menerapkan pendekatan perhitungan ini ke dalam pelayanan mereka, mungkin sudah waktunya untuk kita bertanya-tanya apakah kita ini anak-anak Allah atau anak-anak ilmu pengetahuan. White mengkhawatirkan bahwa metode-metode modern, kalau kita tidak berhati-hati menyeleksinya dapat merongrong iman di dalam Roh Kudus. Walaupun iklan dan rayuan secara intrinsik bukanlah kejahatan, tetapi hal itu dapat menimbulkan kerugian yang besar "bila motivasinya adalah keserakahan atau eksploitasi (tidak memperlakukan umat manusia sebagai manusia, mengabaikan martabat mereka dan menganggap mereka sebagai objek untuk manipulasi)". Mampukah kita membuat pernyataan seperti Paulus bahwa "kami menolak segala perbuatan tersembunyi yang memalukan"? Dapatkah kita berkata bahwa "kami tidak berlaku licik dan tidak memalsukan firman Allah"? Apakah kita bersedia untuk mempraktekkan kebenaran apa adanya untuk "menyerahkan diri kita untuk dipertimbangkan oleh semua orang di hadapan Allah" (2 Korintus 4:2)? Meskipun secara psikologis kadang-kadang manipulasi membuahkan hasil-hasil jangka pendek, hal tersebut tidak sebanding dengan keyakinan yang datang dari Roh Kudus. Orang-orang Yerusalem tidak memerlukan panggilan ke depan (altar call) pada akhir khotbah Petrus di hari Pentakosta. Tidak ada suara serak-serak basah yang mengatakan "Raihlah waktu yang istimewa ini". Tidak ada pemain organ yang memainkan musik lembut "Kuserahkan". Sebaliknya, Alkitab menceriterakan kepada kita bahwa orang banyak tersebut "hatinya sangat terharu" dan mereka langsung bertanya kepada Petrus dan rasul-rasul yang lain: "Apakah yang harus kami perbuat, saudara-saudara?" (Kisah 2:37). Setelah kejadian itu, gereja bertambah 3.000 jiwa. "Setiap orang" kata Alkitab "dipenuhi rasa kagum" (ayat 43). Ini bukan untuk meragukan metode panggilan ke depan (altar call). Namun, untuk mengingatkan bahwa adakalanya kita harus membiarkan sang Mempelai Pria melayani kita langsung. Tata cara yang dilakukan terhadap seseorang yang hendak dilamar mencerminkan maksud dari pelamarnya -- baik pria maupun wanita. Jika tujuannya adalah anjungan satu malam (sumbangan yang didasarkan atas perhitungan untung rugi, suatu sumbangan yang impulsif), maka manipulasi yang akan menang. Akan tetapi, jika tujuan akhirnya adalah menghasilkan (seorang murid yang kuat, mitra jangka panjang), maka kita perlu merayu hati kekasih kita. Banyak dari kita tidak jujur di hadapan manusia karena kita tidak jujur di hadapan Allah. Kita membawa ambisi-ambisi pribadi kita dan dosa-dosa yang tersembunyi -- "apa yang tersembunyi dalam kegelapan" yang pada suatu hari akan diungkapkan (1 Korintus 4:5). Tetapi, Allah menginginkan kebenaran "dalam batin" (Mazmur 1:8), dan Ia membuatnya menjadi jelas bahwa setiap usaha untuk menyembunyikan dosa tidak akan beruntung (Amsal 8:13). Jika kehidupan kita adalah kitab yang terbuka, satu-satunya harapan yang dapat kita lakukan adalah berteriak seperti Daud, "Selidikilah aku, ya Allah, dan ketahuilah akan hatiku" (Mazmur 139:23) dan seperti Ayub, "Apa yang tidak kumengerti, ajarkanlah kepadaku" (Ayub 4:32). Hanya sebagaimana kita sendiri diuji dan dimurnikan barulah kita mampu mengenali ketidakjujuran yang ada di dalam diri orang lain.
Sumber:
Komentar |
Publikasi e-Reformed |