Memperjuangkan Iman dalam Budaya yang Bingung

Penulis_artikel: 
Justin Dillehay
Tanggal_artikel: 
9 November 2021
Isi_artikel: 

Kita hidup pada masa kebingungan teologis yang besar. Menurut survei State of Theology terbaru dari Ligonier Ministry, 30 persen orang yang mengaku Injili menolak keilahian Kristus, 46 persen percaya bahwa manusia pada dasarnya baik, dan 22 persen berpikir identitas gender adalah "masalah pilihan pribadi."

Mungkin, jika survei bisa dilakukan pada abad yang lalu, kita akan menemukan bahwa memang selalu demikian keadaannya. Namun, budaya kita pasti telah menyuntikkan dosis relativisme dan individualisme yang kuat sehingga orang sulit mengenali otoritas apa pun di atas diri mereka sendiri. Akibatnya, orang lebih memilih iman yang menolak definisi yang jelas dan kekristenan yang kosong dari pesan tertentu.

Semua ini menjadi saat yang tepat untuk merenungkan Yudas 3, ketika saudara tiri Yesus mendesak kita untuk "berjuang sungguh-sungguh untuk iman yang disampaikan sekali untuk selamanya kepada orang-orang kudus." Saya ingin melihat ayat ini dari tiga sudut yang akan memperjelas arti memperjuangkan iman pada zaman kebingungan moral dan teologis.

1. Iman dengan Batasan dan Pesan yang Pasti

memperjuangkan iman

Kata "iman" biasanya merujuk pada tindakan hati yang dengannya kita menaruh kepercayaan kita kepada Yesus Kristus sebagai satu-satunya harapan kita dalam kehidupan dan kematian. Akan tetapi, "iman" tidak mengacu pada tindakan percaya, melainkan pada sesuatu yang diyakini.

Ini menunjukkan bahwa pada abad pertama pun sudah ada kumpulan ajaran yang diakui dan diharapkan semua orang Kristen menganutnya. Yudas dapat mendesak orang-orang Kristen pada tahun 65 M untuk memperjuangkan "iman" dan menganggap mereka mengerti hal yang ia bicarakan. Tidak seperti beberapa orang skeptis modern, Yudas tidak berbicara tentang banyak "Kekristenan". Seperti Paulus, ia percaya bahwa ada "satu iman" (Ef.4:5) dan mereka yang mengajarkan hal yang bertentangan dengan itu tidak hanya menawarkan alternatif yang diakui, tetapi juga memberitakan Injil palsu (Gal.1:6-9). Orang Kristen tidak harus setuju dalam segala hal (lihat Rm.14), tetapi mereka harus setuju dalam beberapa hal (1 Kor.15:3; Gal.1).

Ini juga menunjukkan bahwa meskipun Alkitab adalah buku besar, pengajarannya dapat diringkas secara akurat. Inilah yang dilakukan oleh kredo atau pengakuan iman yang baik. Jika situs web gereja tidak memuat bagian yang memberi tahu saya "Pengakuan Iman Kami", saya enggan mengarahkan orang ke gereja itu. Anda tidak dapat bersaing untuk sesuatu yang tidak dapat Anda definisikan. Iman bukanlah ember kosong bagi Yudas. Iman memiliki isi. Yang menimbulkan pertanyaan, apa yang ada di dalam ember itu?

2. Iman yang Dipenuhi dengan Kebenaran Moral dan Doktrin

Bagi Yudas dan gereja mula-mula, iman mencakup kebenaran moral dan doktrin yang mendasar.

Kebenaran Moral

Pertama, iman mencakup kebenaran moral mendasar tentang dosa dan kebenaran. Memang, Yudas mengajukan permohonan ini justru, "Sebab, orang-orang tertentu telah menyusup tanpa disadari, ... orang-orang tidak beriman yang menyalahgunakan anugerah Allah kita untuk memuaskan nafsu dan menolak satu-satunya Penguasa dan Tuhan kita, Kristus Yesus." (ay. 4).

Hidup dalam sensualitas, kemudian menciptakan rasionalisasi teologis merupakan penyangkalan terhadap iman -- dan terhadap Kristus. Dengan menggarisbawahi bahwa pasal ini sangat relevan bagi budaya kita, berhubung beberapa gereja mengibarkan bendera pelangi (lambang gerakan/kampanye LGBTQ - Red.) atas nama kasih Kristiani, Yudas mengutipnya sebagai peringatan nasib Sodom dan Gomora, "yang memuaskan diri dalam dosa seksual dan mengejar nafsu yang tidak wajar," sehingga "telah menanggung hukuman api kekal sebagai contoh." (ay. 7).

Jangan salah: iman apostolik kita menyatakan bahwa "kami percaya akan pengampunan dosa" (1 Kor.6:9-11; Kol.1:13-14). Namun, itu juga mengasumsikan bahwa kita tahu arti dosa. Jika "Kristus telah mati untuk dosa-dosa kita" adalah hal yang "sangat penting", pemahaman yang benar tentang dosa juga harus menjadi yang utama.

Yesus tidak datang untuk melonggarkan perintah dan Ia tidak mati untuk mengubah butiran moral alam semesta (Mat.5:19). Ia mati agar kita dapat diampuni dan dibebaskan dari belenggu dosa. Ia bangkit agar kita dapat berjalan dalam kehidupan yang baru. Itulah iman. Dan, itulah yang disangkal oleh guru-guru palsu ini, baik pada zaman Yudas maupun di zaman kita.

Dan, agar saya tidak tampak sepihak, izinkan saya menambahkan bahwa kita dapat menyangkal iman tidak hanya dengan menegaskan amoralitas seksual, tetapi juga dengan menolak untuk merawat orang tua kita yang sudah lanjut usia: "Akan tetapi, jika seseorang tidak memelihara sanak keluarganya sendiri, khususnya keluarga dekatnya, berarti ia telah menyangkali imannya dan ia lebih buruk daripada orang yang tidak percaya." (1 Tim.5:8, AYT). Iman yang sama, yang mengajarkan kita untuk menghindari percabulan, juga mengajarkan kita untuk menghormati Ibu dan Ayah.

Segala upaya untuk mereduksi iman kepada kebenaran doktrinal yang terkandung dalam kredo-kredo semula (biasanya dalam upaya menghindari konflik dengan revolusi seksual) adalah mimpi buruk yang membahayakan jiwa umat.

Kebenaran Doktrin

Jika melihat satu celah Kekristenan hanya untuk menegaskan seperangkat ajaran doktrinal (terlepas dari cara Anda hidup), celah lain melihat kekristenan hanya sekadar agar menjadi orang baik (terlepas dari keyakinan Anda). Lagi pula, tentu seseorang dapat menjadi sesama yang baik tanpa percaya pada Tritunggal!

Tentu saja, tidak seorang pun boleh menyangkal bahwa penganut ateis dan Hindu dapat menjadi sesama yang baik, atau bahwa sesama yang penuh kasih adalah inti dari iman. Namun, itu tidak sepenuh hati. Jangan lupa perintah agung yang pertama, "Kasihilah TUHAN, Allahmu, dengan segenap hatimu." Menurut Yesus, "Inilah hidup kekal itu", yaitu mengenal "satu-satunya Allah yang benar, dan mengenal Kristus Yesus yang telah Engkau utus." (Yoh.17:3, AYT).

Seorang Kristen bukan hanya seseorang yang hidup dengan cara tertentu. Seorang Kristen adalah seseorang yang memercayai hal-hal tertentu. Iman menegaskan bahwa peristiwa-peristiwa tertentu benar-benar terjadi -- seperti penciptaan alam semesta "ex nihilo" dan kebangkitan Yesus (Ibr.11:3; 1 Kor.15). Ini menegaskan bahwa pernyataan-pernyataan tertentu sungguh-sungguh benar, seperti "Yesus adalah Tuhan," "TUHAN adalah satu," dan " semua ilah bangsa-bangsa adalah berhala-berhala" (Rm.10:9; 1 Kor.12:3; Ul.6:4; 1 Kor.8:6; Mzm.96:5). Dan, itu menegaskan bahwa peristiwa-peristiwa tertentu benar-benar akan terjadi, seperti penghakiman orang fasik dan kebangkitan tubuh (Yud.6,14; 1 Kor.15; 2 Tim.2:18).

Iman tanpa perbuatan mungkin mati, tetapi perbuatan tanpa iman juga mematikan. Iman bukan hanya tentang menjadi orang baik -- ini tentang mengakui bahwa Anda belum menjadi orang baik. Mengklaim bahwa orang "baik" dapat diselamatkan terlepas dari keyakinan mereka tentang Yesus adalah moralisme, murni dan sederhana. Itu adalah pengingkaran terhadap iman.

3. Iman yang Mengalahkan Zeitgeist (Semangat Zaman)

Iman bukan hanya tentang menjadi orang baik -- ini tentang mengakui bahwa Anda belum menjadi orang baik.
  1. Facebook
  2. Twitter
  3. WhatsApp
  4. Telegram

Orang-orang Kristen Ortodoks telah berulang kali diberi tahu, "Kekristenan harus berubah atau mati karena manusia modern tidak dapat diharapkan untuk percaya pada ________." Ini yang menarik: Trevin Wax menunjukkan bahwa 100 tahun yang lalu hal-hal yang tidak diharapkan untuk dipercaya oleh "manusia modern" biasanya adalah kebenaran doktrinal -- pengajaran seperti kelahiran dari perawan atau kebangkitan. Manusia modern pada tahun 1920 dapat menerima moralitas Alkitab, mereka hanya tidak bisa diharapkan untuk percaya pada mukjizat.

Namun, hari ini hampir kebalikannya. Pengajaran moral Alkitablah yang dianggap menyinggung budaya kita -- terutama dalam hal seksualitas. Dan sekali lagi, kita diberi tahu bahwa kita harus berevolusi atau mati. Namun, jika Anda melihat kembali pada abad ke-20, Anda melihat hal yang sebaliknya. Gereja-gereja yang berkembang adalah gereja-gereja yang mati. Gereja-gereja yang rela kehilangan nyawa merekalah yang menyelamatkan mereka.

Yudas bisa saja sudah memberi tahu kita. Iman bukanlah sesuatu yang dapat kita sesuaikan agar sesuai dengan zeitgeist (semangat zaman - Red). Sebab, iman bukanlah sesuatu yang kita ciptakan. Iman adalah sesuatu yang "disampaikan sekali untuk selamanya kepada orang-orang kudus." Dan, hal itu masih sama sampai hari ini.

Dan, meskipun budaya manusia dapat berganti-ganti pada aspek iman mana yang mereka anggap paling menyinggung, batu sandungan dasar yang sama tetap ada. Orang-orang masih menginginkan Allah yang memungkinkan mereka untuk memanjakan selera indra mereka dan yang menerima mereka berdasarkan perbuatan baik mereka. Iman Kristen tidak menawarkan keduanya. Sebaliknya, iman Kristen menawarkan sesuatu yang lebih baik.

Kita memang hidup pada masa kebingungan teologis yang besar dan godaan untuk memberikan sesuatu yang diinginkan orang-orang daripada hal yang mereka butuhkan untuk bertahan selama-lamanya. Akan tetapi, manusia yang jatuh tidak pernah menjadi hakim yang baik untuk sesuatu yang mereka butuhkan. Jadi, hal paling tidak mengasihi yang dapat kita lakukan adalah mengubah iman dengan memberikan sesuatu yang diinginkan orang-orang. Dan, hal paling penuh kasih yang dapat kita lakukan adalah persis seperti yang Yudas katakan: berjuang sungguh-sungguh untuk iman yang disampaikan sekali untuk selamanya kepada orang-orang kudus. (t/N. Risanti)

Audio: Memperjuangkan Iman dalam Budaya yang Bingung

Sumber Artikel: 
Diterjemahkan dari:
Nama situs : The Gospel Coalition
Alamat situs : https://www.thegospelcoalition.org/article/contending-faith-confused-culture/
Judul asli situs : Contending for the Faith in a Confused Culture
Penulis artikel : Justin Dillehay

Komentar