Tentang KamiArtikel TerbaruUpdate Terakhir |
Klik x untuk menutup hasil pencarianCari di situs SOTeRI Peta Perubahan Teknologi Komunikasi Dan Dampaknya Bagi Pelayanan Pada Abad Xxi (1)Penulis_artikel:
Robby I. Chandra
Tanggal_artikel:
26 Juni 2014
Isi_artikel:
Di negara bagian Illinois, Amerika Utara, terdapat sebuah kota bernama Streator. Pada saat memasuki Streator, kita akan terpana membaca tulisan raksasa dengan gambar sebuah bola bumi: "Selamat Datang di Streator, Pusat Pembuat Botol Sedunia". Tiga puluh tahun lalu, lebih dari 5000 orang di kota ini bekerja untuk dua perusahaan botol raksasa. Pada masa itu, berbagai produk cair seperti jus, susu, dan minuman lain dilarang dijual di Streator bila tidak dimasukkan ke dalam botol kaca. Pendek kata, pada tahun 1960-an, konon Streator adalah benar-benar menjadi pusat botol dan beling sedunia. Kini, Streator cuma menjadi kota kecil yang hidup senin-kamis tanpa antusiasme. Sesuatu telah terjadi. Pada awal tahun 1970-an, orang mulai bergeser menggunakan botol plastik, kaleng aluminium, dan karton untuk menampung berbagai benda cair. Streator juga berusaha mengatasi perubahan tadi dengan mengadakan suatu orkestrasi besar-besaran dari kekuatan produksinya, tetapi gagal total; bukan karena kurang motivasi, kurang terampil, atau kurang gesit berespons. Mereka gagal karena tidak mengenali peta yang sedang berubah secara mendasar. Suatu pergeseran paradigma terjadi dan Streator gagal memahaminya. Sebentar lagi, kita akan mengalami sesuatu yang tak dialami oleh ayah ibu kita serta kakek nenek kita, yaitu kita akan mengalami berakhirnya suatu abad, sekaligus awal milenium baru. Di dalam sejarah kita, pergantian ini merupakan hal yang menarik dan berdampak luas. Terakhir kali hal tadi terjadi adalah seribu tahun silam. Pada waktu itu, beberapa ciri terlihat: Kota terbesar yang pernah dimiliki manusia sebelum abad ke-10 adalah Roma dengan jumlah penduduk sekitar satu juta dua ratus ribu orang. Namun, sekitar abad ke-10, kota-kota menjadi lebih kecil dan terisolasi dengan sistem mata uang, pajak, keamanan, budaya, pendidikan tersendiri. Asia merupakan kerajaan-kerajaan yang unggul dan berteknologi tinggi pada masanya. Sementara itu, Eropa sudah 5 abad berada dalam zaman amburadul, feodalistis, dan bahkan salah satu tiang kekuatan sosial pada saat itu, yaitu agama, sedang bergerak pecah dua, yaitu menjadi Gereja Barat (yang berpusat di Roma) dan Gereja Timur (Bizantium) pada tahun 1054. Masyarakat menjadi stagnasi, hanya terdiri atas bangsawan penguasa, pimpinan agama, kaum pedagang serta warga rakyat jelata. Sebagian orang segan bepergian jauh karena tiap lokasi memiliki sistem, penguasa, dan kualitas keamanan yang berbeda. Hanya kaum pedagang yang berani menempuh jarak yang panjang dan berbahaya. Dibandingkan dengan zaman itu, pergantian milenium ini menampilkan wajah masyarakat dunia yang jauh berbeda, antara lain: Manusia lebih banyak bergerak ke kota-kota daripada ke desa-desa. Kota-kota yang memiliki lebih dari 7 juta penduduk semakin banyak. Pusat dinamika kekuasaan sedang bergeser kembali ke Asia setelah dari Eropa ke Amerika (tingkat pertumbuhan ekonomi Asia sekitar 7 sampai 9 persen per tahun). Pusat ilmu pengetahuan tersebar di berbagai sentra di seluruh penjuru bumi. Keio University, East-West Center Hawaii, Nanyang University, National Singapore University, Monash, Harvard, Princeton, Berkeley, Northwestm University, dan sebagainya, mungkin lebih dikenal daripada perguruan-perguruan tinggi kuno dan top di Eropa seperti Padua, Salamanca, Den Haag, Praha, Heidelberg, Tubingen, Vrije, atau Geneva. Pendidikan lebih tersedia dan terjangkau untuk lebih banyak orang, termasuk warga jelata. Teknologi tinggi menjadi tersedia, bukan hanya untuk para bangsawan dan mereka yang memiliki kelebihan, melainkan juga bagi warga jelata. Televisi, lemari es, radio, kalkulator, kamera, merupakan bagian hidup sehari-hari. Manusia modern sudah bergerak dari pola komunikasi lisan audio ke komunikasi baca tulis, serta interactive electronic. Masyarakat bergerak dengan cepat dan berubah tanpa dapat diprediksi dengan mudah. Susunan masyarakat tidak hanya dari kaum "atas", pedagang, agama, dan rakyat jelata. Kaum intelektual menjadi kekuatan tersendiri. Kaum bangsawan penguasa kini berwujud menjadi dua kelompok yaitu, militer dan/atau birokrat. Berbagai tulisan telah membahas tren perubahan tadi. Di sini, saya akan membahas secara khusus akibat pergeseran pola komunikasi tadi dan dampaknya bagi pelayanan kristiani, terutama dengan fokus untuk lingkup perkotaan, mengingat lingkup perkotaan menjadi orientasi konteks hidup lainnya di Indonesia. Ketika masyarakat masih mengandalkan komunikasi antarpribadi dengan metode audio (pendengaran) serta kata-kata lisan, jangkauan komunikasi antarmanusia dibatasi tempat dan waktu, demikian menurut studi yang dilakukan oleh pakar komunikasi di Ottawa, Walter Ong, SJ. Misalnya, ucapan Ratu Sima, atau Samarrotungga, tidak akan dapat didengar oleh cucu-cucunya karena untuk dapat mendengarnya, mereka harus hadir di sekitarnya dan hidup pada zaman yang sama dengannya. Ketika metode komunikasi antarmanusia diperkaya dengan metode tulisan, sesuatu hal yang baru terjadi dalam hidup manusia. Hal itu terjadi setelah Guttenberg atau orang Korea atau Kaisar Shih Huangti di China memungkinkan rakyat untuk memiliki akses ke dunia komunikasi tulis menulis. Kini, komunikasi dapat diawetkan dan ditransfer melewati zaman yang berbeda, bahkan menembus batas geografis yang sulit. Contohnya, tulisan kuno dari zaman perang petani (Baueren Krieg) abad 16-an, masih tersedia dalam bentuk aslinya sehingga kita dapat memahami situasi pada waktu itu. Namun, dengan munculnya komunikasi elektronik, khususnya radio dan televisi, manusia berhasil menembus batas geografis lebih andal, serta batas waktu. Informasi-informasi dari tempat yang jauh dan dekat kini ada di ruang tamu kita secara serempak dan real time. Lihat saja program Discovery Channel. Bahkan menurut Tony Schwartz, media elektronik telah menjadi ilah kedua, yang hadir di mana-mana dan kapan saja serta penuh dengan kuasa. Kehadiran komputer yang pada mulanya tidak ditujukan untuk konsumsi rakyat jelata ternyata mengubah dunia secara lebih radikal. Mulanya, alat ini diciptakan untuk membantu manusia dalam menyimpan dan mengolah informasi, khususnya mengolah penghitungan. Maka, muncullah bahasa komputer untuk mendukungnya. Bahasa pertama dibuat oleh George Boole pada tahun 1854. Demikian halnya dengan Charles Babbage. Pada tahun 1930, pembuatan metode perhitungan dengan komputer ini mencapai puncak dengan Massachusset Institute of Technology. Muncul pula nama Alan Turing, von Neumann, dan lain-lain. Dengan munculnya teknologi transistor, komputer yang sebesar deretan kulkas menjadi sebesar filing cabinet, dan akhirnya, sebesar desktop sekarang. Proses miniaturisasi mulai terjadi di dunia transistor. Muncullah berbagai cip yang berisi jutaan transistor dalam ukuran sebesar kuku jari manusia. Program yang semakin canggih membuat komputer memiliki multifungsi: menghitung, menyimpan informasi, mengklasifikasikannya, membuat simulasi untuk prediksi, membuat optimisasi, bahkan membuat desain, menulis, mengolah tampilan potret, dan sebagainya. Internet atau penghubungan komputer dengan rangkaian alat elektronik lain membuat komputer dapat mengatur lampu lalu lintas, kapan lampu rumah harus mati dan nyala, kapan suhu dari AC dikurangi, bahkan membuat berbagai keputusan sederhana sampai yang rumit dengan kecepatan yang luar biasa. Maka, terperangahlah para usahawan yang tadinya hanya menganggap komputer sebagai mesin hitung yang berlayar atau mesin yang rumit. Kini, di atas semua tadi, suatu tren terbaru muncul, yaitu membuat komputer dengan berbagai kehebatannya tadi dapat "berkomunikasi" satu dengan yang lainnya. Muncullah Local Area Network, Wide Area Network, serta yang kini digandrungi adalah internet. Data, gambar, dan berbagai pencarian informasi dapat dilakukan dari rumah secara interaktif. Dengan demikian, semestinya ada banyak pekerjaan dapat dikerjakan di rumah, dan bukan di kantor. Internet pada mulanya adalah jaringan komputer yang dibuat oleh lembaga pertahanan Amerika dalam rangka perang dingin dengan USSR. Waktu itu, namanya DARPA yang kemudian menjadi Arpanet. Kemudian, jaringan tadi melibatkan universitas, laboratorium, serta kalangan bisnis. Akhirnya, jaringan ini mencapai 50 juta komputer di seluruh dunia. Untuk mengaksesnya, seseorang hanya memerlukan komputer, modem (modulator demodulator), dan sebuah pesawat telepon serta berlangganan ke sebuah perusahaan yang menawarkan akses ke jaringan internet tadi. Perusahaan seperti ini dikenal dengan nama Internet Service Provider (ISP). Dengan memiliki akses ke internet, seseorang dapat mengirim pesan tertulis ke Skandinavia, misalnya, dengan biaya menelpon lokal, yaitu dari rumahnya ke kantor Internet Service Provider tadi, yang berada di kota yang sama dengan dirinya. Selain itu, ia dapat pula mengirim file, gambar, musik, dan sebagainya. Lebih hebat lagi, alat ini juga dapat menjadi alat untuk menolong kita mencari informasi di segala penjuru bumi. Misalnya, Anda ingin tahu apakah dijual Alkitab dalam bahasa Mandarin untuk para tunanetra. Masih ada lagi yang internet dapat lakukan bagi Anda. Anda dapat bercakap-cakap dengan rekan dan saling melihat wajah Anda, yaitu dengan menghubungkan komputer Anda dengan sebuah kamera seharga US$ 200 dengan program yang bernama CUC me. Jelaslah, internet membuat desentralisasi kuasa terjadi melalui difusi atau penyebaran informasi dan akumulasi informasi yang tidak dapat dikendalikan siapa pun. Internet juga membuat manusia mampu mengekspresikan diri dan berkomunikasi dengan siapa saja melalui bahasa apa saja yang ia pilih, serta waktu yang ia kehendaki. Manusia bahkan dapat membentuk kelompok-kelompok, seperti asosiasi riset yang dilakukan oleh mahasiswa psikologi di tingkat pascasarjana, forum pelayanan muda-mudi sedunia, Pink Network (gay), dan sebagainya. Semuanya mengisyaratkan bahwa dunia modern merupakan dunia yang penuh dengan keberbagaian pilihan. Apa dampak pergeseran di atas bagi kejiwaan anggota masyarakat dan gereja? Pertama, dengan komunikasi lisan, kita tidak terpisah secara batin dari orang yang kita ajak bicara. "Kau dan aku diikat dengan kata-kata dan bisikan." Realita dan diri kita tergabung jadi satu dalam harmoni. Emosi dan nalar tidak terpisah. Kita belajar berkomunikasi dengan sabar. Kita belajar menyimak dengan baik. Dengan berkomunikasi secara lisan dan juga masuk ke dunia tulis-menulis, manusia belajar untuk menata kompleksnya realitas ke dalam format yang rapi, tersusun, dan terkendali. Entah kiri ke kanan, entah dari atas ke bawah, atau dari kanan ke kiri, manusia dibiasakan untuk membuat realitas terpilah dan tersusun. Hubungan antarmanusia pun mulai mengambil dua bentuk. Bentuk lisan yang tradisional dan bentuk tulisan. Di dunia tulisan, anehnya, semua harus rapi. Realitas diwakilkan sebagai hal yang tersusun. Apa yang ambivalen segera dianggap sebagai anomali (kelainan). Kelekatan dan kedekatan emosi semakin longgar. Nalar semakin menjadi pendominasi ulung. Maka, abad pencerahan pada abad XIX pun muncullah. Manusia cenderung mengagungkan diri, merasa semakin rasional, bahkan sering menjadi pongah dalam menangani hidupnya, sampai muncullah perang dunia pertama. Di situ, manusia menyadari bahwa dirinya tidak hanya makhluk rasional, tetapi realitas juga tidak dapat disterilkan ke dalam format yang ia buat. Pergeseran ke dunia elektronis membuat manusia menjadi lebih pasif. Menurut Jacques Ellul, televisi terutama membuat manusia menikmati realitas yang telah dipilihkan oleh sang penyiar. Televisi yang mulanya dianggap sebagai alat penerima informasi, kini menjadi alat untuk berekreasi. Manusia segan menelaah secara kritis, tetapi lebih suka menikmati dan meminta variasi lebih. Hal ini terlihat dengan munculnya para pembosan yang sebentar-sebentar mencari saluran dan acara televisi yang lain. Khusus untuk Indonesia, terutama masyarakat kota besar dan masyarakat yang tidak sepenuhnya melek huruf, agaknya komunikasi elektronis rekreasional membuat dampak yang sangat kuat, entah untuk beberapa lama sampai keseimbangan tercapai. Apa yang disampaikan di media elektronik, terutama televisi, didifusikan, diadopsikan, dan jadi bagian hidup. Orang belajar dengan sukarela dari apa saja yang televisi sampaikan selama bobot rekreasinya tinggi karena kecepatan belajar dan kecepatan menyerap hal baru sangat meningkat bila orang merasa menikmati hal itu. Dengan kata lain, pergeseran pola komunikasi umum di masyarakat, membuat manusia cenderung semakin tak mampu menyimak, meneliti, dan mengamati untuk waktu yang panjang, apalagi hal-hal yang ia tidak minati. Orang jadi pembosan dan semakin kompleks dalam dirinya. Selain itu, manusia lebih suka berkecimpung dalam dunia kesan daripada memperhatikan pesan yang ada. Selama pesan tidak dikemas secara mengesankan (kalau perlu secara dramatis, berdarah, sadis, dan seksi), pesan tidak diperhatikan. Tingkat kekritisan menurun tajam. Inilah pop-culture secara global. Internet sebagai hal baru mungkin belum terasa dampak massalnya, tetapi jelas akan merambah dengan cepat. Bila pada tahun 1994 Indonesia memiliki satu service provider, kini telah tercatat 22 provider walaupun baru 9 yang memiliki izin operasional. Service provider terbesar dan pemimpin pasar (Rahajasa Media Internet) mendapatkan pelanggan 450 orang per bulan secara nonstop sejak dibukanya pada bulan Mei 1995. Pendatang baru, CBN net, mengalami hal yang sama, sejak Januari 1996 sampai sekarang, mereka berhasil mendapatkan 1500 pelanggan. Perkiraan kasar menunjukkan sekitar 25.000 orang telah menjadi pengakses internet. Hasil riset yang kami lakukan menunjukkan bahwa 87 % pengguna aktif (28 -- 40 jam per bulan) adalah orang yang berusia 19 -- 30 tahun dengan mayoritas para penyandang gelar S1. Mereka menggunakan akses internet terutama dalam rangka berekreasi dan mencari data (n=364, studi dilakukan di Jakarta selama bulan Februari sampai awal Mei 1996). Keseluruhannya mencerminkan bahwa internet sangat dibutuhkan karena merupakan kesempatan menelusuri pilihan-pilihan yang beragam. Semangat individualistis dan postmodernism semakin nyata. Apakah ada dampak positif yang menyeluruh dari perkembangan pola komunikasi yang bergeser dan tumpang tindih? Pergeseran-pergeseran di atas membuat manusia menjadi semakin belajar untuk mengenal cara berkomunikasi yang berbeda-beda. Mereka belajar berbagai cara berkomunikasi serta sekaligus mengenali kompleksitas masing-masing. Manusia semakin mengeluarkan potensinya untuk berkomunikasi dalam berbagai mode. Secara praktis, beberapa kemungkinan baru menjadi muncul seperti terlihat dari ilustrasi ini. Pada saat ini, saya masih memimpin sebuah kantor dengan 15 staf di dalamnya. Menghitung biaya yang dikeluarkan setiap bulan untuk membayar listrik, air, AC, telepon, kebersihan, uang keamanan, dan sejenisnya, serta pusingnya menghadapi staf yang saling bersaing, atau bersinggungan secara antarpribadi tentunya bukan cuma monopoli kami. Belum lagi risaunya kita mengamati staf wanita yang baru memiliki bayi kecil yang sudah harus ditinggalkannya di rumah dengan baby sitter. Mereka bekerja dengan hati yang terpecah dua. Akan tetapi, bayangkan kemungkinan seperti ini: Semua staf diizinkan bekerja di rumah. Masing-masing memiliki sebuah telepon selular, komputer notebook dengan modem-nya. Seminggu sekali atau dua kali, kami akan berjumpa di hotel atau restoran untuk menentukan pembagian tugas. Bagi para staf, tentunya hal tadi sangat menyenangkan. Anak-anak mereka yang biasanya tumbuh di bawah pengaruh pembantu, kini masih bisa melihat ibunya di rumah secara rutin. Waktu perjalanan dari dan ke kantor yang setiap hari menyita dua jam lebih dapat dipergunakan untuk hal-hal lain. Biaya pemeliharaan kantor dapat dipakai untuk biaya telekomunikasi per telepon dan modem yang semakin murah. Selanjutnya, para staf terpaksa belajar untuk berkomunikasi lebih efektif, yaitu menyimak dan memberi instruksi atau memberi laporan secara singkat, padat, dan efektif. Lebih menarik lagi, bila kantor kami tadi kami sewakan atau jual, tidakkah akan ada dana berlebih? Inilah gejala yang dikenal dengan nama virtual office atau kantor maya. Hal tadi secara potensial dapat dilakukan dengan tersedianya teknologi informasi dan komunikasi. Namun, apakah hal ini dapat diterapkan di Indonesia sepenuhnya? Banyak prasyarat yang perlu disimak. Teknologi yang tersedia sudah pasti memungkinkan penekanan biaya overhead dan operasional untuk menjalankan sebuah kantor, atau sebuah percetakan, bahkan sebuah rumah sakit. Sumber Artikel:
Diambil dan disunting dari:
Komentar |
Publikasi e-Reformed |