Perjanjian Baru: Kovenan Penebusan dalam Yesus Kristus

Editorial: 

Dear e-Reformed Netters,

Selamat Natal 2008 dan Tahun Baru 2009, saya ucapkan kepada para Anggota e-Reformed. Di tengah kemeriahan Natal serta hiruk pikuk keadaan ekonomi dan politik ini, semoga kita disadarkan akan satu -satunya berita Natal yang penting, Kristus telah datang ke dunia dengan suatu misi yang sangat jelas, yaitu untuk lahir, mati, dan bangkit demi menggenapi rencana penebusan Allah atas umat pilihan -Nya.

Bagi Anda yang masih ingin merayakan Natal tanpa Kristus, yaitu dengan berpesta pora dan bermewah-mewahan, maka, maaf sebelumnya, saya hanya ingin mengingatkan bahwa Anda tak ubahnya seperti orang -orang duniawi yang sedang menghibur diri karena tahu bahwa kenikmatan seperti itu tidak mungkin bisa Anda nikmati lagi ketika sedang dalam penghakiman-Nya.

Artikel yang saya hadirkan di bawah ini memberikan gambaran yang sangat jelas akan misi Kristus datang ke dunia. Biarlah menjadi perenungan bagi kita selama memperingati perayaan Natal tahun ini.

Buku berjudul "Membangun Wawasan Dunia Kristen", sumber di mana artikel di bawah ini diambil, terdiri dari dua volume dan diterbitkan oleh Penerbit Momentum. Saya merekomendasikan buku ini untuk Anda miliki karena buku ini berisi dasar-dasar pengertian iman Kristen yang kokoh.

Edisi e-Reformed bulan ini adalah edisi terakhir pada tahun 2008. Kita akan bertemu lagi pada tahun 2009, mudah-mudahan dengan lebih bersemangat lagi untuk hidup bagi Kristus, yang telah lahir di hati kita dan telah menjadi teladan bagi hidup kita. Amin!Edisi e-Reformed bulan ini adalah edisi terakhir pada tahun 2008. Kita akan bertemu lagi pada tahun 2009, mudah-mudahan dengan lebih bersemangat lagi untuk hidup bagi Kristus, yang telah lahir di hati kita dan telah menjadi teladan bagi hidup kita. Amin!

Redaksi e-Reformed, Yulia Oeniyati < yulia(at)in-christ.net > < http://reformed.sabda.org >

Penulis: 
G. K. Beale dan James Bibza
Edisi: 
106/XII/2008
Tanggal: 
24-12-2008
Isi: 

Latar Belakang Kovenantal Perjanjian Lama

Seluruh Alkitab adalah tentang suatu kovenan yang akan menebus manusia dari dosa, dan Perjanjian Baru menceritakan bagaimana kedatangan Kristus menggenapi penebusan yang telah dijanjikan itu. Frasa "Old Testament" (Wasiat Lama) sesungguhnya berarti "Kovenan Lama" dan "New Testament" (Wasiat Baru) secara literal berarti "Kovenan Baru". Nama-nama ini menunjukkan bahwa ada suatu kontinuitas kovenantal yang esensial antara dua bagian dasar Alkitab itu.

Seperti yang disebutkan dalam Perjanjian Lama, Allah menetapkan "kovenan penciptaan" dengan manusia di Taman Eden ketika Ia menciptakan Adam menurut gambar-Nya sebagai wakil-Nya yang memerintah di atas bumi. Tuhan menjanjikan kepada Adam persekutuan yang intim dengan diri-Nya selama Adam dengan setia melaksanakan tanggung jawab pelayanannya. Tetapi ketidaktaatan Adam menghancurkan hubungan yang sempurna antara Allah dan dirinya, dan berakhirlah kovenan penciptaan. Karena Allah mengasihi manusia, Ia menetapkan satu kovenan yang baru, yaitu "kovenan penebusan", yang melaluinya manusia dapat dipulihkan ke dalam hubungan yang benar dengan Allah. *(1)

Kovenan penebusan ini tidak hanya memberikan sarana untuk penebusan manusia, tetapi juga dengan jelas menyatakan natur Allah, khususnya atribut-atribut-Nya yang tidak berubah, seperti anugerah, kasih, dan keadilan di dalam sejarah ruang dan waktu. Melalui hubungan kovenantal ini, Allah bertindak dalam dunia (yaitu bahwa Ia adalah Allah yang imanen), tidak seperti bentuk-bentuk impersonal dari Plato dan "penggerak yang tak bergerak" yang pasif dari Aristoteles.

Kedatangan Yesus Kristus ke bumi mengukuhkan Perjanjian Baru. Dengan mati di atas salib, Ia mengesahkan kovenan penebusan yang telah dijanjikan dan yang telah lama dinantikan (lihat Ibr. 7:21-22; 9:24 -26). Misi Kristus yang terutama adalah untuk mengungkapkan natur Allah Bapa-Nya kepada dunia dan, yang kedua, untuk menyediakan sarana keselamatan bagi manusia yang telah terjatuh ke dalam dosa.

Teologi Perjanjian Baru: Pribadi dan Karya Kristus

Namun, setelah kita mengemukakan hal di atas, kita harus mengangkat pertanyaan tentang siapakah Yesus dan apa yang sesungguhnya telah dilakukan-Nya. Kita akan menemukan bahwa gelar-gelar Kristus, pengajaran, dan berbagai mukjizat-Nya, di samping juga kematian dan kebangkitan-Nya, semuanya secara integral berkaitan dengan karya-Nya melaksanakan kovenan penebusan, dan semua ini bersaksi tentang keilahian dan kemanusiaan-Nya yang sejati.

Gelar-Gelar Yesus

"Mesias"

Perjanjian Lama sering berbicara tentang datangnya suatu zaman mesianis di mana Allah akan membebaskan Israel dari para penjajahnya dan menegakkannya sebagai kerajaan yang dominan di atas bumi. *(2) Kata Mesias, "Yang Diurapi", atau Kristus (Yun.: Christos), dipakai dua kali dalam Perjanjian Lama untuk menyatakan tentang pembebas yang akan datang (Mzm. 2:2; Dan. 9:25). Dalam Israel kuno, para raja, imam, dan nabi, yang dipilih oleh Allah untuk maksud-maksud khusus, diurapi dengan minyak sebagai simbol penunjukan ilahi.

Selama berabad-abad, sesaat sebelum kelahiran Kristus, kebanyakan orang Yahudi dengan berapi-api percaya bahwa Mesias yang akan datang tersebut akan mengalahkan para musuh secara militer dan menegakkan kembali bangsa itu sebagai suatu kerajaan yang kuat di bumi. *(3) Meskipun Sang Mesias itu terutama dipandang sebagai seorang pemimpin politik, Ia juga diharapkan memunyai keyakinan-keyakinan religius yang kuat. Perjanjian Baru memberi bukti lebih lanjut bahwa tradisi Yahudi memahami Mesias yang dijanjikan itu, terutama dalam pengertian jabatan raja Perjanjian Lama (Mrk. 15:26; Luk. 23:2). Misalnya, ketika orang banyak mulai menangkap mukjizat-mukjizat Yesus sebagai suatu tanda kemesiasan-Nya, mereka "hendak membawa Dia dengan paksa untuk menjadikan Dia raja (di bumi)". Namun, ini adalah suatu pengharapan yang salah karena Yesus datang sebagai Mesias yang tujuan terutamanya adalah maksud-maksud rohani dan penebusan. Sebab itu, Ia menyingkir dari kerumunan orang banyak dan tidak membiarkan mereka memenuhi keinginan mereka yang salah (Yoh. 6:6-15).

Agak mengherankan juga bahwa dalam Kitab-Kitab Injil, Yesus jarang merujuk tentang diri-Nya sebagai "Mesias." Markus 8:29-30 khususnya sulit dimengerti. Dalam nas ini, Petrus mengaku bahwa Yesus sesungguhnya adalah Mesias itu, tetapi Yesus memerintahkan para murid-Nya agar tidak mengungkapkan jati diri-Nya kepada orang-orang Yahudi. Mengapa Yesus berusaha menyembunyikan fakta ini dari orang banyak? Sejumlah pakar menjawab bahwa Ia tidak melakukannya. Mereka membuat teori bahwa gereja Kristen di kemudian hari yang menambahkan perkataan ini untuk menerangkan mengapa Yesus begitu jarang berbicara tentang misi mesianis dan mengapa Dia tidak secara terbuka dikenal sebagai Mesias. Namun, teori itu tampaknya tidak masuk akal. Jika Yesus tidak pernah mengklaim diri sebagai Mesias, bagaimana kita menjelaskan bahwa gereja abad pertama itu begitu yakin bahwa Ia memang adalah Mesias? Tidak mungkin gereja mula-mula mengarang sendiri ide ini, karena menyatakan orang yang disalibkan sebagai orang yang diberkati adalah penghujatan, apalagi menyebut orang seperti itu sebagai seorang Mesias! (bandingkan Ul. 21:23; Gal. 3:13-14).

Sebaliknya, Kitab-Kitab Injil menyatakan bahwa Yesus sesungguhnya memandang diri-Nya sendiri sebagai Mesias, tetapi penafsiran-Nya atas peran tersebut sangat berbeda dari penafsiran mayoritas orang Yahudi. Karena kebanyakan orang Yahudi mengharapkan Mesias sebagai seorang pemimpin politik, Yesus tidak menghendaki kemesiasan-Nya diketahui publik sampai mereka dengan jelas memahami bahwa Ia tidak datang untuk mendirikan suatu pemerintahan di bumi. Pemahaman Yesus sendiri dinyatakan dalam Markus 8:31. Ia menerangkan kepada para murid-Nya bahwa kemesiasan-Nya harus dipahami menurut terang dari fakta bahwa Ia "harus menanggung banyak penderitaan dan ditolak ... lalu dibunuh dan bangkit sesudah tiga hari" (bandingkan Mrk. 9:12 -13). Ia datang untuk mengukuhkan suatu kerajaan rohani dengan mati di atas salib. Hanya sesudah kebangkitan-Nya, barulah orang-orang - - termasuk para murid -- dapat memahami misi mesianis yang ironis ini. Setelah kebangkitan-Nya, Yesus dengan bebas menyatakan kemesiasan-Nya karena pada waktu itu sudah jelas bagi semua orang bahwa Ia bukan seorang pemimpin politik (Luk. 24:26).

Matius 16:16 dan Lukas 9:20 dengan jelas menyatakan kesadaran mesianis Yesus ketika Ia menerangkan natur spiritual dari misi-Nya. Yesus percaya bahwa Ia sedang menggenapi nubuat-nubuat Perjanjian Lama tentang Sang Mesias yang akan datang terutama untuk menyelamatkan manusia dari dosa-dosa mereka untuk menggenapi janji -janji dari kovenan penebusan.

Selama proses pengadilan-Nya, Yesus ditanya oleh Kayafas secara langsung, "Apakah Engkau Mesias?" (Mat. 26:63-68; Mrk. 14:61-65). Tuduhan Kayafas bahwa jawaban Yesus adalah penghujatan, dan tuduhan -tuduhan berikutnya oleh para pendakwa-Nya bahwa Ia menyebut diri -Nya Mesias, menunjukkan bahwa Yesus mengiyakan pertanyaan Kayafas (Mat. 26:68; 27:17, 22; Mrk. 15:32). Dengan pengakuan-Nya sebagai Mesias, Yesus mengakui bahwa Ia memegang jabatan-jabatan Perjanjian Lama sebagai Nabi, Imam, dan Raja. Sesungguhnya tanggapan bahwa klaim Yesus adalah penghujatan menyiratkan bahwa klaim-Nya itu berkonotasi ilahi.

"Anak Allah"

Dua ide utama diasosiasikan dengan gelar ini. Dalam suatu upacara penobatan raja di Timur Dekat kuno, seorang raja sering dirujuk sebagai "anak" karena ia mewarisi jabatan raja dari ayahnya, raja sebelumnya. Sebutan formal "Anak", bersama dengan metafora-metafora kelahiran, melambangkan transfer otoritas secara resmi dan dimulainya pemerintahan sang putra yang telah lama dinantikan, yang untuknya ia dilahirkan. Latar belakang ini menolong menjelaskan nubuat dalam Mazmur 2:6-8, yang terutama bercerita tentang penerimaan jabatan raja oleh Yesus dalam Kitab-Kitab Injil: "Akulah yang telah melantik raja-Ku .... Anak-Ku engkau! Engkau telah Kuperanakkan pada hari ini. Mintalah kepada-Ku, maka bangsa-bangsa akan Kuberikan kepadamu sebagai milik pusakamu ...." Para penulis Injil merujuk pada mazmur ini ketika mereka menarasikan perkataan Allah kepada Yesus pada waktu Ia dibaptiskan pada permulaan pelayanan-Nya. "Ini adalah Anak yang Kukasihi ...." (misal Mat. 3:17; Mrk. 1:11). Setelah kebangkitan-Nya, frasa yang sama ini diterapkan pada Yesus lagi untuk menunjukkan permulaan pemerintahan surgawi-Nya dan pewarisan kerajaan Bapa-Nya sebagai warisan atau milik pusaka-Nya (misal Kis. 13:33; Ibr. 1:2-5).

Ide kedua yang berkaitan dengan "Anak Allah" adalah hubungan kasih sayang Sang Anak yang unik kepada Bapa-Nya, yang secara langsung menunjukkan bahwa Kristus memunyai natur ilahi yang sama seperti Bapa-Nya (Yoh. 10:30-38). Yesus merujuk Allah sebagai Bapa-Nya lebih dari seratus lima puluh kali di keempat Kitab Injil. Matius 11:27 (bandingkan Luk. 10:22) menyatakan posisi Yesus yang unik sebagai Anak. Ayat ini menyatakan bahwa hanya Yesus yang dapat mengungkapkan Sang Bapa kepada umat manusia, menunjukkan bahwa Ia memunyai hubungan yang eksklusif dengan Allah, hubungan yang tidak dimiliki oleh manusia lainnya. Di samping itu, pengetahuan Sang Anak di sini tampaknya setara dengan pengetahuan Sang Bapa, yang jelas menunjukkan keilahian Sang Anak.

Injil Yohanes menekankan posisi Yesus yang unik sebagai Anak lebih dari Injil-injil Sinoptik. Empat kali Yesus disebut "Anak Tunggal" (Yoh. 1:14, 18; 3:16, 18). Penyataan-penyataan tentang keilahian Yesus yang esensial sebagai Anak Allah secara langsung mengajarkan keunikan-Nya. Misalnya, setelah Yesus menyembuhkan seorang lumpuh pada hari Sabat, orang-orang Yahudi menuduh Dia melanggar Taurat Allah yang mengharuskan orang beristirahat pada hari Sabat. Yesus membela tindakan-Nya dengan menyatakan bahwa karena Bapa-Nya bekerja pada hari Sabat, Ia juga harus bekerja, dengan demikian Ia "menyamakan diri-Nya dengan Allah" (Yoh. 5:18). Dalam Yohanes 10, Yesus berkata, "Aku dan Bapa adalah satu (dalam esensi)." Sebagai tanggapan atas pernyataan ini, orang-orang Yahudi mengambil batu hendak membunuh Yesus karena mereka menyadari bahwa Ia menyamakan diri-Nya dengan Allah (lihat Yoh. 10:33). Yang menarik adalah, Yesus tidak menyangkali pemahaman mereka terhadap klaim-Nya, tetapi justru menegur mereka karena kurangnya iman mereka! Sesungguhnya, salah satu tujuan utama dari misi Yesus adalah untuk menerangkan tentang Bapa kepada dunia (Yoh. 1:18) melalui penyataan natur ilahi-Nya sendiri, natur yang juga dimiliki oleh Bapa surgawi-Nya (Yoh. 1:1,14).

Beberapa ciri lainnya juga menunjukkan keunikan Yesus sebagai Anak Allah yang ilahi. Pernyataan-pernyataan Yesus yang berulang-ulang bahwa Ia "telah diutus oleh Bapa" memberi kesaksian tentang praeksistensi-Nya yang ilahi (Yoh. 3:34-35; 5:36, 38). Dalam Yohanes 8, Yesus menyatakan bahwa "sebelum Abraham jadi, Aku telah ada". Abraham hidup kira-kira 1800 tahun sebelum Kristus. Ketika mengatakan hal ini, Yesus mengidentifikasi diri-Nya dengan Sang "AKU ADALAH AKU" yang agung itu, yaitu TUHAN (Yahweh), Allah Perjanjian Lama (bandingkan Kel. 3:14; Yoh. 8:58). Juga hanya Sang Anak yang dapat menyatakan Bapa dan mengatakan firman-Nya (misal Yoh. 6:46; 8:26). Kemudian, fungsi-fungsi sang Putra diidentifikasikan dengan fungsi-fungsi Allah, seperti menghakimi dan memberi hidup yang kekal (misal Yoh. 5:19-30).

Dengan penekanan yang begitu kuat pada keilahian Anak Allah dalam Injil Yohanes, orang bisa menyangka bahwa Yohanes menyangkal kemanusiaan Yesus yang sejati. Tidak ada yang lebih salah dari pernyataan itu. Sesungguhnya, dalam Yohanes 1:14 kita menemukan salah satu penegasan yang paling eksplisit tentang kemanusiaan Yesus: "Firman itu telah menjadi manusia, dan diam di antara kita ...."

Sejumlah pernyataan Yesus memang menunjukkan bahwa Sang Anak memunyai keterbatasan-keterbatasan yang tidak dipunyai oleh Bapa (misal Mat. 24:36; Mrk. 13:32; Yoh. 5:19). Pernyataan-pernyataan Yesus harus dimengerti bahwa Ia sedang membandingkan kondisi surgawi yang tak terbatas dari Allah (Bapa) dengan kondisi-Nya sendiri yang terbatas sebagai Allah yang berinkarnasi di bumi. Sementara di atas bumi, Yesus secara sukarela menyerahkan bukan keilahian-Nya, tetapi kebebasan untuk menggunakan sebagian atribut-atribut ilahi-Nya sampai sesudah Ia dibangkitkan (bandingkan Flp. 2:5-11).

"Anak Manusia"

Gelar Yesus lainnya yang penting tetapi misterius adalah "Anak Manusia". Sebelum kelahiran Kristus, gelar ini dipakai hanya dalam Perjanjian Lama. Karena Yesus mengambil gelar tersebut dari sumber ini, maka harus dipahami bagaimana frasa ini dipakai dalam Perjanjian Lama.

Frasa "Anak Manusia" terdapat dalam Mazmur 8:5-7, Mazmur 80:18-20, di seluruh Yehezkiel, dan dalam Daniel 7:13. Daniel 7:13 khususnya memunyai pengaruh yang besar atas pemakaian gelar ini oleh Yesus. Dalam pasal 7, Daniel menceritakan tentang penglihatan di mana ia melihat bahwa pada akhir zaman, Allah akan menghakimi kerajaan -kerajaan dunia yang jahat dan penguasa ultimatnya, yaitu Iblis, dengan menjatuhkan kerajaan mereka (Dan. 7:1-12, 17, 19-22b, 23-26). Daniel melihat bahwa:

"tampak datang dengan awan-awan dari langit seorang seperti anak manusia; datanglah ia kepada Yang Lanjut Usianya itu, dan ia dibawa ke hadapan-Nya. Lalu diberikan kepadanya kekuasaan dan kemuliaan dan kekuasaan sebagai raja .... Kekuasaannya ialah kekuasaan yang kekal, yang tidak akan lenyap, dan kerajaannya ialah kerajaan yang tidak akan musnah." (Dan. 7:13-14)

Allah menyatakan kepada Daniel bahwa Anak Manusia diberi kekuasaan atas dunia, yang telah diambil dari para raja yang jahat itu. Dan orang-orang kudus akan menerima kerajaan kekal yang sama dan memerintah bersama dengan Anak Manusia, tetapi hanya setelah mereka menderita terlebih dulu (Dan. 7:18, 21-22, 24-25, 27).

Walaupun sejumlah pakar berpendapat bahwa Kristus tidak secara aktual mengucapkan banyak perkataan tentang Anak Manusia, fakta bahwa para penulis surat-surat Perjanjian Baru memakai gelar ini bagi Yesus hanya sebanyak tiga kali menunjuk kepada arah yang berlainan. Gelar ini otentik dengan Kristus sendiri yang sering memakainya karena gelar ini meringkaskan dengan baik jenis pelayanan yang Ia lakukan sebelum penyaliban. Setelah kematian-Nya, frasa ini jarang dipakai karena gelar-gelar lainnya menjelaskan dengan lebih baik natur pelayanan pascakebangkitan-Nya.

Dengan latar belakang Perjanjian Lama ini dalam pikiran, kita menemukan bahwa Yesus memakai frasa "Anak Manusia" dalam dua cara utama. Pertama, gelar ini merujuk pada masa tiga tahun pelayanan publik-Nya, di mana Ia menjalani kehidupan yang menderita sebagai hamba yang hina. Apa yang tampak dalam penglihatan Daniel seperti seorang Anak Manusia yang datang dalam kemuliaan ke hadapan takhta surgawi Allah untuk menerima jabatan Raja Surgawi, dimulai penggenapannya di atas bumi secara paradoksal dalam tiga tahun pelayanan Yesus yang tidak ada semaraknya. Tetapi misi Yesus memang berpuncak pada penobatan-Nya sebagai Raja di hadapan takhta ilahi pada peristiwa kenaikan-Nya. Kemudian, Yesus juga memakai "Anak Manusia" untuk merujuk pada pemuliaan-Nya sebagai Raja atas segalanya di masa depan.

Arti penting yang sentral dalam penggunaan sebutan ini adalah tujuan Sang Anak Manusia untuk menyerahkan nyawa-Nya sebagai pembayaran hukuman bagi dosa manusia (misal Mrk. 8:31; 9:12; 10:45). Barangkali nas yang paling signifikan dalam kategori ini adalah Markus 10:45 (Mat. 20:28): "Karena Anak Manusia juga datang bukan untuk dilayani, melainkan untuk melayani dan untuk memberikan nyawa-Nya menjadi tebusan bagi banyak orang." Di samping itu, ada indikasi-indikasi yang jelas bahwa Yesus yang mulia itu akan kembali pada akhir sejarah untuk menghakimi yang jahat dan membebaskan orang-orang kudus-Nya (misal Mrk. 13:24-27; 14:62).

"Hamba yang Menderita"

Penekanan Yesus pada penderitaan dan korban kematian-Nya membuat kita berpikir tentang konsep "hamba yang menderita". Meskipun frasa ini bukan gelar yang formal bagi Yesus, Ia memang menerapkan konsep penting dalam Perjanjian Lama ini pada diri-Nya sendiri. Nas utama yang darinya Yesus mengambil konsep tentang "hamba yang menderita" itu adalah Yesaya 52:13-53:12 (bandingkan Yes. 42:1-9; 43:10; 49:16). Yesaya 53 menyatakan beberapa ciri yang menubuatkan misi Yesus. Hamba itu akan ditolak, dihina, dan ditinggalkan oleh bangsa -Nya sendiri (53:1-3). Ia akan menderita hukuman siksaan yang sangat kejam dan tidak selayaknya demi dosa-dosa bangsa ini, meskipun Ia sendiri tidak berdosa (53:4-12). Penderitaan-Nya akan menjadi pengganti. Melalui penderitaan ini, orang-orang yang berdosa akan dibebaskan dari hukuman yang memang pantas bagi mereka (53:5, 10 -12). Meskipun Ia akan dikuburkan bersama dengan orang-orang jahat, Ia akan dikuburkan dalam kuburan seorang kaya (53:9, RSV). Melalui kematian-Nya, Hamba itu akan menang atas kematian dan menerima suatu pahala juga (53:10-12).

Dengan demikian, Yesaya 53 adalah penjelasan yang paling jelas tentang penderitaan substitusioner seorang Hamba yang ilahi. Karena Yesus akan segera menggenapi peran ini, secara wajar Ia menerapkan nas ini pada misi-Nya (misal Mrk. 9:12; Luk. 22:37; Yoh. 12:38). Markus 10:45 adalah yang paling jelas mengilustrasikan nas-nas tentang Hamba yang menderita di mana Yesus menerapkan kepada diri -Nya sendiri ide-ide yang khas Hamba yang menderita seperti dalam Yesaya 52:13-53:12. Ia "melayani" dalam ketaatan kepada Allah dan untuk kepentingan orang-orang lain. Ia "memberi nyawa-Nya" sebagai "tebusan" -- sebagai persembahan korban pengganti bagi hukuman atau kesalahan. Korban karena kesalahan ini adalah untuk "banyak orang" (53:11-12). Seluruh ayat ini merupakan suatu ringkasan yang baik dari tema-tema besar Yesaya 53. Kita harus memerhatikan bahwa unsur -unsur Yesaya 53 menunjuk pada seorang hamba yang sungguh-sungguh manusia. Para penulis Injil dengan jelas bersaksi tentang keilahian dan kemanusiaan Yesus. Sementara Ia terus memiliki natur dan atribut-atribut yang sama dengan Bapa-Nya, tetapi Ia juga sedih, lapar, dan menjadi lelah -- semua ini adalah ciri-ciri manusia.

Pengkajian kita tentang empat dari tujuh puluh gelar yang diterapkan pada Yesus dalam Perjanjian Baru memberi kita pemahaman tentang siapa Dia dan apa yang Dia lakukan. Hal yang paling menonjol adalah bahwa tidak ada seorang pun sebelum Yesus yang menerapkan empat gelar itu pada satu orang. Secara khusus, tak seorang pun yang pernah menerangkan bahwa gelar-gelar "Mesias," "Anak Allah," dan "Anak Manusia" dapat dipahami melalui konsep Hamba yang menderita dalam Yesaya 53. Misi mesianis yang secara tradisional diasosiasikan dengan tiga gelar pertama itu kini ditafsirkan dalam terang Yesaya 53, yang secara radikal merupakan suatu penyimpangan yang kreatif dan baru dari pandangan tradisional Yahudi. Markus 8:27-37 adalah suatu nas yang signifikan dalam hal ini, karena tiga gelar ini diterapkan pada Yesus dalam suatu percakapan yang singkat, dan gelar keempat, yaitu gelar "Anak Allah" disiratkan dalam gelar "Mesias" (bandingkan Mrk. 1:1; Mat. 16:16; 26:63).

*(1): Kovenan ini sesungguhnya adalah suatu janji keselamatan, yang diisyaratkan dalam Kejadian 3:15, di mana dinubuatkan bahwa salah seorang keturunan Hawa di masa depan akan secara fatal membinasakan si ular yang mewakili Iblis, dan dalam Kejadian 2:21, di mana Allah mencurahkan darah binatang dan menutupi Adam dan Hawa dengan kulitnya, suatu antisipasi simbolik tentang pencurahan darah Anak Domba di atas salib untuk menutup dosa manusia. Janji Allah dinyatakan lebih lanjut dalam Kejadian 12:1-3, 13:15, dan 15:18, dan berkembang terus dalam sisa Perjanjian Lama. *(2): Yesaya 26-29; Yehezkiel 38, dst.; Daniel 2, 7, 12; Zakharia 14, dsb.. *(3): Bandingkan Kebijaksanaan Salomo 17-18; 4 Ezra 12-13.

Sumber: 

Diambil dan disunting seperlunya dari:

Judul buku: Membangun Wawasan Dunia Kristen, Vol. 1: Allah, Manusia dan Pengetahuan
Judul asli buku: Building Christian Worldview, Vol 1: God, Man, and Knowledge
Penulis : G. K. Beale dan James Bibza
Penerjemah: Peter Suwandi Wong
Penerbit : Momentum, Surabaya 2006
Halaman : 53 -- 61

Komentar