Tentang KamiArtikel TerbaruUpdate Terakhir |
Klik x untuk menutup hasil pencarianCari di situs SOTeRI Bimbingan dan Rencana Allah (1)
Editorial:
Dear e-Reformed netters, Dalam perjalanan hidup Kristen kita, sejak bertobat sampai bertumbuh menjadi murid-murid Kristus, saya kira pertanyaan yang paling sering kita tanyakan adalah tentang bagaimana mengetahui "kehendak Allah" bagi hidup kita. Kebanyakan dari kita terjebak pada pemikiran bahwa Allah sejak semula sudah menetapkan rencana-Nya yang terbaik bagi hidup kita, tapi sekarang tugas kita adalah mencari tahu apa rencana terbaik itu supaya kita tidak salah melangkah. Tapi pertanyaannya, bagaimana kalau dalam perjalanan hidup kita, kita sudah mengambil langkah yang salah? Apakah berarti rencana Tuhan yang terbaik itu menjadi tidak mungkin terjadi dalam hidup kita? Apakah Tuhan memiliki rencana cadangan bagi kita? Menurut James C. Petty, penulis buku "STEP BY STEP", orang Kristen perlu memahami Doktrin Providensia Allah dengan benar agar pengertian kita ditopang oleh pengajaran yang alkitabiah. Nah, untuk itu saya kirimkan tulisan James C. Tetty ini, agar kita semua dapat memahami dengan jelas dimana letak kesalahan kita ketika kita memikirkan tentang kehendak dan rencana Tuhan bagi hidup kita. Selamat menyimak. In Christ,
Penulis:
James C. Petty
Edisi:
064/VII/2005
Isi:
RICK adalah perancang grafis berbakat yang saya kenal beberapa tahun lalu. Ia telah sepuluh tahun bekerja di sebuah perusahaan periklanan yang sukses, namun ia tertekan oleh persaingan yang tajam di antara para karyawan yang berebut untuk menjadi rekanan di perusahaan tersebut. Ia juga mencemaskan kondisi moral yang rendah dan tekanan kerja yang berat. Wajar jika ia mulai berpikir untuk berwiraswasta, namun ia sangat takut untuk bersaing dengan perusahaan lamanya. Ia bermimpi bahwa jika ia dapat memulai perusahaannya sendiri, ia tentu akan dapat mengatur hidupnya sendiri. Ia dapat menetapkan jam kerjanya dan dapat lebih banyak terlibat dalam pelayanan. Namun, ia juga memiliki seorang istri dengan tiga anak yang masih kecil. Jika ia gagal dalam usahanya untuk berwiraswasta, semua akan menderita. Ia mungkin akan kehilangan rumah dan tabungannya. Rick berdoa agar Allah menyatakan rencana-Nya. Ia bertanya apakah Allah mau memanggilnya untuk berwiraswasta atau tetap bertahan dengan pekerjaannya sekarang. Ia mulai mencari cara-cara yang mungkin Allah gunakan untuk berkomunikasi dengannya. Ia mencari pelanggan potensial yang mungkin datang dengan cara yang tidak seperti biasanya. Ia mulai berusaha mendengarkan suara Allah dalam pikirannya beberapa "kesan" khusus yang akan meyakinkannya bahwa pikiran tersebut sungguh berasal dari Allah. Ia mencari-cari alat uji yang dapat ia pakai untuk mengambil keputusan. Misalnya, jika ada fitnah, gosip yang tidak wajar, atau hal-hal buruk lain saat ia merayakan hari pertobatannya, mungkin itu menjadi tanda bahwa tempat kerjanya sudah terlalu rusak. Saat ia merenungkan semua ini, sebuah gagasan yang menggelisahkan mulai menyusup dalam benaknya. Ia tidak yakin, tapi ia takut kalau- kalau ia sudah keluar dari rencana Allah sejak saat ia masih kuliah dulu. Ia telah menghadiri Konvensi Misionaris Mahasiswa Urbana dan telah menyerahkan diri untuk pelayanan misi. Namun saat kembali ke kampus, dengan mudah pembimbing akademisnya meyakinkannya untuk meninggalkan niat tersebut. Apa yang akan terjadi seandainya ia memakai kemampuan komunikasinya bukan untuk menciptakan iklan, melainkan untuk menyebarkan Injil? Mungkin ia telah berada jauh dari kehendak Allah bagi hidupnya sehingga sia-sia untuk mencoba kembali, atau untuk meminta Allah membimbingnya dalam rencana yang "tidak taat" ini. Masalah yang dihadapi Rick dalam mencari bimbingan Allah sangat lazim terjadi pada umat Kristen. Bagi Rick dan sebagian besar orang, pemahaman mereka tentang rencana dan kehendak Allah tidak pernah dipertajam oleh konsep yang alkitabiah. Salah satu masalah utama yang dihadapi Rick adalah mencampuradukkan dua penggunaan yang sangat berbeda di dalam Alkitab untuk istilah "kehendak Allah". Dalam Alkitab, frasa "kehendak Allah" bisa berarti rencana atau perintah Allah. Para teolog menjelaskan hal ini sebagai dua bentuk kehendak Allah: "Kehendak-Nya yang dekritif" (dekrit/ketetapan atau rencana Allah) dan "kehendak-Nya yang preseptif" (titah atau perintah Allah) (Hodge 1865, 1:405). Kehendak Allah yang dekritif mengarahkan segala sesuatu yang terjadi di bawah kendali Allah. Kehendak Allah yang preseptif berkaitan dengan perintah Allah apa yang Ia perintahkan supaya kita lakukan. Karena Alkitab memakai kata "kehendak Allah" untuk menyebut keduanya, maka kerancuan mudah sekali terjadi dan mengacaukan upaya kita dalam mencari bimbingan. Inilah salah satu masalah Rick. Supaya Anda terhindar dari jebakan ini, mari kita memeriksa kedua konsep yang Alkitab ajarkan tentang kehendak Allah ini. Dalam bab ini kita akan melihat "kehendak Allah" yang merujuk kepada rencana Allah yang berdaulat (yang dalam teologi sering disebut sebagai ketetapan atau kehendak-Nya yang dekritif). Dalam bab berikut kita akan mempelajari "kehendak Allah" sebagai perintah-perintah Allah. Kehendak Allah: Rencana-Nya Alkitab sering memakai frasa "kehendak Allah" untuk menyebut rencana Allah. Paulus dalam Efesus 1:5 berbicara tentang rencana Allah yang berdaulat, "Ia [Allah] telah menentukan kita dari semula ... sesuai dengan kerelaan kehendak-Nya." Setiap orang percaya seharusnya terhibur jika mengetahui bahwa ia telah dipilih sebelum penciptaan untuk mewarisi keselamatan. Pilihan itu dilakukan oleh Allah dalam rencana-Nya yang berdaulat. Paulus melanjutkan tema ini dalam Efesus 1:11, "Di dalam Dialah kami mendapat bagian yang dijanjikan -- kami yang dari semula ditentukan untuk menerima bagian itu sesuai dengan maksud Allah, yang di dalam segala sesuatu bekerja menurut keputusan kehendak-Nya." Yakobus 4:15 merupakan contoh lain yang serupa. Yakobus mendorong pembacanya untuk tidak membuat rencana (berangkat ke sebuah kota, tinggal dan berdagang) dengan bersandar pada diri sendiri. Mereka seharusnya berkata, "Jika Tuhan menghendakinya, kami akan hidup dan berbuat ini atau itu." Yakobus tidak mengecam perencanaan; ia mengecam rencana yang tidak melibatkan rencana Allah di dalamnya. Yakobus mengajarkan kepada kita untuk tidak memberikan perhatian yang berlebihan pada rencana kita, karena hidup kita adalah seperti uap yang terlihat hanya sebentar kemudian lenyap begitu saja. Dalam Roma 15:32, Paulus menerapkan ajaran Yakobus. Ia meminta jemaat Roma untuk berdoa demikian, "Agar aku yang dengan sukacita datang kepadamu oleh kehendak Allah, beroleh kesegaran bersama-sama dengan kamu." Paulus ingin mengunjungi orang-orang Kristen di Roma, namun ia sadar bahwa ia bisa datang hanya oleh karena providensi dan rencana Allah, yaitu jika Allah menetapkannya. Jika kita bermaksud memaksakan makna lain kepada frasa "kehendak Allah" yang ada dalam perikop ini, hasilnya tidak akan masuk akal. Paulus tidak meminta agar orang-orang Roma berdoa supaya ia dapat melakukan kehendak Allah (seperti memenuhi perintah Allah). Paulus ingin mereka berdoa supaya Allah mengizinkannya datang ke Roma dengan menyediakan kondisi yang memungkinkan hal itu terjadi. Contoh terakhir: Petrus memakai kata "kehendak Allah" juga dalam arti ini di 1Petrus 3:17: "Sebab lebih baik menderita karena berbuat baik, jika hal itu dikehendaki Allah, daripada menderita karena berbuat jahat." Ketika mendorong umat Kristen untuk menderita karena berbuat baik daripada menderita karena berbuat jahat, Petrus mengemukakan pokok tambahan bahwa penderitaan itu sendiri datang melalui izin dan rencana Allah. Karena itu, ia berbicara tentang penderitaan yang bisa terjadi "jika hal itu dikehendaki Allah". Sekali lagi, kita bertemu dengan pelaksanaan rencana Allah. Rick tidak hanya mengacaukan kedua istilah ini, tetapi kekacauan ini menjeratnya ke dalam apa yang saya sebut sebagai "Sindrom Rencana B". Menurut pemikiran Rick: jika Allah memiliki rencana yang sudah ditetapkan secara mendetail bagi kehidupan setiap orang percaya dan Ia ingin kita mengikuti rencana itu, apa yang harus kita lakukan ketika kita terlanjur menyimpang dari rencana itu? Kita akan turun ke Rencana B dan harus memulainya dari sana. Saya akan memberikan contoh. Setiap tahun saya menghadapi rutinitas yang menyusahkan karena harus menentukan rencana mana yang akan saya pilih untuk kontrak servis bagi alat panggangan tua saya. Menurut penjual bensin langganan kami yang ramah, Rencana A tampaknya akan menjauhkan semua kekuatiran saya. Dengan Rencana A mereka akan memperbaiki segala kerusakan, tetapi tentu biayanya mahal. Biaya Rencana B lebih terjangkau, tapi hanya mengatasi permasalahan yang perlu saja. Rencana C hanya memberikan servis tanpa perbaikan apa-apa. Jika saya memiliki uang cukup, maka saya cenderung memilih Rencana A. Jika tidak, maka saya akan memilih Rencana C, dan dengan Rencana C itu berarti tukang reparasi akan sering datang ke rumah saya tiap tahun. Kita pun cenderung berpikir bahwa meskipun Allah memiliki sebuah rencana yang "terbaik" bagi hidup kita, Ia juga memiliki rencana lain yang "lebih murah" bagi mereka yang telah meleset dari rencana yang terbaik itu. Kita teringat keputusan bodoh dan berdosa yang pernah kita ambil dan, akibatnya, kita melihat diri kita berada dalam "Rencana B" kehendak Allah bagi hidup kita. Jika kita tetap membuat keputusan yang jelek, maka kita akan turun lagi ke Rencana C, Rencana D, dan karena kita orang berdosa kita akan segera kehabisan daftar abjad yang tersedia. Kita berpikir tentang "apa yang mungkin terjadi" seandainya kita tidak menikahi pasangan hidup kita yang sekarang, seandainya kita tidak hamil sebelum hari pernikahan, seandainya kita tidak mengambil pekerjaan yang mengerikan ini dan menerima pekerjaan satunya yang mungkin akan membuat kita sukses, atau seandainya kita tidak meledak dalam kemarahan kepada anak kita yang masih remaja. Dalam bab ini kita akan melihat bahwa bagi mereka yang berada di dalam Kristus, hanya ada satu rencana, Rencana A. Rencana ini tetap tergenapi meskipun kita melakukan berbagai dosa dan kesalahan. Kita akan melihat keajaiban perhatian Allah sebagai Gembala, dan detail kasih-Nya di sepanjang rencana yang telah Ia tetapkan bagi hidup kita. Kebenaran agung ini sungguh mencerahkan, menghiburkan, dan terkadang menakutkan ciptaan Allah yang sombong. Satu Rencana yang Berdaulat Alkitab mengajarkan bahwa (1) Allah memiliki satu rencana khusus bagi hidup Anda dan (2) peristiwa-peristiwa dan pilihan-pilihan dalam hidup Anda secara tak dapat ditolak dan secara berdaulat mengerjakan rencana itu dalam setiap detailnya. Berlawanan dengan pandangan Rick tentang rencana Allah, seseorang tidak mungkin bisa "gagal ujian" dalam rencana itu. Semua kesalahan, kebutaan, dan dosa Anda telah diperhitungkan sebelumnya. Kebenaran ini diajarkan dalam doktrin providensi Allah. Tanpa memahami providensi, kita tidak akan dapat memahami keterlibatan Allah secara jelas dalam hidup kita sehari-hari. Kekacauan dalam hal bimbingan Allah di kalangan Kristen banyak disebabkan oleh kurangnya pemahaman akan doktrin ini. Doktrin providensi telah diringkaskan dengan sangat cemerlang pada tahun 1648 dalam Pengakuan Iman Westminster (Westminster Confession of Faith, dokumen yang mendasari theologi gereja Kongregasional, Reformed, Presbiterian, dan Baptis yang berbahasa Inggris). Bab 5 yang diberi judul "Mengenai Providensi" dimulai demikian: "Allah, Pencipta yang agung atas segala sesuatu, menopang, memimpin, mengatur, dan memerintah atas semua ciptaan, tindakan, dan segala sesuatu; mulai dari yang terbesar hingga yang terkecil; dengan providensi-Nya yang agung dan suci; menurut pra-pengetahuan-Nya yang tak dapat bersalah (infallible) dan pertimbangan kehendak-Nya yang bebas dan kekal; untuk mendatangkan pujian bagi kemuliaan hikmat, kuasa, keadilan, kebaikan, dan kemurahan-Nya." Pernyataan ini meringkaskan jawaban bagi banyak pertanyaan yang muncul saat kita mencoba memahami apa yang Alkitab katakan tentang pengendalian Allah atas dunia ini. Perhatikan, doktrin ini menegaskan bahwa Allah mengerjakan setiap detail "menurut pertimbangan kehendak- Nya yang kekal [tidak berubah]". Jika hal ini benar, dampaknya sangat luas sekali terhadap Rick ketika ia mengevaluasi pilihannya. Rick tidak perlu memanjat keluar dari lubang yang telah ia gali sendiri agar dapat kembali pada kehendak Allah bagi hidupnya. Sejarah hidup Rick dan keputusan-keputusan yang menyebabkan hal itu terjadi, berada di dalam rencana keselamatan yang Allah siapkan baginya. Jika hal ini benar, itu berarti keputusan yang harus diambilnya sekarang juga adalah sah, karena ia tidak terjerat dalam situasi terbaik kedua atau situasi terbaik kedua puluh. Ia berada dalam program providensi Allah yang Mahabijaksana dan Mahasempurna. Ia bukan seperti pemain golf yang harus memulai pertandingan dengan dua puluh pukulan penalti. Jika doktrin ini benar, ada harapan yang besar ketika kita membuat keputusan-keputusan dalam hidup kita. Namun sebelum kita melihat lebih jauh implikasi dari kebenaran ini, kita harus bertanya, "Apakah ini sungguh-sungguh benar?" Dan jika ini benar, bagaimana dengan tanggung jawab dan kebebasan manusia? Bagaimana dengan masalah yang diakibatkan oleh dosa dan kebebalan kita? Bagaimana dengan masalah kejahatan yang ada di dunia ini? Apakah itu menempatkan Allah sebagai sumber kejahatan? Mari kita uji beberapa bagian kunci Alkitab yang dipakai untuk mendasari doktrin providensi. Semua ini akan menolong kita memahami implikasi providensi terhadap banyak bidang kehidupan kita yang penting. Berbagai Situasi Apakah Allah mengendalikan segala keadaan dalam semua situasi? Kristus sendiri menjawab pertanyaan itu dalam Matius 10:29-31. Ia berkata, "Bukankah burung pipit dijual dua ekor seduit? Namun seekorpun dari padanya tidak akan jatuh ke bumi di luar kehendak Bapamu. Dan kamu, rambut kepalamupun terhitung semuanya." Yesus menjelaskan pemeliharaan dan pengendalian Allah yang luar biasa ini untuk menenangkan ketakutan para murid ketika mereka menghadapi ujian dan penganiayaan. Hal-hal yang terlihat kebetulan (menemukan seekor burung mati di tepi jalan) tidak terjadi tanpa seizin Allah. Kristus berkata (ay. 31), "Sebab itu janganlah kamu takut karena kamu lebih berharga dari pada banyak burung pipit." Perhatikan tujuan pengajaran Yesus. Ia tidak bertujuan menyusun suatu prinsip abstrak yang dapat diterapkan dalam segala hal yang kita angankan. Ia mengajarkan hal ini untuk mengatasi ketakutan umat-Nya akan kehilangan, kematian, penderitaan, penganiayaan, dan lain-lain. Pengajaran ini dengan jelas menegaskan pengendalian Allah yang berdaulat dan menyeluruh atas kehidupan, tetapi doktrin ini juga memiliki maksud pastoral yang harus dihormati. Sebagian orang mungkin bertanya, "Bagaimana saya dapat menerima penghiburan dari doktrin yang mengajarkan bahwa segala sesuatu telah ditetapkan, yang implikasinya adalah bahwa tidak ada gunanya saya berdoa dan berupaya?" Orang non-Kristen mungkin akan menolak dan berkata, "Mengapa saya harus menerima pandangan yang menempatkan Allah sebagai sumber kejahatan?" Kesalahan mereka adalah melihat doktrin ini sebagai kebenaran yang terisolasi, yang bertentangan dengan logika mereka. Alkitab tidak pernah memakai doktrin kedaulatan Allah untuk meremehkan doa atau upaya manusia, yang benar justru sebaliknya. Karena Allah dapat campur tangan, kita harus berdoa dan berupaya. Doktrin ini tidak pernah dipakai untuk mengesahkan Allah sebagai sumber kejahatan. Hal ini jelas dibantah dalam Yakobus 1:13 dan banyak bagian Alkitab lain. Iblis dan dosa umat manusialah yang dilihat sebagai penyebab semua kejahatan. Mari kita perhatikan tujuan doktrin ini dalam Alkitab. Doktrin ini bertujuan menjadikan makhluk ciptaan Allah rendah hati (Roma 9:20), membangkitkan pujian bagi kasih Allah yang besar atas para pendosa (Efesus 1:11), meyakinkan orang percaya kepada kasih Allah yang tidak dapat dirusak dan sangat praktis (Roma 8:28), dan untuk menegur para musuh akan pemberontakan dan perlawanan mereka yang sia-sia (Mazmur 2:9-10; Daniel 4:34-35). Doktrin ini menggarisbawahi fakta bahwa individualitas dan musim-musim kehidupan kita diatur oleh Allah (Mazmur 139:13-16). Daud merenungkan betapa bernilainya pemahaman bahwa Allah terus memperhatikannya. Ia berkata: "Dan bagiku, betapa sulitnya pikiran-Mu, ya Allah! Betapa besar jumlahnya! Jika aku mau menghitungnya, itu lebih banyak dari pada pasir." (Mazmur 139:17-18) Berapa banyak dari antara kita yang sungguh-sungguh percaya bahwa Allah yang kita sembah begitu menyadari kondisi-kondisi kehidupan kita? Bahwa Ia memperhatikan kondisi-kondisi kita bahkan secara lebih mendetail daripada yang kita bayangkan? Daud berkata bahwa kita bahkan tidak dapat menghitung pikiran Allah, apa lagi memberikan perhatian yang begitu berlimpah dan mendetail kepada kondisi-kondisi kita sendiri. Saya menangisi orang Kristen yang telah menyimpulkan bahwa mereka tidak dapat menikmati keyakinan kepada providensi Allah karena takut membuat Allah menjadi sumber kejahatan. Kita mungkin pernah bertemu dengan orang-orang yang menyalahgunakan doktrin providensi, seperti seorang Calvinis garis keras (yang percaya bahwa Allah mengendalikan segala sesuatu) yang suatu pagi terjatuh di tangga saat ia akan sarapan pagi. "Untungnya" tangga itu dilapisi karpet sehingga ia masih mampu bangkit berdiri, mengebaskan debu, dan berjalan terpincang-pincang menuju meja. Ia duduk, memandang istrinya, dan berkata, "Saya lega semua ini telah berakhir." Meski secara logis (dan humoris) respons itu mungkin menarik, respons itu hanya mengalihkan perhatiannya dari tugas untuk memikirkan apa yang salah dan mengambil langkah pencegahan untuk masa mendatang. Allah tidak menyingkapkan realitas providensi-Nya untuk membuat kita tidak lagi mengurus hidup kita. Tetapi panggilan intim seperti itu terkadang memang mengingatkan kita kepada perhatian Allah yang tidak kelihatan. Saya pernah mendengar kisah tentang John Witherspoon, presiden Princeton University dan juga penandatangan Deklarasi Kemerdekaan Amerika Serikat. Suatu hari dalam perjalanan menuju Princeton, ia terlempar dari kereta kudanya. Kereta kuda itu masuk ke selokan, dan ia terlempar sampai tergeletak di tanah dan berlumuran kotoran. Sesampainya di kantor, ia mulai membersihkan diri dan mengomentari providensi Allah yang begitu ajaib dalam melindungi hidupnya pada situasi yang amat berbahaya. Asistennya yang masih muda mengamati dengan bijak, "Tetapi Dr. Witherspoon, bukankah perhatian Allah bahkan lebih ajaib dalam ratusan pagi hari saat Anda berangkat kerja tanpa mengalami kecelakaan?" Witherspoon mendapat pelajaran berharga tentang mensyukuri providensi Allah saat hal itu tidak terlihat dan tidak dramatis. Sebuah gambaran indah mengenai providensi Allah tercatat di Kejadian 50:20. Pada bagian itu dikisahkan bagaimana saudara-saudara Yusuf menjualnya menjadi budak, bagaimana ia secara keliru dituduh memperkosa dan dipenjara secara tidak adil, bagaimana ia mendapat kekuasaan yang besar di Mesir, lalu menyelamatkan Mesir dan keluarganya dari bencana kelaparan. Setelah semua itu, Yusuf berkata kepada saudara-saudaranya mengapa ia tidak membalas dendam atas pengkhianatan mereka. Katanya, "Memang kamu telah mereka-rekakan yang jahat terhadap aku, tetapi Allah telah mereka-rekakannya untuk kebaikan, dengan maksud melakukan seperti yang terjadi sekarang ini, yakni memelihara hidup suatu bangsa yang besar." Setiap tindakan saudara-saudara Yusuf, Yusuf sendiri, Firaun, dan bahkan cuaca yang mendatangkan bencana, semua sesuai dengan kendali Allah yang berdaulat. Singkatnya, tidak ada situasi mulai dari jumlah rambut hingga pergerakan bangsa-bangsa yang dalam segala halnya tidak menggenapi rencana Allah. Jika kita mengakui bahwa semua situasi ditentukan oleh providensi Allah, bagaimana dengan akibat tindakan umat manusia yang jahat? Kisah Yusuf memperlihatkan jawabannya. Orang Baik, Orang Jahat, dan Politikus Apakah rencana Allah digenapi oleh tindakan manusia yang bebas dan bertanggung jawab, entah itu baik atau jahat? Inilah pertanyaan yang ditimbulkan oleh Hitler, Pol Pot, dan penjahat keji yang menyerang anak Anda. Inilah pertanyaan Wilberforce dan Martin Luther King, yang memperjuangkan hak asasi dan martabat keturunan Afrika. Pertanyaan ini wajar sehubungan dengan realitas penghakiman terakhir yang akan menuntut setiap pria, wanita, dan anak-anak untuk bertanggung jawab atas perbuatan mereka. Menurut Yohanes 5:28-29: "Janganlah kamu heran akan hal itu, sebab saatnya akan tiba, bahwa semua orang yang di dalam kuburan akan mendengar suara-Nya, dan mereka yang telah berbuat baik akan keluar dan bangkit untuk hidup yang kekal, tetapi mereka yang telah berbuat jahat akan bangkit untuk dihukum." Implikasi dari kisah Yusuf di atas secara khusus diajarkan dalam Alkitab: setiap tindakan yang dilakukan setiap individu adalah sesuai dengan cetak biru Allah yang tidak dapat berubah. Alkitab menekankan fakta bahwa orang yang paling "bebas" (para raja dan penguasa) mengerjakan rencana Allah. Amsal 21:1 menyatakan, "Hati raja seperti batang air di dalam tangan Tuhan, dialirkan-Nya ke mana Ia ingini." Bagian-bagian lain Alkitab juga membawa pesan yang sama tentang kedaulatan Allah: "Tetapi rencana TUHAN tetap selama-lamanya, rancangan hati-Nya turun-temurun." (Mazmur 33:11) Tidak ada tindakan musuh-musuh Allah atau para penguasa yang berpengaruh terhadap kemampuan Allah untuk melaksanakan setiap detail dari rencana-Nya. Sebaliknya, tindakan-tindakan mereka tidak terpisah dari rencana yang telah Allah tetapkan, sama seperti tindakan Firaun yang sia-sia ketika menentang Musa dalam Keluaran. Roma 9:17 mencatat perkataan Allah kepada Firaun: "Itulah sebabnya Aku membangkitkan engkau, yaitu supaya Aku memperlihatkan kuasa-Ku di dalam engkau, dan supaya nama-Ku dimasyhurkan di seluruh bumi." Sangat menarik bahwa di dalam catatan Keluaran tentang pemberontakan Firaun, dikatakan Allah mengeraskan hati Firaun tetapi juga dikatakan bahwa Firaun mengeraskan hatinya sendiri (Keluaran 14:4; 9:34). Firaun bertindak menurut kehendaknya sendiri, namun kehendaknya itu melaksanakan rencana kekal Allah. Kedaulatan Allah atas tindakan jahat manusia dinyatakan dengan paling murni dalam khotbah Petrus di Kisah Para Rasul 2:23. "Dia [Yesus] yang diserahkan Allah menurut maksud dan rencana-Nya, telah kamu salibkan dan kamu bunuh oleh tangan bangsa-bangsa durhaka." Perhatikan, sekalipun Petrus menyatakan bahwa kejahatan terkeji dalam sejarah manusia itu telah ditetapkan oleh rencana Allah, namun ia tetap berani meletakkan tanggung jawab atas kejahatan itu secara langsung kepada para permimpin rohani bangsa Israel. Pemahaman bahwa semua tindakan manusia tercakup di dalam rencana Allah sungguh sangat menghibur saya setiap hari. Istri saya adalah staf pengerja kampus di InterVarsity Christian Fellowship [Perkantas]. Tiga atau empat kali dalam seminggu ia pergi ke kampus hingga larut malam (anak-anak kami sudah beranjak remaja). Baru-baru ini, seorang siswi diculik di pinggiran jalan sekitar jam delapan malam. Padahal istri saya baru saja melewati jalan itu sekitar sepuluh menit sebelumnya. Siswi itu dibawa ke sebuah parkiran kosong lalu diperkosa. Dengan kondisi seperti itu, saya sangat mengkuatirkan istri saya yang sering keluar malam, dan kami mengambil beberapa langkah pencegahan. Tetapi hal yang paling menghibur kami adalah pemahaman bahwa tak seorang pun, termasuk pemerkosa paling tangguh, yang dapat menyentuh istri saya tanpa menggenapi rencana keselamatan Allah. Anda mungkin bertanya, "Bukankah mustahil, bahwa Allah yang mengendalikan, namun manusia tetap menjadi penyebab bagi kebaikan dan kejahatan?" Hal ini terbukti tidak mustahil bagi Allah. Pikiran kita tidak dapat memahami bagaimana Allah dapat menciptakan makhluk bertanggung jawab yang benar-benar harus memberi pertanggungjawaban kepada-Nya meskipun semua dosa mereka, sejak Adam di taman hingga pedihnya kebinasaan akhir si Iblis, terlaksana sesuai dengan rencana- Nya. Kehidupan berada di bawah kendali yang sedemikian rumit, yang melampaui kemampuan manusia untuk memahaminya. Dengan kehendak kita sendiri yang bertanggung jawab, kita mengerjakan rencana Allah meskipun Allah sama sekali tidak mencobai atau secara langsung memaksa kehendak kita. Meski kita tidak tahu bagaimana Allah mengendalikan segala sesuatu, tampaknya Ia biasanya tetap "lepas tangan" terhadap mekanisme kehendak kita. Tetapi kita bertanggung jawab dan dengan bebas memilih untuk melakukan semua yang Ia rencanakan. Selama bertahun-tahun begitu banyak orang percaya berkata kepada saya, "Anda tidak mungkin bisa mempercayai kedua-duanya secara bersamaan; Anda harus memilih antara tindakan manusia yang sepenuhnya bertanggung jawab, atau rencana Allah yang sedang bekerja." Kita harus dengan tegas menolak pendapat bahwa karena kita tidak tahu bagaimana Allah melakukan hal ini, maka kita harus memilih antara tanggung jawab manusia atau kedaulatan ilahi; kita menolak anggapan bahwa kita hanya bisa memilih satu, dan bukan kedua-duanya. Fakta bahwa keduanya benar merupakan kemuliaan bagi hikmat Allah. Kita harus sujud dan menyembah, bukannya terhanyut dalam pikiran kita yang dengan sombong memikirkan apa yang bisa atau tidak bisa Allah kerjakan. Kita adalah ciptaan yang terbatas dan tidak memiliki akses untuk menjangkau tingkat pemikiran atau eksistensi Allah. Sesungguhnya ini merupakan inti dari logika dan pemahaman yang baik, yang mempercayai pewahyuan Allah tentang diri-Nya. Kita harus menikmati kepenuhan providensi Allah yang begitu mulia, dan penghiburan dari pengendalian-Nya yang misterius dan berdaulat. Seharusnya ini mendorong kita untuk menanggapi dengan gentar sebagai orang-orang yang mengetahui bahwa diri mereka yang harus bertanggung jawab, sebagai penyandang gambar dan rupa Allah. Bukan hanya perbuatan-perbuatan jahat yang tercakup di dalam providensi Allah, tetapi perbuatan-perbuatan baik manusia juga telah ditetapkan sebelumnya. Efesus 2:10 menyatakan, "Karena kita ini buatan Allah, diciptakan dalam Kristus Yesus untuk melakukan pekerjaan baik, yang dipersiapkan Allah sebelumnya. Ia mau, supaya kita hidup di dalamnya." Tetapi kita tetap berulang kali diperintahkan untuk melakukan pekerjaan-pekerjaan baik (1Timotius 6:18; Ibrani 10:24). Dalam Filipi 2:12-13, Paulus menyingkapkan tirai metafisika dan mengizinkan kita melihat dua fakta ini berfungsi bersamaan. Ia berkata, "... tetaplah kerjakan keselamatanmu dengan takut dan gentar, ... karena Allahlah yang mengerjakan di dalam kamu baik kemauan maupun pekerjaan menurut kerelaan-Nya." Bukannya mengurangi tanggung jawab orang Kristen, kebenaran ini justru meningkatkan tanggung jawab dengan mengaitkannya kepada kuasa yang tidak dapat ditolak Allah sedang mengerjakan rencana-Nya yang baik di dalam diri kita. Dari sini kita melihat providensi Allah sedang berkarya di dalam keselamatan kita. (Redaksi: Bagian 2 dari artikel di atas akan dikirimkan pada pengiriman e-Reformed edisi berikutnya.)
Sumber:
Sumber diambil dari:
Komentar |
Publikasi e-Reformed |